Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 68399 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Topo Santoso
Bandung: Asy Syaamil, 2001
297.44 TOP m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Topo Santoso
Bandung: Asy Syaamil, 2000
297.44 TOP m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Suadi Putro
Jakarta: Paramadina, 1998
297.67 SUA m(1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
297.44 ASP
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
A. Salman Maggalatung
"Dinamika perkembangan dan posisi hukum Islam senantiasa mengalami pasang surut sesuai gelombang dan iklim politik yang menyertainya. Jauh sebelum Kemerdekaan, hukum Islam telah berkembang dan menjadi hukum positif bagi kerajaan Islam. Pada awal pemerintahan kolonial Belanda hukum Islam diterima sepenuhnya sebagai hukum yang berlaku bagi orang Islam dengan teori Receptio in Complexu oleh L.W.C. Van den Berg yang mengakui eksisensi hukum Islam, namun teori ini dibantah oleh Snouck Hurgronje dengan teori Receptie-nya, bahwa hukum Islam baru dapat diterima setelah diakui oleh hukum adat. Selanjutnya teori ini mendapat reaksi dari umat Islam, Hazairin misalnya menyebutnya sebagai teori iblis. Pada masa pemerintahan Balatentara Jepang, posisi hukum Islam masih tetap sama seperti pada masa pemerinahan Hindia Belanda. Menjelang Indonesia merdeka tercapai sebuah kompromi antara pendukung negara berdasarkan agama (Islam) dan pendukung negara berdasar Pancasila tertuang dalam ?Piagam Jakarta?, kendatipun hanya sebentar, piagam tersebut seolah meniupkan angin segar bagi perkembangan dan posisi hukum Islam. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan terjadi nncoretan atas kalimat "dengan kewajiban menjalankan syari?at Islam bagi pemeluk-pemeluknya", sebagai garansi utuhnya NKRI. Demi menjaga stabilitas politik, keamanan dan keselamatan negara, Prsiden Soekamo mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Dalam dekrit tersebut Presiden Soekamo menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konstitusi. Piagam Jakarta memang tidak tampak dalam konstitusi Indonesia, akan tetapi ia ada, menjiwai dan hidup, serta memberi kehidupan bagi perkembangan hukum Islam, Jiwa dari Piagam Jakarta itulah yang melahirkan berbagai produk perundang-undangan yang bersumber dari hukum Islam yang wajib dilaksanakan oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam. Dari sini dapat dipahami, bahwa Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dapat menjadi dasar inspirasi dan pegangan dalam upaya penerapan hukum Islam di Indonesia. Era reformasi dan otonomi claerah temyata disambut baik oleh sejumlah Pemerintah Daerah di Indonesia untuk berperan lebih besar. Di Kabupaten Tasikmaiaya, Cianjur dan Gamt misalnya, telah menetapkan Perda untuk membasmi penyakit sosial masyarakat dan sejumlah kebijakan Iainnya untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan masyarakat. Kreativitas Pemerintah Daerah dan masyarakar tampaknya cukup beralasan, yakni adanya semacam kerinduan umat Islam terhadap syari'at agamanya untuk diterapkan dalam kehidupan mereka. Kreatifitas ini clinilai oleh sebagian anggota masyarakat sebagai kompensasi politik pemerintah kepada rakyat. Upaya itu terkesan dipolitisasi dalam bentuk formalisasi dan simbolisasi syari'at Islam untuk menarik simpatik rakyat dan institusi-institusi umat Islam untuk memuluskan roda pembangunan yang dicanangkannya. Seperti apapun wacana dan kontroversi yang muncul mengenai gerakan pemerintah yang sedang berkuasa, bagi penulis adaiah hal yang wajar. Yang panting dalam perspektif yuridis tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara konstitusional kebijakan itu dapat dibenarkan karena sesuai dengan Pancasila dan Dekrit Presiden RI S Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD I945, tidak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, bahkan sesuai dengan realitas masyarakat. Keherlakuan hukum Islam adalah suatu kenyataan, bukan sesuatu yang datang secara tiba-tiba, menafikan keberlakuan hukum Islam berarti menafikan pula terhadap realitas, dan menafikan terhadap realitas, itu artinya pengkhianatan terhadap keberadaan umat Islam. Karena itu, kenika kita berbicara mengenai pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka semua unsur pembentukan hukum harus cliperlakukan secara adil, tak terkecuali hukum Islam. Mengenai simbolisasi dan substansialisasi dalam penerapan hukum Islam, menurut penulis keduanya baik dan diperlukan. Narnun jika lerjadi pilihan karena sesuatu hal yang dapat memicu terjadinya konflik sesama anak bangsa, maka tentu saja yang menjadi pilihan adalah substansinya, karena simbolisasi itu memang hanya merupakan proses dan jalan menuju tercapainya substansialisasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D1114
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Salman Maggalatung
"Dinamika perkembangan dan posisi hukum Islam senantiasa mengalami pasang surut sesuai gelombang dan iklim politik yang menyertainya. Jauh sebelum Kemerdekaan, hukum Islam telah berkembang dan menjadi hukum positif bagi kerajaan Islam. Pada awal pemerintahan kolonial Belanda hukum Islam diterima sepenuhnya sebagai hukum yang berlaku bagi orang Islam dengan teori Receptio in Complexu oleh L.W.C. Van den Berg yang mengakui eksisensi hukum Islam, namun teori ini dibantah oleh Snouck Hurgronje dengan teori Receptie-nya, bahwa hukum Islam baru dapat diterima setelah diakui oleh hukum adat. Selanjutnya teori ini mendapat reaksi dari umat Islam, Hazairin misalnya menyebutnya sebagai teori iblis. Pada masa pemerintahan Balatentara Jepang, posisi hukum Islam masih tetap sama seperti pada masa pemerinahan Hindia Belanda. Menjelang Indonesia merdeka tercapai sebuah kompromi antara pendukung negara berdasarkan agama (Islam) dan pendukung negara berdasar Pancasila tertuang dalam ?Piagam Jakarta?, kendatipun hanya sebentar, piagam tersebut seolah meniupkan angin segar bagi perkembangan dan posisi hukum Islam. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan terjadi nncoretan atas kalimat "dengan kewajiban menjalankan syari?at Islam bagi pemeluk-pemeluknya", sebagai garansi utuhnya NKRI. Demi menjaga stabilitas politik, keamanan dan keselamatan negara, Prsiden Soekamo mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Dalam dekrit tersebut Presiden Soekamo menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konstitusi. Piagam Jakarta memang tidak tampak dalam konstitusi Indonesia, akan tetapi ia ada, menjiwai dan hidup, serta memberi kehidupan bagi perkembangan hukum Islam, Jiwa dari Piagam Jakarta itulah yang melahirkan berbagai produk perundang-undangan yang bersumber dari hukum Islam yang wajib dilaksanakan oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam. Dari sini dapat dipahami, bahwa Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dapat menjadi dasar inspirasi dan pegangan dalam upaya penerapan hukum Islam di Indonesia. Era reformasi dan otonomi claerah temyata disambut baik oleh sejumlah Pemerintah Daerah di Indonesia untuk berperan lebih besar. Di Kabupaten Tasikmaiaya, Cianjur dan Gamt misalnya, telah menetapkan Perda untuk membasmi penyakit sosial masyarakat dan sejumlah kebijakan Iainnya untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan masyarakat. Kreativitas Pemerintah Daerah dan masyarakar tampaknya cukup beralasan, yakni adanya semacam kerinduan umat Islam terhadap syari'at agamanya untuk diterapkan dalam kehidupan mereka. Kreatifitas ini clinilai oleh sebagian anggota masyarakat sebagai kompensasi politik pemerintah kepada rakyat. Upaya itu terkesan dipolitisasi dalam bentuk formalisasi dan simbolisasi syari'at Islam untuk menarik simpatik rakyat dan institusi-institusi umat Islam untuk memuluskan roda pembangunan yang dicanangkannya. Seperti apapun wacana dan kontroversi yang muncul mengenai gerakan pemerintah yang sedang berkuasa, bagi penulis adaiah hal yang wajar. Yang panting dalam perspektif yuridis tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara konstitusional kebijakan itu dapat dibenarkan karena sesuai dengan Pancasila dan Dekrit Presiden RI S Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD I945, tidak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, bahkan sesuai dengan realitas masyarakat. Keherlakuan hukum Islam adalah suatu kenyataan, bukan sesuatu yang datang secara tiba-tiba, menafikan keberlakuan hukum Islam berarti menafikan pula terhadap realitas, dan menafikan terhadap realitas, itu artinya pengkhianatan terhadap keberadaan umat Islam. Karena itu, kenika kita berbicara mengenai pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka semua unsur pembentukan hukum harus cliperlakukan secara adil, tak terkecuali hukum Islam. Mengenai simbolisasi dan substansialisasi dalam penerapan hukum Islam, menurut penulis keduanya baik dan diperlukan. Narnun jika lerjadi pilihan karena sesuatu hal yang dapat memicu terjadinya konflik sesama anak bangsa, maka tentu saja yang menjadi pilihan adalah substansinya, karena simbolisasi itu memang hanya merupakan proses dan jalan menuju tercapainya substansialisasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D748
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suadi Putro
Jakarta: Paramadina, 1998
297.67 SUA m (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Amnawaty
"ABSTRAK
Dalam istilah kriminologi crimes atau tindak pidana lebih dikenal dengan sebutan kejahatan. Kejahatan yang secara nyata ada di masyarakat jauh lebih banyak dari kejahatan yang secara nyata ada di dalam aparat statistik aparat keamanan. Kenyataan lain yang juga terdapat di masyarakat adalah meningkatnya angka kejahatan baik secara kualitas maupun kuantitas, begitu juga dengan modus operandi kejahatan tersebut yang semakin canggih dan profesional. Modus operandi yang kovensional sudah lama ditinggalkan. Para pelaku kejahatan terdiri dari orang-orang yang tidak berpendidikan sampai ke orang-orang yang berpendidikan yang lebih dikenal dengan sebutan ?kerah putih?. Para pelaku kejahatan terdapat hampir di semua bidang kehidupan mulai dari kejahatan di bidang harta benda, bidang jiwa dan badan, kejahatan bidang perbankan, kejahatan dalam bidang pertahanan keamanan, kejahatan bidang keuangan negara, dan laian-lain. Realitas kejahatan tersebut meningkat dari tahun ke tahun.
Dari hasil penelitian, dapatlah dipahami bahwa telah terjadi perbincangan yang panjang di antara para fuqaha dari berbagai mazhan tentang tindak pidana pencurian. Dari berbagai perbincangan di antara para fuqaha dari berbagai mazhab dan aliran tersebut dapat diketahui bahwa para fuqaha telah menyepakati tiga hal tentang pencurian, yaitu adanya pelaku pencurian, adanya perbuatan mengambil suatu harta, dan adanya unsur pengambilan secara diam-diam.
Para fuqaha tidak sepakat tentang beberapa hal seperti tentang hirz, tentang nisab, tentang syubhat. Selain itu, dapat diketahui semua mazhab dan aliran menyepakati tentang batas pemotongan tangan adalah dari pergelangan tangan sampai ke jari-jari tangan. Terkecuali mazhab Syiah Imamiyah yang mensyaratkan pemotongan tangan adalah pemotongan empat jari-jari tangan kanan, kecuali ibu jari. Dan, bila dilakukan pemotongan kaki, kaki yang dipotong adalah jari dan telapak kaki kecuali tumit kaki. Selain itu, semua mazhab dan aliran mengakui alat pembuktian yang utama adalah pengakuan (ikrar) dan saksi sedangkan qorinahy sumpah, dan pengetahuan hakim, masing-masing mazhab berbeda pendapat. Dengan demikian, dapatlah penulis kemukakan bahwa para fuqaha sepakat tentang masalah tindak pidana pencurian yang pokok-pokoknya saja, tetapi berselisih pendapat tentang yang furu\ Akan tetapi, perbedaan tersebut bukanlah suatu keburukan melainkan suatu berkah yang menandakan bahwa hukum Islam bukanlah sesuatu yang kaku, yang sempit dan tidak manusiawi. Bahkan, sebaliknya hukum Islam dengan perbedaan pendapat itu menandakan ?kelenturan? hukum Islam, tetapi tetap tidak meninggalkan nilai-nilai kepastian hukumnya sehingga kesan bahwa hukum Islam yang kejam sudah sepantasnya ditiadakan.
Supaya pemerintah menerapkan suatu policy yang memberlakukan hukum pidana Islam dan memasukkannya kedalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang KUHP, khususnya tentang pencurian dan menjadikan hukuman potong tangan sebagai straf minima dan hukuman mati sebagai straf maksima bagi pelaku pencurian yang didahului, disertai dan diikuti oleh tindak pidana lain. Dengan ancaman hukuman yang demikian diharapkan suatu pidana tanpa penjara akan terwujud dan tindak pidana pencurian akan berkurang.
Agar supaya pemerintah memperluas wewenang Pengadilan Agama yaitu sampai pada hal-hal yang berhubungan dengan masalah eksekusi hukum pidana Islam. Karena selama ini Pengadilan Agama hanya mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan hokum Perdata Islam. Agar supaya masyarakat atau Ulama memahami dan mendalami makna kajian filosofis yang dikemukakan oleh fiikaha kontemporer."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T36469
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.M. Kasim Bakry
Solo: AB. Siti Sjamsijah, 1958
297.44 KAS h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Wardi Muslich
Jakarta: Sinar Grafika, 2005
297.44 AHM h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>