Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180858 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sahala, Sumijati
"Legal empowerment for women in Indonesia"
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2001
346.013 SAH m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Issues concerning empowering of women and child welfare in millenium development goals of Indonesia."
Jakarta : Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat, Republik Indonesia, 2013
338.927 PEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jessy Risdiana Damayanti
"Skripsi ini membahas mengenai media anti mainstream yang melawan media mainstream yang misogini dengan mendekonstruksikan konstruksi perempuan. Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif feminis, dimana peneliti juga menggunakan teknik analisa wacana kritis feminis dalam melihat artikel dan teks yang dibuat oleh subjek penelitian. Lahirnya perempuan baru yaitu perempuan sebagai subjek dan otonom menjadi salah satu hasil dari dekonstruksi tersebut.

This thesis discusses the anti mainstream media that fights the mainstream media with their misogyny by deconstructing the construction of women. Researchers using feminists qualitative research and also use critical feminist discourse analysis techniques to view articles and texts made by the subject of research. New woman which means woman as subject and autonomous, became one of the outcomes of the deconstruction."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Endang Sutisna Sulaeman
Bulaksumur, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2016
614 END p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Universitas Indonesia, 2006
S26185
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Collins
"Pengarusutamaan gender adalah sebuah strategi yang telah disahkan secara internasional guna mencapai kesetaraan gender yang bertujuan untuk membawa perubahan yang fundamental pada budaya organisasi dengan cara menanamkan praktek-praktek dan norma-norma kepekaan gender dalam tatanan kebijakan publik. Secara resmi Indonesia telah mengesahkan pendekatan pengarusutamaan gender pada tahun 2000, dengan dikeluarkannya lnstruksi Presiden no 9/2000. Inpres tersebut mengharuskan semua tingkat pemerintahan untuk mengarusutamakan isu gender ke dalam kebijakan-kebijakan dan program-program yang dibuat. Namun demikian, perwujudan suatu kebijakan formal ke dalam tindakan nyata sering kali bukan merupakan proses yang langsung. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat dampak yang diterima oleh pelaku, baik individual maiwun institusional, dalam pelaksanaan upaya pengarusutamaan gender di Indonesia, dan sampai pada tingkat apa upaya-upaya tersebut di atas telah mendorong terjadinya pergeseran yang berkelanjutan pada budaya dan kapasitas organisasi menuju ke pembentukan kerangka kerja yang lebih responsif terhadap isu gender.
Penelitian ini menggunakan dua alur teori politik untuk mendukung analisisnya. Yang pertama adalah teori kebijakan public, khususnya studi mengenai penerapan kebijakan yang dilakukan oleh Wiemar dan Vining, yang digunakan untuk meneliti kontribusi yang diberikan oleh berbagai pihak dalam suatu rangkaian kebijakan. Yang kedua adalah, studi yang menggunakan teori feminis mengenai pengarusutamaan gender, termasuk penelitian Squires, Daly dan Walby, guna memberikan pertimbangan apakah aplikasi praktis dari upaya pengarusutamaan gender di Indonesia dapat mencerminkan tujuan-tujuan teoritisnya.
Metodologi penelitian kualitatif digunakan untuk mengunpulkan data, yang kemudian diperiksa dengan menggunakan analisa deskriptif. Data dikumpulkan dari dokumen administratif maupun kebijakan yang dibuat oleh lembaga pemerintahan yang menjadi target dan juga berasal dari serangkaian wawancara mendalam dengan perwakilan dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan lima Departemen lain yang memiliki program-program pengarusutamaan gender.
Secara umum, birokrasi di Indonesia masih sangat kuat dipengaruhi oleh budaya partriakal yang memberikan prioritas utama kepada laki-laki daripada perempuan. Hasil penelitan menunjukkan bahwa pelaku individual, terutama mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh, adalah pihak-pihak utama yang memiliki peranan penting dalam mendorong pelaksanaan upaya pengarusutamaan gender dan memerangi budaya patriarkal tersebut di atas. Ketergantungan kepada individu dan bukan kepada mekanisme lembaga ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa lembaga pemerintah yang relevan dalam hal ini tidak memiliki cukup kekuasaan, kepemimpinan dan kapasitas teknis untuk mendorong terjadinya perubahan kebijakan. Dengan demikian lembaga-lembaga pemerintah ini sangat bergantung pada dukungan yang diberikan oleh individu utama dalam menggerakkan program-program pengarusutamaan gender di masing-masing departemen. Namun demikian, jika prakarsa dari individu-individu tersebut tidak diwujudkan dalam pengetahuan dan praktek lembaga, maka program-program yang dibuat tidak akan berkelanjutan karena tidak ada pengembangan kapasitas Iembaga secara substansial.
Hasil penelitian juga menegaskan posisi Daly yang menyatakan bahwa ada disparitas pada pelaksanaan praktek pengarusutamaan gender dengan tujuan teoritis dan tujuannya, khususnya dalam hal janji akan adanya perubahan struktural. Hal ini bisa disebabkan oleh tiga alasan utama. Yang pertama adalah tanggungjawab upaya pengarusutamaan gender di Indonesia biasanya 'berada di tangan"divisi perempuan' yang telah ada, yang dengan demikian dapat berarti bahwa mereka masih tetap terpinggirkan posisinya di dalam Departemen itu sendiri. Isu gender belum menjadi isu yang lintas sektoral. Yang kedua, dengan mengadopsi model penerapan birokrasi yang maju, upaya pengarusutamaan gender cenderung untuk dimasukkan ke dalam budaya administratif yang telah ada, yang berarti bahwa isu gender belum terintegrasi ke dalam kebijakan utama. Isu gender hanya ditambahkan sebagai permasalahan tambahan. Dan akahirnya, penelitian ini menemukan bahwa ada kecenderungan untuk memisahkan upaya pengarusutamaan gender dari wacana gender dan kesetaraan, yang dengan demikian hal tersebut akan menjauhkPengarusutamaan gender adalah sebuah strategi yang telah disahkan secara internasional guna mencapai kesetaraan gender yang bertujuan untuk membawa perubahan yang fundamental pada budaya organisasi dengan cara menanamkan praktek-praktek dan norma-norma kepekaan gender dalam tatanan kebijakan publik. Secara resmi Indonesia telah mengesahkan pendekatan pengarusutamaan gender pada tahun 2000, dengan dikeluarkannya lnstruksi Presiden no 9/2000. Inpres tersebut mengharuskan semua tingkat pemerintahan untuk mengarusutamakan isu gender ke dalam kebijakan-kebijakan dan program-program yang dibuat. Namun demikian, perwujudan suatu kebijakan formal ke dalam tindakan nyata sering kali bukan merupakan proses yang langsung. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat dampak yang diterima oleh pelaku, baik individual maiwun institusional, dalam pelaksanaan upaya pengarusutamaan gender di Indonesia, dan sampai pada tingkat apa upaya-upaya tersebut di atas telah mendorong terjadinya pergeseran yang berkelanjutan pada budaya dan kapasitas organisasi menuju ke pembentukan kerangka kerja yang lebih responsif terhadap isu gender. Penelitian ini menggunakan dua alur teori politik untuk mendukung analisisnya. Yang pertama adalah teori kebijakan public, khususnya studi mengenai penerapan kebijakan yang dilakukan oleh Wiemar dan Vining, yang digunakan untuk meneliti kontribusi yang diberikan oleh berbagai pihak dalam suatu rangkaian kebijakan. Yang kedua adalah, studi yang menggunakan teori feminis mengenai pengarusutamaan gender, termasuk penelitian Squires, Daly dan Walby, guna memberikan pertimbangan apakah aplikasi praktis dari upaya pengarusutamaan gender di Indonesia dapat mencerminkan tujuan-tujuan teoritisnya. Metodologi penelitian kualitatif digunakan untuk mengunpulkan data, yang kemudian diperiksa dengan menggunakan analisa deskriptif. Data dikumpulkan dari dokumen administratif maupun kebijakan yang dibuat oleh lembaga pemerintahan yang menjadi target dan juga berasal dari serangkaian wawancara mendalam dengan perwakilan dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan lima Departemen lain yang memiliki program-program pengarusutamaan gender. Secara umum, birokrasi di Indonesia masih sangat kuat dipengaruhi oleh budaya partriakal yang memberikan prioritas utama kepada laki-laki daripada perempuan. Hasil penelitan menunjukkan bahwa pelaku individual, terutama mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh, adalah pihak-pihak utama yang memiliki peranan penting dalam mendorong pelaksanaan upaya pengarusutamaan gender dan memerangi budaya patriarkal tersebut di atas. Ketergantungan kepada individu dan bukan kepada mekanisme lembaga ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa lembaga pemerintah yang relevan dalam hal ini tidak memiliki cukup kekuasaan, kepemimpinan dan kapasitas teknis untuk mendorong terjadinya perubahan kebijakan. Dengan demikian lembaga-lembaga pemerintah ini sangat bergantung pada dukungan yang diberikan oleh individu utama dalam menggerakkan program-program pengarusutamaan gender di masing-masing departemen. Namun demikian, jika prakarsa dari individu-individu tersebut tidak diwujudkan dalam pengetahuan dan praktek lembaga, maka program-program yang dibuat tidak akan berkelanjutan karena tidak ada pengembangan kapasitas Iembaga secara substansial. Hasil penelitian juga menegaskan posisi Daly yang menyatakan bahwa ada disparitas pada pelaksanaan praktek pengarusutamaan gender dengan tujuan teoritis dan tujuannya, khususnya dalam hal janji akan adanya perubahan struktural. Hal ini bisa disebabkan oleh tiga alasan utama. Yang pertama adalah tanggungjawab upaya pengarusutamaan gender di Indonesia biasanya 'berada di tangan"divisi perempuan' yang telah ada, yang dengan demikian dapat berarti bahwa mereka masih tetap terpinggirkan posisinya di dalam Departemen itu sendiri. Isu gender belum menjadi isu yang lintas sektoral. Yang kedua, dengan mengadopsi model penerapan birokrasi yang maju, upaya pengarusutamaan gender cenderung untuk dimasukkan ke dalam budaya administratif yang telah ada, yang berarti bahwa isu gender belum terintegrasi ke dalam kebijakan utama. Isu gender hanya ditambahkan sebagai permasalahan tambahan. Dan akahirnya, penelitian ini menemukan bahwa ada kecenderungan untuk memisahkan upaya pengarusutamaan gender dari wacana gender dan kesetaraan, yang dengan demikian hal tersebut akan menjauhkan upaya pengarusutamaan gender dari ketidaksetaraan gender yang sesungguhnya terjadi di masyarakat. Di dalam sistem birokrasi lndonesia, ada sistem kontradiksi gender yang terjadi. Biasanya para staff, baik laki-laki maupun perempuan, menyatakan bahwa lembaga cukup terbuka untuk inisiatif-inisiatif kebijakan yang responsif terhadap isu gender, namun pada saat yang sama para staff ini menolak bahwa telah terjadi ketidaksetaraan gender atau bahwa mereka memerlukan tindakan khusus untuk memperbaiki ketidaksetaraan ini. Pernyataan para staff ini mengingkari tujuan utama dari upaya pengarusutamaan gender guna mencapai perubahan kelembagaan yang fundamental.an upaya pengarusutamaan gender dari ketidaksetaraan gender yang sesungguhnya terjadi di masyarakat. Di dalam sistem birokrasi lndonesia, ada sistem kontradiksi gender yang terjadi. Biasanya para staff, baik laki-laki maupun perempuan, menyatakan bahwa lembaga cukup terbuka untuk inisiatif-inisiatif kebijakan yang responsif terhadap isu gender, namun pada saat yang sama para staff ini menolak bahwa telah terjadi ketidaksetaraan gender atau bahwa mereka memerlukan tindakan khusus untuk memperbaiki ketidaksetaraan ini. Pernyataan para staff ini mengingkari tujuan utama dari upaya pengarusutamaan gender guna mencapai perubahan kelembagaan yang fundamental."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24420
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
M. Husni Arifin
"Munculnya pembagian kerja internasional baru (NIDL - New International Division of Labour) dan berbagai deregulasi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk menarik investor asing maupun dalam negeri, menyebabkan pesatnya pertumbuhan pabrik-pabrik pasar dunia. Karakteristik utama dari pabrik-pabrik pasar dunia adalah penggunaan teknologi ban berjalan, padat karya, dan preferensi terhadap buruh perempuan. Preferensi pemodal terhadap buruh perempuan karena menganggap perempuan sangat memenuhi syarat dalam strategi penekanan biaya produksi. Proses akumulasi modal dilakukan dengan memanfaatkan ideologi gender dan patriarki yang telah mengakar di masyarakat. Akibatnya, buruh perempuan selalu rentan terhadap bentuk-bentuk eksploitasi dan subordinasi gender. Dalam pengertian ini, hubungan saling mendukung, interplay, dialektika, antara modal dan gender tidak dapat disangkal bermain di sini.
Karena itu, permasalahan utama penelitian ini adalah memeriksa kecenderungan subordinasi gender dalam diri buruh perempuan. Adalah Diane Elson dan Ruth Pearson yang mengemukakan hipotesa tentang tiga kecenderungan subordinasi gender sebagai hasil dari dialektika antara modal dan gender. Keeenderungan mengintensifkan, membusukkan, dan memunculkan kembali bentuk-bentuk subordinasi gender. Dalam memeriksa ketiga kecenderungan tersebut, analisa tidak hanya mefokuskan pada pengalaman kerja perempuan di pabrik, tapi diperiksa juga bangunan relasi gender di rumah tangga sebagai implikasi dari kerja pabrik-an. Dua analisa itu bukan merupakan bagian yang saling terpisah, melainkan suatu gabungan dalam memahami keeenderungan subordinasi gender buruh perempuan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berperspektif gender dan berparadigma kritikal. Pemihakan, standpoint, adalah posisi yang diambil peneliti untuk mengungkap persoalan-persoalan perempuan yang tersembunyi. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara mendalam terhadap buruh perempuan serta anggota keluarganya sebagai sumber primer, yang ditentukan secara purposif dengan tehnik snow ball.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kerja pabrik-an dan implikasinya terhadap relasi gender di rumah memproduksikan kecenderungan subordinasi gender yang tidak dapat dikatakan seragam antara buruh perempuan lajang dan yang menikah. Melalui kerja pabrik-an, keduanya cenderung memunculkan kembali, recompose, bentuk subordinasi gender baru. Keduanya terperangkap di dalam lingkaran kontrol patriarki di pabrik. Walaupun begitu, kerja pabrik-an dapat memberikan otonomi relatif bagi buruh lajang menghadapi otoritas laki-laki di rumah, karena itu cenderung membusukkan, decompose, bentuk-bentuk subordinasi gender yang ada. Sebaliknya, bagi buruh berkeluarga, kerja pabrik-an cenderung me-intensifkan, intense, bentukbentuk subordinasi gender yang ada. Karena pengaruh otoritas laki-laki lain di pabrik dan dipikulnya beban Banda, double burden - sebagai penghasil utama nafkah keluarga dan sekaligus terbebani oleh kerja-kerja domestik.
Diskusi teoritik yang dapat dihasilkan adalah (1) strategi "pecah belah" terhadap kelompok buruh merupakan strategi efektif bagi pemodal untuk menjaga kelancaran akumulasi modal; (2) kerja pabrik-an, kerja upahan, berpotensi membebaskan perempuan dari subordinasi gender, tapi dengan prasyarat tumbuhnya kesadaran gender dalam diri perempuan; (3) tanpa diikuti kesadaran, kerja upahan hanya akan memediasi munculnya subordinasi gender daripada menghilangkannya; (4) analisa tentang kecenderungan subordinasi gender pada diri buruh perempuan, perlu mengkaitkan analisa pengalaman kerja perempuan di pabrik dengan implikasi kerja upahan terhadap relasi gender di rumah.
Rekomendasi yang diusulkan berdasarkan temuan-temuan penelitian, yaitu: (1) resistensi perempuan terhadap dominasi laki-laki melalui kerja upahan, harus didukung oleh unsur-unsur lain, seperti peningkatan tingkat pendidikan, menghindari pernikahan di usia dini, penurunan fertilitas, dan kesadaran gender. Dengan demikian dapat tercipta hubungan antara laki-laki dan perempuan yang egaliter, setara; (2) perlu mengembangkan konsep "perlawanan" (struggle) yang tidak hanya mempersoalkan persoalan ekonomi semata, tapi sebagai suatu cara untuk mengembangkan otonomi diri (self determination); (3) diperlukan intervensi negara untuk memberikan perlindungan, security, bagi buruh perempuan dari bentuk-bentuk subordinasi gender melalui kebijakan-kebijakan perburuhan; (4) perlu mendorong dan mendukung peningkatan kapasitas serikat-serikat buruh dalam membela dan memperjuangan kepentingan dan hak-hak buruh perempuan, partisipasi aktif buruh perempuan dalam kegiatan serikat buruh, dan kontinuitas serikat buruh (5) pendekatan GAD (Gender and Development) dengan strategi pengarusutamaan gender relevan dijadikan basis kebijakan pemerintah (Depnaker) soal perburuhan. Kaitannya terhadap penyelesaian isu-isu struktural perempuan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T12243
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>