Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 76520 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Supriyadi
"Data arkeologi atau benda cagar budaya pada hakekatnya, baik secara kuantitatif maupun kualitatatif, selalu dihadapkan kepada masalah, yaitu ancaman terhadap kelestariannya. Ancaman kelestariannya berasal dari pengaruh dua hal, yaitu pengaruh aktivitas alam dan pengaruh perilaku manusia itu sendiri. Suatu benda cagar budaya memiliki peranan bagi kepentingan sejarah, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan. Qleh karena itu, diperlukan adanya suatu upaya pelestarian dan pemeliharaan benda cagar budaya utnuk melestarikan dan menyelamatkan data arkeologi yang masih tersisa itu dari ancaman kelestariannya. Upaya-upaya pelestarian itu mencakup atas upaya perlindungan, penetapan situs pemeliharaan dan pemanfaatan. Bangunan Masjid As-Shalafiyah adalah salah satu bangunan bersejarah yang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya di Jakarta. Salah satu upaya, yang kaitannya dengan upaya pelestarian suatu bangunan adalah pemugaran. Kegiatan pemugaran merupakan upaya melestarikan dan memelihara bangunan bersejarah, yaitu dengan memperbaiki dan membangun kembali secara utuh seperti keadaan aslinya, tidak membuat bangunan menjadi baru. Dalam setiap kegiatan pemugaran yang harus diperhatikan, yaitu menghindari pemalsuan dan menghindari cap pribadi serta keaslian data. Tujuan penelitiannya adalah mendeskripsikan dan menjabarkan perubahan-_perubahan apa saja yang terjadi setelah dilakukannya suatu upaya pemugaran (renovasi). Di mana, upaya pemugaran terhadap bangunan Masjid As-Shalafiyah telah dilakukan cukup banyak dan sebagian besar dilakukan oleh masyarakat setempat dan sisanya oleh Pemerintah DKI Jakarta. Selain itu, tujuan lainnya adalah memberikan gambaran mengenai komponen-komponen bangunan Masjid As-Shalafiyah yang masih asli (lama) dan yang telah mengalami perubahan (baru). Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian arkeologi pada umumnya, yaitu tahap observasi, tahap deskripsi dan tahap eksplanasi. Sumber-_sumber data berasal dari literatur-literatur, gambar, foto-foto, dan hasil wawancara. Dan juga buku-buku mengenai peraturan Perundang-undangan mengenai BCB. Hasil penelitiannnya adalah bahwa salah satu upaya untuk melestarikan dan melindungi bangunan Masjid As-Shalafiyah, sebagai bangunan bersejarah, yakni salah satunya adalah dengan ditetapkannya sebagai salah satu bangunan cagar budaya, yang dilindungi secara hukum. Dan kaitannya dengan upaya pelestarian dan perlindungannya, dilakukan suatu upaya pemugaran. Dan dapat dilihat bahwa sebenarnya berlangsungnya pemugaran (renovasi) telah mengalami perubahan. Baik secara bentuk, bahan, teknik pengerjaan dan tata letaknya. Sehingga, sangat disayangkan bahwa apa yang diharapkan dari suatu pemugaran bangunan cagar budaya tidak tercapai. Di mana, pemugarannya telah merubah bahkan telah menghilangkan komponen-komponen bangunan yang memiliki nilai arkeologis. Dilihat dari prinsip-_prinsip pemugaran dalam ilmu arkeologi, hal ini telah menyimpang atau tidak sesuai lagi dengan tata nilai dan kaidah-kaidah pemugaran dalam ilmu arkeologi, yaitu memperhatikan keaslian data. Dengan kata lain, pemugaran-pemugaran terhadap bangunan Masjid As-Shalafiyah telah terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-Undang tentang Pelestarian dan Perlindungan BCB."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S11990
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Rizal A.
"Upaya pelestarian bangunan cagar budaya seringkali berbenturan dengan pembangunan kota Jakarta yang selalu mengalami perkembangan. Demikian pula yang terjadi dengan gedung PLN Gambir, di mana pada awalnya gedung ini dipergunakan sebagai perusahaan listrik milik pemerintah Belanda. Kebutuhan akan ruangan membuat pihak PLN melakukan penambahan dan pengurangan pada bangunannya, hai ini justru akan mengancam gedung PLN sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi. Di dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana upaya penyelamatan dan pelestarian yang telah dilakukan terhadap gedung PLN, dan juga akan dilihat upaya pelestarian yang telah berlangsung di gedung PLN apakah sesuai dengan prinsip-prinsip pemugaran dan asas pemanfaatan yang terdapat di dalam undang-undang no. 5 tahun 1992 tentang bangunan cagar budaya. Tujuan dari penelitian ini ialah mencoba mengevaluasi hasil pemugaran yang telah dilakukan, dan memberikan saran yang berkaitan dengan upaya pelestarian gedung PLN. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perkembangan kota Jakarta menimbulkan berbagai masalah bagi kelestarian bangunan cagar budaya. Hal ini dikarenakan banyaknya pihak yang berkepentingan terhadap bangunan cagar budaya, mereka menginginkan adanya penambahan maupun pengurangan terhadap bangunan yang dikelola. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu penyelesaian jalan tengah atau kompromi agar bangunan cagar budaya dapat dilestarikan sekaligus dimanfaatkan"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S11520
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Hastuti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S25374
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suwardi Hagani
"ABSTRAK
Dalam penyebaran kebudayaan kadang terjadi sebuah proses percampuran kebudayaan. Proses ini diteliti lewat peninggalan kebudayaan, berupa bangunan kolonial tipe landhuis yang ada di Jakarta.
Ketika orang Belanda datang dan menjadi penguasa di Jakarta, mereka membawa kebudayaan negara asalnya, salah satunya adalah bangunan landhuis.
Landhuis sebagai sebuah bangunan yang pertama kali berkem_bang di Eropa pada jaman renaissance, merupakan sebuah bangunan yang didirikan di luar kota untuk tujuan kenyamanan.
Namun dalam kenyataannya landhuis yang ada di Jakarta men_galami proses percampuran unsur kebudayaan, hal ini pernah dinya_takan oleh Van de Wall dalam beberapa tulisannya.
Pada penelitian ini dipilih landhuis dari abad ke-18 M sebagai obyek penelitian, karena pada masa itu adalah masa kemak_rnuran hingga kebangkrutan kongsi dagang Belanda (VOC) yang ada di Jakarta.
Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah landhuis Gunung Sari, Reinier de Klerk, Cililitan Besar, Cimanggis dan Yapan. Dengan membahas keberadaan unsur bangunan tradisional Jakarta (Betawi) dan unsur bangunan Eropanya.
Variabel yang diamati adalah denah, bentuk atap, bahan atap, dak atap, pintu, jendela, tiang, pilar, pilaster dan ragam hias ornamental.

"
1995
S12056
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Safari
"Seni hias merupakan bagian dari seni rupa. Pada umumnya seni hias tidak berdiri sendiri, melainkan bagian integral atau pelengkap dari benda lain. Meskipun demikian, seni bias menghasilkan hiasan atau ornamen yang dapat menjadi petunjuk alas fungsi dari suatu benda. Seni bias juga disebut dengan lstllah ornamen. di many kata hias adalah sesuatu untuk menambah nilai indah. Wujud dari keindahan tersebut dapat berupa rangkaian ornamen atau motif hias. Dalam peninggalan arkeologi, bentuk-bentuk motif bias terdapat pada berbagai artefak, misalnya pennukaan struktur bangunan seperti pada tiang-tiang, pintu, dinding, langit-langit, dan atap bangunan. Tampaknva suatu motif bias tidak begitu saja digunakan pada suatu benda, tetapi jauh dari itu motif hias tersebut digunakan mempunyai maksud tertentu. Motif hias atau ornamen pada suatu artefak juga mempunyai arti penting yang dapat digunakan sebagai bahan penelitian dalam studi arkeologi khususnya sejarah kesenian. Oleh sebab itu penelitian terhadap motif hias atau ornamentasi sangat perlu di lakukan, karena masih banyak informasi di dalamnya yang belurn digali seeara mendalam. Dengan semakin banyaknya penelitian terhadap artefak seni yang salah satunya adalah motif hias atau ornamen pada bangunan dapat memperkava informasi menenai data artefak seni dalam dunia arkeologi. Penggunaan motif hias pada bangunan merupakan suatu hal yang umum, begitu pula pada bangunan-bangunan bergaya arsitektur Cina, khususnya bangunan klenteng. Motif hias atau ornamen yang terdapat pada bangunan-bangunan bergaya arsitektur Cina mencerminkan filosofi kehidupan dari masyarakat Cina itu sendiri. Selain itu karena tradisi dan kebudayaan masyarakat Cilia yang telah begitu berakar selama ribuan tahun. Oleh karena itu tidak heran jika filosofis Cina sangat mempengaruhi segala macam kehidupan masyarakat Cina, termasuk kebudayaan fisik seperti halnya bangunan yang mereka buat. Motif hias yang sering digunakan pada bangunan-bangunan bergaya arsitektur Cina, antara lain motif flora, fauna, geometris, benda-benda, alana, dan tokoh. Motif hias tersebut merupakan salah satu bentuk ekspresi dari ideologi masyarakat Cina, yang dilatar belakangi oleh filsafat Cina. Salah satu ciri bangunan peninggalan masyarakat Cina di Jakarta adalah bangunan klenteng. Di Jakarta banyak terdapat bangunan klenteng, bangunan-bangunan klenteng tersebut ada yang dibangun dari abad 17 M hingga sampai pada masa sekarang ini. Bangunan klenteng umumnya mempunyai unsur tradisional budaya Cina yang lebih kental dibandingkan dengan bangunan-bangunan bergaya arsitektur Cina lainnya. Bangunan klenteng kaya akan motif hias dan motif hias yang terdapat pada bangunan tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam 5 kategori utama yaitu motif hewan, tanaman, kejadian alam, geometri, dan tokoh. Ornamentasi yang diterapkan pada motif hias tersebut, secara garis besar mempunyai dua fungsi, yaitu; fungsi estetis adalah fungsi ornamentasi yang sifatnya pasif yang biasanya digunakan pada benda-benda yang tidak berfungsi konstruktif, dan fungsi simbolis adalah ornamentasi yang di samping sebagai hiasan juga mempunyai makna simbolik. Klenteng merupakan bangunan ibadah orang-orang Cina yang sangat menarik untuk diteliti. Selain bentuknya, ornamen-ornamen yang terdapat pada bangunan klenteng memiliki keunikan atau kekhasan tersendiri. Dari ornamen-ornamen tersebut dapat mengungkapkan tentang seni penggunaan ornamen dalam budaya arsitektur masyarakat Cina."
2000
S11412
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Putri Prayudi
"Bangunan cagar budaya adalah bangunan berusia 50 tahun atau lebih yang memiliki nilai sejarah, budaya, dan pengetahuan sehingga harus dilestarikan keberadaannya. Dalam melestarikan bangunan cagar budaya, ada tujuh cara intervensi yang dapat dilakukan. Cara intervensi tersebut harus dilakukan dengan tetap memerhatikan keaslian bangunan cagar budaya, etika pelestarian, dan prinsip pelestarian. Pelestarian yang bergantung terhadap kondisi awal bangunan cagar budaya menyebabkan cara intervensi yang dilakukan akan berbeda-beda. Salah satu bentuk pelestarian bangunan cagar budaya adalah memanfaatkannya menjadi bangunan masa kini, yaitu museum. Museum adalah tempat di mana terdapat benda koleksi untuk dipamerkan dan juga dilestarikan. Untuk memenuhi kebutuhan pameran benda koleksi, dibutuhkan pola sirkulasi tertentu pada ruang pamer. Untuk memenuhi kebutuhan pelestarian benda koleksi, dibutuhkan ruang yang terhindar dari cahaya alami agar sinar ultraviolet tidak langsung mengenai benda koleksi yang sensitif dengan cahaya. Kebutuhan dan persyaratan ruang untuk arsitektur museum ini harus dapat terpenuhi selaras dengan pelestarian bangunan cagar budaya. Museum Seni Rupa dan Keramik dan Museum Fatahillah menjadi contoh yang berhasil dalam melakukan pelestarian bangunan cagar budaya dengan memanfaatkannya sebagai museum, atau disebut juga dengan adaptive reuse.

Heritage building is a building that has been built for 50 years or more. It has some values such as history, culture, and knowledge which make them important to conserve. There are seven ways in terms of conservation of heritage building, they are called interventions. Interventions have to be done based on the authenticity value of the heritage building, conservation’s ethics, and conservation’s principles. Conservation of the heritage building depends on its existing condition that would decide which ways are appropriate to be done. Turning the heritage building as a building that can be used for another function in this time is an example of conservations. That building can be a museum. Museum is a place where heritage stuffs are being exhibited and preserved. To fulfill the needs of exhibition, an exhibition room must have certain pattern of circulations. To preserve, spaces in museum must be avoided from direct sunlight in order to keep ultraviolet light away from the heritage stuffs. Heritage stuffs are very sensitive to ultraviolet light. Needs and requirements of architecture museum should meet the interventions of heritage building in order to make the conservation works. Museum Seni Rupa dan Keramik and Museum Fatahillah could be the role model on how heritage building turns into museums, and this is called as an adaptive reuse of heritage building."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Mitawati
"Dunia arkeologi Indonesia memiliki tantangan yang berat, selain mencapai tujuannya, yakni untuk mempertahankan datanya di dalam era pembangunan fisik (Mundardjito, 1993). Meskipun demikian, mempertahankan keberadaan data arkeologi, merupakan hakekat pelestarian, menjadi salah satu aspek penting arkeologi selain penelitian (Mundardjito, 1993). Pelestarian membutuhkan dana yang tidak sedikit dan sumber daya manusia berkualitas yang memadai kuantitasnya. Keterbatasan penyediaan hal di atas dapat diatasi dengan melakukan pemilihan bangunan-bangunan yang tingkat kepentingan pelestariannya tinggi. Pemilihan ini dapat dilaksanakan melalui penilaian. Banyak pihak, termasuk Undang-Undang Benda Cagar Budaya telah membuat suatu alat penilaian yang terdiri dari beberapa variabel penilaian. Tetapi, alat penilaian itu kurang obyektif, karena tidak jelas dan rinci, sehingga bersifat intuisi. Selain itu, alat penilaian yang pernah dibuat hanya berdasarkan sudut pandang ilmu tertentu, sehingga kepentingan arkeologi misalnya, seringkali tidak tercakup. Berdasarkan pemikiran ini, maka perlu dibuat suatu sistem penilaian Baru yang lebih obyektif, yang ditandai dengan adanya nilai kuantitatif. Sistem penilaian benda cagar budaya terdiri dari variabel penilaian, kelas variabel penilaian, dan formula. Variabel penilaian bersifat tetap, artinya di manapun penilaian dilakukan, variabel yang dinilai adalah sama. Variabel penilaian dalam sistem ini terdiri dari enam, yakni: variabel usia, variabel perubahan, variabel gaya, variabel hubungan, variabel manfaat, dan variabel kelangkaan. Selain keenam variabel penilaian tersebut, terdapat satu variabel lain yang juga bersifat tetap, yakni variabel kondisi fisik bangunan. Variabel ini berperan dalam menentukan bentuk formula. Dengan demikian, apabila formula telah tercipta, maka dalam penilaian pada bangunan-bangunan selanjutnya, dalam kawasan yang sama, variabel ini tidak termasuk. Variabel kondisi fisik bangunan memiliki empat aspek, yakni: aspek arsitektural, aspek struktural, aspek keterawatan, dan aspek lingkungan. Penelitian yang berkaitan dengan keempat aspek variabel ini terdiri dari dua tahap_ Penelitian tahap pertama, studi kelayakan arkeologi, yaitu penelitian untuk menentukan skala prioritas bangunan (termasuk melakukan penilaian). Penelitian tahap kedua dilakukan terhadap bangunan yang akan memeperoleh upaya pelestarian, berarti penelitian ini bersifat lebih mendalam dan detail. Penelitian tahap pertama hanya melibatkan tiga aspek pertama. Kelas-kelas variabel penilaian merupakan penurunan dari variabel penilaian. Berdasarkan metode penurunannya, variabel penilaian terdiri dari dua macam, yakni: variabel bebas yaitu variabel yang kelas-kelasnya tidak ditentukan oleh kondisi kawasan atau bangunan-bangunan yang akan dinilai (termasuk dalam variabel ini adalah variabel manfaat) dan variabel tidak bebas yaitu variabel yang kelas-kelasnya ditentukan oleh kondisi kawasan atau bangunan-bangunan yang akan dinilai (termasuk dalam variabel ini adalah variabel perubahan, variabel gaya, variabel hubungan, variabel usia, variabel kelangkaan, dan variabel kondisi fisik bangunan). Kemudian, sejumlah bangunan yang dinilai akan disusun skala prioritasnya, maka setiap kelas variabel diberi nilai sesuai dengan tingkat kepentingannya, misalnya untuk variabel kondisi fisik bangunan, semakin buruk tingkat keterawatannya, maka semakin besar nilainya, yakni: 3. Sedangkan variabel yang kelas-kelasnya tidak dapat dibuat peringkat seperti variabel di atas, maka diberi nilai yang sama untuk setiap kelas, yakni: 1. Dengan demikian. maka diperlukan analisis hasil penilaian yang dapat memperlihatkan variasi kelas variabel, kemudian penilaian diberikan berdasarkan peringkat kepentingan variasi tersebut. Penilaian dimulai dari angka 1 dan seterusnya. Demikian seterusnya metode yang sama diperlakukan kepada variabel-variabel yang lain, tak terkecuali. Kemudian, dilakukan penjumlahan semua nilai dari setiap variabel dari suatu bangunan. Bangunan dengan jumlah nilai terbesar diurutkan dalam skala prioritas tertinggi diikuti bangunan-bangunan lain yang memiliki nilai semakin kecil. Komponen sistem penilaian yang terakhir adalah formula atau rumusan matematis yang digunakan untuk menentukan apakah suatu bangunan prioritas atau bukan prioritas dalam pelestarian. Formula ini digunakan pada bangunan selain kelompok bangunan yang telah disusun skala prioritasnya, seperti telah disebutkan terdahulu, tetapi masih dalam kawasan yang memiliki karakteristik kelas variabel yang sama. Formula diperoleh dari pengolahan , nilai-nilai yang telah ditentukan pada bangunan-bangunan yang menjadi data dalam program SPSS. Semua nilai variabel, kecuaii variabel kelangkaan, diolah dalam program SPSS pengolahan data regresi linear berganda. Variabel kondisi fisik bangunan dijadikan variabel prioritas atau variabel yang bersifat dependent (Y). Hasil pengolahan data yang diterapkan pada Kawasan Kembang Jepun, Surabaya adalah rumusan sebagai berkut: Y - 1,290 + 1,031 XI - 0,959 X2. 0,795 X3 + 0,489 X4 dengan X, : nilai variabel perubahan (1 atau 2) X2 : nilai variabel hubungan antarbangunan (0, 1 atau 2) X3 : nilai variabel usia (1 atau 2) Xi : nilai hubungan antara bangunan denngan wilayah (0, 1 atau 2) Hasil perhitungan dari formula tersebut, Y, terdiri dari 3 kemungkinan, yakni: 1, 2 atau 3. Nilai 1 berarti bukan prioritas dan nilai 3 berarti prioritas. Sedangkan nilai 2 berarti mengandung kemungkinan prioritas-bukan prioritas tergantung pada pelaksana pelestarian."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
S11421
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Utaminingsih
"ABSTRAK
Penelitian mengenai bangunan-bangunan sitinggil pada kompleks keraton Kasepuhan ini bertujuan untuk menjelaskan dan memberi gambaran lengkap mengenai bentuk bangunan-bangunan sitinggil yang terdapat pada kompleks kraton Kasepuhan dan bangunan-bangunan serupa yang telah ada pada masa sebelumnya, berupa penggambaran pada relief di candi-candi masa Majapahit. Metode yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi dalam beberapa tahap, yaitu pertama, tahap penggumpulan data: dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung yang di dalamnya dilakukan kegiatan-kegiatan seperti pencatan, pengukuran, penggambaran dan pemotretan; serta studi kepustakaan yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan .penelitian. Kedua, tahap pengolahan data: dilakukan dengan melakukan pemeriari dan analisis terhadap bentuk bangunan_bangunan sitinggil yang terdapat pada halaman kraton Kasepuhan tersebut. Sclanjutnya, ketiga, yaitu tahap penafsiran data: dilakukan dengan melakukan perbandingan bentuk bangunan-bangunan sitinggil dengan bangunan-bangunan yang rnempunyai bentuk serupa yang terdapat pada relief di candi-candi Majapahit. Selain itu juga digunakan juga sumber-sumber sejarah sebagai data penunjang. Hasilnya menunjukkan bahwa, terdapat banyak persamaan bentuk antara bangunan-bangunan sitinggil dengan gambaran bangunan-bangunan yang terdapat pada relief di candi-candi dari masa Majapahit. Ternyata persamaan-persamaan itu menunjukan terdapatnya suatu kesinambunganan konsepsi maupun gaya seni bangunan Jawa-Hindu, khususnya dari periode Jawa Timur dalam hal ini Majapahit yang tetap berlanjut hingga ke masa Jawa-Islam, dalam hal ini Cirebon.

"
1996
S12029
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Suryanti Adisoemarta
"Arsitektur bangunan dapat dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti ekonomi, politik, kebudayaan, dan lain-lain. Sebab arsitektur tidak dapat terlepas dari konteks manusia dan manusia membangun bangunan untuk melaksanakan aktivitasnya. Penelitian ini terbatas pada dua bangunan yaitu gedung Mahkamah Agung dan Gedung Balai Seni RUpa. Meskipun gedung mahkamah Agung dan gedung Balai Seni Rupa sama-ama merupakan bangunan peradilan sama-sama bergaya Neo-Klasik, ternyata memiliki beberapa perbedaan. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengetahui pola tata ruang dan unsur yang menjadikan indikator bangunan peradilan. (2) pemberikan penilaian terhadap gaya seni yang diserap antara kedua bangunan tersebut. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan adalah: (a) pengumpulan data, (b) pengolah data dan (c) interpretasi data. Pendekatan yang digunakan dalam tahap pengolahan data adalah analogi dan arkeologi keruangan. Adapun tahap arkeologi keruangan yang digunakan terbatas pada tahap mikro dan semi-mikro. Tujuan dilakukan analogi untuk memberikan penilaian gaya seni dan untuk mengetahui unsur yang dapat dijadikan indikator banguna peradilan. Tujuan dilakukan arkeologi keruangan, dalam tahap mikro untuk mengetahui masing-masing bangunan secara mendalam sedangkan dalam tahap semi-mikro untuk menjelaskan keberadaan, persamaan, perbedaan dan hubungan antara kedua bangunan tersebut. Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini adalah: (1) Gedung Mahkamah Agung menyerap gaya seni Neo-Klasik Romawi dengan dipengaruhi oleh berbagai ragam seni lainnya. Sedangkan gedung Balai Seni Rupa murni menyerap gaya seni Neo-Klasik Yunani. (2) Untuk disebut sebagai bangunan peradilan harus memiliki sebuah ruang utama yang berukuran besar dan berapa di tengah bangunan dan ruang utama tersebut dikelilingi oleh ruang-ruang lain yang berukuran lebih kecil. Fungsi ruang utama sebagai ruang peradilan utama sedangkan fungsi ruang-ruang keliling sebagai kantor administratif yang menunjang kegiatan peradilan. (3) Perbedaan yang terdapat pada kedua bangunan tersebut dipengaruhi pula oleh perbedaan tingkat peradilan (karena kedua bangunan berfungsi sebagai bangunan peradilan), keadaan ekonomi dan situasi politik pada masa itu. Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini adalah bersifat sementara. Oleh karena itu penelitian serta pengujian lebih dalam masih dibutuhkan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1991
S11943
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Dinas Museum dan Pemugaran, 2000
R 720.959 IND bt
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>