Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115184 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rukmini Tri Setiati
"Strategi front persatuan merupakan strategi yang diguna_kan pemimpin RRC untuk menggalang kerjasama dengan kelom_pok non komunis demi tercapainya tujuan kebijakan dalam negeri dan luar negerinya. Di dalam negeri keefektifan front persatuan telah dibuktikan dengan keberhasilan PKC merebut kekuasaan dari Guomindang dan mendirikan Republik Rakyat Cina. Strategi front persatuan yang dijalankan RRC terhadap RI pada tahun 1960-an merupakan bagian dari strategi luar negeri global RRC untuk membentuk kerjasama dengan pemerintah non komunis yang anti imperialis terutama di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin. Tujuannya adalah agar RRC mendapat dukungan politik untuk bisa keluar dari politik pembendungan Amerika Serikat dan untuk menghadapi pertikaian dengan Uni Soviet. Pada awalnya, strategi front persatuan RRC terhadap RI berja_lan baik sampai terbentuknya poros Jakarta-Hanoi-Phnom Penh-Beijing-Pyongyang pada tahun 1965. Pecahnya pembe rontakan Partai Komunis di Indonesia tahun 1965 merupakan titik balik keberhasilan kebijakan politik luar negeri RRC terhadap RI. Sejak saat itu hubungan kedua Negara mulai memburuk. Kegagalan tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor dalam negeri suatu Negara, terutama negara yang berbeda ideologi juga menentukan efektif tidaknya pelaksanaan front persatuan RRC di luar negeri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
S12959
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sentot E. Oktavianus Adiprawatya
"Sentot E. Oktavianus Adiprawatya. Persekutuan Dengan Dunia Ke Tiga Sebagai Strategi Dalam Hubungan Luar Negeri RRC. (Di bawah bimbingan Endi Rukmo, MA). Fakultas Sastra EJniversitas Indonesia, 1995. Keputusan RRC untuk menjalin persekutuan dengan negaranegara Dunia Ke Tiga merupakan kebijakan luar negeri RRC yang sangat penting pada pertengahan periode 1950-an sampai 1960-an. Kebijakan ini bahkan dapat dikatakan sebagai suatu strategi karena melalui persekutuannya dengan Dunia Ke Tiga, RRC berupaya untuk membentuk suatu front persatuan guna melawan dua musuh utamanya dalam waktu yang bersamaan.
Berdasarkan tujuan utama yang hendak dicapai, maka pembentukan persekutuan RRC-Dunia Ke Tiga terutama disebabkan oleh faktor luar negeri yaitu perkembangan situasi internasional di Asia. Munculnya Amerika Serikat sebagai kekuatan blok imperialis yang menjalankan kebijakan pembendungan setelah Perang Korea menjadikan RRC berada dalam posisi defensif. Aktivitas-aktivitas RRC untuk menyebarluaskan pengaruhnya menjadi sangat dibatasi oleh kehadiran Amerika Serikat baik secara politik maupun militer melalui kerjasama dan persekutuan dengan beberapa negara yang strategis di kawasan-kawasan penting di Asia. Oleh karena itu, tujuan jangka pendek yang hendak dicapai RRC melalui persekutuan ini adalah keluar dari posisi defensif yang diciptakan Amerika Serikat sambil menciptakan zona damai di wilayah-wilayah sekitar negaranya guna mencegah kemungkinan ekspansi pihak lawan.
Perselisihan RRC dengan Uni Soviet semakin memperkuat kepentingan RRC terhadap persekutuannya dengan Dunia Ke Tiga. Munculnya Uni Soviet sebagai rival sekaligus lawan yang baru selanjutnya memberikan dorongan kepada RRC untuk menandingi dominasi negara itu dalam blok sosialis. Dominasi Uni Soviet itu hanya dapat ditandingi melalui kepemimpinan RRC atas negara-negara Dunia. Ke Tiga. Oleh karena itu. untuk mempercepat pencapaian tujuan jangka panjang yaitu memperoleh hegemoni atas Dunia Ke Tiga dan memenangkan mereka bagi kepentingan komunisme, maka RRC kembali menekankan dimensi ideologi melalui dukungan kepada gerakan revolusi partai komunis.
Dalam pelaksanan persekutuan, RRC pada mulanya berhasil mempengaruhi negara-negara Dunia Ke Tiga karena upaya-upayanya selalu didasarkan atas persamaan kepentingan untuk melawan musuh yang sama yaitu imperialisme Amerika Serikat. Meskipun mendapat sedikit keberhasilan, tindakan RRC mempertentangkan Dunia Ke Tiga dengan Uni Soviet menjadi tidak relevan karena disamping cara-cara yang digunakan RRC menjadi semakin radikal juga yang terpenting karena mereka tidak memiliki permusuhan dengan Uni Soviet. Situasi inilah yang menjadi latarbelakang kegagalan persekutuan RRC dengan Dunia Ke Tiga sehingga pada tahun 1965 RRC sudah dapat merasakan bagaimana strateginya menjadi bumerang bagi negaranya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priyanto Wibowo
"ABSTRAK
Hubungan antara bangsa Cina dan orang-orang dari sebrang lautan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Paling tidak sejak abad 14, atau bahkan jauh sebelumnya, beberapa kapal dari negara-negara yang lautnya maju pernah menyinggahi Cina. Tetapi kunjungan-kunjungan kapal-kapal asing tersebut tidak mendapat sambutan yang semestinya baik dari pemerintah Cina maupun tradisionil rakyat Cina, yang notabene juga merupakan pandangan penguasa Cina pada waktu itu yang menganggap orang asing adalah orang biadab. Hal ini tercermin dari konsep mereka tentang zhongguo, yang menganggap Cina adalah pusat dunia, pusat budaya dan segala peradaban. Sementara itu masyarakat di luar Cina adalah masyarakat primitif, tidak berbudaya serta bar-bar yang perlu dibudayakan.
Atas dasar pemikiran yang demikian, maka proses hubungan antara Cina dan negara-negara sangatlah lambat. Ketika Inggris memulai menjajaiki hubungan dengan Cina perlakuan yang diterima oleh utusan Inggris adalah perlakuan sama yang diterapkan oleh kepada utusan dari sebuah negara taklukan. Tentu saja Inggris tidak dapat menerima perlakuan tersebut. Budaya diplomasi Eropa yang dibawa Inggris berbenturan dengan budaya diplomasi yang diterapkan oleh Cina yang terkenal dengan sebutan family of nations, dimana Cina bertindak sebagai bapak sementara negara-negara, terutama dikawasan Asia, bertindak sebagai anak dengan masing-masing konsekwen dengan posisinya.
Dengan menggunakan beberapa bahan bacaan yang didapat melalui penelitian kepustakaan, yang terdiri dari bahan primer maupun sekunder, tulisan ini bermaksud mengunggkapkan bagaimana akhirnya bangsa Eropa, khususnya Inggris mampu menembus konsep tradisionil Cina yang menjadi penghalang kegiatan diplomasinya. Bahkan kemudian Inggris berhasil menjadi mitra dagang paling besar bagi Cina, terutama adalah berkat adanya konsumsi teh yang sangat besar dikalangan bangsa Inggris. Semua hal tersebut dapat dicapai oleh Inggris hanya dengan melalui satu cara : kekerasan."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ratu Riode Eyenairo
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri China yang menolak rencana sanksi tambahan yang diusulkan oleh negara-negara Barat di tahun 2011-2012 terkait program nuklir Iran. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Kebijakan luar negeri China tersebut merupakan hasil dari pengaruh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berasal dari tekanan struktur internasional, yang kemudian diterjemahkan lagi oleh peningkatan power China dan kepentingan China terhadap minyak Iran. Hal ini membuat China lebih mementingkan hubungan baiknya dengan Iran dan menjaga agar isu nuklir Iran tidak menimbulkan ketidakstabilan pada dunia internasional.

ABSTRACT
This thesis focus about China?s foreign policy which is rejected additional sanctions that proposed by Western powers in 2011-2012 related Iran's nuclear program. This research is a qualitative with case study method. That China's foreign policy is the result of the influence of external and internal factors. External factor comes from the pressure of the international structure, which is then translated also by power increase of China and Chinese interests against Iranian oil. This makes China more interested in good relations with Iran and keep the Iranian nuclear issue not to cause instability in the international world."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T39128
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dino Nurwahyudin
"Sejak Deng Xiaoping mengambil tampuk kepemimpinan di China pada tahun 1978 terjadi perubahan mendasar dalam politik luar negeri China. Kebijakan Politik Luar Negeri menjadi terbuka, lebih aktif di forum internasional dan lebih canggih dalam membina hubungan dengan negara-negara lain. Di bidang ekonomi, Deng menggandeng dua lembaga keuangan internasional yang sangat berpengaruh, yaitu IMF dan Bank Dunia sebagai advisor sehingga Foreign Direct Investment (FDI) China meningkat secara pesat yang berujung pada tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi. Tumbuhnya China sebagai kekuatan baru di kawasan mengubah secara signifikan konstelasi politik internasional terutama di Kawasan Asia Timur apalagi pada saat bersamaan pertumbuhan ekonomi Jepang, yang sebelumnya menjadi negara Asia yang paling maju, stagnan. Dalam perjalanannya, hubungan bilateral China dan Jepang justru semakin tegang, terutama di era pemerintahan Perdana Menteri Junichiro Koizumi. Pemicunya berkaitan dengan isu kolonialisme. Koizumi setiap tahun sejak menduduki posisi sebagai Perdana Menteri Jepang selalu berkunjung ke kuil Yasukuni setiap tahun sesuai janji yang diikrarkan, di mana terdapat 14 penjahat perang kelas A pada Perang Dunia II dimakamkan. Selain itu, Jepang berupaya menyembunyikan kekejaman pasukan beserta dirinya pada masa kolonialisme Jepang di China dalam buku sejarahnya.
Kurang harmonisnya hubungan China dan Jepang berdampak negatif terhadap kawasan Asia Timur apalagi mereka berdua diharapkan dapat menjadi backbone dalam pembentukan Komunitas Asia Timur yang telah disepakati para pemimpina negara di kawasan ini. Berangkat dari pentingnya hubungan bilateral China-Jepang tersebut, penelitian ini mengkaji lebih jauh isu kolonialisme yang menjadi kerikil tajam dalam hubungan China dan Jepang. Teori-teori utama yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori struktur politik dari Kenneth Wattz, teori, sistem internasional dari Chris Brown, teori perilaku dari Samuel S. Kim, dan teori kebijakan politik luar negeri dari David M. Lampton. Pertanyaan penelitian dalam tesis ini adalah bagaimana pemerintah China menggunakan isu kolonialisme dalam politik luar negeri-nya dalam menjalin hubungan bilateral dengan Jepang dan apa keunungan yang diperoleh China dalam memainkan isu kolonialisme, khususnya dalam tata pergaulan internasional.
Dengan menggunakan penelitian deskriptis analitis, dapat dikatakan bahwa pemerintah China memainkan isu kolonialisme sebagai upaya mempengaruhi lingkungan eksternal dan internal. Jepang, bagaimanapun juga adalah saingan China dalam sistem internasional yang bersifat anarkis. Melalui isu kolonialisme, kekejaman Jepang dalam era Perang Dunia II akan selalu dikenang oleh masyarakat internasional sehingga upaya Jepang menjadi negara berpengaruh di dunia internasional, khususnya di Asia Timur, terganggu. Melalui isu kolonialisme, dukungan masyarakat China atas legitimasi Partai Komunis semakin meningkat karena Partai Komunis adalah pihak yang paling gigih berjuang saat pendudukan Jepang."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22194
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avina Nadhila Widarsa
"Setelah terlibat konflik politik selama lebih dari enam dekade, Cina mengambil sebuah kebijakan yang fenomenal dalam hubungannya dengan Taiwan. Pada tanggal 29 Juni 2010 disepakati suatu kerangka kerjasama ekonomi yang ditandatangani oleh Association for Relations Across Taiwan Straits (ARATS) yang mewakili pemerintah Cina dan Strait Exchange Foundation (SEF) yang mewakili pemerintah Taiwan. Penandatanganan Cross Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) ini menandai babak baru dalam hubungan lintas selat. Walaupun perjanjian tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi yang resiprokal dan setara, dalam isi perjanjian ECFA justru lebih menguntungkan Taiwan daripada Cina. Dalam ECFA disepakati kedua pihak sepakat untuk menurunkan tarif pada produk - produk ekspornya hingga 0%. Cina bersedia menurunkan tarif bagi 539 produk impor dari Taiwan, sementara Taiwan hanya bersedia menurunkan tarif bagi 267 produk impor dari Cina. Jelas terdapat ketidakseimbangan dalam kesepakatan ekonomi tersebut. Menjadi pertanyaan yang menarik, mengapa Cina tetap mau menandatangani perjanjian yang sudah jelas merugikan baginya secara ekonomi Melalui kerangka pemikiran economic statecraft, penelitian ini mengidentifikasi bahwa Cina memiliki memiliki kepentingan di balik penandatanganan ECFA. Adapun kepentingan politik Cina dalam penandatanganan ECFA adalah sebagai tahap awal untuk mencapai reunifikasi secara damai dengan Taiwan dan sebagaim pembuktian upaya peaceful development yang dilakukan Cina di kawasan Asia Timur. Selain itu, Cina juga memiliki kepentingan ekonomi untuk menjaga aliran dana investasi langsung dari Taiwan yang menjadi salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi Cina.

After six decades full of hostility and political tension, China took an extraordinary action regarding her relation towards Taiwan. On June 29, 2010, an economic cooperation framework agreement was signed between Association for Relations Across Taiwan Straits (ARATS) as a representative of government of China and Strait Exchange Foundation (SEF) as a representative of government of Taiwan. The signing of Cross Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) was marking the new era of cross strait relations. While looking to improve economic cooperation reciprocally and equally, this agreement is more favor Taiwan instead of China. China agreed to reduce tariffs until 0% for 539 Taiwan export goods, while Taiwan only agreed to reduce tariffs for 267 China export goods. It is likely that China will face economic disadvantages because of this agreement. Then, the question is why China wants to sign this agreement although it doesn't give maximum advantages to her economy. Through the analysis from economic statecraft and economic cooperation as conceptual framework, this research pointed out that China has political and economic interest within this agreement. This research identified China's interest on ECFA as initial step to achieve peaceful reunification with Taiwan and as a way for China to prove the peaceful development strategy in East Asia region. Moreover, China also has economic interest towards ECFA which is to make sure Taiwan's FDI still come to China."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gede Artha Sastra Kusuma
"China semakin aktif dalam mengeksploitasi konflik yang terjadi di Myanmar. Konflik tersebut telah mengalami eskalasi sejak Min Aung Hlaing mengambil alih pemerintahan Myanmar dan menempatkan junta militer pada Februari 2021. Kudeta tersebut menimbulkan reaksi keras dari seluruh masyarakat Myanmar yang mengadakan perlawanan terhadap kembalinya dominasi junta militer, baik dari etnis mayoritas maupun minoritas. Kewalahan mengatasi berbagai kelompok etnis bersenjata, pemerintahan Hlaing mengalami rangkaian kekalahan dalam menghadapi kekuatan oposisi dalam Operasi 1027 yang dilancarkan oleh Three Brotherhood Alliance (3BTA), aliansi tiga kelompok etnis bersenjata yang beroperasi di negara bagian Shan. Melalui metode kualitatif, tulisan ini bermaksud untuk melihat intervensi yang dilakukan oleh China dalam konflik pemerintah-3BTA di negara bagian Shan. Hasil penelitian dalam tulisan ini menunjukkan bahwa China merupakan pihak ketiga tunggal yang melakukan intervensi terhadap dua pihak yang berkonflik. Intervensi tersebut didasarkan pada kepentingan China yang ada terhadap dua pihak tersebut. Setelah kepentingannya tercapai, China memaksa terjadinya resolusi konflik berupa gencatan senjata untuk memastikan proyek-proyek China tidak terdampak oleh konflik. Dengan demikian, intervensi tersebut dilakukan untuk melindungi kepentingan China di Myanmar. Bagi Myanmar, meskipun terjadi resolusi konflik, intervensi tersebut merupakan sinyal dominasi China yang semakin menguat di Myanmar.

China is increasingly active in exploiting the conflict in Myanmar. The conflict has escalated since Min Aung Hlaing took over the Myanmar government and installed a military junta in February 2021. The coup caused a strong reaction from all Myanmar people who held resistance against the return to dominance of the military junta, both from the majority and minority ethnic groups. Overwhelmed by various armed ethnic groups, the Hlaing government suffered a series of defeats in the face of opposition forces in Operation 1027 launched by the Three Brotherhood Alliance (3BTA), an alliance of three armed ethnic groups operating in Shan state. Through qualitative methods, this paper intends to look at the intervention carried out by China in the government-3BTA conflict in Shan state. The results of the research in this paper show that China is the sole third party that intervenes between the two parties in conflict. The intervention is based on China's existing interests in both parties. After achieving its interests, China forced conflict resolution in the form of a ceasefire to ensure that Chinese projects were not affected by the conflict. Thus, the intervention was carried out to protect China's interests in Myanmar. For Myanmar, despite the resolution of the conflict, this intervention is a signal of China's increasingly strengthening dominance in Myanmar.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Kusumawati
"Masalah status. golongan etnis Cina di Indonesia merupakan masalah penting yang mempengaruhi hubungan Indonesia - RRC, 1949-1967. Salah satu masalah status golongan etnis Cina yang harus segera diselesaikan adalah masalah dwikewarganegaraan. Sebagai dua buah negara yang baru merdeka RRC dan Indonesia hanya mengadopsi asas kewarganegaraan yang dianut oleh penguasa sebelumnya di negara masing-masing. Pemerintah RRC tetap mempertahankan Undang-undang kewarganegaraan tradisionalnya yang pada dasarnya menganut asas Ius-Sanquinis, sedangkan pemerintah Indonesia pada dasarnya menganut asas lus-Soli. Kewarganegaraan golongan etnis Cina di Indonesia harus jelas, sehingga perlakuan terhadap mereka menjadi tegas, yakni apakah mereka itu menjadi Warga Negara Indonesia atau Warga Negara RRC. Masalah status golongan etnis Cina dalam dunia perdagangan juga menjadi masalah penting dalam hubungan Indonesia-RRC pada periode ini. Peraturan Presiden no 10 tahun 1959 yang melarang orang asing melakukan kegiatan perdagangan eceran di daerah pedesaan Indonesia menimbulkan reaksi yang merusak hubungan Indonesia RRC.Keinginan untuk bebas dari dominasi Asing."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S12990
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimatul Ula
"Tesis ini membahas strategi yang digunakan Cina dalam mempertahankan kepentingannya di Myanmar. Dan bagaimana strategi tersebut jika dibandingkan dengan strategi yang digunakan ASEAN. Dengan menggunakan soft power sebagai kerangka teorinya, tesis ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dilihat dari aspek ekonomi, politik, dan militer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua strategi yang digunakan Cina lebih efektif bila dibandingkan dengan strategi yang digunakan ASEAN. Hal ini dikarenakan semua strategi yang digunakan Cina dapat memenuhi kebutuhan politik, militer, dan ekonomi Myanmar. Strategi yang digunakan Cina adalah strategi politik non-intervention, strategi ekonomi dengan kerjasama bilateral dan pemberian bantuan dan pinjaman, strategi militer dengan kerjasama persenjataan, dan juga strategi kontekstual HAM Cina.

This study is focuced on the strategy used by Cina in keeping his national interest in Myanmar. Moreover, this study also compares the strategy used by Cina and ASEAN. Soft power is used as the theory framework to get the answer of thi study. The result of this study shows that all the strategy that Cina used are more efective that the ASEAN's. It is because those strategy fulfill what Myanmar need. Those strategoes are non-intervention, bilateral cooperation, aids, and loans; arms trade cooperation, and also contextual Cina's human rights."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T28925
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>