Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 127420 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Taufik Basari
"Dari uraian latar belakang masalah tersebut akan muncul beberapa pokok permasalahan. Pertama, bagaimanakah pokok-pokok pemikiran John Locke mengenai hak-hak yang inherent pada manusia dan mengapa pemikiran Locke tersebut dikatakan sebagai prinsip-prinsip Hak-Hak Asasi Manusia ? Kedua, bagaimanakah hakikat negara menurut John Locke ? Ketiga, bagaimana hubungan negara dengan perlindungan prinsip-prinsip Hak asasi Manusia tersebut dan mengapa perlindungan mengenai hak-hak tersebut dijadikan dasar bagi filsafat politik John Locke dalam membahas mengenai kekuasaan dan hukum suatu negara ?Dari uraian pokok-pokok permasalahan yang muncul di atas maka secara singkat dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut : 1. Bagaimanakah dasar pemikiran John Locke mengenai hak-hak manusia yang kemudian menjadi dasar pemahaman bagi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia? 2. Bagaimanakah hubungan negara dengan perlindungan prinsip-prinsip Hak-Hak Asasi Manusia dalam pemikiran John Locke ? 3. Mengapa negara mempunyai kaitan dengan perlindungan prinsip-prinsip Hak-Hak Asasi Manusia ?"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S16118
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Siti Chotidja
"Sepuluh Toserba di DKI langgar Perda, demikian pemberitaan dalam Kompas, Senin 31 Maret 2008. Kesepuluh Toserha dikatakan melanggar Perda dimaksud karena belum memenuhi kewajiban menyediakan ruang tempat usaha bagi usaha kecil atau informal seluas 20 persen dari bangunan. Bagaimanakah epistemologi Derrida akan menemukan jejak hak asasi manusia dalam prinsip-prinsip kapitalisme yang tersirat dalam Perda no. 2 tahun 2002 Tentang Perpasaran Swasta dan dalam praxis kapitalisme saat ini? Prinsip utama kapitalisme adalah kebebasan, antara lain kebebasan dalam berkontrak.
Prinsip utama hak asasi manusia juga kebebasan antara lain kebebasan untuk nafkah yang layak. Kebebasan dalam kapitalisme dan kebebasan dalam hak asasi manusia, berujung pada tujuan yang sama yakni 'the good life (kehidupan yang baik). Kapitalisme adalah sistim sosial yang mengakui hak individu dan melarang pengunaan kekerasan dalam hubungan antar manusia. Pada dasarnya hak hanya bisa dilanggar dengan kekerasan. Larangan melakukan kekerasan berarti implementasi praktis pengakuan hak individu. Pengakuan atas hak individu mengharuskan penghapusan penggunaan kekuatan kekerasan dalam hubungan hermasyarakat.
Pengakuan atas hak individu berarti mengakui bahwa manusia berhak sepenuhnya atas diri, pikiran, hidup, pekerjaan dan hasil pekerjaan atau usahanya.Bagi Rawls, ada dua prinsip yang disebutnya sebagai prinsip-prinsip keadilan yang akan membimbing sesama manusia dalam mendapatkan kehidupan yang baik. Dua prinsipnya ini berurutan dengan kebebasan menduduki posisi tertinggi. Disamping ini, bagi Rawls usaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya adalah sahih. sepanjang yang paling terpuruk juga diuntungkan.Bagi Derrida, sebuah teks sarat dengan banyak dinamika dan makna.
Kebenaran tidak satu dan baku dan ia menganjurkan agar kita jangan terlalu cepat menyatakan makna sebuah teks karena sebuah teks senantiasa berkorelasi, sebuah teks adalah kontekstual dan interkontekstual sehingga selalu mengandung kemungkinan makna¬makna yang lain.Dengan prosedur yang diberi nama 'dekonstruksi' Derrida berusaha mencairkan setiap pembakuan makna dan mempersoalkan secara radikal setiap pemastian makna teks.
Dekonstruksi adalah cara interpretasi, bukan dengan merekonstruksi kembali sebuah makna atau jaringan makna dengan mencoba merekonstruksinya dari sudut penulis sebagaimana dilakukan Dilthey, atau sebaliknya dari sudut pembaca sebagaimana dilakukan Ricoeur. Bagi Derrida, rekonstruksi makna sebuah teks untuk mendapatkan makna asali adalah mustahil karena adanya kendala jarak waktu antara pengarang dan pembaca dan juga karena tidak ada ur-text atau sub-text, tidak ada makna 'origin' (makna asli) sebagaimana dimaksud oleh pengarangnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
T24757
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Locke, John
London ; New York: Routledge, 2000
R 121 JOH
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Untung Ongkowidjaja
"ABSTRAK
Melalui penulisan tesis ini pada dasarnya penulis mencoba menemukan pnnsip-prinsip yang mendasari adanya kebutuhan akan hak-hak azasi manusia. Bagaimana keterkaitan antara konsep gambaran manusia dengan tuntutan-tuntutan atau hak-hak azasi itu? Dan bagaimana menempatkan hak azasi manusia di dalam konteks yang sesuai? Jawaban terhadap masalah itulah yang hendak dikemukakan lewat tesis ini.
Dalam hipotesis penulis berasumsi bahwa setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini, sama-sama memiliki hak untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Namun demikian, terdapat konsep yang berbeda-beda mengenai gambaran apa yang dimaksud dengan ?manusia seutuhnya?. Karena perbedaan persepsi tentang gambaran manusia seutuhnya, maka mengakibatkan tuntutan akan hak-hak azasi yang berbeda pula. Dengan demikian, penulis berasumsi bahwa ada keterkaitan erat antara konsep citra manusia dengan tuntutan hak azasi manusia.
Pertama-tama penulis memperlihatkan prinsip Hukum Kodrat sebagai dasar legitimasi hak-hak azasi manusia khususnya lewat pemahaman John Locke. Hukum Kodrat dipandang identik dengan hukum alam dan merupakan hukum moral bagi manusia untuk mengetahui tentang yang adil dan yang tidak. Bagi John Locke Hukum kodrat adalah perintah dari Tuhan, karena itu bersifat mengiat manusia. Tuhan mempunyai kuasa untuk mewajibkan manusia melakukannya. Hukum kodrat hanya bisa dipengerti oleh makhluk rasional.
Menurut Locke manusia secara kodrati bersifat rasional, sehingga terdapat keselarasan antara hukum kodrat dan rasio manusia. Sekali manusia dilahirkan ia memiliki kesempatan untuk hidup dan menikmati kehidupan itu sendiri. Semua manusia yang dilahirkan memiliki derajat yang sama, sehingga tidak boleh saling merugikan. Jadi, gambaran manusia yang seutuhnya adalah manusia yang dapat menikmati hidup dan benda-benda yang menjadi miliknya, sesuai dengan usaha dan masing-masing individu.
Dalam rangka itu, maka tuntutan hak yang dibutuhkan adalah hak atas hidup, hak atas kebebasan dan hak atas milik pribadi. Dan hak azasi itu diperoleh berdasarkan pemberian dari Tuhan.
Kedua penulis memperlihatkan prinsip utilitarianisme sebagai dasar dalam pembemtukan hak azasi manusia, khususnya lewat pemahaman John Stuart Mill. Utilitarianisme sendiri dimengerti sebagai suatu pemahaman yang menekankan aspek kegunaan atau manfaat bagi John Stuart Mill di dalam kesenangan-kesenangan ada perbedaan-perbedaan kualitatif intrinsik. Patokan untuk melihat perbedaan kwalitatif intrinsik ini mengacu pada cita-cita tentang manusia, di mana manusia melakukan kesenangan itu dalam rangka atau berguna untuk mengembangkan dan menyempurnakan kodratnya sebagai manusia.
John Stuart Mill memahami bahwa manusia dilahirkan bukan dalam keadaan yang utuh - sempuma. Karena itu ia membutuhkan sarana untuk berkembang dan menyempumakan dirinya sebagai manusia. Masing-masing manusia memiliki perbedaan watak, dan karena keunikan inilah maka manusia membutuhkan keleluasaan untuk berkembang ke arah jadi dirinya. Di sini terdapat aspek individualitas. Pola dasarnya manusia dilahirkan makhluk rasional, maka kebahagiaan terletak pada kebebasan untuk berpikir dan berdiskusi.
Untuk itu perlu ada jaminan akan kebebasan untuk berpikir dan berdiskusi, kebebasan untuk bertindak sesuai dengan pendapatnya, sejauh tidak merugikan orang lain - di dalam rangka idividualitasnya. Selanjutnya dibutuhkan batas-batas wewenang masyarakat atas individu. Dalam hal ini pada dasarnya hak azasi manusia diperoleh berdasarkan solidaritas manusia yang hidup di dalam suatu masyarakat.
Ketiga, penulis memperlihatkan suatu pemahaman yang didasarkan pada filsafat Eksistensial-humanistik, yaitu suatu pemahaman yang menekankan adanya atau kehadiran atau eksistensi manusia yang memiliki values baik pada dirinya sendiri, maupun dalam kaitannya dengan semesta. Untuk itu penulis berusaha memaparkan pendekatan psikologis eksistensiat-humanistik Abraham Maslow.
Bagi Abraham Maslow manusia bereksistensi di dunia yang tidak kosong karena ada banyak individu di dalamnya. Manusia memiliki nilai-nilai, kebutuhan-kebutuhan dasar yang bersifat hierarkhis dan ia pun memiliki potensi-potensi alamiah, serta kemampuan untuk berkembang secara psikolagls. Setiap individu pada dasarnya dapat mengembangkan dirinya semaksimal mungkin ke arah aktualisasi diri.
Menurutnya manusia yang seutuhnya adalah manusia yang sudah mencapai taraf teraktualisasikan dirinya. Karena konsep manusia yang seutuhnya adalah manusia yang mengaktualisasikan din secara maksimai, maka ada prakondisiprakondisi yang dibutuhkan (dapat dilihat sebagai hak azasi) individu yang harus tercipta dalam suatu masyarakat. Prakondisi-prakandisi itu adalah Kemerdekaan untuk berbicara, Kemerdekaan untuk melakukan apa saja - sejauh tidak merugikan orang lain, kemerdekaan untuk menyelidiki, kemerdekaan untuk mempertahankan atau membela diri, adanya nilai-nilai atau prinsip yang beriaku atau diyakini dan dijamin, seperti keadilan, kejujuran, ketertiban, kewajaran. Dengan demikian prakondisiprakondisi yang dapat dilihat sebagai HAM dalam bahasa hukum adalah hak-hak yang tercipta atas dasar kreativitas manusia.
Melalui penelusuran ini, maka penulis menyimpulkan secara induktif bahwa pertama, terdapat prinsip-prinsip yang mendasar timbulnya kebutuhan akan HAM, yaitu prinsip Hukum Kodrat, di mana HAM diperoleh berdasarkan pemberian Tuhan; prinsip utilitarianisme, di mana HAM diperoleh berdasarkan pengakuan antar manusia yang sating berbagi dan bekeija sama atau salidaritas manusia; prinsip eksistensial humanistik, di mana HAM diperoleh melalui krativitas manusia yang bereksistensi di dalam zaman. Kedua, Terdapat kaitan yang sangat erat antara gambaran mansuia dengan hak-hak yang dibutuhkannya. Melalui kesimpulan itu, maka muncul kesimpulan ketiga bahwa gambaran-gambaran tentang manusia pada zaman dan budaya tertentu berbeda. Karena itu muncullah hak-hak yang bersifat umum dan hak-hak yang bersifat khusus. Dengan demikian HAM dapat ditempatkan dalam konteksnya dengan mempbrhatikan aspek universal dan regional.
Berkenaan dengan situasi aktual yang sedang terjadi di Indoensia, maka penulis menekankan betapa penting HAM yang didasari dengan konsep gambaran yang jelas tentang siapa manusia. HAM dilihat menjadi suatu sistem nilai atau etika di dalam menggunakan kekuasaan. HAM juga menjadi suatu etika di dalam membangun bangsa dan negara atau di dalam menyusun strategi kebudayaan itu sendiri.
"
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didik J. Rachbini
"Makalah ini dimaksudkan untuk membahas konsep hak asasi manusia dalam aspek ekonomi dan sosial serta implementasinya di Indonesia. Hak asasi manusia dalam kehidupan ekonomi dan sosial sangat komprehensif, tetapi khususnya dapat dibatasi pada hak atas pekerjaan dan penghidupan, hak untuk mendapatkan upah yang setara, hak perumahan, hak standar hidup yang layak, hak kesehatan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Hak asasi manusia sebagai norma universal telah dikenal selama ratusan tahun di negara-negara barat. Undang-Undang Dasar 1945 mengakui hak asasi manusia dan telah diaktualisasikan dalam kegiatan sehari-hari. Salah satu kebijakan yang berhasil dalam mewujudkan jaminan kesehatan sosial, pemerintah telah berhasil sejak era Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan hingga saat ini, Joko Widodo."
Jakarta: Lembaga Pangkajian MPR RI, 2019
342 JKTN 12 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Forsythe, David P., 1941-
Bandung : Angkasa, 1993
341.48 FOR h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"There are three aspects which cannot be separated in the discussion of freedom. They are the human rights, democracy, and the religion plurality. The universal human rights posses a normative power because it causes the regularity of law and politic based on the freedom and equal participation. The universality of the human rights principles is a fact has been permanently constructed. At least there are three parameters to judge the human rights . They are geographical parameters, humanity parameters , and religion parameters."
297 AHKAM 14:1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Didi Sunardi
"Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) kepada setiap warga negara di Indonesia, khususnya dalam hal ini tersangka/terdakwa seperti yang tertera di dalam Pasal 52 KUHAP tentang memberikan keterangan secara sukarela dalam proses pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP) masih sangat jauh bahkan belum sama sekali terwujud karena belum adanya pelaksanaan yang nyata dalam praktek proses penyidikan dalam pembuatan BAP. Adapun penelitian ini mempunyai tujuan sehagai berikut: untuk mengetahui HAM seorang tersangka/terdakwa, untuk mengetahui latar belakang siapa yang melindungi HAM tersangka/terdakwa, untuk mengetahui alasan-alasan mengapa negara harus melindungi HAM tersangka/ terdakwa, serta untuk mengetahui yang menjadi kendala HAM tersangka/terdakwa tidak berjalan dalam proses penegakan hukum pidana di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari bahan kepustakaan sehingga penelitian ini dapat digolongkan ke dalam jenis penelitian hukum normatif.
Untuk menunjang penelitian ini, penulis juga melampirkan hasil wawancara dengan para narasumber, yaitu kepada instansi kepolisian, kejaksaan, kehakiman, advokat, dan tersangka/terdakwa yang menjadi korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun pejabat pemerintah dalam kasus pembunuhan seorang aktivis buruh di Surabaya yang bernama Marsinah.
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia berkewajiban melindungi HAM setiap warga negaranya tanpa membedakan agama, warna kulit, ras, suku, ideologi, miskin atau kaya, militer atau sipil. Proses penegakan hukum pidana di Indonesia mempunyai berbagai kendala, yang paling besar adalah adanya pelanggaran HAM terhadap tersangka/terdakwa berupa penyiksaan dan penganiayaan di setiap proses penyidikan di dalam proses pembuatan BAP yang akhirnya hasil dari putusan akhir dari pengadilanpun cacat demi hukum dan telah mencoreng nama baik negara Indonesia itu sendiri, bahwa di dalam kenyataannya di negara Indonesia tidak berjalan bahkan tidak adanya budaya hukum sama sekali, padahal seringkali para aparat penegak hukum maupun pejabat pemerintah selalu menyebutkan bahwa kita (Indonesia) adalah negara yang berlandaskan atas hukum bukan atas kekuasaan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16614
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>