Ditemukan 52015 dokumen yang sesuai dengan query
Moh. Sarief Arief
"Kebijakan pemerintah kolonial terhadap perfilman di Hindia Belanda tergantung kepada satu hal. Yaitu, semakin menguatnya penonton pribumi memasuki pasaran perfilman, dalam arti pengkonsumsi bentuk film. Bila film-film itu secara _nuansa_ dapat memberikan hasil relatif positif terhadap pemerintah kolonial tentulah kebijakan pemerintah kolonial tidak akan mengutak-katik keberadaan bentuk perfilman ini. Yang terjadi adalah, penonton pribumi yang ketika itu menjadi penonton aktif di bioskop banyak mengkonsumsi film-film keluaran Hollywood yang jelas-jelas memperlihatkan kebrutalan orang barat, ketidak efektifan hukum yang dipergunakan. Kesemuanya ini jelas-jelas akan mengaburkan pandangan orang pribumi terhadap orang barat. Citra yang kemudian ditakutkan oleh pemerintah kolonial adalah orang pribumi melihat orang baratbukan sebagaimana yang telah diracik oleh pemerintah kolonial dengan ujudnya menjadikan orang barat orang nomor satu di Hindia Belanda yang secara tak tertulis menyiratkan bahwa orang baratlah yang harus dicontoh dalam hidup sehari-hari orang pribumi. Ketidak sinkronan ini menyebabkan pemerintah kolonial mengambil kebijakan. Kebijakan menghentikan masuknya film import amat mustahil, karena bentuk hiburan film ketika itu bisa dikatakan menjadi mata pencaharian cukup baik bagi beberapa orang Belanda dan Indo Belanda. Untuk itulah pemerintah kolonial mengambil dua kebijakan. Pertama, kebijakan memperketat jaringan perluasan pemutaran film import. Ini ditempuh dengan pembentukan komisi sensor serta hak dan wewenang anggota komisi sensor. Sayangnya, komisi sensor ini tidaklah terikat dengan lembaga apapun dalam birokrasi kolonial. Sehingga anggota komisi sensorpun tidak bertanggung jawab secara formal terhadap kekuasaan pemerintah. Hal ini tercermin dengan direvisinya beberapa kali kebijakan pemerintah kolonial akan komisi sensor film ini. Kebijakan kedua adalah membantu dasar hukum peredarannya serta menyokong fasilitas pembuatannya. Namun konsekuensi yang harus dibuat adalah film-film produksi di Hindia Belanda haruslah dapat menyiratkan pula bagaimana rendahnya moral dan tidak taatnya orang pribumi dengan hukum yang ada. Hal ini dikaitkan dengan keinginan pemerintah kolonial untuk menyemakan citra buruk orang barat dalam fil Genre Hollywood dengan film produksi dalam negeri. Kondisi inilah yang tidak disadari oleh pemerintah Indonesia setelah tampuk kedaulatan diakui oleh seluruh bangsa di muka ini. Jadilah kemudian persinggungan yang ada adalah monopoli film dalam kerangka mengindonesiakan film Indonesia. Bukan berupaya memberikan alternatif citra lain terhadap film-film buatan dalam negeri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Uyung
"Dalam persepsi pemerintah kolonial, haji merupakan bahaya terselubung yang harus diawasi, terlebih jika di_kaitkan dengan posisi strategis di belakang mereka, serta timbulnya pemberontakan yang diilhaminya. karenanya seluruh kebijakan pemerintah kolonial tentang masalah ini, ialah bagaimana mengawasi jika tidak ingin dikatakan meredam aktifitas mereka. Ada pun komponen yang dikuasai pemerintah kolonial, antara lain penggunaan kapal haji, pembukaan konsulat jenderal haji, juga ujian-ujian yang harus diluluskan jika ingin menunaikan ibadah haji. Dalam masa depresi ekonomi 1930, pengawasan-pengawasan tidak hanya bertendensi politik, namun juga ekonomis. Dengan banyaknya orang menunaikan ibadah haji ini, berarti juga berbarengan dengan keluaranya devisa negara."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
s13108
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Moh. Syarief Arief
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S12377
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Saleh A. Djamhari
Jakaarta: Komunitas Bambu, 2004
959.8 SAL s
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Ariasari
"Setelah diperkenalkannya ekonomi uang dalam masa Raffles, walau kemudian mengalami kegagalan. pemerintah kolonial mulai merasakan bahwa diperlukan sebuah bank untuk mengatur akumulasi modal dan perdagangan, pada sebuah tanah jajahan. Untuk tidak mengulangi kegagalan yang dialami pada masa Raffles. didirikan NHM, yang di Indonesia juga berfungsi sebagai sebuah bank perta_nian, yang memberikan, pinjaman untuk memperlancar usaha perke_bunan. Dengan modal bersama antara NHM dan Pemerintah Hindia Belanda, kemudian berdiri sebuah lembaga keuangan yang berfungsi sebagai sebuah bank sirkulasi dan bank pemberi kredit yang se_paruh modalnya adalah milik sebuah perusahaan swasta. NHM sebagai pemegang hak monopoli dagang pada masa Tanam Paksa, mempunyai kepentingan yang besar dalam pengakumulasian modal di Indonesia, oleh karena itulah. dirasakan perlu untuk mempunyai sebagian modal yang ada pada De Javache bank untuk tetap melancarkan investasi yang dilaksanakannya di Indonesia. Permasalahannya adalah bagaimanakah bank baru ini kemudian menjalankan fungsinya untuk mengernbangkan modal dalam usaha tanaman ekspor. yang lalu di pasar an Eropa. Bank ini kemudian memberikan pinjaman pada pengusaha yang terlibat dalam usaha penanaman tanaman ekspor tersebut. Disamping untuk memenuhi kebutuhan usaha penanaman. Pinjaman itu iuga djperlukan untuk pernbayaran upah buruh tani serta untuk pembayaran pekerjaan bebas seperti pengangkutan dengan gerobak dan lain sebagainya. Jadi akibat diperkenalkannya ekonomi uang untuk pembayaran upah, secara tidak langsung bank ini telah ikut serta dalam menunjang kehidupan masyarakat sehubungan dengan kondisi sosial ekonomi mereka. nampak sistem, Tanam Paksa yang sangat berpengaruh pada_ struktur sosial ekonominya ialah bahwa sistern ini hanya merupakan suatu intensifikasi sistem produksi prakapitalis, sehingga tidak mampu menciptakan kekuatan-kekuatan yang melahirkan pertumbuhan ekonorni dengan perkembangan kapitalismenya. Sistem Tanam Paksa menciptakan usaha pertanian yang padat karya pada pihak pribumi, serta usaha industri pertanian yang padat modal pada pihak pengu_saha Eropa atau asing lainnya. Dalam masa paruh terakhir pelaksanaan Sistem Tanam Paksa, yaitu antara tahun 1850-1870. juga terdapat suatu proses timbal balik antara pertumbuhan ekonomi kerajaan Belanda dengan perge_seran dari kapitalisme komersiai ke kapitalisme industri pada satu pihak dan perkembangan politik liberal di pihak lain. Hubungan De Javasche Bank dalam sebuah sistern perekonomian yang kapitalistik dengan sebuah perusahaan besar yang lainnya seperti NHM dan onderneming yang juga terdapat pada periode ini."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S12125
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1970
992.04 A 379 sa
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Harry Fajar Surya
"
ABSTRAKSkripsi ini membahas upaya pemerintah kolonial terhadap pelestarian lingkungan di Hindia Belanda. Perusakan hutan dan perburuan hewan liar, merupakan masalah krusial yang mengancam kelestarian lingkungan hidup pada awal abad di Hindia Belanda. Hal tersebut dibuktikan dari musim pancaroba dan hujan yang tidak turun pada musim basah. Pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial Hindia Belanda membuat beberapa landasan kebijakan untuk membatasi kerusakan dan melestarikan alam. Landasan kebijakan tersebut merupakan hasil dari masukan dan aksi sekelompok ilmuwan yang peduli terhadap lingkungan. Ide pemikiran Ilmuwan di Hindia Belanda tidak terlepas dari upaya pelestarian alam yang ada di Belanda. Sebagai negara induk, Belanda mempunyai peran penting sebagai pemicu dari beridirinya gerakan pelestarian alam di Hindia Belanda. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode sejarah, yaitu: melalui tahap heuristik, dengan menelusuri Staatsblad lembaran negara , dan statuten yang melalui tahapan kritik. Sehingga dapat di interpretasi dan menghasilkan penulisan sejarah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah kolonial Hindia Belanda telah membangun landasan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan yang konstruktif dengan membangun cagar alam dan suaka margasatwa.
ABSTRACTThis thesis discusses the efforts of the colonial government towards environmental conservation in the Dutch East Indies. The destruction of forests and the hunting of wild animals, was a crucial issue that threatened the preservation of the environment at the beginning of the century in the Dutch East Indies. This is evident during the transition season when the rain did not fall in the wet season. At the beginning of the 20th century, the Dutch East Indies colonial government made several policy platforms to limit environmental damage and preserve nature. The foundation of the policy is the result of input and action of a group of scientists who care about the environment. The ideas and thoughts of the scientists in the Dutch East Indies cannot be separated from the efforts of nature conservation in the Netherlands. As a mother country, the Netherlands had an important role as a trigger of the establishment of nature conservation movement in the Dutch East Indies. The method used in this research is the historical method, namely through the heuristic stage, by tracing the Staatsblad, and statuten through criticism stage. So that, can be interpreted and be writed as history. The results of this study indicate that the Dutch East Indies colonial government has built a constructive policy regarding environmental management by establishing nature reserves and wildlife sanctuaries. "
2017
S68382
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Wisnu Agung Prayogo
"This thesys is explaining about the history of films development in Indonesia with polisies that have been taken by the New Order Government in order to improve national films. Since year1966, New Order Government have made some policies to support the development of national film and to protect national films from the suppressions of import films which come to Indonesia. Not only their policy were capable to improve the development of national films but also they become the government to control films Indonesia to saty at the same path with the government."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S12553
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Muchamad Irawan
"Dalam masalah pendidikan bagi warga negara suatu negara, pemerintah yang bersangkutan harus ikut bertanggung jawab terhadap perkembangan pendidikan yang lebih berkualitas. Bahkan dalam Tujuan Nasional yang ingin dicapai oleh Negara Indonesia pun berusaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun masalahnya menjadi lain ketika kita lihat bagaiamana kebijakan pemerintah kolonial dalam bidang pendidikan pada tahun 1930-an. Sistem pendidikan yang dibangun oleh pemerintah kolonial, tidak dapat dipungkiri telah membentuk kelompok intelektual baru yang kemudian ikut berjuang bagi kemerdekaan Indonesia. Namun jika dilihat secara lebih mendalam ternyata pemerintah kolonial telah melakukan kebijakan yang diskriminasi terhadap sekolah-sekolah swasta yang tidak berada dalam pengawasannya. Kekhawatiran pemerintah kolonial terhadap keberadaan sekolah-sekolah swasta milik kaum pergerakan terjadi karena lembaga ini menjadi pendidikan politik yang secara potensial dapat merugikan pihak kolonial dalam bidang politik. Sekolah_-sekolah milik organisasi pergerakan ini memang secara sadar membangun kesadaran berbangsa dan cenderung anti kolonial. Untuk itulah pemerintah Hindia Belanda kemudian dengan alasan bahwa lembaga pendidikan yang berdiri harus berkualitas dengan syarat_-syarat yang ditetapkan pemerintah, yang seringkali sekolah-sekolah swasta ini tidak mempunyai kemampuan memenuhi persyaratan dari pemerintah tersebut. Sebagai puncaknya pemerintah menerbitkan Wilde Scholen Ordonantie (Ordonansi sekolah Liar), dengan ordonansi ini pemerintah dapat membubarkan sekolah-sekolah swasta yang tidak memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan. Bagi kaum pergerakan ordonansi ini bukan hanya semata-mata berdasarkan sistem pendidikan yang baik dan berkualitas, namun lebih bernuansa politis untuk mernberangus sekolah-sekolah milik organisasi pergerakan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S12503
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Dwi Lestari Widayanti
"Sistim ekonomi antara tahun 1870-1900 yang dikenal dengan sistim liberal telah melandasi tata caa kehidupan di Hindia Belanda yang diawali dari perubahan di negeri Belanda sendiri, kemudian merambah ke negeri jajahannya. Lebreralisme adalah suatu aliran yang mengutamakan kemerdekaan individu, sebagai pangkal dan pokok dari kebaikan kehidupan. Perubahan ekonomi yang terjadi di negeri Belanda dan kemudian merambah ke Hindia Belanda, ternyata mengakibatkan semakin mundurnya perekonamian penduduk Jawa. Keadaaan ini membangkitkan semangat baru bagi kaum nasionalis untuk dapat mempertahankan kehidupan. Koperasi yang berarti kerjasama atau saling tolong menolong bukan merupakan kata baru bagi bangsa Indonesia. Namun gotong royong yang mereka lakukan sebelum mengenal koperasi sifatnya statis, sedangkan koperasi ini bersifat dinamis. sengaja diadakan dengan sadar dan nyata untuk memperbaiki nasib orang yang lemah ekonominya dengan jalan bekerja lama. muncul dari Westerrode yaitu orang Belanda yang melihat nasib perekonomian bangsa jajahannya sangat memprihatinkan. Ide ini kemudian didukung bukan hanya dari kalangan mereka tetapi terutama dari kalangan nasionalis. Untuk pertama kalinya seorang tokoh nasionalis mendirikan koperasi bagi golongan bumi putera yang menyebut organisasinya Boedi Oetomo tahun 1908, tujuan organisasi ini untuk mengalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa- Madura. Kemudian golongan Islam juga mendirikan satu perkumpulan dagang sekitar tahun 1913. Perkumpulan ini lebih tampak nyata untuk mempersatukan para pedagang-pedagang Islam yang bersama-sama menghadapi persaingan dagang dengan orang_-orang Cina dan Arab. Untuk menghadapi pertumbuhan koperasi pada masa ini pemerintah jajahan mengatasinya dengan melahirkan Undang-undang koperasi tanggal 7 April 1915 yang tercantum dalam Staatblad No. 431, yaitu mengatur perkumpulan koperasi di Hindia Belanda. Kemudian untuk menguatkan undang-undang koperasi ini dibentuklah Cooperasi Commmissie tahun 1920 dan Commissie ini lebih memperinci lagi keberadaan koperasi dengan dibuatnya UU koperasi pada tahun 1927. Aturan koperasi untuk bumi putera ini diberi nama Regeling Inlandsche Cooperatieve Vereenigingen (Peraturan Perkumpulan Koperasi Bumi Putera). Sampai tahun 1929 koperasi telah berjumlah 1540 buah."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1991
S12194
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library