Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92500 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Desi Indrimayutri
"ABSTRAK
Masalah perwakilan Cina di PBB adalah masalah antara dua pemerintahan di Cina yang sama-sama menginginkan pengakuan politik di PBB Pada mulanya masalah ini berakar dari masalah dalam negeri Cina yaitu adanya revolusi yang dilakukan oleh Partai Komunis Cina untuk menggulingkan rezim Nasionalis. Rezim Nasionalis ini kemudian terusir ke pulau Taiwan. Masalah ini kemudian berkembang menjadi masalah internasional akibat campur tangan Amerika Serikat dan Uni Soviet. Isu yang kemudian muncul adalah ada dua pemerintahan di Cina yang sama-sama merasa berhak menempatkan wakilnya di PBB. Pada awalnya wakil Cina di PBB adalah pihak nasionalis dukungan Amerika Serikat. Namun kemudian, dengan adanya perluasan keanggotaan PBB dengan masuknya negara-negara Asia-Afrika yang baru merdeka menjadi anggota PBB, dukungan terhadap pihak komunis, dalam hal ini RRC, mulai mengalir. Perubahan yang drastis justru datang dari sikap Amerika Serikat yang semula menentang keanggotaan RRC, menjadi bersikap netral. Indikasi ini disambut oleh negara-negara sekutu Amerika Serikat sebagai upaya pendekatan Amerika Serikat dengan RRC. Hal ini mencapai puncaknya dengan diputuskannya RRC sebagai wakil sah Cina di forum internasional PBB pad a tanggal 25 Oktober 1971."
1995
S12864
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priyanto Wibowo
"ABSTRAK
Hubungan antara bangsa Cina dan orang-orang dari sebrang lautan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Paling tidak sejak abad 14, atau bahkan jauh sebelumnya, beberapa kapal dari negara-negara yang lautnya maju pernah menyinggahi Cina. Tetapi kunjungan-kunjungan kapal-kapal asing tersebut tidak mendapat sambutan yang semestinya baik dari pemerintah Cina maupun tradisionil rakyat Cina, yang notabene juga merupakan pandangan penguasa Cina pada waktu itu yang menganggap orang asing adalah orang biadab. Hal ini tercermin dari konsep mereka tentang zhongguo, yang menganggap Cina adalah pusat dunia, pusat budaya dan segala peradaban. Sementara itu masyarakat di luar Cina adalah masyarakat primitif, tidak berbudaya serta bar-bar yang perlu dibudayakan.
Atas dasar pemikiran yang demikian, maka proses hubungan antara Cina dan negara-negara sangatlah lambat. Ketika Inggris memulai menjajaiki hubungan dengan Cina perlakuan yang diterima oleh utusan Inggris adalah perlakuan sama yang diterapkan oleh kepada utusan dari sebuah negara taklukan. Tentu saja Inggris tidak dapat menerima perlakuan tersebut. Budaya diplomasi Eropa yang dibawa Inggris berbenturan dengan budaya diplomasi yang diterapkan oleh Cina yang terkenal dengan sebutan family of nations, dimana Cina bertindak sebagai bapak sementara negara-negara, terutama dikawasan Asia, bertindak sebagai anak dengan masing-masing konsekwen dengan posisinya.
Dengan menggunakan beberapa bahan bacaan yang didapat melalui penelitian kepustakaan, yang terdiri dari bahan primer maupun sekunder, tulisan ini bermaksud mengunggkapkan bagaimana akhirnya bangsa Eropa, khususnya Inggris mampu menembus konsep tradisionil Cina yang menjadi penghalang kegiatan diplomasinya. Bahkan kemudian Inggris berhasil menjadi mitra dagang paling besar bagi Cina, terutama adalah berkat adanya konsumsi teh yang sangat besar dikalangan bangsa Inggris. Semua hal tersebut dapat dicapai oleh Inggris hanya dengan melalui satu cara : kekerasan."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Joannes Ekaprasetya
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S26048
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Kusumawati
"Masalah status. golongan etnis Cina di Indonesia merupakan masalah penting yang mempengaruhi hubungan Indonesia - RRC, 1949-1967. Salah satu masalah status golongan etnis Cina yang harus segera diselesaikan adalah masalah dwikewarganegaraan. Sebagai dua buah negara yang baru merdeka RRC dan Indonesia hanya mengadopsi asas kewarganegaraan yang dianut oleh penguasa sebelumnya di negara masing-masing. Pemerintah RRC tetap mempertahankan Undang-undang kewarganegaraan tradisionalnya yang pada dasarnya menganut asas Ius-Sanquinis, sedangkan pemerintah Indonesia pada dasarnya menganut asas lus-Soli. Kewarganegaraan golongan etnis Cina di Indonesia harus jelas, sehingga perlakuan terhadap mereka menjadi tegas, yakni apakah mereka itu menjadi Warga Negara Indonesia atau Warga Negara RRC. Masalah status golongan etnis Cina dalam dunia perdagangan juga menjadi masalah penting dalam hubungan Indonesia-RRC pada periode ini. Peraturan Presiden no 10 tahun 1959 yang melarang orang asing melakukan kegiatan perdagangan eceran di daerah pedesaan Indonesia menimbulkan reaksi yang merusak hubungan Indonesia RRC.Keinginan untuk bebas dari dominasi Asing."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S12990
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
June Kuncoro H
"ABSTRAK
Hubungan ekonomi Cina-AS masa paska Perang Dingin cenderung positif ditandai dengan meningkatnya volume perdagangan dan kerjasama ekonomi antar kedua negara. Hubungan ekonomi ini dapat ditinjau sebagai sebuah interaksi dan tarik menarik antara kepentingan ekonomi Cina dengan AS. Dalam interaksi ini, Cina lebih mampu memperjuangan kepentingan ekonominya dibandingkan AS, ditandai dengan surplus perdagangan dan pembebasan tarif impor AS bagi produk Cina.
Interaksi kepentingan ekonomi ini juga menimbulkan ketegangan dan konflik dalam hubungan ekonomi Cina-AS. Namun konflik ini tidak bermuara pada putusnya hubungan ekonomi kedua negara, karena ?terciptanya? situasi dimana AS dan Cina secara bergantian memenangkan kepentingan ekonorninya. Dalam tinjauan strategic reservoir thesis, konflik mereda karena Cina dan AS lebih memprioritaskan kepentingan strategisnya (keberlangsungan hubungan ekonomi) dibanding mempertahankan kepentingan parsialnya (isu tertentu seperti MFN dsb.). Dari sudut pandang AS, hubungan ekonominya dengan Cina merupakan sarana untuk memperjuangkan kepentingan politiknya yaitu menanamkan nilai demokrasi, kapitalisme dan liberalisme di Cina. Upaya ini dapat dideteksi dari sikap AS yang seolah-olah ?memberi? surplus perdagangan kepada Cina. Keberhasilan AS memperjuangankan kepentingan politiknya dapat terlihat pada perubahan sikap Cina yang lebih mempedulikan penegakan HAM, penerapan sistem ekonomi pasar dan munculnya kapitalisme korosif di Cina.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avina Nadhila Widarsa
"Setelah terlibat konflik politik selama lebih dari enam dekade, Cina mengambil sebuah kebijakan yang fenomenal dalam hubungannya dengan Taiwan. Pada tanggal 29 Juni 2010 disepakati suatu kerangka kerjasama ekonomi yang ditandatangani oleh Association for Relations Across Taiwan Straits (ARATS) yang mewakili pemerintah Cina dan Strait Exchange Foundation (SEF) yang mewakili pemerintah Taiwan. Penandatanganan Cross Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) ini menandai babak baru dalam hubungan lintas selat. Walaupun perjanjian tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi yang resiprokal dan setara, dalam isi perjanjian ECFA justru lebih menguntungkan Taiwan daripada Cina. Dalam ECFA disepakati kedua pihak sepakat untuk menurunkan tarif pada produk - produk ekspornya hingga 0%. Cina bersedia menurunkan tarif bagi 539 produk impor dari Taiwan, sementara Taiwan hanya bersedia menurunkan tarif bagi 267 produk impor dari Cina. Jelas terdapat ketidakseimbangan dalam kesepakatan ekonomi tersebut. Menjadi pertanyaan yang menarik, mengapa Cina tetap mau menandatangani perjanjian yang sudah jelas merugikan baginya secara ekonomi Melalui kerangka pemikiran economic statecraft, penelitian ini mengidentifikasi bahwa Cina memiliki memiliki kepentingan di balik penandatanganan ECFA. Adapun kepentingan politik Cina dalam penandatanganan ECFA adalah sebagai tahap awal untuk mencapai reunifikasi secara damai dengan Taiwan dan sebagaim pembuktian upaya peaceful development yang dilakukan Cina di kawasan Asia Timur. Selain itu, Cina juga memiliki kepentingan ekonomi untuk menjaga aliran dana investasi langsung dari Taiwan yang menjadi salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi Cina.

After six decades full of hostility and political tension, China took an extraordinary action regarding her relation towards Taiwan. On June 29, 2010, an economic cooperation framework agreement was signed between Association for Relations Across Taiwan Straits (ARATS) as a representative of government of China and Strait Exchange Foundation (SEF) as a representative of government of Taiwan. The signing of Cross Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) was marking the new era of cross strait relations. While looking to improve economic cooperation reciprocally and equally, this agreement is more favor Taiwan instead of China. China agreed to reduce tariffs until 0% for 539 Taiwan export goods, while Taiwan only agreed to reduce tariffs for 267 China export goods. It is likely that China will face economic disadvantages because of this agreement. Then, the question is why China wants to sign this agreement although it doesn't give maximum advantages to her economy. Through the analysis from economic statecraft and economic cooperation as conceptual framework, this research pointed out that China has political and economic interest within this agreement. This research identified China's interest on ECFA as initial step to achieve peaceful reunification with Taiwan and as a way for China to prove the peaceful development strategy in East Asia region. Moreover, China also has economic interest towards ECFA which is to make sure Taiwan's FDI still come to China."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Haryati
"
ABSTRAK
Sejak berakhirnya perang saudara Cina antara pihak Komunis Cina (Gongchandang) dengan pihak Nasionalis (Kuomintang) pada tahun 1945-1949, maka Taiwan yang dikuasai pihak Nasionalis memisahkan diri dari kekuasaan Cina daratan yang dikuasai pihak Komunis. Akibatnya muncul dua pemerintahan Cina yang menguasai wilayah yang berbeda, yaitu Republik Cina (Zhonghua Minguo) di Taiwan, dan Republik Rakyat Cina (Zhonghua Renmin Gongheguo) di Cina daratan.
Dari keadaan tersebut, antara kedua negara Cina itu selalu terjadi konflik dan pertikaian mengenai siapa yang merupakan pemerintah Cina yang sah dan siapa yang merupakan wakil Cina di dunia internasional,hal tersebut Menimbulkan persaingan untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan bagi masing-masing pihak dari negara-negara lain.
Setelah melewati beberapa dekade hubungan yang semula membeku, berlahan-lahan mulai mencair dengan dibukanya hubungan dan dialog dalam bidang ekonomi dan sosial. Hubungan tersebut semakin meningkat dan berkembang, dan ditandai dengan dibangunnya dua badan non pemerintahan yang mengurus hubungan secara tak resmi dari kedua negara, yaitu SEF (Straits Exchange Foundation) dari pihak Taiwan dan ARATS (Association for Relations Across the Taiwan Straits) dari pihak RRC.
Masalah yang terjadi antara RRC-Taiwan juga tidak terlepas dari peran dan pengaruh Amerika Serikat yang sejak awal terlibat dalam pertikaian di Selat Taiwan tersebut. Sejak normalisasi hubungan AS-RRC dibuka, usulan mengenai reunifikasi damai mulai ditawarkan RRC pada Taiwan, sebagai upaya RRC mendapatkan Taiwan kembali ke pangkuannya. Tapi usulan tersebut ternyata menghadapi berbagai hambatan, terutama dari pihak Taiwan yang tidak menyetujui usulan tersebut yang dianggap merupakan usaha aneksasi dari pihak RRC. Kemudian RRC menawarkan formula satu negara dua sistem (yi guo Liang zhi) dan pemberian status SAR (Special Administration Region) bagi kembalinya Hong Kong, Macao, dan Taiwan ke pangkuan Cina daratan.
Perkembangan usaha reunifikasi Cina-Taiwan saat ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berkembang di dalam negeri masing-masing dan situasi internasional, serta perkembangan hubungan kedua negara baik di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Setelah Hong Kong kembali ke pangkuan RRC pada tahun 1997, dan menyusul Macao pada tahun 1999, akankah pembicaraan mengenai reunifikasi Cina-Taiwan akan diwujudkan di masa mendatang, semua ini tergantung pada perkembangan situasi yang ada sekarang baik di dalam negeri Cina dan Taiwan, serta situasi dunia internasional yang sedang mengarah kepada tatanan global.
"
1998
S12875
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimatul Ula
"Tesis ini membahas strategi yang digunakan Cina dalam mempertahankan kepentingannya di Myanmar. Dan bagaimana strategi tersebut jika dibandingkan dengan strategi yang digunakan ASEAN. Dengan menggunakan soft power sebagai kerangka teorinya, tesis ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dilihat dari aspek ekonomi, politik, dan militer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua strategi yang digunakan Cina lebih efektif bila dibandingkan dengan strategi yang digunakan ASEAN. Hal ini dikarenakan semua strategi yang digunakan Cina dapat memenuhi kebutuhan politik, militer, dan ekonomi Myanmar. Strategi yang digunakan Cina adalah strategi politik non-intervention, strategi ekonomi dengan kerjasama bilateral dan pemberian bantuan dan pinjaman, strategi militer dengan kerjasama persenjataan, dan juga strategi kontekstual HAM Cina.

This study is focuced on the strategy used by Cina in keeping his national interest in Myanmar. Moreover, this study also compares the strategy used by Cina and ASEAN. Soft power is used as the theory framework to get the answer of thi study. The result of this study shows that all the strategy that Cina used are more efective that the ASEAN's. It is because those strategy fulfill what Myanmar need. Those strategoes are non-intervention, bilateral cooperation, aids, and loans; arms trade cooperation, and also contextual Cina's human rights."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T28925
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Gede Artha Sastra Kusuma
"China semakin aktif dalam mengeksploitasi konflik yang terjadi di Myanmar. Konflik tersebut telah mengalami eskalasi sejak Min Aung Hlaing mengambil alih pemerintahan Myanmar dan menempatkan junta militer pada Februari 2021. Kudeta tersebut menimbulkan reaksi keras dari seluruh masyarakat Myanmar yang mengadakan perlawanan terhadap kembalinya dominasi junta militer, baik dari etnis mayoritas maupun minoritas. Kewalahan mengatasi berbagai kelompok etnis bersenjata, pemerintahan Hlaing mengalami rangkaian kekalahan dalam menghadapi kekuatan oposisi dalam Operasi 1027 yang dilancarkan oleh Three Brotherhood Alliance (3BTA), aliansi tiga kelompok etnis bersenjata yang beroperasi di negara bagian Shan. Melalui metode kualitatif, tulisan ini bermaksud untuk melihat intervensi yang dilakukan oleh China dalam konflik pemerintah-3BTA di negara bagian Shan. Hasil penelitian dalam tulisan ini menunjukkan bahwa China merupakan pihak ketiga tunggal yang melakukan intervensi terhadap dua pihak yang berkonflik. Intervensi tersebut didasarkan pada kepentingan China yang ada terhadap dua pihak tersebut. Setelah kepentingannya tercapai, China memaksa terjadinya resolusi konflik berupa gencatan senjata untuk memastikan proyek-proyek China tidak terdampak oleh konflik. Dengan demikian, intervensi tersebut dilakukan untuk melindungi kepentingan China di Myanmar. Bagi Myanmar, meskipun terjadi resolusi konflik, intervensi tersebut merupakan sinyal dominasi China yang semakin menguat di Myanmar.

China is increasingly active in exploiting the conflict in Myanmar. The conflict has escalated since Min Aung Hlaing took over the Myanmar government and installed a military junta in February 2021. The coup caused a strong reaction from all Myanmar people who held resistance against the return to dominance of the military junta, both from the majority and minority ethnic groups. Overwhelmed by various armed ethnic groups, the Hlaing government suffered a series of defeats in the face of opposition forces in Operation 1027 launched by the Three Brotherhood Alliance (3BTA), an alliance of three armed ethnic groups operating in Shan state. Through qualitative methods, this paper intends to look at the intervention carried out by China in the government-3BTA conflict in Shan state. The results of the research in this paper show that China is the sole third party that intervenes between the two parties in conflict. The intervention is based on China's existing interests in both parties. After achieving its interests, China forced conflict resolution in the form of a ceasefire to ensure that Chinese projects were not affected by the conflict. Thus, the intervention was carried out to protect China's interests in Myanmar. For Myanmar, despite the resolution of the conflict, this intervention is a signal of China's increasingly strengthening dominance in Myanmar.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>