Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 45132 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lilian Issusianti
"ABSTRAK. Penelitian mengenai partai politik Permi ini dilakukan dari tahun 1986 hingga tahun 1957. Tujuannya untuk me_ngetahui perjuangan Permi pada masa pergerakan nasional yang semula merupakan suatu lembaga pendidikan keagamaan kemudian berubah menjadi partai politik yang radikal di Sumatera Barat. Pengumpulan data dilakukan melalui kepustakaan berupa buku-buku, arsip, majalah.den surat kabar juga melalui Wa_wancara dengan salah seorang anggota Permi. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa Permi merupa_kan sebuah partai politik yang radikal di Sumatera Barat yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka dengan azasn-ya Islam dan Kebangsaan serta taktik perjuangan non kooperasi. Untuk mencapai tujuannya Permi mengadakan aksi-aksinya de_ngan rapat-rapat umum dalam usaha menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda. Oleh karena kegiatan-kegiatan Permi yang radikal pemerintah Belanda mengadakan penangkapan dan larangan berapat bagi Permi, sehingga akhirnya karena teka_nan-tekanan yang keras dari pemerintah Belanda, Permi terpaksa dibubarkan oleh pengurusnya pada tahun 1937."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S12363
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saiful Mahdi
"Muslimin Indonesia (MI) adalah organisasi massa yang sudah mengalami penggabungan dan perubahan bentuk, dari fungsi partai politik independen hingga menjadi salah satu unsur dalam Partai Persatuan Pembangunan. Perubahan bentuk ini dilakukan karena adanya kebijakan politik dari Jenderal Soeharto pada tahun 1971 yang menginginkan agar diadakan pengelompokkan partai politik berdasarkan persamaan ideologi dan platform partai. Tujuan politik dari Orde Baru mengadakan pengelompokkan terutama terhadap kelompok politik Islam adalah untuk memudahkan pengawasan dan mudah memecah dari dalam. Dalam kondisi yang pro dan kontra terhadap ide fusi tersebut Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Nahdhatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai Tarbiyah Islamiyah sepakat mendeklarasikan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di tahun 1973.
Sejak tahun 1973-1994, kepemimpinan di PPP dikuasai oleh elite-elite politik dari unsur Muslimin Indonesia.Di bawah pimpinan HMS Mintaredja kondisi partai dalam keadaan yang kompak walaupun terjadi konflik internal partai tetapi berkat adanya kedudukan beberapa ulama kharismatik seperti KH Bisri Syansuri berhasil diredam. Bagi seluruh anggota legislatif, Mintaredja memberikan kebebasan mengeluarkan pendapatnya tanpa khawatir akan dipecat dari keanggotaan DPR maupun partai. Kejatuhan Mintaredja di PPP karena ia telah tidak disukai lagi oleh Jenderal Soeharto terutama sejak keberaniannya menuntut kepada Soeharto agar PPP diberikan kursi kementrian di kabinet.
Mulai tahun 1978, pimpinan di PPP diambil alih oleh Djaelani Naro secara kontroversial tanpa melalui suatu forum Muktamar partai. Selama dipimpin oleh Djaelani Naro, keadaan PPP mulai diterpa oleh konflik internal yang luar biasa konflik tersebut tidak hanya melibatkan antara elite politik MI versus NU, tetapi juga antara elite politik ME versus MI. Djaelani Naro memiliki- kebijakan keras terhadap para anggota legislatif yang menyimpang dari kebijakan Orde Baru. Sosok Naro lebih terkesan sebagai perpanjangan-tangan kebijakan rezim Orde Baru di PPP. Keberanian Djaelani Naro untuk mencalonkan dirinya sebagai salah seorang wakil presiden RI di tahun 1988 pada saat sidang umum MPR, telah mengakibatkan kemarahan Soeharto terhadapnya.
Periode kepemimpinan Ismail Hasan Meutareum (1989-1994), mulai membenahi konflik internal partai melalui kebijakan rekonsiliasi terhadap tokoh-tokoh PPP baik dari unsur NU, MI,SI, dan Pena. Ismail Hasan melakukan kebijakan untuk mengurangi fanatisme berlebihan diantara empat unsur tersebut melalui bentuk pengajian bersama dan pendidikan-pendidikan kader bersama.Yang diinginkan olehnya adalah fanatisme terhadap PPP saja."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T4274
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: BP-7 Pusat, 1995
320.959 8 CIT
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Alfanny
"ABSTRAK
Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) merupakan salah satu dari sekian banyak serikat buruh yang ada di Indonesia pada masa Demokrasi Liberal (1950- 1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan pada awal Orde Baru (1966-1973). Sarbumusi lahir di Pabrik Gula Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur pada tanggal 27 September 1955.
Sarekat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) sebagai sebuah serikat buruh yang berafiliasi pada kelompok politik Islam, dalam hal ini Partai Nahdlatul Ulama (NU) dalam perkembangannya tidak hanya memperjuangkan kepentingan politik NU dalam sektor perburuhan, melainkan juga memperjuangkan aspirasi kaum buruh ketika berhadapan dengan Pemerintahan Orde Baru yang represif terhadap gerakan buruh.
Pada perkembangannya gerakan buruh Indonesia terpecah mengikuti afiliasi politiknya masing-masing. Pada awal pertumbuhannya Sarbumusi sebagai serikat buruh yang berafiliasi pada Partai NU disibukkan oleh persoalan konsolidasi dan eksistensi organisasi terutama demi mengimbangi pengaruh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), serikat buruh yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Keterkaitan serikat buruh dan politik pada satu sisi telah memberikan kontribusi yang berharga bagi penanaman ruh nasionalisme dalam masa Pergerakan Nasional. Namun di sisi lain nuansa politik yang kental dari serikat-serikat buruh telah menyebabkan perjuangan buruh tidak mencapai basil yang optimal terutama ketika berhadapan dengan pihak pengusaha dan pemerintah. Gerakan buruh tidak mampu bersatu dalam memperjuangkan aspirasinya, tapi terpecah belah oleh orientasi dan afiliasi politiknya masing-masing.
Sarbumusi bersama ormas-ormas NU lainnya mengambil peranan yang cukup besar dalam upaya membersihkan SOBSI pasca G.30 S PKI. Namun di sisi lain TNI AD yang menjadi Ujung tombak dalam operasi pembersihan sisa-sisa PKI telah bertindak sewenangwenang dengan melakukan penangkapan buruh-buruh yang bukan anggota SOBSI.
Sarbumusi mengkritisi Orde Baru yang masih mempertahankan perilaku usang Rejim Orde Lama di bidang perburuhan. Sarbumusi dengan tegas menolak pemecatan massal yang dilakukan oleh beberapa perusahaan negara dan menyatakan bahwa tindakan pemecatan massal merupakan tindakan yang menguntungkan PKI. Sarbumusi juga menuntut pencabutan larangan mogok, sebuah peraturan Rejim Orde Lama yang coba dipertahankan oleh Orde Baru.
Namun menjelang Pemilu 1971, Orde Baru bertekad memenangkan pemilu dengan melemahkan kekuatan masyarakat, yang salah satunya adalah gerakan buruh dengan Sarbumusi sebagai serikat buruh terbesar yang menginduk pada Partai NU yang juga menjadi pesaing utama Golkar, mesin politik Orde Baru, pada Pemilu 1971.
Pemerintah Orde Baru kemudian melakukan proses penataan ulang gerakan buruh Indonesia dengan tiga kebijakannya yang kemudian mendapat penentangan keras dari Sarbumusi. Pertama, kebijakan tentang intervensi asing dalam urusan perburuhan domestik yang dimonopoli hak perantaranya oleh Sekber Golkar. Kedua, tentang rencana pembentukan Korps Karyawan (Kokar) dan yang dilanjutkan dengan ketentuan monoloyalitas pegawai negeri. Ketiga, adalah kebijakan penyatuan kaurn buruh dalam sebuah wadah tunggal. Pasca Pemilu 1971, Pemerintah Orde Baru yang semakin bertambah kuat memprakarsai pembentukan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) setelah serangkaian pertemuan di kantor Bakin. Setelah FBSI berdiri, serikat-serikat buruh yang lama tidak dibubarkan secara resmi oleh pemerintah, namun pemerintah menempuh cara lain untuk membubarkan serikatserikat buruh lama yaitu dengan memberikan hak monopoli pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dalam sebuah perusahaan kepada FBSI.
Kegagalan Sarbumusi dalam menolak kehendak Orde Barn, terutama dalam menolak kebijakan pembentukan Kokar dan monoloyalitas serta pembentukan FBSI disebabkan kepentingan Orde Baru lemahnya posisi NU, induk Sarbumusi, pasca Pemilu 1971. Setelah Golkar memastikan kemenangan telak dalam Pemilu 1971 dan NU hanya mampu meraih urutan kedua, maka posisi tawar Sarbumusi pun kian melemah. Sebagai akibat sikap kritisnya sebelum Pemilu 1971, Sarbumusi mengalami represi oleh Orde Baru dan dipaksa untuk melebur dalam FBSI.

"
2001
S12160
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liesmawati
"Pada masa pergerakan nasional, khususnya dalam pergerakan _wanita ada suatu perkumpulan atau perhimpunan wanita yang mempunyai pendirian yang progresif (maju), yaitu bahwa nasib kaum wanita yang lebih baik (persamaan hak dan keduduk_an yang penuh antara pria dan wanita) akan tercapai melalui Indonesia Merdeka. Perhimpunan ini bernama perhimpunan Istri Sedar, yang didirikan pada tanggal 22 Maret 1930 di Bandung. Tetapi rupa-rupanya perhimpunan Istri Sedar yang berjuang begitu gigih, harus menghadapi berbagai permasalahan dengan golongan Islam, dengan Badan federasi PPII (Perikatan Perhimpoenan Istri Indonesia), serta dengan Pemerintah Hindia Belanda. Namun demikian, perhimpunan Istri Sedar tetap bertahan tidak membubarkan diri, kendati harus berada diluar. Badan federasi PPII terus, dan keluar sebagai anggota Kongres Perempoean Indonesia, serta memperlunak tujuannya, yaitu menghapuskan perkataan untuk mempercepat memperoleh Indonesia Merdeka."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Murniati Suwarso
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Al-Chaidar
Yogyakarta: Wihdah Press, 2000
297.095 9 ALC b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Gugus Tugas Penerbitan Direktori
Jakarta: PPPI, 2003,
R 659.132 Gug d
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Julianri
"ABSTRAK. Keberadaan masyarakat Arab Indonesia sebagai bagian dalam masyarakat Hindia Belanda, dan akhirnya setelah kemerdekaan menjadi warga negara Indonesia, telah mendorong saya untuk menulis tentang mereka. masalah yang diketengahkan adalah mengenai persatuan di kalangan masyarakat Arab. Persatuan bagi masyarakat minoritas seperti masyarakat Arab Indonesia pada masa itu sangat dibutuhkan, tetapi justru hal itu yang tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya. Masyarakat Arab Indonesia justru terpecah dalam 2 golongan, Sayid dan bukan Sayid. Perpecahan ini sangat merugikan di kalangan mereka sendiri. tetapi usaha persatuan kemudian dirintis justru oleh para pemuda peranakan Arab yang telah berpikiran maju dan yang merasakan akibat-akibat dari perpecahan itu. pengakuan Indonesia sebagai tanah air peranakan Arab melibatkan mereka pada perjuangan menuju Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S12244
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Federspeil, Howard M
New York: Cornell University, Modern Indonesia Priject, 1970
324.204 FED p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>