Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 58384 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur Listiawati
"ABSTRAK
Saul Bellow (1915- ) memang seorang novelis Amerika yang sangat terkenal. Dia pernah memenangkan Hadiah nobel atas karyanya Humbolt Gift pada tahun 1975, dan juga memenangkan _The National Book Award' tiga kali, serta 'The Prix International de Litterature_ dan beberapa hadiah lainnya.
Novel-novel Bellow mencerminkan perhatian penga_rangnya pada kehidupan manusia sebagai seorang indi_vidu yang dengan segala kekurangannya berusaha ber_adaptasi dengan kehidupan yang dikatakan 'beradab'. Keseriusan Bellow menyoroti kehidupan pribadi tokoh-_tokoh utamanya, terutama keadaan jiwa dan perilaku mereka mengakibatkan tampilnya tokoh-tokoh yang se_akan-akan nyata ada.
Semua tokoh utama novel-novel Saul Bellow merasa diri mereka tidak berpotensi dalam kehidupan sosial_nya. Sebagian dari mereka khawatir akan keadaan ini dan sebagian lain tidak memperdulikan hal itu.
Ciri-ciri yang menonjol dari tokoh-tokoh utama dalam novel-novel Saul Bellow adalah kebutuhannya untuk dicintai, baik oleh saudaranya, orangtuanya, atau oleh wanita yang dia cintai. Tetapi tragisnya orang-orang yang diharapkan mencintainya, justru tidak mempedulikan dia. Misalnya hubungan Herzog (tokoh utama Herzog,) dengan bekas istrinya Madeleine, hubungan Wilhelm (tokoh utama Seize the Day) dengan ayahnya, Augie (tokoh utama The Adventures of Augie March) dengan saudaranya, Simon, dan Charlie (tokoh utama Humbolt's Gift) dengan saudaranya, Julius.
Beberapa dari tokoh-tokoh utama dalam novel-novel Saul Bellow masih bersifat kekanak-kanakan atau tidak dewasa. Ketidakdewasaan ini mengakibatkan mereka berkonflik dengan .diri mereka sendiri, dan akhirnya dengan orang lain di sekitarnya. Mereka tidak bisa memahami siapa diri mereka sebenarnya, dan bagaimana lingkungannya. Hal ini menempatkan mereka pada posisi yang sulit. Mereka ingin sekali diakui sebagai se_buah pribadi dalam lingkungannya, tetapi karena dari diri mereka sendiri belum didapatkan identitas yang pasti, lingkungan pun sulit untuk menerima mereka sebagai pribadi-pribadi yang unik dan selaras dengan lingkungannya. Pribadi-pribadi yang unik dan selaras dengan lingkungannya adalah pribadi-pribadi yang berbeda dari orang lain dan yang dapat menempat_kan diri mereka pada posisi yang tepat dalam ling_kungan mereka. Karena merasa diri mereka tidak men_dapatkan tempat dalam masyarakatnya, timbullah rasa teralienasi. Sesungguhnya apa yang dialami tokoh-_tokoh tersebut sehingga mereka tidak mendapatkan tempat dalam masyarakatnya dan merasa teralienasi adalah karena mereka tidak sanggup menyesuaikan diri dengan lingkungannya, seperti yang dialami tokoh_-tokoh utama dalam Dangling Man, Seize the Dav, dan Henderson the Rain Kind. lnilah kesalahan yang mereka perbuat dan mereka anggap ini sebagai masa lalu. Tokoh-tokoh yang teralienasi ini berusaha untuk membayar kesalahan-kesalahan mereka dengan cara me_mandang masa lalu mereka sebagai suatu beban. Ini dikatakan John Jacob Clayton dalam bukunya Bellow: In Defense of Man :
This act of seeming alienation, is in fact performed for the community. As in so much of Bellow's fiction -- Dangling Man, Seize the Day, Henderson the_Rain King -- there is an alienated hero struggling to redeem his own life -- and, by extension, the common life -- by ridding himself of a past seen in the Metaphor of a burden.
Akhirnya tokoh-tokoh tersebut, jika mereka tidak berhasil mendapatkan identitas mereka, memandang masyarakat jahat terhadap mereka. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Seperti apa yang dikatakan Keith Michael Opdahl bahwa tokoh utama Saul Bellow adalah seorang hero Amerika yang berusaha mendapatkan kedewasaannya. Dia terombang-ambing antara kebutuhan_nya untuk dicintai dan keterlepasannya dari dunia yang tidak mencintainya, tidak seperti yang diharap_kannya. Dia tidak dewasa dan dia adalah korban dari dirinya sendiri:
Bellow's protagonist is an American hero groping toward manhood. Vacillating between a need to be loved and withdrawal from a world which doesn't love him as he wishes, he is immature and a victim of himself.
Tokoh-tokoh dalam novel-novel Saul Bellow tidak hanya terputus hubungannya dengan masyarakat (dunia) tetapi juga dengan teman-teman dan istri-istri mereka, seperti pendapat John Jacob Clayton : Bellow's characters are lonely, despairing, cut off not only from society but from. friends and wives.
Walaupun demikian, tokoh-tokoh utama Saul Bellow mempunyai kecenderungan untuk memecahkan permasalahan yang mereka hadapi. Mereka berusaha untuk mendapatkan identitas yang pasti tentang diri mereka. Seperti pendapat Carl Gustav Jung bahwa dalam diri manusia ada satu tendens yang paling dasar yaitu kecenderung_an batin untuk mewujudkan diri, untuk menjadi diri sendiri.

"
1990
S14149
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reni I. Bachtiar
"Aspek yang menonjol di dalam ketiga novel tersebut adalah penggambaran tokoh-tokoh wanita utamanya yang memiliki banyak persesuaian ciri dengan ciri para wanita pioneer yang hidup di daerah frontier.
Adapun tujuan dari karya tulis ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai ciri-ciri wanita pioneer dalam tokoh-tokoh utama wanita karya Willa Cather tersebut.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis untuk menghubungkan karya-karya tersebut dengan sejarah dan aspek-aspek wanita di abad kedelapan belas dan kesembilan belas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tokoh-tokoh utama wanita ketiga novel tersebut banyak memiliki persesuaian ciri dengan ciri para wanita pioneer yang hidup di jaman frontier. Karenanya, mereka merupakan tokoh-tokoh utama wanita pioneer."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1990
S14180
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Yulianti
"Dua bidang ilmu yang berkaitan erat dengan bahasa, yakni ilmu linguistik dan ilmu susastra, seringkali dipandang sebagai dua disiplin yang bertolak belakang dan tidak dapat disatukan. Ilmu linguistik dengan pendekatan ilmiahnya terkesan lebih sistematis dan objektif, sementara ilmu susastra dianggap lebih bersandar pada penilaian dan interpretasi subyektif. Kemudian, berkembanglah ilmu stilistika yang menjembatani perbedaan di antara kedua bidang tersebut, dengan cara menggabungkan pendekatan ilmu linguistik dan ilmu susastra untuk meneliti style atau gaya bahasa yang digunakan dalam karya sastra. Kritik terhadap karya sastra dalam analisis stilistika menjadi kuat karena didasarkan pada metode penelitian linguistik yang sistematis.
Analisis stilistika dapat difokuskan pada aspek tertentu dalam karya sastra, seperti alur cerita, tema atau penokohan. Dalam analisis penokohan, salah satu unsur yang menarik untuk dilihat lebih dalam adalah relasi kuasa antarjender yang seringkali bersifat tidak seimbang, terutama dalam karya-karya sastra berbahasa Inggris tradisional.
Dalam penelitian ini, yang ditelaah adalah relasi kuasa antara tokoh pria dan wanita dalam novel The Awakening (1899) karya Kate Chopin, yang berkisah mengenai seorang wanita yang ingin membebaskan diri dari kungkungan tradisi dan konvensi masyarakat. Edna Pontellier, tokoh utama wanita dalam novel ini, menjalin hubungan dengan tiga tokoh pria, yaitu Leonce Pontellier, Robert Lebrun dan Alcee A-robin.
Penelitian ini bertujuan membandingkan relasi kuasa di antara Edna dan ketiga tokoh pria di atas, serta mengungkap penyebab di batik bentuk relasi kuasa tersebut. Relasi kuasa di antara tokoh wanita dan tokoh-tokoh pria diteliti melalui data narasi dan dialog yang menggambarkan interaksi antartokoh. Untuk meneliti narasi digunakan teori transitivitas Halliday, sedangkan untuk meneliti dialog digunakan teori pragmatik, yaitu teori analisis percakapan dan teori FTA atau tindakan mengancam muka yang dikemukakan Brown dan Levinson.
Hasil analisis narasi dan dialog menunjukkan bahwa relasi kuasa yang ada bersifat tidak setara. Dalam relasinya dengan Robert Lebrun, Edna Pontellier memegang kuasa yang lebih besar karena posisinya yang lebih tinggi daripada Robert berdasarkan usia dan status. Akan tetapi, ia menjadi pihak yang lemah dan terdominasi dalam relasinya dengan dua tokoh, yaitu Leonce Pontellier yang unggul dalam hal usia, harta dan peran dalam keluarga, serta Alcee Arobin yang lebih aktif dalam tindakan dan ucapan. Dengan demikian, penelitian stilistika ini mengungkap bahwa ketidakseimbangan dalam relasi kuasa antara tokoh utama wanita dan tokoh-tokoh pria dalam novel The Awakening yang disebabkan oleh faktor-faktor tersebut di atas."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S14051
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paramita Ayuningtyas
"Claude J. Summer, seorang pemerhati isu homoseksualitas, mempunyai pendapat bahwa E.M. Forster percaya akan peranan positif dari homoseksualitas, yaitu meniadakan hierarki di masyarakat. Dengan kata lain, tidak akan ada lagi relasi kuasa dominan/subordinat di antara pasangan homoseksual. Asumsi Summers tersebut dijadikan pijakan dalam skripsi ini yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa masih terdapat relasi kuasa di antara pasangan homoseksual yang terdapat pada karya-karya Forster. Korpus yang dipilih untuk skripsi ini adalah cerita pendek The Other Boat yang berlatar belakang zaman kolonialisme Inggris di Asia dan novel Maurice yang mengambil latar di era Edwardian. Kedua korpus ini memiliki kesamaan terra yaitu hubungan cinta yang terjalin antara dua laki-laki yang berasal dari kelas sosial yang berbeda. Di dalam The Other Boat, hubungan homoseksual terjalin antara Lionel March dan Cocoanut, sedangkan di dalam Maurice terdapat dua pasangan homoseksual yang akan dikaji yaitu Maurice Hall/Clive Durham dan Maurice Hall/Alec Scudder. Yang dianalisis terlebih dahulu dalam kedua korpus adalah bagaimana tokoh-tokoh homoseksual dicitrakan oleh Forster dan dari pencitraan, akan dilihat apakah masih ada relasi kuasa yang bekerja di antara pasangan homoseksual tersebut. Analisis akan dilakukan dengan teori Kale Millett yang mengatakan bahwa relasi kuasa dapat bekerja pada pasangan homoseksual karena yang memengaruhi suatu relasi kuasa dalam hubungan seks bukanlah jenis kelamin namun gender para pelakunya. Teori Millett ini akan digunakan untuk menganalisis baik The Other Boat ataupun Maurice. Karena pasangan homoseksual dalam The Other Boat berbeda ras, maka teori Edward Said akan dipergunakan untuk melihat apakah terdapat ideology kolonial yang terkandung di dalam cerita pendek tersebut. Hasil analisis kemudian menunjukkan bahwa di dalam cerita pendek The Other Boat masih terdapat suatu relasi kuasa yang berdasarkan pada ras. Tokoh Lionel yang mewakili dunia Barat dicitrakan lebih superior dari Cocoanut yang berasal dari dunia Timur. Namun, hasil yang berbeda ditemukan dalam korpus Maurice. Walau terdapat perbedaan gender dan status sosial, tidak terlihat adanya suatu bentuk relasi kuasa yang jelas antara pasangan Maurice/Clive dan Maurice/Alec. Dua hasil analisis yang berbeda ini menunjukkan bahwa asurnsi Summers tidak sepenuhnya benar karena tidak semua hubungan homoseksual di dalam karya Forster meniadakan hierarki social. Di dalam karya Forster, persamaan derajat berhasil dicapai oleh pasangan homoseksual yang berbeda kelas sosial, namun bagi pasangan yang berbeda ras, masih terlihat adanya suatu relasi kuasa yang cenderung opresif. Baik di dalam The Other Boat dan Maurice, terkandung suatu relasi kuasa antara golongan heteroseksual dan golongan homoseksual di mana golongan heteroseksual sebagai pihak mayoritas menempati posisi yang dominan. Namun, di balik posisi golongan homoseksual yang dapat dikatakan tertekan, temyata di dalam golongan homoseksual sendiri masih menyimpan potensi timbulnya suatu relasi kuasa yang dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti ras, gender maupun status sosial. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa seperti juga hubungan heteroseksual, hubungan homoseksual adalah suatu hubungan personal yang rumit dan tidak dapat lepas dari wacana kekuasaan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S14002
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
P.T.A. Prihatanti
"Anton Steenwijk adalah tokoh utama dalam roman at Aanslag karya Harry Mulisch. Setelah peristiwa pembunuhan Fake Ploeg, seorang inspekstur polisi yang berkolaborasi dengan Jerman pada masa Perang Dunia II, Anton Steenwijk kehilangan seluruh keluarganya yang mengakibatkan perubahan sikap dan pandangan hidupnya. Masalah Perang Dunia II sering mewarnai karya-karya Mulisch. Ia mentransformasikan kenyataan yang ada ke dalam karya fiksinya, terutama mitos tentang Odipus. Begitu pula masalah politik dan sejarah sehari-hari yang diramu dengan masalah psikologis sering dijumpai dalam beberapa karyanya. Masalah yang demikian, melandasi pemikiran penulis untuk menganalisis roman De Aanslag., sekaligus memaparkan bahwa satu dari sekian banyak karyanya ini memang pantas mendapat penghargaan dan popular. Realitas sehari-hari dipakai sebagai alat untuk memunculkan kenyataan dalam De Aanslag. Bagi Mulisch perang adalah kebebasan dan ia ingin membangkitkan kesan optimis. Anton Steenwijk selaku tokoh utama mengalami konflik batin dalam dirinya setelah peristiwa pembunuhan Fake Ploeg. Konflik ini muncul karena Anton Steenwijk dan keluarganya merasa tidak pernah terlibat dalam pembunuhan itu. Pencarian siapa yang bersalah dan tidak bersalah mewarnai cerita dari awal hingga akhir. Pertemuannya dengan Karin Korteweg, bekas tetangganya di Haarlem yang memindahkan mayat Ploeg ke depan rumahnya, memperjelas masalah pembunuhan Ploeg yang selalu menhantui pikiran Anton. Setelah semuanya jelas, Anton segera memutuskan untuk membuang masa lalunya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak perlu dipermasalahkan lagi. Analisis penokohan dalam roman De Aanslag membuktikan bahwa suatu peristiwa dapat membuat jalan hidup seseorang berubah, terlepas dari masalah disengaja atau tidak. Pe_nyelesaian konflik dalam diri setiap insan berkaitan dengan pandangannya terhadap masalah yang dihadapi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1990
S15853
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Paramaditha
"Mary dan Percy Shelley hidup pada masa yang sama, yaitu pada zaman Romantik yang identik dengan kebebasan dan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Karena itulah mitos Promotheus --- yang menjadi inspirasi bagi suami istri Shelley --- dianggap sesuai dengan semangat zaman ini. Pada saat yang sama Prometheus juga dikenal dengan aspek kreativitasnya. Aspek ini menurut zaman Romantik menjadikan Prometheus sebagai simbol kekuatan imajinasi manusia. Di sinilah letak pengalaman sublim. Pada dasarnya pengalaman sublim adalah keadaan di mana seseorang, dengan berkontemplasi dan menggunakan imajinasinya, mampu menjangkau a living spirit di balik alam. Pengalaman ini membuat si subyek mampu merasakan inward greatness of the soul (kebesaran jiwa) dan mengantarkannya kepada tahap diri yang lebih tinggi. Inilah yang dicari oleh Frankenstein dan Prometheus. Yang ditelaah di sini adalah bagaimana pencarian pengalaman sublim mereka terkait dengan ideotogi gender.
Sublim diasosiasikan dengan alam yang serba besar, megah, dan kuat atau dengan kata lain, alam yang bersifat maskulin. Sedangkan lawannya adalah beauty (keindahan) yang terdapat pada segala sesuatu yang kecil, halus, cantik, dan feminin. Pengkontrasan maskulin-feminin di sini digunakan untuk membedakan sublim dengan yang non-sublim. Sebaliknya, konsep sublim pun ikut mengkonstruksi hubungan antargender dengan menjadi legitimasi penyingkiran perempuan dari wilayah sublim. Namun ternyata penggambaran pengalaman sublim dalam kedua karya ini tidak mencerminkan pola yang seragam. Dalam Frankenstein memang tercermin penyingkiran itu, yaitu dengan kebisuan dan bahkan kematian tokoh-tokoh perempuan saat Frankenstein mencari mimpi maskulinnya. Sebaliknya, dalam Prometheus Unbound Shelley justru menggoyahkan kestabilan maskulinitas sublim dengan menjadikan Asia sebagai pahlawan dengan kekuatan cintanya yang sebenarnya lebih identik dengan keindahan dari pada sublim.
Maka saya mencoba mencari jawaban seperti apa sebenarnya ideologi gender kedua pengarang sehingga pengalaman sublim dalam kedua karya ini menjadi sangat berbeda. Saya menemukan bahwa Mary Shelley masih berpegang pada pandangan konvensional dengan membuat batasan tajam antara maskulin-feminin, namun terlihat bagaimana ia mencoba mengkritiknya dengan mengakhiri cerita dalam bentuk tragedi sebagai efek destruktif ambisi egois Frankenstein. Sebaliknya, memang terkesan bahwa pandangan Shelley lebih maju dari Mary. Tetapi ternyata di akhir cerita Asia berangsur menghilang dalam diri Prometheus yang saat itu justru dipuja-puja. Saya menyimpulkan adanya ambiguitas dalam ideologi gender Shelley. Di satu sisi ia ingin selangkah lebih maju dari Mary dengan mengaburkan hierarki maskulin-feminin, namun di sisi fain ia justru mengokohkan oposisi biner tersebut. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
S14095
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farida Rachman Agoes
"Saul Bellow adalah pengarang Amerika terkenal pada saat ini. Pada tanggal 21 Oktober 1976 The Swedish Academy menganugerahkan Hadiah Nobel untuk Kesusasteraan kepadanya. Novel-novel Bellow merupakan karya sastra yang kaya akan ragam dan isi. Setiap novel mengemukakan masalah yang berbeda satu sama lain dan setiap tokoh utamanya tampil sebagai individu yang utuh. Tetapi, jika kita teliti semua novel Bellow, yaitu : Dangling Man (1944), The Victim (1947), The Adventures of Augie March (1953)', _Seize the Day (1956), Henderson the Rain King (1959), Herzog, (1964), Mr. Sammler's Planet [1971), dan Humboldt's Gift (1975) ada satu hal yang dipaparkan secara senada, yakni segi kehidupan perkawiran pares tokoh utama. Tokoh-tokoh utama Novel Bellow selalu digambarkan dalam keadaan terasing dari isteri mereka. Perkawinan mereka penuh pertengkaran, baik verbal maupun nonverbal. Komunikasi sehat antar suami-isteri jarang terjadi dan mereka berada dalam hubungan yang tegang, gelisah dan tidak puas_"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1980
S14207
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diding Fahrudin
"Penelitian kepustakaan mengenai penokohan dalam novel Sparkling Cyanide telah dilakukan di Jakarta dari bulan Juni 1989 sampai bulan Desember 1989. Tujuannya ialah untuk mengetahui penggunaan verba (frase verbal) baik yang termasuk ke dalam proses mental ataupun proses material dan ajektiva (frase ajektival) yang menerangkan aktivitas mental dan fisik tokoh utama novel Sparkling Cyanide, Iris Marie. Juga, penulis menganalisis modalitas, percakapan, penyajian pikiran tak langsung babas dan pungtuasi yang mendukung keadaan mental tokoh utama tersebut, baik berupa ketegangan, keragu-raguan, kepastian, ataupun dorongan mental yang kuat untuk menyingkap misteri pembunuhan kakaknya.
Pengumpulan data dilakukan setelah penulis membaca novel Sparkling Cyanide sebanyak tiga kali. Pengumpulan data tersebut dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama, penulis mencatat semua data yang menerangkan kondisi mental dan fisik tokoh utama novel tersebut. Kemudian, penulis membagi data tersebut menjadi enam kelompok, yakni: verba (frase verbal), ajektiva (frase ajektival), modifikasi, percakapan, penyajian pikiran tak langsung, dan penggunaan pungtuasi. Untuk lebih terinci, verba (frase verbal) dikelompokkan lagi ke dalam dua kelompok, yakni verba (frase verbal) yang termasuk ke dalam proses mental dan proses material, modalitas ke dalam might dan must, dan pungtuasi ke dalam tanda pisah (--), tanda elipsis (...) dan tanda seru (!). Setelah dikelompokkan, data tersebut dianalisis.
Hasilnya menunjukkan bahwa verba (frase verbal) yang menerangkan aktivitas mental tokoh utama lebih banyak daripada verba (frase verbal) yang menerangkan aktivitas fisik tokoh utama, bahkan verba (frase verbal) yang menerangkan aktivitas fisik tokoh utama adalah verba (frase verba) yang justru memproses subjek gramatikalnya. Juga, ajektiva (frase ajektival), percakapan, penyajian pikiran tak langsung bebas, dan penggunaan pungtuasi dalam novel tersebut sangat mendukung kondisi mental dan fisik Iris. Dalam skripsi ini, penulis hanya menganalisis data yang ada dalam novel tersebut (text-based analysis)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1990
S13952
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gadis Arivia Effendi
"Di permukaan novel, The Name of The Rose menceritakan suatu cerita detektif yang menegangkan, karena menyajikan liku-liku pengungkapan pembunuhan di biara Melk, sebelah utara Itali, dan sekaligus menyuguhkan latar belakang abad Pertengahan lengkap dengan polemik agama dan politiknya. Namum ketika kita te rus mengikuti diskusi yang terjadi di antara tokoh-tokoh utama di dalam novel seperti William of Baskerville (seorang biarawati) dan Adso (muridnya), kita segera mengerti bahwa terdapat diskusi yang lebih fundamental dari sekadar ingin menyuguhkan suatu cerita, akan tetapi terdapat suatu diskusi semiotik yang intens. Jadi, bukan suatu kebetulan Eco membangun ceritanya lewat cerita detektif-kriminal yang penuh dengan tanda- karena dengan cerita yang demikian nalar abduktif dalam model abduktif-detektif, yang seluruh pembahasannya berada di wilayah filsafat. Penalaran abduktif diperkenalkan oleh filsuf Amerika, abad XX, Charles Sanders Peirce dalam teori tandanya. Pada dasarnya teori semiotik yang disuguhkan Eco dalam novelnya adalah upayanya untuk memperlihatkan penerapan semiotik dalam memecahkan pembunuhan yang terjadi dan upaya untuk mengerti pemikiran kaotis abad pertengahan yang otoriter dan statis. _ Kita berpikir dalam tanda_, demikian Peirce mengatakan, dan hanya melalui proses pertandaan, manusia masuk dalam ritme semiosis _ yang menjawab pertanyaan _bagaimana manusia berpikir?_ dan implikasi epistemologisnya dari _ Bagaimana kita mengetahui realitas?_. Upaya untu menjawab pertanyaan _ Bagaimana kita mengetahui realitas?_ adalah pada dasarnya untuk memperlihatkan akar dari tanda. Eco di sini memulai diskusinya dari para filsuf Yunani dan para filsuf abad Pertengahan yang pada dasarnya memulai pertanyaan dengan _ Apakah sebenarnya realitas itu?_ Diskusi ini membawa kita pada persoalan substansi universalisme, nominalisme, dan realisme. Diskusi ini juga memperkenalkan kita pada pemikiran-pemikiran Aristoteles, Ockham, Abelard, dan Bacon. Namun pada diskusi selanjutnya kita mengerti kemudian bahwa Eco bukan saja ingin mempertanyakan _Bagaimana kita mengetahui realitas?_ (lewat perdebatab semiotik) dan _apakah realitas itu?_ (lewat perdebatan filsafat). Eco meneruskan pertanyaannya pada _Apakah realitas itu sendiri ada?_ Bagi Eco sendiri realitas merupakan suatu sistem pertandaan yang mempunyai keterkaitan teks antar teks, di sini Eco sibuk dengan perdebatan-perdebatan Postmodern."
Depok: Universitas Indonesia, 1990
S16186
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Church, Richard
London: Methuen, 1951
823 CHU g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>