Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108573 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Surata
Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2002
305.8 AGU a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Surata
Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2002
305.8 AGU a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Syahrul
"Kerusuhan-kerusuhan etnis yang meledak sejak awal era reformasi berakar dari kesenjangan sosial-ekonomi dan merupakan protes budaya yang memberikan petunjuk kuat bahwa tatanan sosial dalam kehidupan majemuk telah dilanggar dan dihancurkan. Kesenjangan ini merupakan usaha rekayasa class forming pemerintahan Orde Baru yang menempatkan kelompok etnis pendatang tertentu pada lapisan menengah dalam proses pembentukan piramida sosial masyarakat setempat. Kelompok menengah yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) ini telah memaksa etnis pribumi setempat untuk puas di papan bawah, walaupun mereka merasa telah diperas dan dipinggirkan. Potensi konflik antara kedua kelompok telah memanfaatkan label etnis dan agama untuk memperkuat solidaritas dan legitimasi perlawanan terhadap ketidakadilan yang dirasakan selama ini.
Gerakan reformasi telah memberikan momentum untuk membangkitkan perlawanan dengan menggunakan label etnis dan agama tersebut. Konflik terbuka seperti di Bagan Siapi-api dan daerah lainnya pada hakekatnya adalah proses budaya untuk mendapatkan keadilan.
Pertanyaan mendasar dalam menganalisa berbagai kerusuhan etnik diberbagai daerah di nusantara ini adalah "mengapa upaya-upaya pembauran belum juga mendatangkan hasil yang optimal ?". Sudah banyak pakar yang mencoba memberikan pandangan mengenai sebab-akibat alotnya proses pembauran etnik di berbagai daerah dan berakhir dengan pertikaian yang setiap pertikaian meninggalkan kesan traumatis yang dalam dari kedua belah pihak.
Warisan sejarah yang ditinggalkan Hindia Belanda, yang dikenal dengan politik "devide de impera", serta mengkategorikan penduduk nusantara kedalam tiga golongan ; orang Eropa (posisi sosial paling tinggi), Timur Asing (posisi sosial menengah) yang terdiri dari orang Cina, India dan Arab, sedangkan golongan pribumi menempati golongan paling bawah. Ketiga golongan ini hidup secara terpisah dalam kantong-kantong dan lingkungannya masing-masing.
Ketika terjadi perubahan sosial besar-besaran akibat bergulirnya era reformasi sekarang ini, berlangsung reaksi yang berbeda di kalangan golongan kedua diatas. Karena jumlah mereka relatif kecil, orang-orang keturunan India, Arab dan minoritas lainnya tidak mengalami goncangan yang berarti. Tetapi, bagi orang-orang keturunan Cina, reformasi merupakan perubahan sosial yang besar yang akibat-akibat psikologisnya menyimpan traumatis yang dalam. Kenyataan ini merupakan akibat status dan perlakuan yang istimewa, seperti diberinya hak memonopoli penjualan candu, sebagai perantara jual beli antara pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sedangkan pemerintahan berikutnya dimana etnis Cina diberi kemudahan dengan model hubungan ekonomi politik cukong di zaman Orde Baru. Sebagai akibatnya terjadilah kesenjangan ekonomi yang begitu hebat antara pribumi dan non-pribumi, sehingga berakibat kecemburuan sosial dan berakhir dengan konflik. Belum optimalnya proses pembauran sekarang ini disebabkan oleh banyak faktor seperti faktor historis, kultural, politis dan upaya penyeiesaiannya hendaklah dengan memahami secara mendasar tatanan sosial kemasyarakatan yang ada serta menggunakan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda dan dilakukan kajian secara berkesinambungan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7139
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Zulkarnaen
"Dengan metode kualitatif, penelitian ini mengkaji permasalahan bagaimana dan mengapa Henry Dunant Centre (HDC) dapat terlibat untuk memfasilitasi penyelesaian konflik di Aceh antara Pemerintah Indonesia dan GAM serta menganalisa penyebab berbagai kegagalannya. Kecuali dalam konteks pembicaraan sejarah konflik di Aceh, penelitian ini mengambil periode mulai dari awal tahun 2000 sampai diberlakukannya status Darurat Militer di Aceh, Mei 2003. Dalam hubungan internasional, peran diplomasi resmi (official) atau diplomasi track one tidak selamanya berhasil dalam menyelesaiakan konflik, terutama konflik internal. Anarkisnya situasi konflik internal membuat diplomasi resmi sering mengalami frustrasi dalam menyelesaiakan kasus yang ada. Karena itu, konflik internal biasanya diselesaikan tidak melalui lembaga-lembaga resmi internasional tetapi oleh organisasi non pemerintah (NGO) yang dikenal sebagai un-official diplomay atau track two diplomacy. Fleksibilitas dan sifat netral membuat NGO lebih mudah terlibat dan diterima oleh semua pihak tanpa terikat pada protokoler atau ketakutan tiadanya pengakuan terhadap kedaulatan maupun legitimasi. Fokus konsentrasi NGO yang penuh terhadap masalah yang ia hadapi membuatnya lebih mampu memahami permasalahan yang ada dan relatif tidak terbebani oleh keterbatasan waktu. Resiko yang dihadapi ketika peran fasilitasi atau mediasi yang ia lakukan gagalpun tidak terlalu berat, baik bagi NGO itu sendiri maupun bagi pihak-pihak yang terlibat konflik. Alasan inilah yang menjadikan mengapa NGO, seperti HDC, lebih mudah diterima sebagai aktor pihak ketiga untuk menyelesaikan konflik internal daripada aktor resmi lain, seperti PBS, organisasi regional atau antar negara. Kegagalan peran pihak ketiga dalam memediasi konflik pada dasarnya bukanlah karena ketidakmampuannya bertindak sebagai pihak penengah, tetapi karena tiadanya political will dari pihak-pihak yang terlibat konflik itu sendiri dan dukungan maupun tekanan masyarakat internasional untuk menyelesaikan konflik yang ada. Ini karena dalam konflik internal ada kelaziman umum dimana para pemimpin kelompok bersengketa memiliki sifat patologi yang lebih senang mengobarkan propaganda perang total yang mengutamakan kemenangan mutlak dan menafikan kemungkinan kompromi atau dialog dengan lawannya daripada menyelesaiakan dengan cara damai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13809
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hartoyo
"Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui masalah keserasian hubungan antar etnik dalam hubungan ketetanggaan dan kemasyarakatan di suatu lingkungan daerah pemukiman. Ada tiga masalah yang ingin diketahui, yaitu kualitas keserasian hubungan antar etnik, faktor-faktor pendorong dan pengelolaannya.
Penelitian ini terdiri dari 134 responden yang terbagi dalam lima etnik Lampung, Jawa, Sunda, Minang dan Batak, yang diambil secara acak dan total sampel dan ditambah dengan 10 informan. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sawah Brebes, Tanjung Karang Timur, Kotamadya Bandar Lampung, yang ditentukan berdasarkan cara proposive area sampling. Data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur, wawancara bebas berpedoman yang didukung dengan dokumentasi. Data diolah dengan menggunakan tabel persentase univariat dan bivariat. Analisis data didasarkan pada tabel-tabel olahan tersebut yang dikuatkan dengan Tau Kendall.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas keserasian hubungan ketetanggaan dan kemasyarakatan secara keseluruhan antar kelima etnik tersebut di Sawah Brebes termasuk kategori sedang. Secara rinci ditemukan bahwa hubungan timbal balik antara etnik Jawa dengan etnik Sunda termasuk kategori yang paling serasi, kemudian hubungan timbal balik antara etnik lain dengan etnik Lampung, etnik Minang, dan yang paling kurang serasi adalah dengan etnik Batak.
Faktor pendidikan, pekerjaan, pendapatan, keanggotaan kelompok dan pengalaman bergaul dengan etnik lain secara keseluruhan merupakan bagian dari faktor pendorong yang berarti terhadap peningkatan kualitas keserasian hubungan antar etnik, dalam hubungan ketetanggaan dan kemasyarakatan di lingkungan masyarakat Sawah Brebes. Bila dilihat secara rinci pada masing-masing etnik faktor pendidikan bukan merupakan faktor pendorong yang berarti bagi etnik Minang, dan faktor pendapatan bukan merupakan faktor pendorong yang berarti bagi etnik Lampung dan etnik Minang.
Mekanisme Pengelolaan keserasian hubungan antar etnik tataran tersembunyi dalam hubungan ketetanggaan dan kemasyarakatan di suatu lingkungan pemukiman, secara individual efektif dilakukan dengan pula adaptasi melalui ingratiation (upaya agar tetap disenangi etnik lain); sedangkan secara kolektif dilakukan dengan membentuk berbagai kelembagaan bersama dan keaktifan peran para pemuka masyarakat dalam mensosialisasikan nilai-nilai bersama tersebut. Mekanisme pengelolaan keserasian hubungan antar etnik tataran terbuka (penyelesaian konflik) masih efektif dilakukan dengan menggunakan pendekatan tradisional, dengan melibatkan para pemuka masyarakat setempat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinka Rima Syarifatunnisa
"Skripsi ini membahas konsep multikulturalisme dalam tiga fabel karya Rafik Schami, seorang penulis Suriah-Jerman, yang berjudul Albin und Lila, Der Schmetterling dan Der Schnabelsteher. Tujuan skripsi ini adalah untuk memaparkan struktur dari ketiga fabel Rafik Schami tersebut dan kaitannya dengan multikulturalisme di Jerman. Metode ynag digunakan dalam skripsi ini adalah metode kualitatif dengan berpegangan pada teori kepengarangan Rafik Schami didukung dengan teori fabel Isti Haryati dan teori identitas budaya dari Stuart Hall.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur fabel yang terdiri dari penokohan, tema, alur, latar nilai moral dengan ditunjang proses pencarian identitas tokoh utama di ketiga fabel tersebut menggambarkan konsep multikulturalisme Rafik Schami, bahwa asal, identitas dan integrasi merupakan inti sekaligus komponen penting yang dapat menciptakan konsep multikulturalisme yang baik di Jerman, sebagai salah satu negara dengan tingkat masyarakat yang heterogen dan multikultural tertinggi di Eropa Barat.

This thesis discusses the concept of multiculturalism in three RafikSchami's fables, a Syrian-German author, entitled Albin und Lila, Der Schmetterling and Der Schnabelsteher. The purpose of this thesis is to describe the structure of three RafikSchami's fables and its relation to multiculturalism in Germany. The method used in this thesis is a qualitative method by holding on to the theory of authorship RafikSchami and supported by the theory of fable by IstiHaryati and the theory of cultural identity by Stuart Hall.
The results showed that the fable structure, which is consisting of character, theme, plot, setting, moral values and aided by the process of finding the identity of the three main characters in those fables illustrates the concept of multiculturalism by RafikSchami, that the origin, identity and integration are the core as well as an important component that can create a good concept of multiculturalism in Germany, as one of the countries with the highest heterogenous and multicultural society in west Europe.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S53041
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Badan Komunikasi Penghayatan dan Kesatuan Bangsa, 1994
320.540 959 8 WAW
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Komunikasi Penghayatan dan Kesatuan Bangsa, 1992
320.540 959 8 WAW
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>