Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 96964 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sugih Nugroho
"Penelitian ini merupakan penelitian arkeologi Pemukiman skala semi mikro, dengan perspektif ekologi dan pendekatan adaptasi manusia. Kompleks Kraton Ratu Baka merupakan situs pemukiman yang dihuni sejak masa sebelum tahun 714 Saka (792 M). Pemukiman yang pertama tercatat dalam prasasti adalah pada masa abad VIII M s.d abad X M. Namun sebagai pemukiman, kompleks Kraton Ratu Baka yang terletak di bukit Ratu Baka ini mempunyai kondisi lingkungan yang kurang memadai sebagai tempat bermukim. Kekurangan-kekurangan meliputi keadaan topografinya sangat curam, merupakan bukit berbatu, mengandung kapur dan berdaya serap rendah. Karena itu wilayah ini tidak mempunyai sumber daya air yang didapat dari dalam tanah. Namun, walau begitu curah hujan di wilayah ini tinggi, sehingga masalah air dapat diatasi dengan mendapatkan air dari air hujan. Tetapi, curah hujan tinggi juga menimbulkan bahaya sampingan, yaitu erosi dan tanah longsor yang bisa datang setiap saat. Erosi tinggi lebih muncul lagi apabila tanah di wilayah ini merupakan tanah urugan, berdaya serap rendah, sedikit flora yang dapat menahan erosi serta tipisnya jarak permukaan tanah dengan batuan dibawahnya. Dengan berbagai kekurangan tersebut masyarakat di Kompleks tersebut membangun sebuah jaringan teknologi yang dapat mengatasi keadaan alamnya. 1. Teknologi Pengelolaan dan Pemanfaatan Air. Hujan merupakan sumber utama dalam penyediaan air di Kompleks Kraton Ratu Baka. Keadaan tanah yang sulit memerangkap air, menyebabkan air cenderung menjadi air permukaan dan mengalir ke tempat-tempat yang lebih rendah ataupun menggenang. Untuk mengendalikan air agar tidak mengalir ke tempat-tempat datar, maka dilakukan usaha_-usaha yang memerlukan kemampuan teknik memadai. Kemampuan teknis penghuni kompleks Kraton Ratu Baka adalah dalam mewujudkan suatu teknologi yang mampu mengendalikan dan memanfaatkan lingkungan fisik di wilayah tersebut. Secara detail, sistem pengelolaan air yang ada membagi menjadi tiga buah bentuk, (1) Saluran Air Distribusi, (2) Saluran Air Penbuangan dan, (3) Kolam Penampungan Air. Pengandalian terhadap air dilakukan dengan pembuatan penampungan air dan sistem drainase yang tepat. Penampungan dan peresapan air dilakukan dengan membuat kolam-kolam penampung air yang dapat juga berfungsi sebagai penjernihan air dan kolam persediaan untuk kebutuhan sehari-hari baik di musim penghujan maupun musim kemarau. Sistem drainase dibuat dengan membuat saluran-saluran penghubung di tempat-tempat tertentu untuk menjaga air tetap mengalir ke tempat-tempat yang ditentukan dan tidak menggenang sehingga tempat menjadi becek dan tidak sedap dipandang mata. Dengan cara pengendalian air tersebut maka diperoleh persediaan air yang mencukupi dan kondisi lingkungan tetap terjaga, serta dapat mengatasi kesulitan air terutama pada musim kemarau. 2. Teknologi Pengelolaan dan Pemanfaatan Lahan. Pada tanah yang terdapat perbedaan ketinggian dibuat talud yang disangga dengan tatanan batu putih untuk memperkuat dan mencegah terjadinya erosi dan tanah longsor. Usaha lain untuk memperkuat daya tanah adalah membuat tanah yang berundak-undak atau disebut terasering. Hampir di semua kelompok bangunan di kompleks Kraton Ratu Baka ini terlihat dibuat dengan cara terasering. Seperti pada Kelompok Barat, yang dibagi menjadi tiga teras, yaitu teras 1, teras 2 dan teras 3. Secara mekanis, fungsinya adalah untuk mengurangi laju air turun ke tempat yang lebih rendah, Sedangkan fungsi spiritualnya adalah untuk membedakan kesakralan tempat, karena tempat yang lebih tinggi mempunyai tingkat kesakralan lebih tinggi daripada teras yang lebih rendah."
2000
S12062
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Utaminingsih
"Penelitian mengenai bangunan-bangunan sitinggil pada kompleks keraton Kasepuhan ini bertujuan untuk menjelaskan dan memberi gambaran lengkap mengenai bentuk bangunan-bangunan sitinggil yang terdapat pada kompleks kraton Kasepuhan dan bangunan-bangunan serupa yang telah ada pada masa sebelumnya, berupa penggambaran pada relief di candi-candi masa Majapahit. Metode yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi dalam beberapa tahap, yaitu pertama, tahap penggumpulan data: dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung yang di dalamnya dilakukan kegiatan-kegiatan seperti pencatan, pengukuran, penggambaran dan pemotretan; serta studi kepustakaan yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan penelitian. Kedua, tahap pengolahan data: dilakukan dengan melakukan pemeriari dan analisis terhadap bentuk bangunan-bangunan sitinggil yang terdapat pada halaman kraton Kasepuhan tersebut. Selanjutnya, ketiga, yaitu tahap penafsiran data: dilakukan dengan melakukan perbandingan bentuk bangunan-bangunan sitinggil dengan bangunan-bangunan yang rnempunyai bentuk serupa yang terdapat pada relief di candi-candi Majapahit. Selain itu juga digunakan juga sumber-sumber sejarah sebagai data penunjang. Hasilnya menunjukkan bahwa, terdapat banyak persamaan bentuk antara bangunan-bangunan sitinggil dengan gambaran bangunan-bangunan yang terdapat pada relief di candi-candi dari masa Majapahit. Ternyata persamaan-persamaan itu menunjukan terdapatnya suatu kesinambunganan konsepsi maupun gaya seni bangunan Jawa-Hindu, khususnya dari periode Jawa Timur dalam hal ini Majapahit yang tetap berlanjut hingga ke masa Jawa-Islam, dalam hal ini Cirebon."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
S-12029
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santi Yasmini
"Arsitek dan pemerhati arsitektur cenderung memperlakukan arsitektur sebagai suatu bentuk bangunan untuk mereka yang; hidup. Padahal sebenarnya beberapa obyek arsitektur yang terkenal datanb dari usaha pemenuhan kebutuhan mereka yang telah mati, salah satunya adalah makam. Uniknya, walaupun masing-masing memiliki tujuan yang berbeda, kita dapat menjumpai adanya keserupaan antara makam itu sendiri dengan bangunan lain, khususnya tempat tinggai semasa hidup. Secara sadar maupun tidak, beberapa masyarakat menyamakan alam baka dengan alam fana, sehingga memperlakukan makam sebagai tempat kediaman berikutnya."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1997
S48186
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anne Putri Yusiani
"Jumlah prasasti berbahasa Sansekerta yang ditemukan di Indonesia sangat sedikit apabila dibandingkan dengan jumlah prasasti berbahasa Jawa Kuno. Hal itu mungkin disebabkan oleh rumitnya aturan yang terdapat dalam tata bahasa Sansekerta dan terbatasnya masyarakat yang memahami bahasa tersebut. Maka, berbeda dengan prasasti berbahasa Jawa Kuno yang biasanya memuat tentang perihal kehidupan sehari-hari dan lain-lain, prasasti-prasasti berbahasa Sansekerta hanya berfungsi sebagai sarana legitimasi, puji-pujian kepada dewa, ajaran keagamaan, silsilah raja dan pernyataan kemenangan. Salah satu dari sedikitnya prasasti berbahasa Sansekerta di atas adalah tiga buah prasasti dari bukit Ratu Baka yang berangka tahun 778 Saka. Baik aksara, isi dan interpretasi dari ketiga prasasti ini telah diteliti oleh J.G. de Casparis dalam bukunya Prasasti Indonesia II. Dalam bukunya tersebut de Casparis menyebutkan tentang adanya penyimpangan tata bahasa Sansekerta pada ketiga prasasti tersebut, yaitu prasasti Krttikavasalinga, Tryamvakalinga, dan Haralinga. Namun, dalam penjelasannya tersebut de Casparis hanya memberikan sedikit contoh tentang penyimpangan yang terjadi.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui letak penyimpangan penggunaan tata bahasa Sansekerta yang digunakan pada kalimat-kalimat dalam prasasti Krttikavasalinga, Tryamvakalinga, dan Haralinga sekaligus mengetahui faktor-faktor penyebab penyimpangan tata bahasa yang terjadi pada ketiga prasasti tersebut. Apabila penelitian dapat memberikan jawaban atas permasalahan-_permasalahan yang diajukan, dapat diketahui pula fungsi prasasti-prasasti berbahasa Sansekerta dalam masyarakat Jawa Kuno. Setelah dilakukan pembacaan dan analisis ulang, ditemukan empat jenis penyimpangan tata bahasa Sansekerta. Diantaranya adalah lima belas penyimpangan fonologi, tiga penyimpangan morfologi, dua penyimpangan samdhi, dan tujuh penyimpangan deklinasi. Empat jenis penyimpangan tersebut kemudian setelah dikorelasikan dengan beberapa hipotesa penyebab penyimpangan tata bahasa, dapat memberikan kemungkinan jawaban tentang faktor penyebabnya.
Maka diperkirakan terdapat dua penyebab dari penyimpangan tata bahasa Sansekerta yang terjadi pada ketiga prasasti ini, yaitu : (1) Kurangnya penguasaan citralekha terhadap aturan tata bahasa Sansekerta tertentu. Hal ini disebabkan oleh karena penyimpangan yang terjadi cenderung acak, tidak konsisten dan ditemukan banyak kalimat yang menggunakan tata bahasa yang benar, (2) Adanya pengaruh dari bahasa Jawa Kuno yang digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa penyimpangan fonologi berupa penggandaan konsonan yang biasa terjadi dalam bahasa Jawa Kuno. Apabila melihat isi dari sebagian besar prasasti-prasasti berbahasa Sansekerta, termasuk ketiga prasasti ini, maka makin jelaslah fungsi prasasti berbahasa Sansekerta dalam masyarakat Jawa Kuno. Fungsinya bukan sebagai uraian putusan biasa, tetapi sebagai putusan sakral yang isinya dilandaskan atau dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat kedewaan. Hal yang sama berlaku pada kedudukan bahasa Sansekerta pada masyarakat Jawa Kuno. Bahasa Sansekerta berfungsi sebagai bahasa 'tinggi', yang hanya digunakan untuk mengumumkan sesuatu yang penting atau sakral, baik itu yang berkaitan dengan keagamaan atau dengan kelegitimasian raja"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S11516
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Soegiyo Pranoto
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
TA3601
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Noor
"Lahan rawa pasang surut berperan penting dan strategis dalam peningkatan produksi pangan ke depan, mengingat terbatasnya lahan subur serta tingginya laju pertambahan penduduk, konversi lahan, dan fragmentasi pemilikan lahan usaha tani. Lahan rawa pasang surut luasnya mencapai 23,25 juta ha, 11,11 juta ha di antaranya berpotensi dikembangkan sebagai lahan pertanian produktif, namun baru sekitar 5,27 juta ha yang dibuka dan dimanfaatkan. Pengelolaan air di lahan rawa pasang surut tidak cukup hanya memanfaatkan gerakan pasang, tetapi memerlukan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelindian dan memperbaiki kualitas tanah sehingga produktivitas lahan menjadi lebih baik. Kearifan lokal petani di lahan rawa dapat dimanfaatkan untuk memperkaya teknologi pengelolaan air sehingga dapat meningkatkan produksi dan pendapatan usaha tani dengan memerhatikan dinamika tanah, biodiversitas, dan kelestarian lingkungan. Strategi pengelolaan air dalam mendukung optimalisasi lahan dan intensifikasi pertanian perlu ditempuh melalui: (1) refocusing daerah sasaran dengan penentuan zonasi pengelolaan air yang didasarkan pada perilaku tata air dan hidrologi setempat; (2) perbaikan dan pembangunan infra-struktur jaringan tata air; (3) pemantauan dan pengembangan perencanaan sepanjang masa pemanfaatan lahan; (4) pening-katan kegiatan diseminasi teknologi pengelolaan air melalui pelatihan dan penyuluhan; dan (5) refocusing penelitian dan pengembangan teknologi pengelolaan air untuk mendukung peningkatan produktivitas dan intensitas tanam."
Kementerian Kementerian RI, 2014
630 PIP 7:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Novia Dwi Indaryani
"Artikel ilmiah ini membahas mengenai jenis pola asuh orang tua yang berprofesi guru terhadap pengembangan minat baca anak di kompleks guru Pelabuhan Ratu. Penelitian ini merupakan jenis penelitian Kualitatif dengan pendekatan studi Etnografi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pendidikan orang tua, profesi orang tua dan lingkungan di sekitar anak (keluarga) berpengaruh dalam meningkatkan minat minat baca anak. Orang tua yang berprofesi sebagai guru menggunakan jenis pola asuh otoritatif (authorative parenting) dalam membangun minat baca anak. Mereka membebaskan anaknya untuk memilih apa yang mereka minati namun dengan batasan-batasan atau peraturan yang sudah disepakati terlebih dahulu. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pola asuh orang tua dalam membangun minat baca anak di lingkungan kompleks guru Pelabuhan Ratu dapat dikategorikan cukup baik dalam arti para orang tua peduli dengan minat baca dan mendukung anak dengan melengkapi fasilitas seperti bahan bacaan yang sesuai dengan usia anak sehingga anak dapat menyukai kegiatan membaca.

The undergraduate thesis discusses about the type of parenting of parents working as teachers in relation to the development of chidrens reading interest at Kompleks Guru Pelabuhan Ratu. This is a qualitative research with ethnographic study approach. The result show that parents education background, profession, and childrens surrounding environment (family) are advancing childrens reading interest. Parents working as teachers use authoritative parenting method in building childrens reading interest. They let their children free to choose any reading materials they are interested in yet with boundaries or rules which have been agreed beforehand. The conclusion from this research is parentings style on increasing of children reading interest in environment of Kompleks Guru Pelabuhan Ratu are quite good in the sense of parents concerned with reading and supporting the child?s with facilities such as reading material according with age so that the child can love reading."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S61103
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rijadiati
"Rawa Pekayon Bulak merupakan tempat pembuangan sampah sementara di daerah Pekayon, Bekasi, sebenarnya merupakan daerah resapan air bagi lingkungan sekitarnya. Penumpukan sampah di rawa tersebut berlangsung terus menerus, karena pemerintah kota tidak mampu menyediakan lahan penampungan sampah untuk warganya. Perubahan fungsi rawa dan bertumpuknya sampah mendatangkan dampak negatif bagi kehidupan warga di sekitarnya. Intervensi ditujukan untuk meningkatkan kesadaran warga supaya mau terlibat dalam usaha memperbaiki kerusakan yang terjadi, yaitu dengan mengelola sampah domestik mereka. Pengelolaan dimulai dengan memilah sampah warga dari rumahnya masing-masing. Target intervensi adalah-ibu-ibu di RT 03 dan 04, RW 11, kompleks PPI, Bekasi, dengan jumlah 96 KK.
Baseline study dilakukan dengan observasi lapangan, wawancara dan penyebaran kuesioner. Teori-teori yang mendasari intervensi adalah teori perubahan sosial, theory of planned behavior dan teori belajar sosial. Strategi yang digunakan adalah strategi persuasi melalui pembentukan organisasi dalam komunitas yang bersangkutan, pemberian pelatihan dan penyuluhan bagi seluruh stakeholder yang terlibat dalam proses pembuangan sampah dan penerapan komunikasi yang intensif melalui leaflet dan manipulasi lingkungan.
Perubahan secara khusus yang terjadi adalah: warga mulai memilah sampah (56,75%), membuat kompos pribadi (16,21%), 8 dari 14 tong kompos yang disediakan untuk pembuatan kompos kolektif sudah mulai dipenuhi oleh potongan sayuran dan sampah halaman warga, pengadaan wadah sampah di rumah warga meningkat, terpasang prompts di lingkungan warga yang mengingatkan warga untuk memilah sampah. Secara umum: terjadi perubahan perilaku warga terhadap sampah domestiknya dengan adanya piket dan kerja bakti warga.
Untuk intervensi berikutnya, penulis menyarankan untuk melakukan penyuluhan tindak lanjut bagi para stakeholder pembuang sampah, review terhadap program yang sudah berjalan dan diskusikan perbaikan dan pengembangannya terutama dalam hal komunikasi internal dan pelaksanaan Sistem-sistem monitoring dan evaluasi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Susetyo Edi Prabowo
"Kota Semarang sebagai ibu kota propinsi Jawa Tengah terletak antara garis 6° 50' - 7° 10' Lintang Selatan dan garis 109° 35' - 110 50' Bujur Timur. Dibatasi sebelah barat oleh kabupaten Kendal, sebelah timur oleh kabupaten Demak, sebelah selatan oleh kabupaten Semarang dan sebelah utara oleh Laut Jawa dengan garis pantai sepanjang 13,6 km. Secara administratif kota Semarang meliputi 16 wilayah kecamatan dan 177 kelurahan dengan luas wilayah 373,70 km2 dengan topografi merupakan wilayah berbukit-bukit dan daerah yang landai terletak di sepanjang pesisir utara. Kawasan ini merupakan dataran rendah aluvial dengan ketinggian bervariasi antara 0 - 250 m dpl.
Kota Semarang tidak terlepas dari permasalahan pemenuhan kebutuhan air, karena daerah sekitarnya mengalami pertumbuhan yang pesat terutama dengan berkembangnya lokasi industri. Besarnya resapan air hujan di sebagian daerah Semarang terdapat di daerah aliran sungai (DAS) Garang dengan jumlah rata-rata 121.775.200 m3/tahun (Direktorat Geologi Tata Lingkungan, 199912000). Yang memiliki luas 195.57608 km2 (52,75% luas kota Semarang).
Penduduk Kota Semarang pada tahun 1998 tercatat berjumlah 1.272.648 jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk selama tahun 1998 sebesar 0,842% (Kota Semarang Dalam Angka, 1998). Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir kepadatan penduduk cenderung naik seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Namun disisi lain penyebaran penduduk pada masing-masing wilayah kecamatan belum merata, kecamatan Semarang Tengah tercatat sebagai wilayah terpadat sedangkan kecamatan Mijen merupakan wilayah dengan tingkat kepadatan terendah.
Saat ini sekitar 30% kebutuhan air bersih masyarakat kota Semarang terpenuhi oleh PDAM (]ICA, 1998). Disisi lain kapasitas produksi air PDAM sangat tergantung pada air sungai, karena di kota Semarang sudah mulai terjadi krisis air tanah. Data pada tahun 1997 memperlihatkan setengah dari total kapasitas air PDAM, kurang lebih 0,901 m3/detik diambil dari sungai Garang. Sampai tahun 2015 prediksi kebutuhan air bersih kota Semarang mencapai 12,218 m3/detik. Sehingga sebagian besar penduduk dan kebutuhan industri di daerah Semarang harus memenuhi kebutuhan air bersih dari budi daya sendiri, yaitu dari air tanah dengan cara membuat sumur gali, dan sumur bor. Perkembangan pengambilan air tanah di kota Semarang meningkat tajam seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
Namun di sisi lain peningkatan jumlah penduduk pembangunan sarana dan prasarana perkotaan sehingga terjadi perubahan peruntukan lahan. Dengan adanya perubahan ini, kemampuan tanah untuk meresapkan air menjadi sangat terbatas hal ini ditunjukkan antara lain dengan meningkatnya limpasan kumulatif air aliran permukaan. Nilai limpasan air permukaan suatu wilayah merupakan daya kumulatif dari masing-masing jenis tata guna lahan. Maka daya melimpaskan air suatu lahan tergantung pada pola tata guna lahannya (Guritno, 2000). Penulis mencoba untuk menentukan daya dukung lahan di DAS Garang dengan bantuan SIG.
Bahan penelitian adalah ekosistem kawasan resapan air (Recharge Area) dan ekosistem lainnya yang terkait di DAS Garang dan sekitarnya yang diperoleh dalam bentuk data spasial serta tabular. Data sekunder yang dikumpulkan melalui proses digitasi disusun menjadi peta digital. Beberapa peta digital tersebut kemudian di overlay sebagai dasar analisis terhadap keperluan penelitian ini.
Dari hasil analisis terhadap pola tata guna lahan di DAS Garang pada tahun 1993 diperoleh nilai limpasan kumulatifnya (Ckum) sebesar 0.5288069 (> 0.4) menunjukkan bahwa daya dukung lingkungan di DAS tersebut buruk sedangkan pada tahun 1998 nilai limpasan kumulatifnya (Ck ) justru meningkat menjadi sebesar 0.53550415. Kedua fakta tersebut diatas mengindikasikan bahwa pola tata guna lahan di DAS Garang menunjukkan penurunan dari tahun 1993 ke tahun 1998 sehingga memerlukan perhatian yang serius pada masa mendatang.

The city of Semarang, capital of Central Java is situated between 60 50' - 7° 10' latitude and 109° 35' - 110° 50' longitude. It is bordered by Kendal Regency on the west, by Demak Regency on its east, on the south by Semarang Regency and at its north is the 13,6 km. Coast line of the Java sea. Administratively the city of Semarang consists of 16 districts and 177 sub districts covering an area of 373,70 square km. With a topography of rolling hills and gently sloping land at its northern coast. The whole region is an alluvial lowland lying at 0 to 250 meters above sea level. Semarang city is not free from the problems of adequate water supply, due to the rapid development of its surrounding areas, in particular that of its industry. The area with the highest annual rainfall with an average of 121.775.200 m3/year (Directorate of Geology and Environmental, 1999/2000) is situated along the Garang river stream area at the southern part of Semarang a total area of 195.57608 square lcm (52,75% Semarang total area).
The population amount of Semarang city recorded in 1998 is 1.272.648 and has an annual growth by 1998 of 0,842% (Semarang city in numbers, 1998). Within the last 5 year its population density has tended to increase that is commensurate wit its population growth. However, its population is unevenly distributed among the districts, with Central Semarang district recorded as the most densely populated area, and Mijen district having the lowest density.
At present about 30% of the city population's water requirement is supplied by PDAM (ICA, 1998). However, the production capacity for fresh water relies mostly on adequate river water, due to the merging problem of decreasing grand water levels in the city. Data?s from 1997 show that half of PDAM supply capacity, roughly 0,901 cubic m/sec., is water taken from the Garang river. By year 2015 it is predicted that demand for fresh water will reach 12,218 cubic rn3/sec. Most of Semarang's population industrial needs for fresh water will have to be supplied through own resources, namely by digging along boring wells.
Thus the rapid increase of ground water use in Semarang city is in direct relation to the population increase and industrial development.
Unfortunately the increase in population means building more infrastructures which in turn caused a change in land use. With the increased land use, the capability of the ground surface to absorb water has decreased, as can be seen from the increasing cumulative surface watershed. Thus the rate of of watershed capacity depends on the cumulative results from the various cities? land use. The watershed capacity of an area depends on the pattern of land use system deployed in that area (Guritno, 2000). The writer tries to assess the Garang river stream area (DAS) land capacity by using SIG.
The research material comes from the water recharge area ecosystem and other ecosystems related to DAS Garang and surroundings, collected in spatial and tabular data form. The secondary data collected by digitations process was compiled into a digital map. Several of the digital maps were then overlaid as the basis for this research requirement.
From the results of an analysis of the land use system pattern at DAS Garang in 1993, a cumulative watershed capacity of (Ck?m) 0.5288069 (> 0.4) was concluded which indicates that the capability of this particular DAS is bad, even when in 1998 the cumulative watershed capacity increased slightly to 0.53550415. Both the above findings indicate that the pattern of land use at DAS Garang has decreased in effectiveness and such requires serious attention in the near future.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T5796
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wanny Rahardjo Wahyudi
"Penelitian ini membahas masalah pengelolaan air di bekas kota Majapahit, yang terletak di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Daerah tersebut merupakan kipas aluvial yang dikelilingi daerah gunung-gunung api dan sungai-sungai. Secara khusus ada dua hal yang dikaji dalam penelitian ini yaitu: latar belakang dibangunnya fasilitas-fasiltas air di Trowulan, sebagai kota Majapahit; masalah pengelolaan air di Trowulan.
Dalam kaitannya dengan masalah yang pertama, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fasilititas-fasilitas bangunan air di Trowulan terutama ditujukan untuk mengendalikan banjir dan luah erupsi vulkanik yang berasal dari daerah pegunungan yang terletak di sekitar daerah tersebut, yaitu Gunung Anjasmoro, Welirang dan Penanggungan. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa waduk-waduk, kanal-kanal dan kolam-kolam buatan di Trowulan sating berhubungan.
Memperhatikan waduk-waduk dan kanal-kanal yang saling berhubungan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa waduk-waduk dan kanal-kanal itu dibangun secara sistemik. Sebagai suatu sitem, ke lima waduk tersebut merupakan pagar penyerap yang mengurangi ancaman luah material vulkanik dari pangkal kipas aluvil Jatirejo ke kota Majapahit di trowulan. Bangunan-bangunan air tersebut dibuat dengan memperhatikan geomorfologi Trowulan secara umum maupun sifat aktivitas vulkaniknya.
Selain sebagai pengendali banjir dan luapan erupsi vulkanik, bangunan-bangunan air tersebut ternyata juga digunakan untuk irigasi yang mengairi sawah-sawah yang berada di sekitar kota majapahit. Data prasasti yang ditemukan disekitar Trowulan menunjukkan bahwa di sekitar kota Majapahit memang terdapat persawahan yang pengairannya telah dikelola dengan baik."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2001
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>