Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 46733 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zainuddin Fananie
Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999
320.9598 ZAI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ipit Saefidier Dimyati
"Penelitian ini berusaha untuk melihat jeprut, sejenis seni pertunjukan (performing art), yang sedang tumbuh di Bandung, sebagai perlawaan terhadap hegemoni kekuasaan dari sudut pandang kebudayaan. Untuk menuju ke arah itu dalam penelitian ini kebudayaan dipahami sebagai hal yang memiliki dua sisi yang, meskipun saling bertentangan, tidak bisa dipisahkan, yakni sisi yang mapan, dan sisi yang memberi peluang bagi perubahan. Sisi yang mapan merupakan kebudayaan dominan, berisi norma atau aturan yang menjadi pedoman untuk bertingkah laku para anggota suatu masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, sedangkan sisi yang lainnya merupakan potensi-potensi yang mendesak keluar untuk menjadi hal yang aktual. Di antara kedua sisi itu, ada ruang yang tak ada di mana-mana, tapi juga ada di mana-mana, yakni ruang liminal. Ruang liminal adalah semacam lambang, in-between. yang berisi sesuatu yang keluar dari sisi peluang yang disediakan kebudayaan. Dengan kata lain, ruang liminal merupakan tempat teraplikasikannya potensi yang dimiliki oleh suatu kebudayaan. Ia berada di ruang liminal, sebab ia tidak lagi berupa potensi, tapi juga ia ditolak oleh sisi yang mapan, karena mengingatnya sifat yang `subversif", berbeda, dan dianggap mengganggu ketertiban, keharmonisan dan kenormalan yang telah berjalan.
Dilihat dari pembagian kebudayaan serupa di atas, maka posisi jeprut bisa dipahami berada di ruang liminal, sebab meskipun awalnya hanya berupa potensi-potensi, tapi karma sudah teraktualisasi, maka ia tidak lagi berada dalam sisi peluang. Meskipun begitu, ia pun bukan bagian dari sisi yang mapan, sebab kehadirannya tidak atau belum menjadi bagiannya, bahkan kehadirannya ditolak oleh orang-orang yang berada di dalam kebudayaan dominan tersebut.
Orang-orang yang berada dalam kekuasaan biasanya cenderung untuk mempertahankan situasi dan kondisi yang ada, sebab ia telah diuntungkan oleh keadaan itu. Untuk menjaga agar kebudayaan berada dalam status quo, diciptakanlah strategi-strategi untuk mempertahankannya, seperti menciptakan aturan beserta sanksinya, baik berupa kurungan atau penyiksaan badan, bagi orang yang melanggar aturan tersebut. Strategi itu bisa pula berupa penyebaran wacana melalui berbagai bentuk media, seperti teks-teks pidato, karya tulis para pakar, seni, sekolah, dan media massa. Bila strategi itu berhasil diterapkan, maka norma-norma yang telah menguntungkan penguasa itu menjadi terintenialisasi di dalam diri orang yang dikuasainya, dan secara tidak sadar marasa patuh untuk melaksanakannya dengan tanpa melalui paksaan. Bila pun ia merasa menjalankan suatu norma yang menjadi pedomannya untuk berperilaku, namun normna penguasa itu tidak dirasakan sebagai suatu paksaan, tapi dipahami sebagai hasil dari suatu konsensus bersama. Dalam konsep Gramsci, kondisi serupa itu disebut sebagai hegemoni.
Akan tetapi, secanggih apapun hegemoni itu dikembangkan, ia senantiasa akan melahirkan orang yang memiliki ide atau gagasan dari ide atau gagasan yang dominan. Bila gagasan serupa itu muncul ke permukaan, biasanya ia direpresi dengan berbagai cara. Jeprut merupakan suatu Cara berekspresi para seniman Bandung yang berbeda dari biasanya. Secara etimologis kata itu berarti putus (secara tiba-tiba), tapi bisa juga berarti gila. Pada kenyataannya, karya-karya seniman yang dikategorikan sebagai jeprut, memang `terputus' dari penciptaan yang biasanya, dan ia tampak aneh, abnormal, berada di luar kelaziman atau 'Ole. Oleh karena itu banyak orang yang menganggap jeprut bukan karya seni, tapi tak lebih sebagai hasil perilaku dari orang yang melakukan kompensasi karena ketidakmampuan membuat karya seni yang konvensional.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu melalui kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. Tujuan utama penggunaan metode ini adalah agar bisa menggambarkan jeprut pada saat penelitian ini dilakukan, kemudian memeriksa sebab-sebabnya mengapa ia muncul dalam suatu kebudayaan.
Penemuan penting hasil penelitian menunjukkan bahwa jeprut merupakan suatu resksi atau perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru yang hegemonik. Pada awal kemunculannya karya-karya jeprutt memperlihatkan suatu bentuk yang tidak teratur, sulit diterka, dan memiliki unsur sensasi yang besar. Hal itu bisa dipahami karena ia berusaha untuk menghindari pembrangusan yang senantiasa dilakukan oleh para elite Orde Baru terhadap karya-karya seni yang terlalu berani membicarakan persoalan-persoalan yang dianggapmya `terlarang' untuk dibicarakan di ruang publik.
Namun ketika kekuasaan Orde Baru berakhir, jeprut memperlihatkan suatu perubahan yang besar. Selain penggunaan tempat tidak lagi di ruang-ruang yang banyak dikunjungi orang, namun ruang-ruang yang lebih eksklusif, dalam penyajiaannya terlihat semakin tertib, dan lebih `verbal', jelas apa yang dibicarakannya, yakni perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan. Perubahan ini tampaknya seiring dengan semakin berkembangnya suatu bentuk pengucapan baru dalam seni rupa yang disebut performance art (seni rupa pertunjukan).
Dari hasil analisis ditemukan bahwa sasaran perlawanan jeprut memiliki dua arah, yaitu perlawanan eksternal dan internal. Perlawanan eksternal adalah perlawanan terhadap kondisi sosial politik yang berada di luar kehidupan kesenian secara langsung, sedangkan perlawanan internal adalah perlawanan terhadap kehidupan kesenian itu sendiri.
Sebagai kesimpulan, hadirnya jeprut dalam suatu kebudayaan dominan menunjukan hubungan antara kekuasaan dari karya seni. Ada tiga otoritas yang biasanya memiliki kekuasaan dalam mendefinisikan karya seni, yaitu: seniman, kritikus seni, dan media massa. Untuk memperdalam masalah itu, penulis menyarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut di waktu yang akan datang."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T1601
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ipit Dimyati
"Jeprut is a well-known art performance in Bandung. Its form is unusual because Jeprut does not follow the usual norms in arts performance. Therefore, sometimes its existence is not recognized as an art, but rather as a compensation for people who are not competent enough to deliver an art performance. Jeprut artists are actually conducting an indirect resistance towards the New Order's authority. There are two resistance movements showing by the Jeprut. First is the external, by doing resistance to the political situation and the second is an internal resistance, by which Jeprut is conducting a resistance towards art's existence during the New Order's regime. A study about Jeprut is confirming that an art's definition cannot be determined by only its internal aspects but also by its external ones. It means that something cannot be defined as arts just by its own existence but also by some power."
2004
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sagimun Mulus Dumadi
Jakarta: Inti Idayu Press, 1985
959.807 SAG p (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jean Ovinary
"Film Jiang Ziya: Legend of Deification《姜子牙》merupakan film animasi Cina yang rilis pada tahun 2020 yang diadaptasi dari novel sastra Cina klasik Investiture of the Gods (Fengshen Yanyi 封神演義). Film ini menceritakan mengenai Jiang Ziya yang merupakan murid utama dewa Guru Agung di Istana Jingxu yang diberikan tugas untuk membinasakan Rubah Ekor Sembilan yang telah mengacaukan dunia. Namun, Jiang Ziya gagal dalam menjalankan tugasnya, lalu ia diusir dari Istana Jingxu oleh Guru Agung. Jiang Ziya tidak tinggal diam, ia pun mencari kebenaran dari alasan mengapa ia gagal dalam menjalankan tugasnya dan mengetahui bahwa kekacauan dunia dan alasan Rubah Ekor Sembilan mengacaukan dunia adalah merupakan perbuatan Guru Agung. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan penokohan Jiang Ziya dan Rubah Ekor Sembilan dengan Guru Agung yang mewakili peran rakyat dalam melawan kepada penguasa yang lalim. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa melalui tokoh Jiang Ziya dan Rubah Ekor Sembilan dengan Guru Agung menyimbolkan perlawanan rakyat terhadap kekuasaan. Hal tersebut didukung oleh terdapatnya paham kolektivitisme yang ada pada masyarakat Cina.

Jiang Ziya: Legend of Deification《姜子牙》is a Chinese animated film released in 2020 and an adaptation of the classic Chinese literary novel Investiture of the Gods (Fengshen Yanyi 封神演義). This film tells a story about Jiang Ziya, the prominent disciple of the Revered Master of Jingxu Palace, assigned to defeat the Nine-Tailed Fox that has brought chaos to the world. However, Jiang Ziya failed to carry out his duties and was expelled from Jingxu Palace by the Revered Master. Jiang Ziya did not stay silent as he sought the truth of his failure, and realized that the world's chaos and the reason the Nine-Tailed Fox wreaked havoc in the world were the work of the Revered Master. This study aims to describe the characterization of Jiang Ziya, the Nine-Tailed Fox, and the Revered Master, and how it represents the people fighting for their rights against tyrannical rulers. This study used a descriptive-qualitative method. The results indicated that the character Jiang Ziya and the Nine-Tailed Fox against the Revered Master symbolize the people's resistance against the authority. This is supported by collectivism in Chinese society."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Oya Sonjaya Bachtiar
"Kondisi tatanan pemerintahan atau kekuasaan di dunia modern menuntut terakomodasinya peran dan partisipasi rakyat secara utuh. Berbeda dengan era-era sebelumnya. Salah satu era yang dimaksud adalah Abad Pertengahan yang identik dengan kekuasaan gereja. Saat itu, kekuasaan didominasi oleh kalangan agamawan yang menganggap penguasa didaulat oleh Tuhan. Dalam konteks ini, kekuasaan menjadi tujuan, bukan sebagai alat. Selain Abad Pertengahan, kekuasaan pada masa-masa sebelumnya adalah miliki pihak yang memiliki status tinggi di ranah sosial. Tatkala menjabat sebagai penguasa, mereka memiliki akses dan kesempatan untuk tetap mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai cara, meski harus mencederai kepentingan rakyat. Dalam kondisi seperti ini, rakyat tidak memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan hak-haknya. Mereka hidup dalam suasan hegemonik, baik lewat tidak pemaksaan, kekerasan atau pendekatan sosial dan budaya. Atas dasar itulah, hubungan rakyat dengan kekuasaan dipertanyakan. Kekuasaan sendiri memiliki rumusan ideal yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan kepentingan rakyat. Berbagai kenyataan yang tidak menggambarkan fungsi kekuasaan kekuasaan yang idel menunjukkan bahwa kekuasaan tersebut tidak berfungsi dengan ideal. Saat itu pula landasan pemikiran tentang civil society dalam tatanan masyarakat politik terangkat dan layak untuk diperbincangkan. Pemikiran John Locke bersember pada analisanya tentang state of nature, saat masyrakat terdiri dari individu-individu dengan berbagai kepentingannya masing-masing. Kehidupan pad kondisi alamiah diwarnai kebebasan, sebab lahir dari penerapan rasio. Rasio menghendaki adanya penerimaan individu atas yang lainnya tanpa kehendak untuk mendominasi dan merugikan pihak lain. Locke tidak menganggap state of nature itu sacara alamiah buruk dan kasar. Perilaku manusia dikendalikian dan dikontrol oleh hukum alam, dan menganggap hukum alam itu sebagai manifestasi dari rasionalitas manusia yang mampu membatasi egoisme, sifat mementingkan diri sendiri dan memotivasi munculnya perilaku sosial. Dalam Negara alamiah, seluruh individu wajib mempertahankan hidup mereka, kebebasan, dan apa yang mereka miliki-ketiga hal inilah yang menjadi tiga poin hak alamiah manusia yang berkaitan dengan hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan. Hal ini berlaku bagi setiap orang. Bagi Locke, tentu saja menjadi persoalan tersendiri untuk menjadikan poin¬poin itu termapankan lewat undang-undang, maka penting untuk dibuatsebuah pemerintahan. Lewat mekanisme kontrak sosial, serbuah pemerintahan didirikan saat semua orang sepakat untuk saling menerima hak-hak tersebut berlaku pada diri mereka masing-masing, lalu dibuatlah hikum itu denagan didukung otoritas politik berupa nagara."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T38085
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zainul Milal Bizawie
Jakarta: Samha, 2002
297 ZAI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Said, Edward W.
Bandung : Mizan , 1995
306.2 SAI ct
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sartono Kartodirdjo, 1921-2007
Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, 1973
959.8 SAR s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Hikmah
"Tesis ini meneliti perlawanan terhadap dominasi tersamar melalui novel gratis berjudul Persepolis: 77ze Story of A Childhood karya Marjane Satrapi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan paradigma konstruktivis-kritis. Kemudian, semiotik Roland Barthes digunakan untuk menganalisis tiga subjudul yang ada dalam buku komik tersebut, yaitu The Veil, The Trip, dan Kim Wilde, sehingga akan terungkap mitos di balik itu.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komik tidak hanya sebagai alat penyebar hegemoni, tetapi alat untuk melawan adanya hegemoni itu sendiri. Melalui penggambaran kembaii hegemoni dan penggambaran perlawanan terhadap hegemoni, komik menjadi alat untuk melawan hegemoni terhadap kelas berkuasa di Iran yang mengeluarkan kebijakan kewajiban memakai jilbab untuk perempuan.

This thesis examine resistance of hidden domination through grapich novel Persepolis: The Story of A ChiI$xood by Marjane Satrapi. This research is qualitative method with critical-eonstructionism paradigm. Then, semiotic of Roland Barthes is used to reveal myth in three subtitle (The Veil, The Trip, and Kim Wilde) of the comic.
The result of this research reveal that comic was not only a tool to spread hegemoni, but a tool to resist that hegernoni. From repeatedly description of hegemoni and resistance of that hegemoni, comic become tool to resist hegemoni to powerful class in Iran which made a policy about obligation of wear veil to Iran’s woman.
"
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T33925
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>