Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 57815 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aprianto
"Manusia dan bahasa memiliki suatu keterkaitan yang khusus. Tidak mungkin suatu bahasa akan berubah tanpa adanya perubahan pada manusia pemakainya, dan tidak mungkin perubahan pada manusia pemakainya tidak berpengaruh kepada bahasa yang dipakainya sehari-hari. Berdasarkan pada pemikiran ini, penulis mencoba melakukan penelitian untuk mengetahui apakah terjadi perubahan di dalam penggunaan kata ganti orang pertama (KGOP) dalam masyarakat Jepang sekarang ditinjau dari kalangan anak mudanya. Pada dasarnya, ada dua jenis penggunaan kata acuan diri sendiri (terms of sell) di dalam bahasa Jepang, meliputi penggunaan vokatif (penggunaan kata-kata sapaan), dan penggunaan pronomina (penggunaan kata ganti orang). Hal ini timbul karena orang Jepang, sebelum mengacu dirinya sendiri, harus melihat dan mempertimbangkan siapa lawan bicara mereka dan bagaimana situasi percakapan mereka guna menentukan jenis kata ganti orang pertama (KGOP) yang akan dipergunakannya. Mengenai kedua penggunaan ini, Takao Suzuki, di dalam bukunya Kotoba to Bunka (1973) mengatakan bahwa Orang Jepang didalam percakapannya jarang menggunakan kata ganti orang (pronomina) pada waktu mengacu dirinya sendiri atau menunjuk orang lain. Mereka berusaha sedapat mungkin untuk menghindari adanya penggunaan kata ganti orang tersebut, yang ditempuh dengan menggantikannya dengan kata-kata sapaan atau yohrkake (vokatif). Kalaupun mereka terpaksa harus menggunakan penggunaan pronomina tersebut (umumnya digunakan pada waktu berbicara dengan orang yang sama atau lebih tinggi kedudukannya dari si pembicara), mereka akan memakai KGOP yang mengandungmakna sopan (merendahkan diri), seperti KGOP watashi pada wanita dan KGOP boku pada pria. Akan tetapi, dari hasil penelitian kuesioner yang dilakukan di Universitas Utsunomiya, penulis mendapatkan kenyataan sebaliknya dimana penggunaan vokatif sebagai tabu bahasa ternyata sudah semakin berkurang penggunaannya baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan pergaulan teman dekat. Anak muda Jepang sekarang kelihatannya lebih cenderung memilih penggunaan pronomina didalam percakapan mereka. Adapun pronomina yang umumnya mereka pakai adafah watashi dengan variasi atashi untuk kalangan wanitanya dan ore untuk kalangan prianya. KGOP boku masih tetap ada dan masih dipergunakan walaupun dibandingkan dengan ore, penggunaannya sudah jauh berkurang."
2000
S13494
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liana Conchita Zaubin
"Penelitian mengenai penggunaan Kata Ganti Orang dilakukan dengan menggunakan data yang diperoleh dari buku cerita bergambar sejumlah 10 jilid berisi 30 cerita dilakukan pada bulan September 1993 sampai dengan Desember 1993. Tujuannya untuk mengetahui ragam bahasa, tingkat kesopanan penggunaan, jangkauan usia pemakai dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan penggunaan Kata Ganti Orang Pertama dan Kata Ganti Orang Kedua. Pengumpulan data dilakukan melalui penyeleksian data-data KGO I dan KGO II yang terdapat dalam buku-buku cerita bergambar yang dilanjutkan dengan metode penelitian kepustakaan. Hasil penelitian skripsi ini bukan merupakan gambaran menyeluruh yang mencakup semua karakteristik KGO I dan KGO II. Akan tetapi, dari penelitian yang dilakukan telah dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) Kata ganti yang merupakan ragam bahasa pria adalah washi, boku, ore, oira, kisama, teme. Kata ganti yang merupakan ragam bahasa wanita adalah watai, atashi, atai. Kata ganti yang merupakan kata ganti netral yang dapat digunakan oleh pria dan wanita adalah watakushi, watashi, ware, waga, anatasama, anata, anta, kiwi, omae, onore walaupun kadangkala terdapat kecenderungan pemakaian oleh satu pihak saja. Untuk bentuk jamak, akhiran -tachi cenderung digunakan oleh wanita dan akhiran -ra cenderung digunakan oleh pria. 2). Bentuk jamak KGO I tidak dibatasi oleh jenis kelamin yang berbeda dan masuk tidaknya lawan bicara dalam ruang lingkup pembicaraan sedangkan bentuk jamak KGO II tidak dibatasi oleh jenis kelamin acuan yang berbeda dengan pembicara walaupun kata ganti tersebut merupakan ragam bahasa pria atau wanita. Bentuk jamak biasa ditunjukkan dengan akhiran -tachi atau -ra. Bentuk hormat menggunakan akhiran -gata dan bentuk merendahkan diri menggunakan akhiran -domo. 3). Faktor-faktor yang mempengaruhi pembicara dalam menentukan penggunaan KGO I dan KGO II adalah usia, jenis kelamin, kedudukan diri sendiri dan lawan bicara serta suasana hati."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S13651
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Ratnaningsih
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Arcan, 1988
410 UNI p I
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Etty Nurhayati Anwar
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Edizal
Padang: Kayupasak, 2010
495.6 EDI t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Eka Yulianti
"Dalam perspektif sosiolinguistik, sabîl lebih cenderung digunakan untuk mengungkapkan suatu jalan atau cara, yang pada umumnya bermakna jalan maknawi. Sedangkan ṭarīq (‫)طريق‬ bermakna jalan fisik, yaitu jalan yang dapat dilalui menuju suatu destinasi fisik pula. Di dalam al-Qur’an, nomina sabîl (‫)سبيل‬ diulang sebanyak 170 kali, dan ṭarīq (‫)طريق‬ diulang sebanyak 4 kali. Namun, di dalam al-Qur;an, perbedaan ini tidak begitu tampak, khususnya pada QS. Al-Baqarah [2]:108 yang menyebutkan sawa assabîl (‫ل‬ِ ‫ي‬‫ب‬ِ ‫س‬‫ال‬ ‫ء‬َ ‫ا‬‫و‬َ ‫س‬) yang artinya ‘jalan yang lurus’ dan dalam QS.) yang artinya ‘jalan yang Al-ahqaf [46]:30 menyebutkan ṭarīqi mustaqim (‫يم‬ٍ ‫ق‬ِ َ ‫ت‬‫س‬ْ ‫م‬ُ ‫ق‬‫ي‬‫ر‬ِ ‫ط‬ lurus’. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap persamaa n danperbedaan nomina sabîl (‫)سبيل‬ dan ṭarīq (‫)طريق‬ dalam al-Qur’an yang diliha t dariperspektif sosiolinguistik. Penelitian ini termasuk penelitian pustaka (library research), yang tergolong pada penelitian kualitatif dalam paradigma bahasa. Data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu nomina sabîl (‫)سبيل‬ dan ṭarīq (‫)طريق‬ yang terdapat dalam al-Qur’an dan koran Arab. Data yang diambil dari al-Qur’an mer upakandata yang ingin dikaji persamaan dan perbedaannya, sedangkan data yang diambil dari koran merupakan data perspektif sosiolinguistiknya. Sehingga, pemaknaan nomina sabîl (‫)سبيل‬ dan ṭarīq (‫)طريق‬ dalam al-Qur’an dapat dianalisa melalui penggunaannya dalam koran. Hasil penelitian tesis ini menunjukkan bahwa persamaan antara nomina sabîl (‫)سبيل‬ dan ṭarīq (‫)طريق‬ berada dalam konteks makna leksikal, yaitu makna fisik sebenarnya yang sudah terverifikasi oleh hasil pengamatan indera manusia. Maka makna leksikal cenderung apa adanya sesuai dengan makna dalam kamus. Kemudian persamaan makna gramatikal, atributif, denotatif, dan konseptual. Sedangkan perbedaannya terletak pada konteks makna kontekstual, yaitu makna sebuah leksem yang berada dalam suatu konteks kalimat. Fungsi nomina sabîl (‫)سبيل‬ selain sebagai jalan maknawi, juga sebagai cara, jalur, alur, jejak, rute, saluran, sarana, medium, dan alat yang tertuju pada posisi yang maknawi pula. Sedangkan fungsi dan posisi nomina ṭarīq (‫)طريق‬ untuk menunjukkan jalan fisik yang dapat terukur ukurannya, baik panjangnya, lebarnya, dan medannya. Setiap ‘jalan’ yang menggunakan terminologi ṭarīq (‫)طريق‬ pasti menunjukkan bahwa jalan yang dimaksud adalah jalan fisik. Di dalam al-Qur’an, jalan menuju surga dan neraka menggunakan terminologi ṭarīq(‫)طريق‬, yang dalam perspektif sosiolinguistik nomina tersebut menunjukkan jalan fisik. Jalan menuju surga terdapat dalam QS. Al-Ahqaf ayat ke 30, sedangkan jalan menuju neraka terdapat dalam QS. An-Nisa ayat ke 169. Hal inilah yang menjadi signifikansi adanya pembedaan kata ‘jalan’ dalam al-Qur’an.

In sociolinguistic’s perspective, sabîl (‫)سبيل‬ and ṭarīq (‫)طريق‬ occupy different functions and positions. Sabîl (‫)سبيل‬ is more likely to be used to express a way, which generally means a contextual path. While ṭarīq (‫)طريق‬ its use in the physical context, that’s a path that can be passed to a physical destination as well. In the Qur'an, nomina sabıl (‫)سبيل‬ is repeated 170 times, and ṭarīq (‫)طريق‬ is repeated four times. However, in the Qur'an, this distinction is not very visible, especially in the QS. Al-Baqarah [2]: 108 which mentions sawa assabîl (‫السبيل‬ ‫)سواء‬ which means 'straight path' and in QS. Al-ahqaf [46]: 30 mentions ṭarīqi mustaqim (‫مستقيم‬ ‫)طريق‬ which means 'straight path'. Therefore, this study aims to reveal the similarities and differences of nomina sabîl (‫)سبيل‬ and ṭarīq (‫)طريق‬ in the Qur'an from sociolinguistic perspective. This research includes library research, which belongs to qualitative research in the language paradigm. The data required in this study are nomina sabıl (‫)سبيل‬ and ṭarīq (‫)طريق‬ which mentioned in the Qur'an and Arab newspapers. The data which is taken from al-Qur'an is the data to be studied equations and differences, while data which is taken from the newspaper is the data for the sociolinguistic perspective. Thus, the meaning of nomina sabıl (‫)سبيل‬ and ṭarīq (‫)طريق‬ in the Qur'an can be analyzed through its use innewspapers. The result of this thesis research shows that the equation between sabıl (‫)سبيل‬ and ṭarīq (‫)طريق‬ is in the context of lexical meaning, that is, the actual physical meaning that has been verified by the observation of the human senses. Then the lexical meaning tends to be what it is in accordance with the meaning in the dictionary. Then the meanings of grammatical, attributive, denotative, and conceptual. While the difference lies in the context of contextual meaning, namely the meaning of a lexm that is in a sentence context. The function of nomina sabıl (‫)سبيل‬ other than as a means of contextual, also as a way, path, trace, route, channel, medium, and tools are fixed in a position that contextual too. While the function and position nomina ṭarīq (‫)طريق‬ to show the physical path that can be measured size, both the length, width, and terrain. Any 'path' using the term of ṭarīq (‫)طريق‬ must indicate that the road in question is a physical path. The significance of the distinction of the word 'path' in the Qur'an is a miracle of language that explains the authenticity of the physical path to heaven and hell. In the Qur'an, the road to heaven and hell uses the term of ṭarīq (‫)طريق‬, which in the sociolinguistic perspective, terminology of ṭarīq (‫)طريق‬ shows the physical path to a physical destination as well. The road to heaven is in the QS. Al-Ahqaf verse 30, while the path to hell is contained in the QS. An-Nisa verse 169."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Rahma Dewi
"Campur kode merupakan fenomena menggunakan lebih dari satu bahasa untuk berkomunikasi dalam masyarakat. Penggunaan campur kode juga dapat ditemukan dalam berbagai media, salah satunya melalui film Mencuri Raden Saleh karya Angga Dwimas Sasongko dan Nussa karya Bony Wirasmono. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan bentuk campur kode, jenis campur kode, dan faktor penggunaan campur kode yang dituturkan oleh orang dewasa dalam film Mencuri Raden Saleh dan anak-anak dalam film Nussa. Analisis dilakukan dengan pendekatan sosiolinguistik dengan teori bentuk campur kode berdasarkan bentuk dan jenisnya yang dikemukakan oleh Suwito (1983), serta teori faktor terjadinya campur kode yang dikemukakan oleh Suandi (2014). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan bentuknya, film Mencuri Raden Saleh memiliki lima bentuk campur kode, yaitu kata, frasa, klausa, baster, serta ungkapan atau idiom, sedangkan film Nussa memiliki empat bentuk campur kode yaitu, kata, frasa, klausa, dan baster. Berdasarkan jenisnya, film Mencuri Raden Saleh hanya menggunakan satu jenis, yaitu campur kode ke luar, sedangkan film Nussa menggunakan dua jenis, yaitu campur kode ke luar serta campur kode ke dalam. Berdasarkan faktor penggunaan campur kode, film Mencuri Raden Saleh memiliki tujuh faktor, yaitu keterbatasan penggunaan kode, adanya penggunaan kosakata lain yang lebih populer, latar belakang budaya dan kepribadian penutur, mitra bicara, topik pembicaraan, pokok pembicaraan, dan modus pembicaraan, sedangkan film Nussa memiliki empat faktor, yaitu latar belakang budaya dan kepribadian penutur, mitra bicara, pokok pembicaraan, dan modus pembicaraan.

Code mixing is a phenomenon of using more than one language to communicate in society. The use of code mixing can also be found in various media, one of which is film Mencuri Raden Saleh by Angga Dwimas Sasongko and Nussa by Bony Wirasmono. This study aims to compare the forms of code mixing, the types of code mixing, and the factors of using code mixing spoken by adults in film Mencuri Raden Saleh and children in film Nussa. The analysis was carried out using a sociolinguistic approach with the theory of code-mixing forms based on their forms and types put forward by Suwito (1983), as well as the theory of occurrence factors of code-mixing put forward by Suandi (2014). The method used in this research is descriptive qualitative. The search shows that based on the form, film Mencuri Raden Saleh has five forms of code mixing, namely words, phrases, clauses, basters, and expressions or idioms, while film Nussa has four forms of code mixing, namely words, phrases, clauses, and basters. Based on its type, film Mencuri Raden Saleh uses only one type, namely outer code-mixing, while film Nussa uses two types, namely outer code-mixing and inner code-mixing. Based on the use of code-mixing, film Mencuri Raden Saleh has seven factors, namely the limited use of the code, the use of other more popular vocabulary, the cultural background and personality of the speaker, the interlocutor, the topic of conversation, the subject matter, and the mode of conversation, while film Nussa has four factors, namely the cultural background and personality of the speaker, the addressee, the subject matter, and the mode of conversation"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Erra Rismorlita
"Usia Rata-rata Pertama Menikah wanita Jepang termasuk urutan tertinggi kedua didunia. Fenomena ini dimulai pada pertengahan tahun 1970-an seiring dengan pertumbuhan ekonomi Jepang yang maju pesat, sehingga membuka peluang bagi wanita untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, serta meniti karir dibidang-bidang pekerjaan profesional. Kepuasan hidup yang diraih melalui kemandirian secara ekonomi dan spiritual ini mengubah pandangan mereka terhadap perkawinan. Menikah menjadi suatu pilihan individu, dan mereka babas untuk menentukan dan memilih kapan, dimana dan dengan siapa mereka akan menikah.
Penelitian ini mengkaji dan menganalisis terjadinya fenomena penundaan usia kawin pada wanita Jepang tahun 1970-2000. Adapun pembahasannya meliputi latar belakang, faktorfaktor penyebab, dampak , serta upaya-upaya yang dilakukan pemerintah."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T12062
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>