Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 198613 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rini Adriani
"Konflik antara masyarakat Melayu-Muslim di Pattani dengan pemerintah Muangthai sudah berlangsung sejak lama. Khususnya sejak Pattani menjadi propinsi di Muangthai pada tahun 1902. Masyarakat Melayu-Muslim Pattani merupakan minoritas di dalam negara yang sebagian besar penduduknya adalah prang Thai dan beragama Buddha. Namun, di wilayah Muangthai Selatan, yang berbatasan dengan Malaysia, mereka merupakan kelompok mayoritas etnis Melayu yang beragama Islam. Pemerintah Thai berusaha untuk mengintegrasikan masyarakat Pattani dengan berdasarkan pada agama Buddha dan budaya Thai. Pengintegrasian secara paksa itu menimbulkan reaksi keras dari masyarakat Pattani, sebab identitas mereka hendak dicoba dihapus dan digantikan dengan identitas orang Thai. Kondisi semakin buruk sejak Phibun Songkhram menjadi Perdana Menteri pada tahun 1938. Pemerintah Phi bun melaksanakan kebijakan asimilasi yang sama sekali tidak menoleransi eksistensi agama dan budaya kelompok minoritas, seperti masyarakat Melayu-Muslim Pattani."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S12400
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasichatun Asca
"Kebijakan hukum di bidang lingkungan hidup dalam pengelolaan B3 harus direncanakan dengan cermat karena merupakan bagian dari proses pembangunan industrialisasi. UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Dalam UUPLH, mengenai pengelolaan Limbah B3 diatur dalam pasal 17 dan pasal 21.
Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pengelolaan B3, antara lain PP No.19/1994 tentang Pengelolaan Limbah B3. PP No.19/1994 merupakan jawaban pertama Pemerintah dalam upaya untuk memberikan pedoman peraturan yang dapat diterapkan oleh para pelaku usaha atau dunia industri yang berhubungan langsung dengan lingkungan terutama dengan limbah B3 lain. PP No. 19 Tahun 1994 dengan perangkat hukum yang dimaksudkan untuk mendorong industri penghasil limbah B3 agar meminimalisasi jumlah limbah B3, PP ini kemudian digantikan dengan PP No. 12 Th 1995 tentang Pengelolaan Limbah B3, diganti lagi dengan PP No. 18 Th 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, kemudian dirubah dengan PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, diganti dengan PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3. Ada banyak perubahan yang dalam PP yang baru ini, antara lain mengenai istilah, tidak lagi dengan istilah limbah tetapi langsung dengan penyebutan Bahan Berbahaya dan Beracun dan diijinkan kegiatan ekspor dan impor B3.
Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan lalu lintas batas limbah, dengan dasar ratifikasi Konvensi Basel, yang bertujuan mengatur ekspor dan impor serta pembuangan limbah B3 secara tidak sah, antara lain: Keputusan Presiden RI No. 61/1993 tentang Pengesahan Convention on The Control of Trans-boundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal, Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 349/Kp/X/f92 tentang Pelarangan Limbah B3 dan Plastik, Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 155/Kp/VII/95 tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Import dan Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 156/Kp/VII/95 tentang Prosedur Impor Limbah.
Penegakan hukum dalam masalah B3, berkaitan erat dengan kemampuan aparat dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. Hal ini merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan (atau ancaman) sarana administrasi, kepidanaan dan keperdataan. Aparat penegak hukum lingkungan adalah: Polisi; Jaksa; Hakim; dan Pejabat/Instansi yang berwenang memberi izin; serta Penasihat Hukum. Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat dan efektivitasnya. Penegakan yang bersifat preventif berarti bahwa pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung. Instrumen bagi
penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan. Penegakan hukum yang bersifat represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan. Penegakan hukum secara pidana umulnnya selalu mengikuti pelanggaran peraturan dan biasanya tidak dapat meniadakan akibat pelanggaran tersebut. Penegakan hukum lingkungan keperdataan hendaklah dibedakan dari upaya penyelesaian sengketa dengan cara gugatan lingkungan. Untuk memperoleh ganti kerugian bagi korban pencemaran akibat perbuatan melawan hukum oleh pencemar, karena sifatnya individual. Gugatan perdata yang dimaksud dalam penegakan hukum lingkungan dilakukan oleh penguasa apabila sarana penegakan hukum administratif kurang memadai.
Sarana yang dipergunakan dalam upaya penegakan hukum lingkungan meliputi: sarana administrasi; pidana dan Perdata. Sarana administrasi bersifat preventif dan tujuannya sebagai penegakan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan. Dalam sarana administrasi ini dapat diterapkan konsep "Pollution Prevention Pays" terhadap perusahaan dalam proses produksinya. Sanksi administrasi memiliki fungsi instrumental, yaitu untuk mengendalikan perbuatan terlarang, juga sebagai perlindungan kepentingan yang dijaga dengan ketentuan tersebut. Bentuk administrasi ini antara lain: Paksaan Pemerintah atau tindakan paksa, Uang paksa, Penutupan tempat usaha, Penghentian kegiatan mesin perusahaan, Pencabutan izin melalui proses, teguran, paksaan pemerintah, penutupan dan uang paksa. Sarana Kepidanaan, dalam delik lingkungan diatur dalam Pasal 41 s.d 48 UUPLH yang menyangkut penyiapan alat-alat bukti serta penentuan hubungan kausal antara pencemar dan yang tercemar. Tata caranya dalam beberapa pasal tersebut tunduk terhadap UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sarana Keperdataan, dalam hal ini yang dimaksud adalah penerapan hukum perdata untuk memaksakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-¬undangan lingkungan, terdapat kemungkinan beracara singkat bagi pihak ketiga yang berkepentingan untuk menggugat kepatuhan terhadap undang-undang dan permohonan agar terhadap larangan atau keharusan dikaitkan dengan uang paksa ("injuction"). Gugatan ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan atas dasar Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 35 PP No. 74 Tahun 2001, dapat dilakukan baik melalui cara berperkara di pengadilan atau melalui media penyelesaian sengketa lingkungan.
Mengenai hak masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan B3. Hak masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan B3 meliputi: Hak masyarakat atas hidup yang baik dan sehat dan hak untuk berperan serta dalam pengelolaan B3. Hak masyarakat atas hidup yang baik dan sehat perlu dimengerti secara yuridis dan diwujudkan melalui saluran sarana hukum, sebagai upaya perlindungan hukum bagi warga masyarakat di bidang lingkungan hidup. Dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 Pasal 5 ayat (1) disebutkan: "Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat." Peran serta masyarakat dalam pengelolaan limbah B3 lebih diutamakan dalam hal prosedur penerapan peraturan. Peran serta
masyarakat dalam pengelolaan B3 tersebut selain memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan, juga dapat mereduksi kemungkinan terjadinya konflik. Peran serta masyarakat dapat efektif dan berdaya guna, apabila kepastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan mengumumkan rencana kegiatannya, adanya Informasi lintas batas dan informasi tepat waktu. Pasal 35 PP No. 74 Tabun 2001 tentang Pengelolaan B3, menyebutkan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang upaya pengendalian dampak lingkungan hidup akibat kegiatan pengelolaan B3 ini sedangkan dalam Pasal 36 PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3, disebutkan setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan B3 sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T19184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Audia Mahira
"ABSTRAK
Penelitian ini fokus membahas peran Majelis Agama Islam dalam perkembangan pendidikan Islam di wilayah Pattani. Makalah ini didasarkan pada penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data wawancara, observasi lapangan, dan studi literatur. Kajian terdahulu Joseph C. Liow mengemukakan dua tokoh penting dari Pattani terhadap reformasi dan pendidikan Islam di Pattani, pada penelitian ini akan membahas peran lembaga Islamnya. Permasalahan penelitian adalah apa saja yang dilakukan oleh Majelis Agama Islam dalam pengembangan Pendidikan Islam di wilayah Pattani dan bagaimana hubungannya dengan pemerintah. Dengan menggunakan teori peranan, ditemukan bahwa majelis tidak membuat norma secara tertulis untuk dipatuhi lembaga pendidikan. Majelis melakukan beberapa kegiatan terkait Pendidikan Islam yaitu dengan menjaga dan menambah pustaka di Pattani, meningkatkan kualitas guru, dan menaungi langsung sekolah Mahad Darul Maarif. Majelis Agama Islam Pattani berusaha untuk bersikap netral dan berpikiran hubungan institusional dengan masyarakat sekitar dan pemerintah. Sehingga kedudukan Majelis Agama Islam saat ini adalah sebagai lembaga yang diberikan kewenangan penuh untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan Islam dengan pemerintah.

ABSTRACT
This study focuses on discussing the role of the Islamic Religious Council in the development of Islamic education in the Pattani region. This paper is based on descriptive qualitative research with interview data collection techniques, field observations, and literature studies. Previous studies Joseph C. Liow revealed two important figures from Pattani for reform and Islamic education in Pattani, in this study will discuss the role of Islamic institutions. The research problem is what is done by the Islamic Religious Council in the development of Islamic Education in the Pattani region and how it relates to the government. Using role theory, it was found that the assembly did not make written norms for educational institutions to adhere to. The Assembly carried out several activities related to Islamic Education, namely by maintaining and adding literature in Pattani, improving the quality of teachers, and directly overseeing the Mahad Darul Maarif school. The Pattani Islamic Council seeks to be neutral and think of institutional relations with the surrounding community and the government. So that the position of the Islamic Religious Council at this time is as an institution that is given full authority to take care of matters relating to Islam with the government."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Medi Iskandar Zulkarnaen
"Kebijakan legislatif tentang kriminalisasi dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dilakukan berdasarkan alasan/pertimbangan bahwa perbuatan pencemaran/perusakan lingkungan hidup bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan, bertentangan dengan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945 dan sebagai alat kebijakan pemerintah yang khususnya bertujuan untuk mengamankan dan mempertahankan kebijakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Kepentingan hukum yang dilindungi dalam kriminalisasi ini adalah kepentingan pelestarian lingkungan hidup, perlindungan terhadap kesehatan umum dan nyawa manusia. Melalui kriminalisasi di bidang lingkungan hidup ini, semua perbuatan yang menyebabkan atau dapat menyebabkan pencemaran/ lingkungan hidup diancam dengan sanksi pidana. Namun berdasarkan pertimbangan bahwa hukum lingkungan sebagian besar merupakan ketentuan hukum administrasi, hukum pidana/sanksi pidana dijadikan sebagai penunjang hukum administrasi dalam arti hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Kurangnya penjelasan mengenai bagaimana penerapan asas subsidiaritas dalam konteks penegakan hukum lingkungan, menyebabkan timbulnya berbagai silang pendapat tentang sanksi yang mana yang seharusnya diterapkan terlebih dahulu dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997.

The legislative policy about criminalization in Law Statue No 23/1997 about environment conservation, applied based a reason every activity that could pollution and destroy environment is not suitable with religion, Pancasila and UUD 1945 values and as media for government policy, especially for saving and defending development policy based on life environment orientation. Law tendencies that covered in this criminalization is for existence of environmental, protecting public health and human being. Trough criminalization in environmental, every activity that caused or potentially caused pollution of environmental could be punishing by crime law. But according to perspective that almost of environment law is administration law, crime law could give contribution toward administration law, in a meaning that crime law must be enforcement in another legal subject. Such as administration sanction and reconciliation of environment conflict is ineffectively and level of crime activity and it could cause a horror of public. Less explanation about applied sub siderite aspect in legal enforcement context caused many miss understanding about sanction that should be applied firstly, in facing many criminalities as mentioned in Law Statue No 23/1997."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26064
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Riyatno
"Paling tidak ada empat alasan penting bagi penelitian mengenai perlindungan lingkungan hidup dalam perdagangan internasional, khususnya berkaitan dengan ekspor Indonesia di bidang produk perikanan dan kehutanan. Pertama, ada kecenderungan bahwa penerapan hambatan non-tarif, terutama dari negara-negara maju, semakin meningkat, dan salah satu aspeknya terkait dengan masalah lingkungan hidup. Kedua, produk perikanan dan kehutanan merupakan komoditi unggulan perolehan devisa Indonesia , sehingga apabila komoditi tersebut mendapat hambatan ekspor, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat terganggu. Ketiga, produk perikanan dan kehutanan sangat rentan terhadap masalah lingkungan hidup karena produk tersebut berasal dari sumber daya alam (SDA). Keempat, banyak produk perikanan dan kehutanan diekspor ke negara-negara maju yang konsumennya peka terhadap masalah lingkungan hidup."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
D568
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Sood
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
TA3620
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nursid Sumaatmadja
Bandung: Alfabeta, 1996
572 NUR m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>