Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56498 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maria Nestri Rahayu
"Maria Nestri Rahayu, 0701160216. Problem Subjek dalam Konsep Hiperealitas Jean Baudrillard; Analisa Filosofis film The Truman Show. (Di bawah bimbingan Bapak Tommy F Awuy). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005. Untuk memahami konsep hiperealitas terutama problem subjek yang dikemukakan Jean Baudrillard perlu dilakukan penelusuran terhadap sejarah perkembangan filsafat mengenai tema-tema tersebut. Diawali dengan konsep realitas yang berkembang pada Taman Yunani, yaitu realitas sebagai substansi dasar pembentuk alam, yang terletak di bawah payung metafisika. Pada masa modern, pemahaman mengenai realitas diperoleh saat mencari pengetahuan yang benar dan tepat, Realitas berada baik dalam wilayah metafisika maupun episteinologi. Realitas bergeser menuju lingkup Filsafat Bahasa sejak hadirnya kaum strukturalis. dare sinilah, realitas mengalarni revolusi di dalam warna dekonstruksi, di bawah bendera postrukturalis. Adanya dekonstruksi membawa Jean Baudrillard untuk merumuskan sebuah konsep baru mengenai realitas, yaitu hiperealitas. Hiperealitas adalah era yang dituntun oleh model-model realitas tanpa asal usul dan referensi. Dunia yang nampak lebih real daripada realitas itu sendiri. Dalam wacana hiperealitas sudah tidak ada lagi subjek yang dapat diketahui. karena seluruh aspek kehidupan telah melebur dalam simulakrum, demikian halnya dengan subjek dan objek. Konsekuensi logis dari meleburnya subjek-objek adalah tidak adanya lagi subjek yang menandai hiperealitas. Kita tidak menyadari bahwa seluruh aspek kehidupan kita pun tidak lebih dari sebuah simulakrun besar. Pada saat manusia ikut terlarut di dalam sistem penandaan, maka terlihat tidak adanya lagi pemisahan antara subjek dan objek. Semuanya melebur dalam hiperealitas. Permasalahan mengenai relasi subjek-objek tidak terlepas dan problem realitas. Cara pandang mengenai realitas berimplikasi logis terhadap pengertian relasi subjek-objek. Para filsuf alam mengatakan bahwa subjek manusia berada di dalam himpunan objek (alam). Para pemikir modern memandang manusia sebagai pusat segala sesuatu yang dapat mengamati hal-hal di luar manusia (objek). Subjek modern mengambil jarak dengan objek, teljadi pemisahan tegas antara subjek dan objek. Fenomenologi mendamaikan pemisahan ini dengan intensionalitas-nya. Menghilangnya dikotomi subjek-objek nampak jelas ketika Derrida mengemukakan konsep Dasein, dan semakin dipertegas pada saat Wittgenstein dan Derrida mengemukakan mengenai permainan bahasa dan dekonstruksi. Melalui film The Truman Show, pemikiran Baudrillard yang cukup rumit, diturunkan dari tataran konsep ke tataran praktis, yang berada sangat dekat dengan kehidupan kita. Konsep hiperealitas, strategy of the real, dan problem subjek Film Truman Show merupakan film yang menceritakan mengenai reality show dalam bentuknya yang paling ekstrim. Di sini kita dapat inelihat dengan jelas betapa suatu bentuk simulakrum yang dibuat demi kepentingan tertentu, berhasil menyihir masyarakat untuk terus-menerus menyaksikannya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S16179
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Novelia
"Media dewasa ini berada dalam tahap perkembangan yang paling krusial, dimana media massa tidak lagi menjadi penyebar realitas, tetapi sudah menjadi penyebar hiperrealitas. Hiperrealitas adalah era yang dituntun oleh model-model realitas tanpa asal-usul dan referensi. Dunia yang nampak lebih real daripada realitas itu sendiri. Media sangat menentukan bagaimana masyarakat memandang dunia dan menyikapi kehidupan berkat kemampuannya memanipulasi realitas menjadi hiperrealitas. Realitas sosial direkayasa sedemikian rupa oleh sejumlah besar pesan dan tanda yang torus menerus ditampaikan oleh media. Seperti yang dikatakan oleh Marshall McLuhan, seorang teoritikus media sekaligus pakar komunikasi yang juga menjadi acuan hagi sosiolog sekaligus ahli tilsafat posmodern Jean Baudrillard, bahwa media massa adalah suatu kekuasaan. la berkuasa menciptakan pesan yang tidak lain menurut Baudrilllard adalah tanda. Menurut McLuhan media adalah pesan dan juga perluasan tubuh manusia (Medium is a message : L:rteniion_s q/ Man). Kalau radio adalah perpanjangan telinga manusia, koran adalah perpanjangan mata manusia, mobil adalah perpanjangan kaki manusia, maka televisi adalah perpanjangan otak manusia. Media sebagai sebuah pesan dapat dilihat dari bentuk atau format tampilannya. Sebuah tayangan sinetron misalnya, yang menarik bukan hanya isi pesannya tetapi juga bagaimana pesan itu dikemas. Sinetron sebagai media kekuatannya terletak pada kemampuan untuk merekayasa fakta dan fiksi, realitas dan ilusi, kebenaran dan kepalsuan dalam rangkaian tanda. Yang cukup merisaukan pada perkembangan tayangan sinetron dewasa ini adalah pada sistem yang melekat didalamnya yaitu keharusan untuk setiap saat menghibur nasyarakat. Bahayanya bukan terletak pada keterhiburan masyarakat, melainkan bahaya lanjutannya yakni masyarakat menjadi lupa akan realitas real sehari-hari. Padahal realitas yang ditampilkan sinetron bukanlah realitas real, melainkan citraan abstrak hasil rckayasa. Kekuatan yang lain yang juga rnerupakan kunci kekuatan sinetron sebagai media adalah 'bentuk'-nya. Bentuk suatu media mempengaruhi bagaimana massa menerima informasinya. Dengan bentuknya yang ideal, sinetron sebagai media mampu memanipulasi segala sesuatu yang sesuai dengan kepentingan kapitalisme global yang menghidupinya. Sinetron mampu merekayasa konteks waktu dari suatu peristiwa atau hal dan membuat segalanya masuk dalam konteks 'kekinian' yang semu. Sinetron sebagai media mereproduksi segala kenangan masa lampau dan ilusi masa depan menjadi fakta semu yang sedang berlangsung. Sinetron telah menciptakan tanda-tanda semu. Seperti yang diungkapkan Baudrillard, media menciptakan realitas simulasi, suatu rangkaian tanda yang tak lagi diketahui mana yang otentik dan mana yang tiruan, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang real dan mana yang palsu. Realitas simulasi yang diciptakan media, menjadikan kode sebagai prinsip utama dalam kehidupan sosial ini. Simulasi dan kode menarik seluruh realitas menuju hiperrealitas..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S16178
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khaulah
"Postmodernisme muncul dilatarbelakangi oleh kesadaran akan tidak ada lagi suatu stabilitas dan sering kali akan tidak mungkinnya ada perbedaan antara suatu realitas dan simulasi. Postmodernisme memiliki tujuan untuk menciptakan ekspresi baru bukan hanya melalui seni namun juga kultur. Akibatnya, kota-kota era Postmodern berhubungan dengan suatu image tertentu akan perkotaan, yang terdiri dari konglomerasi ide dan gambar. Ide akan postmodernisme memiliki keterkaitan dengan ruang-ruang simulasi dan kehidupan hiperrealitas. Dampak negatif dari hiperrealitas terlihat dari sisi media dan literatur yang merupakan ancaman untuk masyarakat kontemporer dalam kaitannya dengan realitas dan representasi. Film mampu menangkap krisis Postmodern baik dalam penggunaan gambarnya secara visual maupun kemampuannya untuk berubah beriringan dengan ruang dan waktu. Skripsi ini bertujuan untuk melihat ide tentang hiperrealitas dan simulasi dari teori Postmodern bisa membantu kita memahami realitas dalam pengalaman kehidupan di ruang urban dan bagaimana media berperan membentuk image hiperrealitas ruang urban. Skripsi ini juga bertujuan untuk melihat analisis hiperrealitas dari media film The Truman Show dengan ide tentang kehidupan di era Postmodern yang direfleksikan terhadap ruang urban nyata

Postmodernism emerged as a result of the awareness that there is no longer stability and often an impossible difference between reality and simulation. The idea of postmodernism is related to the theory of simulation and images of hyperreality. The negative impact of hyperreality can be seen from media and literature, which pose a threat to contemporary society in terms of reality and representation. Film has an ability to capture the Postmodern crisis, with its visual use of images, with its ability to change continuously. The purpose of this study is to see how the characteristics of postmodernism can affect reality inside of an urban system, to see how the image of hyperreality can be understood through films, and to see where the role of media becomes significant in delivering information related to reality. This study also aims to see the effect of hyperreality, through the reflection from the The Truman Show film’s analysis, on today’s real urban spaces."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andini Murti
"Skripsi ini membahas consumer society dari pemikiran Jean Baudrillard dan Herbert Marcuse dan melakukan analisa komparasi terhadap pemikiran kedua filsuf tersebut. Marcuse merupakan filsuf teori kritis dari Mazhab Frankfurt yang mengkritik masyarakat industri maju mengenai yang memiliki suatu gaya hidup konsumtif akibat tendensi totalitarian dari teknologi. Individu pada masyarakat industri maju telah terbuai oleh kemudahan-kemudahan yang dihasilkan oleh teknologi dan terbuai oleh barang-barang yang berlimpah yang dihasilkan oleh teknologi serta terbuai oleh iklan-iklan yang terus menerus mengondoktrinasikan individu untuk terus menerus mengkonsumsi kebutuhan palsu (false needs) yaitu kebutuhan yang tidak benar-benar dibutuhkan oleh konsumen. Marcuse berpendapat bahwa gaya hidup konsumtif tersebut merupakan gaya hidup yang disenangi oleh masyarakat industri maju, sehingga individu pada masyarakat industri maju telah kehilangan kekuatan untuk berpikir kritis dan untuk mengadakan perlawanan terhadap teknologi dan gaya hidup konsumtif tersebut.
Baudrillard merupakan filsuf postmodern yang mencoba menganalisa mengenai consumer society dalam relasinya dengan sistem tanda. Menurutnya, dalam consumer society yang dikonsumsi bukanlah komoditas, melainkan mengkonsumsi tanda. Tanda itu berupa pesan dan citra yang dikomunikasikan lewat iklan. Menurut Baudrillard, yang berfungsi sebagai sarana untuk mengkomunikasikan tanda kepada konsumen adalah iklan dan yang dikonsumsi oleh consumer society bukanlah kegunaan dari suatu produk, akan tetapi citra atau pesan yang ditawarkan oleh produk tersebut melalui iklan. Baudrillard berpendapat bahwa konsumsi tidak lagi dilakukan karena kebutuhan, dan konsumsi juga tidak dilakukan untuk mendapatkan kepuasan atau kenikmatan akan tetapi konsumsi ditujukan untuk mendapatkan status sosial tertentu. Marcuse dan Baudrillard sama-sama membicarakan mengenai consumer society, namun ada beberapa perbedaan mendasar dari pemikiran mereka.
Kedua filsuf tersebut memiliki perbedaan mengenai konsep logika yang mendasari consumer society. Marcuse berpendapat bahwa ada suatu logika totalitarian yang membentuk consumer society, sedangkan Baudrillard berpendapat bahwa yang membentuk consumer society adalah suatu logika sosial diferensiasi. Menurut Marcuse, teknologi memproduksi barang-barang yang berlimpah, yang kemudian dipaksakan kepada konsumen lewat iklan-iklan. Tendensi totalitarian dari teknologi tersebut membuat masyarakat industri maju memiliki suatu gaya hidup yang konsumtif, gaya hidup untuk terus menerus mengkonsumsi kebutuhan-kebutuhan palsu. Berbeda dengan Marcuse, menurut Baudrillard yang membentuk consumer society adalah logika sosial diferensiasi, yaitu keinginan individu untuk terns menerus mengkonsumsi dengan tujuan untuk mencapai status sosial tertentu atau gaya tertentu. Konsekuensi logisnya adalah, Marcuse menyatakan bahwa individu tidak memiliki kesadaran dalam mengkonsumsi, sedangkan Baudrillard menyatakan bahwa individu memiliki kesadaran dalam mengkonsumsi.
Dampak dari adanya kesadaran tersebut, Baudrillard mengatakan bahwa konsumen dapat melakukan penolakan terhadap konsumsi, sementara Marcuse mengatakan konsumen tidak dapat melakukan penolakan terhadap konsumsi. Di samping perbedaan-perbedaan tersebut, kedua filsuf ini memiliki persamaan, yaitu konsumsi merupakan sesuatu yang dipaksakan kepada konsumen dan iklan merupakan sarana untuk memanipulasikan produk-produk kepada konsumen. Pemikiran kedua filsuf tersebut sangat relevan pada masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang terperangkap antara logika totalitarian dan logika sosial diferensiasi. Pada masyarakat agraris yang tingkat pendidikannya rendah dan tingkat kemiskinannya tinggi berlaku logika totalitarian, sedangkan pada masyarakat komputer yang tingkat pendidikannya tinggi berlaku logika sosial diferensiasi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S15994
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfira Astari
"Skripsi ini mencoba untuk menganalisa masyarakat konsumen yang ada pada era kontemporer menggunakan teori masyarakat konsumen miliki Jean Baudrillard melalui bukunya yang berjudul The Consumer Society. Penulisan ini ingin menunjukan bahwa di dalam mengkonsumsi suatu objek, manusia tidak lagi mementingkan nilai guna dari suatu objek tersebut, melainkan nilai tanda dari suatu objek. Dapat dikatakan bahwa terdapat pergeseran makna dari kegiatan konsumsi yang terdapat pada masyarakat tersebut. Masyarakat saat ini dapat dikatakan juga sebagai masyarakat konsumen, karena sebagian besar masyarakat tersebut telah mengalami pergeseran makna dalam mengkonsumsi suatu objek. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam masyarakat konsumen akan selalu terdapat budaya massa yang memiliki kekuatan untuk memberikan pengaruh kepada masyarakat untuk terus mengkonsumsi suatu objek. Budaya massa ini memberikan dampak yang buruk bagi masyarakat konsumen sehingga membuat masyarakat ini akan kehilangan otentisitas dirinya. Banyak faktor yang sebenarnya tidak disadari oleh masyarakat konsumen dalam mengkonsumsi suatu objek dan hal tersebut lah yang ingin ditunjukan dalam penulisan karya ini.

This undergarduate thesis tries to analyze consumer societies in the contemporary era, using the consumer societies theory of Jean Baudrillard through his book called The Consumer Society. This undergraduate thesis showed that in the consuming an object people didn’t see the use value from that object but they only saw the sign value of an object. There is a shift in the meaning of consumption in the society. The society right now also says as a society consumers, because most of those society has experienced shifts meaning in consume any object. It because that in consumer society will always guiler mass culture which having a power to give impact towards community to consume an object. These mass culture povided the bad effect for the consumer society untill all those people in that society lost their authenticity. Many factors which are not realized by consumers society in consuming an object and this analysis will show all those factors."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S46737
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Xemandros, Wolfgang Sigogo
"Iklan sebagai salah satu bentuk masivitas informasi, bekerja di dalam prinsip semiotik, yakni mengenai relasi tanda. Relasi tanda ini tidak lagi bersifat referensial, melainkan berupa manifestasi dari pertukaran simbolik. Kondisi ini adalah apa yang disebut sebagai hiperrealitas oleh Jean Baudrillard; suatu situasi di mana kita tidak lagi bisa membeda-bedakan status realitas. Iklan pada akhirnya bekerja di dalam prinsip hiperreal.

Advertising, as a massively form, run in the semiotics principle. This semiotics is not longer referential, but a form of symbolic exchange. This situation is what Jean Baudrillard call hyperreality; a situation which we are not able to classify the reality. Advertising, as Baudrillard thought, run in hyperreal principle."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S16024
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adelina Ayu Lestari
"Seorang konsumen membeli suatu objek untuk menghabiskan nilai gunanya.Namun, masyarakat konsumerisme merlukan barang bukan untuk mengonsumsi nilai guna, melainkan untuk nilai simbolik.Bagi masyarakat konsumeris, nilai simbolik pada suatu objek lebih penting daripada nilai guna karena nilai simbolik dapat memberikan mereka status dan kehormatan.Peran media dan teknologi sangat berpengaruh. Hal tersebut tidak berlaku pada karakter Nenek dalam komik Saga no Gabai Bachan Nenek Hebat dari Saga .Nenek memang miskin. Membeli barang yang memang ia butuhkan saja sulit, tapi anehnya Nenek menjalani hidupnya dengan bahagia dan selalu merasa cukup. Cara yang ia lakukan untuk dapat bertahan hidup di tengah masyarakat konsumeris adalah mengamali ajaran bersyukur dari agama Buddha. Sang Buddha mengajarkan umatnya untuk melihat segala sesuatu apa adanya. Berkat ajaran tersebut, Nenek berhasil membuktikan jikaia bisa hidup ditengah masyarakat konsumeris, meskipun tanpa memiliki banyak harta.

A consumer buys an object by the purpose of using its functional value. On the contrary, the purpose of consuming objects on consumerist society is not to pursue the use value, but to find the symbolic value of the objects. For them, symbolic value of an object is more important than functional value because it could give them status and prestige. The role of media and technology is very influential on this matter. However, this statement is not happening to The Grandmother character from Saga no Gabai Bachan Great Old Lady from Saga comic. The Grandmother is poor and it rsquo;s hard for her to buy things she really needs. Yet, she lives her life happily and fulfilled. The way she does to survive in the middle of consumerist society is by implementing Buddhist teaching of being grateful. Buddha taught his follower to see everything as it is. By implementing Buddhist teaching of gratefulness, The Grandmother proves that she can survive in the middle of consumerist society without having a need to be rich.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Apriyagung
"Di dalam filsafat manusia, kita mengenal Cinta dalam posisinya yang berada di dalam wilayah afektivitas. Terkait dengan Cinta dan manusia, maka Cinta memiliki peran yang sangat dominan dalam mempengaruhi manusia untuk bersikap maupun bertindak di dalam kehidupan sosialnya. Di satu sisi Cinta dapat dijadikan landasan manusia untuk bersikap dengan penuh kasih sayang terhadap dunia dan sesamanya, tetapi di sisi yang lain Cinta justru kental dengan nuansanya yang penuh dengan sisi emosionalitas, irasionalitas manusia yang sering kali mengarahkan manusia untuk bersikap secara antipati yang akhirnya membawa manusia tersebut pada kebelengguannya sendiri.
Melalui teks The Symposium, penulis dapat memberikan pendeskripsian tentang letak Cinta secara filosofis dengan mengangkat Cinta platonis dan relevansinya terhadap permasalahan kontemporer Cinta di dalam kehidupan manusia saat ini. Inilah alasan penulis mengangkat perspektif tiga tokoh eksistensialist yang kiranya cukup mempunyai keterkaitan yang ""erat"" dengan konsep Cinta platonis dan bagaimana penyikapan manusia dengan Cinta-nya terhadap Yang lain tercermin di dalam konsep mereka masing-masing. Para eksistensialist tersebut adalah Jean Paul Sartre, Martin Buber dan Emmanuel Levinas.
Dengan melakukan perbandingan tentang konsep Cinta masing-masing tokoh, penulis ingin menghadirkan bagaimana relasi Aku-Yang lain umumnya terbangun justru dengan pendasaraan ontologis kebebasan subjek yang sekaligus mengindikasikan adanya tanggungjawab subjek atas diri Aku dan Yang lain. Tanpa adanya kebebasan tersebut diri Aku sebagai subjek tak mungkin bebas dan oleh karenanya nilai tanggungjawab tidak lagi menjadi bagian diri Aku terhadap Yang lain. Setiap arah dari perkembangan relasi antara Aku dengan Yang lain selalu diatasnamakan pada adanya keterpahamian diri Aku atas Yang lain. Yang lain harus dapat dipahami atau ada-nya dapat didasarkan pada perspektif Aku. Dalam hal ini maka pengetahuan memegang peran yang besar dan menentukan tentang bagaimana Yang lain dapat disikapi secara tepat dan sesuai dengan egologis Aku.
Melalui Sartre dan Buber penulis mendapatkan konsekuensi konsep Cinta antara yang tak mungkin dan yang mungkin. Dua bipolaritas Cinta yang ternyata telah dijelaskan dalam konsep Cinta platonis. Dimana di antara keduanya masih mengandaikan pengetahuan sebagai segalanya yang dapat menjamin pada bentuk relasi Cinta Yang Baik sebagai tujuan dalam membina relasi dengan Yang lain. Tanpa disadari ataupun tidak, konsekuensi logis dalam relasi Cinta tersebut adalah "menarik" Yang lain ke dalam perspektif Aku yang terarah pada bentuk harmonitas dan similaritas yang lagi-lagi cenderung egologis. Oleh karena itu penulis akan mengangkat pemikiran Levinas dengan etika sebagai bentuk filsafat pertamanya yang menekankan relasi etis asimetrisnya dengan Yang lain.
Melalui Levinas penulis memahami bahwa relasi dengan Yang lain adalah relasi keberpihakan yang tidak bisa selalu mengandalkan pengetahuan dengan keterpahamian diri Aku yang egologis. Cinta sebagai hasrat dasariah manusia justru memiliki karakteristik yang mendukung eksistensi diri Aku yang berelasi etis dengan Yang lain. Hal ini terbukti dengan adanya keberpihakan Aku..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T37486
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eco, Umberto
Bandung: Jalasutra, 2005
813 Eco t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Eco, Umberto
Yogyakarta: Jalasutra, 1986
303.482 ECO t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>