Ditemukan 3926 dokumen yang sesuai dengan query
Indonesia and Australia: Asian Law Group, [Date of publication not identified]
346.048 INT
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Antitirani Sekaring Ati
"Sejak awal penciptaan karya Fan-art dan kegiatan komersialisasi Fanmerchandise, berbagai pertanyaan mengenai status serta perlindungan hukum hak cipta yang diberikan kepada pencipta karya Fan-art atau Fan-artist terus dipertanyakan. Hal ini dikarenakan penciptaan karya tersebut dibuat tanpa ada izin dari pencipta dan/atau pemilik hak cipta. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa karya Fan-art dan Fanmerchandise merupakan karya turunan yang tidak memiliki izin sehingga tidak mendapatkan perlindungan hak cipta dan merupakan pelanggaran hak moral dan/atau hak ekonomi pencipta dan/atau pemilik hak cipta. Namun, dengan menggunakan doktrin Fair Use, karya Fan-art dan Fanmerchandise memiliki kemungkinan untuk mendapat perlindungan. Apabila karya Fan-art dan Fanmerchandise dimodifikasi sehingga memiliki kesamaan substansial yang minim dari karya aslinya, maka akan menghasilkan Karya Transformatif yang akan dilindungi oleh hak cipta. Karya Fan-art dan Fanmerchandise tersebut juga secara tidak langsung mempromosikan atau memberikan fasilitas iklan gratis kepada pencipta dan/atau pemilik hak cipta dalam sebuah penggunaan internet disebut dengan Participative Web, sehingga memiliki kemungkinan untuk tidak mengganggu lalu lintas pasar pencipta dan/atau pemilik hak cipta.
Since the beginning of the creation of Fan-art and the commercialization of Fan-merchandise, various questions regarding the status and legal protection of copyright given to the creators of Fan-art works or Fan-artists have continued to be questioned. This is because the creation of the Fan-art work was made without permission from the creator and/or copyright owner of the original work. In this study, normative legal research methods and literature are used to show that Fan-art and Fanmerchandise works are derivative works that do not have permission so that they do not obtain a copyright protection and constitute a violation of the moral rights and/or economic rights of the creator and/or copyright owner of the original work. However, by using the Fair Use doctrine, Fan-art and Fanmerchandise works have the possibility of gaining protection. If Fan-art and Fanmerchandise works are made in such a way that they have minimal substantive similarities to the original works, they will produce Transformative Works which will be protected by copyright. The Fan-art and Fanmerchandise works also indirectly promote or provide free advertising facilities to creators and/or copyright owners of the original works in an internet use called Participative Web. so that it has the possibility not to interfere with the market traffic of creators and/or copyright owners of the original works. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Siti Budi Mulyasari
"Tesis ini membahas mengenai perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual bagi Peneliti di Lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis normatif dengan melakukan telaahan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang HKI, dan kebijkan yang mengatur mengenai Peneliti Pegawai Negeri Sipil, serta pengumpulan bahan sekunder. Hasil penelitian menyimpulkan dan menyarankan bahwa karena Peraturan Perundang-Undangan di Bidang HKI yang ada saat ini masih harus didukung dengan peraturan yang bersifat lebih teknis, kiranya segera disusun regulasi intern yang dapat secara langsung diimplementasikan di Lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum. Serta perlu adanya harmonisasi penyusunan peraturan yang terkait dengan standar pemberian royalti bagi peneliti.
The Focus of this Study is the protection of Intellectual Property Rights for Researcher at the Ministry of Public Works. The research was conducted with a normative juridical method by doing research paper on the legislation in the field of IPR, and policies governing the Civil Service researcher, as well as the collection of secondary materials. The study concluded and recommended that since the Regulation Legislation in the Field of Intellectual Property Rights which is currently still must be supported with a regulations that are more technical, would be composed of internal regulation that can be directly implemented in Ministry of Public Works. And the need for harmonization of regulations related to the preparation of standard royalty provision for researchers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31745
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Cita Citrawinda Priapantja
Jakarta: [publisher not identified], 2000
346.048 CIT k
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Rizky Rakhmadita
"Indonesia dan Cina adalah anggota dari perjanjian TRIPS dan merupakan anggota dari WTO. Sebagai anggota dari WTO, Indonesia, dan China wajib mematuhi TRIPS dan karena itu ada beberapa ketentuan dalam TRIPS yang perlu diatur atau diubah dalam setiap peraturan perundang-undangan dari hak kekayaan intelektual masing-masing negara. Salah satunya adalah border measure sebagai sarana perlindungan oleh pabean terhadap barang-barang kekayaan intelektual yang diimpor atau diekspor, yang dipandang sebagai langkah efektif untuk menghentikan pelanggaran hak kekayaan intelektual karena dapat menghentikan barang yang melanggar tersebut sebelum memasuki dan beredar bebas dan luas ke pasar bebas. Salah satu mekanisme yang disebutkan dalam TRIPS adalah penegahan ex-officio. Dalam mendukung hal ini, ada mekanisme yang disebut sebagai perekaman yang memungkinkan pemilik atau pemegang hak kekayaan intelektual hak untuk merekam hak mereka di bea cukai. Sekarang, Indonesia dan Cina memiliki telah memiliki peraturan yang sama tentang perekaman dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan yang baru diberlakukan Nomor 40/PMK.04/2018 tentang tentang Perekaman, Penegahan, Jaminan, Penangguhan Sementara, Monitoring dan Evaluasi Dalam Rangka Pengendalian Impor atau Ekspor Barang Yang Diduga Merupakan atau Berasal Dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual. Dalam membandingkan kerangka peraturan kedua negara ini, ada beberapa perbedaan dan persamaan yang ditemukan. Satu hal yang patut disebutkan, adalah bagaimana Indonesia tidak mengizinkan perusahaan asing yang didirikan untuk merekam hak mereka dalam sistem perekaman di bea cukai, tidak seperti China. Ditemukan dengan pendekatan teoritis bahwa sebenarnya ada beberapa poin yang mendukung mengapa Indonesia harus memasukkan perusahaan-perusahaan asing untuk diizinkan merekam hak mereka di bea cukai seperti, pertumbuhan ekonomi individu dan negara, merangsang produktivitas pasar, dan sebagai sarana untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Both Indonesia and China are part of the TRIPS Agreement and are members of the WTO. As the members of WTO, Indonesia and China are obliged to comply to the TRIPS and therefore there are several provision in TRIPS that needs to be regulated or amended in each of the country 39s intellectual property regime. One of such is the border measures as the means of customs protection towards intellectual property goods that are being imported or exported, which is seen as an effective measure to stop the infringement of intellectual property right because it might stop the infringed goods before it enters into and circulated freely and broadly to the free market. One of the mechanisms mentioned in TRIPS is the ex officio detention. In supporting this authority, there is a mechanism called customs recordation that allows the owner or right holder of the intellectual property right to record their right in the customs. Now, Indonesia and China both have the same regulatory frameworks of customs recordation, by the newly enacted Minister of Finance Regulation Number 40 PMK.04 2018 concerning Recordation, Detention Penegahan, Guarantee, Suspension Penangguhan, Monitoring and Evaluation in Regards to The Control Over Imported or Exported Goods Suspected or Resulted from Intellectual Property Rights Infringement. In comparing the two countries regulatory frameworks, there are several differences and similarities that are found. One worth to be mentioned is how Indonesia does not allow foreign established companies to record their IPR in customs recordation system, unlike China. It is found by a theoretical approach that there are actually several points that support on why does Indonesia shall include foreign established companies in recordation system such as, it generates economic growth of individual and country, stimulate market productivity, and as a means to the development of science and technology. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
O.K. Saidin
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013
346.048 2 SAI a
Buku Teks Universitas Indonesia Library
O.K. Saidin
Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1995
346.048 2 SAI a
Buku Teks Universitas Indonesia Library
O.K. Saidin
Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2015
346.048 2 SAI a
Buku Teks Universitas Indonesia Library
O.K. Saidin
Jakarta: Rajawali, 2006
346.048 SAI a
Buku Teks Universitas Indonesia Library
O.K. Saidin
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007
346.048 2 SAI a
Buku Teks Universitas Indonesia Library