Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9834 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: IPCOS, 1998
320.959 8 REF
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Ruchiyat
Bandung: Alumni, 2004
346.04 EDD p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Ruchiyat
Bandung: Alumni, 2006
346.04 EDD p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Ruchiyat
Bandung: Alumni, 1999
346.04 EDD p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Arinanto
Jakarta: UI-Press, 2006
PGB 0428
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
"Pembangunan nasional telah menunjukkan suatu prestasi sebagai basil dari proses evolusi yang berawal dari pembangunan nasional jangka panjang pertama sampai dengan pembangunan nasional jangka panjang kedua. Prestasi tersebut mencakup dimensi ekonomi, politik,
maupun sosio-kultural dengan akar historisnya keadaan negara menjelang dan pada awal pemerintahan Orde Baru. Prestasi pembangunan nasional pada dimensi ekonomi terefleksikan dalam gejala transformasi struktural masyarakat agraris ke masyarakat industri. Pada dimensi politik, prestasi ini terwujud dalam pelembagaan struktur politik berdasar atas Pancasila dan UUD 1945, penyederhanaan sistem kepartaian melalui fusi, pelaksanaan kedaulatan rakyat dan pemilihan umum, diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas kehidupan bermasyarakat dan bernegara, serta diletakkannya premise wawasan Pancasila sebagai ideologi terbuka yang memberi ruang
gerak bagi pemefintah untuk memberi interpretasi pada Demokrasi Pancasila dalam konteks pemecahan masalah situasional. Upaya ini sedikit banyak telah menghasilkan tidak saja terefleksikan melalui pengembangan delivery mechanism yang menjangkau rakyat banyak, tetapi juga mengejawantah pada pelembagaan norma dan nilai baru,
seperti norma keluarga kecil, kesadaran lingkungan dan sanitasi, serta orientasi pasar di kalangan petani, dan sebagainya. "
320 ANC 25:1 (1996)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Martin
"Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan tradisional di Indonesia dalam catatan sejarah selalu menampakkan performance yang tidak konstan, namun selalu bcrdasar pada kaidah keagamaan (fighiyah). Periode pertama NU yang dibidani para ulama-pesantren lebih sebagai gerakan keagamaan Islam ala ahlussunah wal Jamaah (seperti penetapan dari Islam 1936, Resolusi Jihad, waliyyul amri ad-dlaruri bissyaukah pada Soekarno). Periode kedua NU mengalami diversifkasi gerakan yang didominasi para santri-politisi dengan melakukan gerakan politik praktis (structural oriented) dengan berubah sebagai partai politik. Seperti ditunjukkan dalam perjuangan Piagam Jakarta dan di Konstituante, sampai kemudian harmonisasi pada kasus dcmokrasi terpimpin, Nasakom dan Pancasila. Di periode ketiga ditandai dengan khittah sebagai rumusan harmonisasi nilai-nilai ajaran Islam dalam konteks kebangsaan dan ke-Indonesiaan. Dan pasca khittah, terjadi depolitisasi formal yang telah membawa NU ke arah gerakan politik cultural (cultural oriented), yang diperankan oleh genre pembaharu yang di back-up oleh para ulama kharismatik, Implementasi khittah yang cenderung dimaknai "tafsir bebas", saat itu terderivasikan pada gerakan politik cultural, yang ternyata di kemudian hari menimbulkan problem konflik internal berujung pada polarisasi aspirasi politik NU dalam partai politik (PPP, Golkar dan PM). Saat itu NU mengalami marginalisasi, namun ternyata blessing in disguise dalam gerakan kultural NU untuk lebih concern pada internal organisasi, dakwah, keagamaan dan pendidikan. Di era reformasi yang disebut sebagai periode keempat, NU melakukan itihad politik dengan menampilkan kedua gerakan secara komplementer baik cultural oleh NU maupun struktural dengan pembentukan PKB, meskipun muncul tiga partai lain PKU, PNU, Partai SUNI sebagai counter hegemony dan tafsir bebas khittah atas Islam ahlussunah wal jamaah yang dilakukan elit NU saat itu. Pergeseran politik NU tersebut sebagai wujud reorientasi dan keputusan politik terhadap interaksi dan kepentingan-kepentingan yang dikompromikan (David E. Apter: 1992.232) sesuai yang dipahami dan dilakukan oleh para aktor yang mendominasinya (weberian theory).
Sifat gerakan politik NU selama perjalanan sejarah seperti kasus Islam dan negara, Pancasila, demokrasi dan pluralisme tidak sendirinya hadir dalam konteks pragmatis an sick Akan tetapi melalui rumusan fiqhiyah seperti tasamuh (toleran), tawasuth (tengah), tawazun (seimbang) dan i'tidal (lurus), serta mekanisme organisasi yang baku seperti Muktamar, Konbes, Munas dan sebagainya. Hingga gerakan NU dan Poros Tengah yang mengantarkan Abdurrahman Wahid ke kursi presiden meski tidak sampai akhir periode, ternyata membawa ekses yang besar pada gerakan NU. Desakan mundur Abdurrahman Wahid ditanggapi warga NU dengan sikap radikal, keras, anti-demokrasi yang justru kontra produktif dan cenderung konflik horizontal. Maka pada konteks stabilitas politik dan ketahanan nasional legitimasi pada Abdurrahman Wahid dikemukakan, berdasar fihiyah mendukung presiden yang sah dan harus memerangi musuh yang makar (bughoot). Walaupun tidak menjadi kenyataan, namun hal itu merupakan wujud sifat, gerak dan wacana unik, ironis serta ambigu terhadap nilai-nilai yang di pegang NU selama ini seperti sifat gerakannya yang tasamuh, tawasuth, tawazun dan i'tidal. Pada nilai-nilai gerakan itu sifat NU lebih mengutamakan harmoni dengan kelompok dan kekuatan lainnya. Maka dalam konteks stabilitas politik, gerakan politik NU mempunyai signifikansi terhadap ketahanan politik yang mendukung ketahanan nasional. Karena sebenarnya NU adalah sebagai bagian kekuatan kebangsaan pula.
NU as an Indonesia organization of traditional religious, in the historical record always appear the inconsistent performance, it always take the rule of religious as a principle (fighiyah). In the first period NU that be initiated by Moslem religious leader almost function as Islamic movement with take ahlussunah wal jama'ah as mind stream (with reference to dar Islam 1936, resolusi jihad, waliyyul amri ad-dlaruri bissyaukah to Soekarno). Second period, NU has experience for Moslem politician dominated movement diversification with carry out political practice and change into politic party. In the same manner as indicated in Jakarta Charter (Piagam Jakarta) building and strunggie in the constituent assembly (konstituante), and then the harmonization for political practice through mechanism of democracy be led by president (demokrasi terpimpin) till declare of Nasakom and Pancasila. Third period was signed with commitment to harmonize the value of Islamic tenet in conceptuality of nationality and the Indonesian minded, it's named by khittah. And after that there is happen formal depolitization have carried out NU become a cultural political movement that was initialed by reformer genre and was supported by moslem charismatic leader. Implementation of khittah was incline to interpreting with independent interpretation when it derivate at cultural politic movement. It could be cause of problem on internal conflict until happen the NU polarization of politic aspiration in the politic party (PPP, Golkar and PDI). NU was marginalized organization, nevertheless actually blessing undisguised onto NU cultural movement for all internal organization, missionary endeavor, religious and education. In the reformation era, or could be called by fourth period, NU have been doing the political interpretation and judgment (Ohad politic) through actuality the both of movement complementally. It's mean cultural movement through NU and structural movement through PKB, even though spring up three others party are PKU, PNU and SUNI party with their motive to counter the hegemony of PKB and as effort to interpreting with independent interpretation on ahlussunah wal jama'ah was committed by NU, leader at the time. The shifting of NU politic as manifestation of political reorientation and political decision on interaction and interest compromised (David E.Apter; 1992:232) similar with be understood and be committed by actor who dominated (weberian theory).
During its histories, for some example in the cases of Islam and State, Pancasila, Democracy and Pluralism, character of NU political movement is not formed automatically (an sick) in the pragmatic context. But it formed through accordance of fiqhiyah among other things are tasumuh (tolerant), tawasuth (m idle). tawazun (balance) and i'tidal (straight) and also standard mechanism of organization for example Muktamar (congress), Konbes (large conference), Munas (national deliberative council), etc. And until NU movement and central axis (poros rengah) promote Abdurrahman Wahid to be president, even though his predicate was not finished up to final period, it turned out caused impact at NU movement. Pressure to bring Abdurrahman Wahid back away was responded by NU civic with radical attitude, violence and anti democracy that just become contra productive into democracy and stimulates the horizontal conflict. Because of that on the context of political stability and national resilience, so legitimation for Abdurrahman Wahid.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11382
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Findi Alexandi
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terjadinya pengalihan penguasaan pengelolaan komoditas tepung terigu dari negara kepada swasta pascaliberalisasi pangan, yaitu dari Bulog kepada Bogasari Flour Mills. Saat ini, komoditas tepung terigu di Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai komoditas pangan, tetapi juga berfungsi sebagai komoditas politik (political goods), dimana harga dan ketersediaannya dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori Negara Birokratik Otoriter dari Guillermo O?Donnel, teori Persekutuan Segitiga (Triple Alliance Theory) antara Negara, Burjuasi Nasional dan Modal Asing dari Peter Evans. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sedangkan teknik analitis data menggunakan deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, penelusuran terhadap dokumen resmi negara seperti Undang-Undang No. 5 tentang 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Keppres No. 19 Tahun 1998 tentang Liberalisasi Pangan, Peraturan Menteri Perindustrian, Peraturan Menteri Perdagangan, Peraturan Menteri Keuangan dan wawancara mendalam dengan anggota KPPU.
Temuan di lapangan menunjukkan bahwa pascaliberalisasi pangan, terjadi konflik dan tarik-menarik kepentingan antarlembaga negara, yaitu antara Bappenas dengan Depperindag menyangkut penetapan BMAD (Bea Masuk Anti Dumping) bagi tepung terigu impor. Bappenas berargumen bahwa penetapan BMAD hanya akan menguntungkan produsen dominan yaitu Bogasari Flour Mills. Sedangkan menurut pihak Depperindag, penetapan BMAD dilakukan untuk melindungi produsen beskala kecil. Selanjutnya terjadi konflik kepentingan terjadi antara KPPU dengan Depperindag menyangkut penerapan SNI Secara Wajib Tepung Terigu. KPPU berpendapat penetapan SNI secara wajib merupakan bentuk hambatan masuk (barrier to entry) bagi tepung terigu impor. Sedangkan menurut Depperindag, kebijakan SNI wajib pada tepung terigu ditujukan untuk menjaga kualitas tepung terigu sebagai bahan pangan.
Implikasi teoritis menujukkan bahwa teori persekutuan segitiga antara negara dan burjuasi nasional dari Peter Evans masih berlaku dan relevan dalam pengelolaan industri tepung terigu pada era reformasi di Indonesia. Persekutuan antara Departemen Perindustrian dengan APTINDO, atau Persekutuan antara Departemen Perdagangan dengan Bogasari Flour Mills, terjadi dalam pengelolaan industri tepung terigu di Indonesia, meskipun melalui negosiasi politik dan konflik kepentingan. Intervensi negara melalui kebijakan penerapan SNI dan BMAD, maupun penanggungan PPN impor gandum oleh Departemen Keuangan, ditujukan untuk melindungi industri tepung terigu nasional dan memperkuat program ketahanan pangan nasional. Intervensi negara dalam stabilisasi harga empat bahan pangan pokok termasuk tepung terigu, dapat dijadikan sebagai alat politik APTINDO dan Bogasari Flour Mills dalam menekan pemerintah.

This research of background by transfer of power of managing wheat flour commodities from state to corporate, from Bulog to Bogasari Flour Mills after food liberalitation. Now, wheat flour commodities just not food commodities, but as a political goods, where rate of its prices and supplies can pressure the government. As theoretical stepping, this research use Authoritarian Bureaucratic State from Guillermo O?Donnel and Triple Alliance Theory between State, Local Capitalist and International Capitalist from Peter Evans. Research use the qualitative methode, is while technique analysis the data use analytical descriptive. Technique data collecting by library studies, searching document of states like Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 about Antimonopoly or Competition Policy, Keppres No. 19 Tahun 1998 about Food Liberalitation, Regulation from Ministry of Industry, Ministry of Trade, Ministry of Finance and interdepth interview with members of KPPU.
Research result indicate that after food liberalitation, there were conflicts of interest on state institution, the conflict between Bappenas with Depperindag about BMAD for wheat flour imported. Bappenas argue that BMAD just give a privilege for dominant firm like Bogasari Flour Mills. But Depperindag claimed that BMAD would protect the fringe firms. The next conflict between KPPU with Depperindag about SNI policy for wheat flour mills industries. KPPU argued SNI as a barrier to entry for wheat flour imported. But Depperindag claimed that SNI policy to wheat flour mills industries made to protect quality of wheat flour as food commodities.
Theory implication show that Triple Alliance Theory especially between State and Local Capitalist is relevan in managing wheat flour mills industry in Indonesia. Cooporation between Departement of Industry with APTINDO, or cooporation between Departement of Trade with Bogasari Flour Mills is a real fenomena in wheat flour industry in Indonesia, although with political negotiation dan conflict of interests. State intervention with SNI and BMAD policies, or handle of Value Added Tax policies for wheat imported by Departemen of Finance indicated to protect national wheat flour industries and support food security programe. State intervention on price stabilitation of four food commodities include wheat flour, can used as political tools by APTINDO and Bogasari Flour Mills to pressure the government."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
D888
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Denny J.A.
Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Studi (LKiS), 2006
320.9 DEN n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Winarno
Yogyakarta: Media Pressindo, 2007
324.2598 BUD s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>