Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113949 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Armand Eugene Richir
"ABSTRAK
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk nenggambarkan secara jelas peristiwa Revolusi Kebudayaan (1965-1969), yang menitik beratkan pada pertentangan antara Mao Zedong dan Liu Shaogi. Revolusi Kebudayaan adalah suatu revolusi untuk mentransformasikan pera_daban bangsa dan untuk merubah sikap manusia agar tercipta seorang manusia kolektif yang sepenuhnya mencurahkan perhatian kepada perjuangan kelas, garismassa, dan pendekatan Maois menuju transformasi sosialis.Dalam perkembangan selanjutnya Revolusi Kebudayaan yang dilancarkan oleh - Mao lebih merupakan suatu kekuatan untuk menghancurkan bangunan atas atau penguasa Partai yang mengambi] jalan kapitalis..Periode tahun 1965 merupakan periode pengkonsolidasian kediktatoran proletar.'Periode tahun 1966-1969 merupakan periode persaingan atau perebutan ke_kuasaan (power struggle) antara elit politik dan penguasa di Cina. Pada perio_de ini Mao mencari dukungan di luar Partai seperti Pengatral Merah, yaitu para pemuda-pemudi yang diorganisir menjadi kelompok yang bersifat militer dan mili_tan. Selain itu, Mao juga mengandalkan kekuatan Tentara Pembebasan Rekyat/TPR yang ditandai dengan pembentukan Komite Revolusioner. Kekuatan-kekuatan Pengawal Merah dan TPR digunakan Mao untuk membangun kembali supremasi otoritasnya dan memastikan keabadian ideologi serta pemikiran Mao yang mulai memudar pada awal Revolusi Kebudayaan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Revolusi Kebudayaan sesungguhnya dirancang oleh Mao untuk memurnikan gagasan ideologi dan menciptakan masyarakat sosialis berdasarkan pikiran-pikiran Mao. Namun, jalan yang ditempuh untuk men_capai tujuan itu secara tak terelakkan harus melalui perebutan kekuasaan...

"
1986
S12831
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tai, Sung An
Indianapolis: Pegasus, 1972
320.951 TAI m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
N. Ika M. Sukarno
"Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menggambarkan secara jelas mengenai Lin Biao, menitikberatkan pada peranan Lin Biao dalam Revolusi Kebudayaan dan sepak terjangnya sesudah revolusi berakhir hingga ia meninggal dunia. Lin Biao adalah seorang panglima perang yang tangguh, di mana ia dikenal ahli dalam strategi peperangan. Titik awal karir Lin Biao dimulai setelah ia lulus dari Akademi Militer Whampoa tahun 1926. Selama Revolusi Kebudayaan berlangsung, Lin Biao selalu berada di belakang Mao. Pidato-pidato dan perkataan-perkataan Mao selalu ia dengungkan dalam setiap pertemuan massa. Dengan cara ini, ia menarik massa untuk turut serta dalam Revolusi Kebudayaan. Lin Biao juga merupakan orang yang menggerakkan Pengawal Merah. Setelah keadaan negara menjadi sangat kacau, Lin Biao menggunakan Tentara Pembebasan Rakyat yang berada di bawah pengaruhnya untuk mengamankan situasi. Hasilnya adalah kepercayaan Mao padanya bertambah dan Lin Biao diangkat secara resmi menjadi ahli waris dan penerus Mao. Setelah pengangkatan itu, Mao merasa pengaruh Lin Biao terlalu besar, sehingga ia merasa perlu menantangnya dengan maksud agar pengaruhnya berkurang. Di lain pihak, Lin Biao merasakan kekuatannya cukup kuat untuk dapat menggeser Mao. la dan kelompoknya menyusun rencana dan membangun kekuatan untuk menggulingkan Mao. Rencana ini rupanya tercium oleh Mao, sehingga sebelum Lin Biao melaksanakan impiannya, Mao sudah terlebih dahulu memusnahkan Lin Biao pada tanggal 12 September 1971"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fenty Saraswaty
"Pertentangan antara Mao Zedong dan Liu Shaoqi berlangsung dalam berbagai bidang. Masalah yang ada ternyata berhubungan satu dengan lainnya dan akhirnya berkembang menjadi satu isu pokok, yaitu masalah politik. Perbedaan diantara mereka tidak hanya terjadi dan diketahui oleh kalangan elit Partai Komunis Cina saja, tetapi juga diketahui oleh masyarakat umum. Pada saat terjadinya Revolusi Kebudayaan 1967 - 1969 kontradiksi diantara mereka meluas menjadi satu pertentangan nasional.
Dalam skripsi ini, hal utama akan dibahas adalah mengenai kontradiksi diantara keduanya di dalam masalah sastra dan seni. Mao Zedong dan Liu Shaoqi sebenarnya memiliki perbedaan yang cukup jauh dalam sastra dan seni, tetapi mereka tidak terlalu merisaukan masalah tersebut. Baru setelah ada perbedaan pendapat politik, ekonomi, sosial dan ideologi, mereka kemudian menggunakan sastra dan seni untuk mengkritik lawan mereka. Dari tindakan saling mengkritik dan akhirnya menjadi suatu gejala saling menjatuhkan tersebut, kita dapat melihat fungsi sastra dan seni tersebut. Sastra dan seni bukan lagi hanya sebagai suatu hal untuk hiburan, tetapi telah berubah menjadi senjata yang digunakan dalam gerakan perjuangan politik. Dan Mao Zedong dan Liu Shaoqi memakainya untuk saling menjatuhkan dan mempertahankan diri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1991
S12945
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Krisno Legowo
"Perubahan sikap tentang gambaran diri, negara Cina, terjadi pada tahun 1958. Sejak itu Negara Cina mulai menganut strategi pembangunan berdikari, yaitu mempertahankan kemerdekaan , memegang prakarsa di tangan sendiri dan mengandalkan usaha sendiri , dan dilain pihak meminimkan gagasan-gagasan, pengaruh-pengaruh dan aspirasi-aspirasi asing. Sejak itu mulai beredar dikalangan rakyat semboyan Mao Zedong, yaitu pertama miskin dan kedua kosong ( yiqiong er-bai) yang ingin memberikan dan menyadarkan bahwa Negara Cina sebenarnya adalah suatu Negara yang secara ekonomis masih terbelakang tapi sebagaimana kertas yang putih kosong, lebih leluasa untuk ditulisi dengan gambar-gambar yang baru. Kecenderungan untuk meniru Negara sosialis yang sudah maju-dalam hal ini sebagaimana yang telah dicapai Uni Soviet- memang merupakan gejala yang nyata dan dianut oleh tokoh-tokoh tertentu , seperti Liu Shaoqi, Deng Xiaoping , Lo Juiqing dan Peng Dehuai, yang mempunyai ciri-ciri pandangan mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui industrialisasi, serta penggunaan tehnologi maju, system pemerintahan atas dasar keakhlian dalam birokrasi dan militer . Disitu Mao Zedong-hampir ia berdiri sendiri diantara tokoh pimpinan nasional lainnya- berbeda pendapat. Ia berpandangan bahwa pola itu memungkinkan timbulnya kelas baru yang yang ditumbuhkan oleh birokrasi dalam pemerintahan dan partai, organisasi militer profesional dan pendidikan."
Depok: Universitas Indonesia, 1981
S13019
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Ning Kasih Abduh Putri
"Skripsi ini membahas tentang penerapan konsep kritik dan kritik-diri yang terjadi pada era Revolusi Kebudayaan RRT (1966-1976). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab apakah sebenarnya kritik dan kritik-diri dapat menyelesaikan kontradiksi yang terjadi di PKT menjelang Revolusi Kebudayaan. Melalui metode kualitatif deskriptif, penelitian dilakukan dengan memaparkan Pemikiran Mao serta kontradiksi antara kelompok Maois dan Liuis yang terjadi di era tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep kritik dan kritik-diri dapat menyelesaikan kontradiksi tersebut meskipun penerapannya tidak berjalan sebagaimana mestinya.

The focus of this study is Criticism and Self-Criticism Concept Implementation in Chinese Cultural Revolution (1966-1976). The purpose of this study is to find the answer of whether criticism and self-criticism concept could truly solve the contradiction which was happened in Chinese Communist Party towards Chinese Cultural Revolution. Through descriptive qualitative method, this study explains Mao Zedong?s Thought and the contradiction between Maoist and Liuist which occured in that era. The result of this study shows that criticism and self-criticism concept could solve the contradiction, although the implementation was not executed as what it is meant to be."
2016
S62434
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heng, Liang
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989
951 HEN r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ervina Noviyanti
"ABSTRAK
Dazibao telah mengukuhkan posisinya sebagai sebuah sarana komunikasi dan propaganda politik utama pada era Revolusi Kebudayaan. Hal ini terlihat dari antusiasme masyarakat terhadap dazibao dan upaya pemerintah dalam menjadikan dazibao sebagai sarana untuk memobilisasi massa. Dampak pemanfaatan dazibao sebagai sarana untuk memobilisasi massa terlihat paling signifikan pada perkembangan salah satu elemen paling penting dalam Revolusi Kebudayaan, yaitu Pengawal Merah. Berangkat dari hal tersebut, artikel ini berupaya menganalisis dua dazibao yang berhasil meningkatkan jumlah dan gerakan Pengawal Merah secara signifikan. Analisis terhadap dua dazibao tersebut dilakukan untuk mendeskripsikan dazibao sebagai sarana penggalangan Pengawal Merah, yang disertai dengan analisis pengaruh Mao Zedong dan perkembangan sosial-politik saat itu. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan sejarah yang mencakup tahapan heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Hasil analisis menunjukkan bahwa dazibao memiliki peran yang sangat signifikan sebagai sarana dalam penggalangan Pengawal Merah pada Revolusi Kebudayaan.

ABSTRACT
Dazibao has confirmed its position as the main political communication and propaganda medium during the Cultural Revolution. This can be seen from the enthusiasm of the mass towards dazibao and the government's attempt to make it as a mass mobilizing medium. The impact of the utilization of dazibao was seen to be the most significant on the development of one of the most important elements in the Cultural Revolution, the Red Guards. Based on that point, this article analyzed the two dazibao that emerged at the beginning of the Cultural Revolution and significantly increased the number and movement of the Red Guards. Analysis of the two dazibao conducted to describe dazibao as a Red Guards mobilizing medium, which followed by an analysis of the influence of Mao Zedong and socio-political developments at that time. This article was carried out through historical approach that contains heuristic, verification, interpretation, and historiography steps. The analysis showed that dazibao has a very significant role as a Red Guards mobilizing medium during the Cultural Revolution.
"
2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Leressae
"Sebagai salah satu bentuk kesusastraan, puisi mengalami masa-masa keemasan di Cina. Puisi samar atau Menglongshi merupakan salah satu jenis puisi di Cina yang sulit diinterpretasikan maknanya dan muncul pada masa Revolusi Kebudayaan (1966-1976). Bei Dao adalah salah satu penyair yang menulis puisi samar berjudul “Xuanyan (Deklarasi)” pada masa itu. Revolusi kebudayaan membuat Bei Dao dan para penyair puisi samar lainnya tidak bebas berekspresi sehingga harus menggunakan berbagai simbol untuk menyembunyikan makna sebenarnya dalam puisi mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna situasi zaman yang terkandung di dalam puisi “Xuanyan (Deklarasi)” karya Bei Dao melalui simbol-simbol yang dituangkan ke dalam puisi ini. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu menganalisis puisi “Xuanyan (Deklarasi)” dan melakukan interpretasi untuk mendapatkan makna simbolik dari puisi ini. Penelitian ini mendapati hasil bahwa puisi “Xuanyan (Deklarasi)” memiliki makna simbolik tentang kritik dan penolakan Bei Dao terhadap segala propaganda dalam Revolusi Kebudayaan.

As a form of literature, poetry experienced golden times in China. Misty poetry or Menglongshi is a type of poetry in China that is difficult to interpret and emerged during the Cultural Revolution (1966-1976). Bei Dao was one of the poets who wrote the misty poem “Xuanyan (Declaration)” at that time. The cultural revolution made Bei Dao and other misty poets not free to express themselves, so they had to use various symbols to hide the true meaning in their poetry. This study aims to find out the meaning of the current situation contained in the poem "Xuanyan (Declaration)” by Bei Dao through the symbols that are poured into this poem. The research method used is descriptive qualitative, namely analyzing the poem "Xuanyan (Declaration)" and interpreting it to get the symbolic meaning of this poem. This study found that the poem "Xuanyan (Declaration)" has a symbolic meaning about Bei Dao's criticism and rejection of all propaganda in the Cultural Revolution."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Surryanto Djoko Waluyo
"Munculnya Mao Zedong sejak sebelum terbentuknya PKC sampai dengan terbentuknya PKC pada tahun 1921 telah menyemarakkan perebutan kekuasaan antara PKC dan Guomindang. Mao kemudian selalu berperan aktif dalam setiap momentum perjuangan melawan musuh baik yang berasal dari dalam maupun dari luar Cina. Melalui pola strategi perjuangan dan kepemimpinannya yang ampuh Mao berhasil membangun basis-basis merah yang kokoh. Taktik perang gerilya yang dikembangkannya semasa perang melawan Jepang merupakan taktik ampuh untuk melumpuhkan kekuatan musuh. Keberhasilan Mao dalam mengindoktrinasi anggota partai dan tentara telah mewujudkan PKC yang handal yang pada akhirnya mampu melumpuhkan kekuatan Guomindang serta berhasil meniadikan PKC berkuasa di seluruh negeri sejak tahun 1949. Semuanya ini merupakan wujud nyata hasi perjuangan Mao yang didukung oleh unsur rakyat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1989
S12703
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>