Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30507 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nasution, Adnan Buyung, 1934-
Jakarta: Faculty of Law University of Indonesia, 2002
345 NAS b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sugeng Riyadin
"Tesis ini membahas tentang Lembaga Pemasyarakatan Terbuka sebagai Sub-Sistem dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu dengan titik beratnya adalah latar belakang pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka, pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka dikaitkan dengan tujuan pemidanaan dan pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang dilakukan dengan wawancara dan pengamatan, selanjutnya diolah secara deduktif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan Terbuka dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.03.PR.07.03. Tahun 2003 tanggal 16 April 2003 tentang Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Pasaman, Jakarta, Kendal, Nusakambangan, Mataram dan Waikabubak. Bahwa pembentukan lembaga pemasyarakatan terbuka ini dilatar belakangi hal-hal sebagai berikut : sebagai salah satu upaya untuk mengurangi kelebihan narapidana (over crowding) di lembaga pemasyarakatan biasa (tertutup), merupakan perwujudan dari konsep community-based corrections, yang mana di lembaga pemasyarakatan terbuka pembinaan narapidana menekankan keterlibatan masyarakat, sebagai upaya untuk lebih menyiapkan narapidana berintegrasi dengan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan, Namun keberadaan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta pada khususnya dan lembaga pemasyarakatan terbuka di Indonesia pada umumnya merupakan kebijakan pemerintah yang setengah hati atau hanyalah propaganda pemerintah dalam pembinaan narapidana, karena keberadaannya hingga saat ini belum pernah dievaluasi dan perkembangan lembaga pemasyarakatan terbuka tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan baik dari segi pembinaan narapidana maupun peraturan spesifik mengenai lembaga pemasyarakatan terbuka yang menjadi landasannya. Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka (lapas terbuka) sebagai sub-sistem peradilan pidana dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, harus dimaksimalkan mengenai konsepnya untuk mencapai tujuan pemidanaan di Indonesia, yaitu mengembalikan dan mengintegrasikan narapidana ke masyarakat, menjadi manusia yang taat dan patuh pada hukum. Dengan demikian pembentukan lapas terbuka dapat menjembatani tujuan dan mewujudkan tujuan pembinaan di Indonesia. Pembinaan narapidana di lapas terbuka dimulai dengan penyeleksian narapidana yang harus memenuhi syarat subtantif berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman, Nomor : M.01.PK.04.10, Tahun 1999, Tentang asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, Pasal 7 ayat (2) dan syarat administratif Surat Keputusan Menteri Kehakiman, Nomor : M.01.PK.04.10, Tahun 1999, Tentang asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, Pasal 8. Selain itu bukan termasuk narapidana kejahatan penipuan, terorisme, narkotika dan illegal logging. Bahwa proses seleksi untuk menjadi warga binaan pemasyarakatan pada Lapas Terbuka Jakarta pada khususnya atau lapas terbuka di Indonesia pada umumnya sangat memungkinkan terjadinya penyimpangan seperti adanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), karena sangat banyak narapidana yang berada di wilayah Jabodetabek namun mengapa hanya lima orang yang menjadi warga binaan pada Lapas Terbuka Jakarta. Manjadi pertanyaan apakah kelima orang tersebut benar-benar memenuhi syarat ataukah ada KKN dalam proses kepindahanya dari Lapas Tertutup ke Lapas Terbuka Jakarta. Sehingga pembinaan narapidana pada Lapas Terbuka Jakarta tidak sesuai yang diharapkan karena program pembinaan tidak berjalan sebagaimana mestinya, dengan kata lain Lapas Terbuka Jakarta hanyalah tempat singgah sebelum para narapidana tersebut bebas.

This thesis discusses the Open Prison as a Sub-System in the Integrated Criminal Justice System with emphasis is the background of the formation of the Open Prison, Penitentiary establishment of the Open was associated with the goal of punishment and execution of prisoners in the Penitentiary building the Open. The research method used in this thesis is a normative legal research methods. Normative legal research done by examining library materials or secondary data. The data was collected through library research and field studies conducted by interviews and observations, then treated deductively. The results of this study concluded that the Open Prison was established by Decree of the Minister of Justice No. M.03.PR.07.03. 2003 April 16, 2003 on the establishment of the Open Pasaman Correctional Institution, London, Kendal, Nusakambangan, Mataram and Waikabubak. That the formation of an open prison this background the following matters: as an effort to reduce excess inmates (over crowding) in ordinary prisons (closed), is a manifestation of the concept of community-based Corrections, which is in open prisons coaching inmates emphasizes community involvement, as an effort to better prepare inmates integrate into society as the goal of punishment, but the existence of the Open Prison Jakarta in particular and open prisons in Indonesia in general is a government policy that half-hearted or just government propaganda in the coaching of prisoners, because its existence until now has not been evaluated and the development of open prisons did not show significant progress both in terms of specific guidance or regulations regarding inmate penitentiary opened which it rests.Penitentiary establishment of the Open (open prison) as a sub-system of criminal justice in relation to the purpose of sentencing, the concept should be maximized to achieve the purpose of punishment in Indonesia, that is to return and integrate inmates into society, a man who obey and comply with the law. Thus the formation of an open prison to bridge the goals and realize the goal of coaching in Indonesia. Inmates in open prisons coaching begins with the selection of eligible inmates who have substantive based on the Decree of the Minister of Justice, No. M.01.PK.04.10, 1999, On assimilation, Parole and Leaves Towards Free, Article 7 paragraph (2) and administrative requirements of Decree of the Minister of Justice, No. M.01.PK.04.10, 1999, On assimilation, Parole and Leaves Towards Free, Article 8. Besides not including inmate fraud, terrorism, narcotics and illegal logging. That the selection process to become prisoners in open prisons Jakarta in particular or open prison in Indonesia in general is very possible occurrence of irregularities such as corruption, collusion and nepotism (KKN), since so many inmates who are in the Greater Jakarta area, but why only five people who became citizens of the built in Jakarta Open Prison. Even become a question whether those people are actually qualified or is there corruption in the process of prison kepindahanya Closed to Open Prison in Jakarta.Thus fostering the Open Prison inmates in Jakarta is not as expected because the coaching program is not running as it should, in other words Jakarta Open Prison was a haven before the prisoners are free."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2012
T 29872
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Purnomo Hadi
"Pembebasan bersyarat, pada hakekatnya merupakan satu tahapan dari proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan. Tahapan itu merupakan rangkaian dalam penegakan hukum pidana, yang berarti menanggulangi kejahatan dengan sarana hukum pidana, yang dioperasionalkan melalui suatu sistem yang di sebut sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sebagai suatu sistem, maka akan didukung dengan unsur perundang-undangan (unsur substansial) dan unsur kelembagaan (unsur struktural) meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, yang harus bekerja secara terpadu. Namun, secara praktis, kenyataan menunjukkan, yang terjadi justru masih terdapat ketidakterpaduan baik unsur substansial maupun struktural, khususnya yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat. Dalam unsur substansial terdapat kontradiksi antara hukum pidana material dengan hukum pidana formal; antara hukum pidana material dengan hukum pelaksanaan pidana; antara hukum pidana formal dengan hukum pelaksanaan pidana.
Aspek yang sangat penting yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat, bahwa secara faktual sebagian besar narapidana ternyata hanya menjalani dan dibina di dalam lembaga pemasyarakatan kurang dari setengah masa pidana dari putusan hakim. Keadaan ini disebabkan karena cara penghitungan persyaratan masa menjalani pidana duapertiga yang tidak sesuai dengan ide KUHP yang menjadi dasar pembebasan bersyarat. Unsur struktural, juga masih terdapat ketidakserasian yang berkaitan dengan proses pemberian pembebasan bersyarat, yaitu tidak dilibatkannya Hakim Wasmat dalam proses pemberian pembebasan bersyarat. Ketidakserasian itu berarti mengarah pada ketidakterpaduan sistem peradilan pidana, yang jika tidak diadakan perbaikan, justru dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kejahatan, atau faktor kriminogen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahadi
Jakarta: Universitas Indonesia, 1969
347.01 Mah b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Andri
"Aktifitas penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor telah begitu luas di masyarakat kita. Masalah ini akan menjadi ancaman yang serius bukan saja terhadap kelangsungan hidup dan masa depan pelakunya, tetapi juga sangat membahayakan bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Untuk itu pemerintah telah melakukan langkah-langkah dengan mengundangkan peraturan perundangundangan terkait penyalahgunaan Narkoba serta membentuk lembaga non struktural yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menjadi badan koordinasi dengan instansi pemerintah terkait dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pada perkembangannya setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, tugas dan fungsi BNN diberikan kewenangan yang besar. Salah satu kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prekusor narkotika. BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika diluar penyidik POLRI yang sudah ada.
Dalam sistem peradilan pidana, Penyidik BNN menjadi salah satu gatekeeper selain penyidik POLRI dan PPNS dalam penanganan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika. Porsi kewenangan BNN yang sangat besar dan tidak adanya aturan diferensiasi dalam tataran pelaksanaan tugas penyelidikan dan penyidikan dengan penyidik POLRI, contoh dalam bentuk kekhasan cara penangkapan, obyek tangkapan, spesialisasi narkoba yang disita dan sebagainya antara penyidik BNN dengan penyidik kepolisiaan dapat menimbulkan permasalahan secara kelembagaan.
Bertitik tolak dari hal tersebut maka dapat timbul kendala dimana sistem peradilan terpidana yang terpadu menghendaki keseluruhan proses yang bekerja dalam satu sistem, sehingga antara masing-masing lembaga itu sebagai sub sistem yang akan saling berhubungan dan mengaruhi satu sama dengan yang lainnya dapat bekerja sama dalam mewujudkan tujuan penegakan hukum.

The activity of abusing Narcotics and Precursor has been widely spread in our society. This problem will become a serious threat towards not only the survival but also the future of the victims, and is very harmful for the life of the society, the nation, and the state. Therefore, the government has taken some steps by enacting the relevant laws and regulations to the drugs abuse and by establishing a non-structural institution, BNN (National Narcotics Board) which becomes a coordinating board with the relevant government agencies for availability, prevention, and combat of the misuse and illegal selling of Narcotics and Narcotic Precursor.
In its development after the promulgation of the law No. 35 of the year 2009 on Narcotics, BNN has been granted big responsibilities for its duty and functions. One of BNN?s responsibilities is to prevent and combat the misuse and the spread of narcotics and narcotic precursor. BNN is granted a responsibility to do investigation and inquiry towards the misuse and the spread of the narcotics and narcotic precursor outside the existing POLRI (the Police Department of the Republic of Indonesia) investigators.
In the criminal justice system, BNN investigators become one of the gatekeepers besides POLRI and PPNS?s investigators in handling the Narcotics and Narcotic Precursor criminal acts. The portion of BNN responsibilities is very big and there is no differentiation rule in the level of execution of investigation and inquiry duty with POLRI investigators. Therefore, the differences in the way BNN and POLRI make an arrest, the subjects of the arrest, the drugs specialization confiscated, and other differences may cause problems institutionally.
Based on that, there will be problems incurred where the integrated criminal justice system expects the entire process works under one system so that each institution will be the sub-system mutually related and influencing one another, and can coorperate to accomplish the goal of the law enforcement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28937
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aqilah Ravel Muslim
"Skripsi ini akan membahas mengenai prinsip check and balances dalam penerbitan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dengan mengaitkan kepada Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Skripsi ini akan menjawab dua pertanyaan penelitian mengenai bagaimana peran penuntut umum dalam penyidikan setelah diberikannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) bila ditinjau dengan prinsip check and balances, sehingga dapat menjawab pertanyaan mengenai apakah dibutuhkan keterlibatan aktif penuntut umum pada penyidikan. Skripsi ini disusun dengan metode penelitian doktrinal. Skripsi ini akan menganalisis kasus yang timbul akibat kesalahan penerapan hukum oleh penyidik pada tahap penyidikan yang seharusnya dapat diatasi apabila terdapat penerapan prinsip check and balances yang baik antara penuntut umum dan penyidik. Penuntut umum sebagai pihak yang berwenang untuk melakukan penuntutan, memiliki kewajiban untuk berkoordinasi dengan penyidik dengan tujuan untuk menyiapkan seluruh data dan fakta yang diperlukan untuk kepentingan penuntutan. Koordinasi tersebut direalisasikan dengan peran penuntut umum untuk melakukan prapenuntutan setelah diterimanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dari penyidik. Setelah dilakukan analisis, diketahui bahwa keterlibatan aktif penuntut umum dapat mencegah adanya kesalahan penerapan hukum dalam tahap penyidikan. Seringkali penyidik tidak memberikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sehingga menyulitkan penuntut umum untuk memulai proses penuntutan. Dengan terdapat kekurangan maupun permasalahan dalam penerapan check and balances antara penuntut umum dan penyidik dapat berakibat pada tahapan penyidikan yang tidak sempurna sehingga dapat merugikan hak seseorang yang tidak bersalah.

This thesis will discuss the principles of checks and balances in the issuance of Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) by linking it to the Integrated Criminal Justice System. The thesis will address two research questions regarding the role of public prosecutors in the investigation after the issuance of Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) when viewed through the principles of checks and balances. This aims to answer the question of whether active involvement of public prosecutors in the investigation is necessary. The thesis is conducted using a doctrinal research method. It will analyze cases that arise due to legal application errors by investigators during the investigative stage, which should be overcome if there is a good application of the principles of checks and balances between public prosecutors and investigators. Public prosecutors, as the authorized party for prosecution, have the obligation to coordinate with investigators to prepare all necessary data and facts for the purpose of prosecution. This coordination is realized through the role of public prosecutors in conducting pre-prosecution after receiving Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan from the investigators. After the analysis, it is found that active involvement of public prosecutors can prevent legal application errors during the investigative stage. Often, investigators do not provide Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), making it difficult for public prosecutors to initiate the prosecution process. The deficiencies and issues in the application of checks and balances between public prosecutors and investigators can result in an imperfect investigative stage, thus harming the rights of innocent individuals."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chandra Tirta Aditya Gunawan
"Tantangan penanganan bukti digital dalam sistem peradilan terpadu adalah rentan, mudah diubah, dan dimusnahkan, sehingga perlu dilindungi dari ancaman keamanan saat disimpan, diproses, dan dikirimkan oleh setiap penegak hukum yang saling berhubungan. Penelitian ini bertujuan merancang desain terintegrasi penanganan bukti digital pada sistem peradilan pidana terpadu berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menggunakan NIST SP800-53 Rev 5 sebagai upaya pengendalian keamanan informasi dan privasi. Desain terintegrasi ini memiliki 8 sasaran kontrol, 34 klausul kontrol dan 110 kegiatan pengamanan informasi dan privasi. Selanjutnya melakukan evaluasi perencanaan dengan mengukur maturitas organisasi berdasarkan desain tersebut menggunakan NIST Maturity. Pengukuran dilakukan secara kualitatif, melakukan wawancara dengan purposive sampling dan penentuan responden berdasarkan peran dan tanggung jawab personil menggunakan RACI Matriks. Hasil pengukuran maturitas organisasi XYZ senilai 2,35 (dalam skala 0-5) digunakan sebagai bahan evaluasi perencanaan dalam upaya meningkatkan kontrol keamanan organisasi XYZ sebagai lembaga penegakan hukum. Organisasi secara umum sudah menerapkan kontrol keamanan informasi dengan pola yang berulang namun belum terdokumentasi dengan baik, sehingga penerapannya masih belum konsisten. Hasil yang diharapkan organisasi berada pada tingkat 3, sehingga nilai kesenjangannya senilai 0,65. Organisasi perlu untuk mendokumentasikan kontrol keamanannya dalam bentuk standar operasional atau panduan sehingga memberikan tingkat keamanan informasi dan privasi yang lebih baik. Setelah itu, menguraikan rekomendasi berdasarkan tingkat organisasi pada masing-masing klausul kontrol dan memberikan uraian implementasinya. Terakhir, memberikan urutan prioritas berdasarkan risiko keamanan informasi (confidentiality, integrity, dan availability) pada masing-masing sasaran kontrol yang dipadukan dengan risiko yang tertuang dalam dokumen manajemen risiko organisasi (risiko hukum, risiko kepatuhan, risiko regulasi, dan risiko operasional). Hasilnya, sasaran kontrol yang menjadi prioritas implementasi yaitu Pengiriman Data (DTR), Penyimpanan Data (DST), Pencadangan Data (DBU), Dokumentasi (DOC), Identifikasi dan Klasifikasi Data (DIC), Koleksi dan Akuisisi (CLA), Pengembalian Data (DRT) dan Penghapusan Data (DSN).

The challenge of handling digital evidence in an integrated justice system is that it is vulnerable, easy to change, and destroyed, so it requires to be protected from security threats when it is stored, processed, and transmitted by every interconnected law enforcement agency. This study aims to design an integrated design for handling digital evidence in an integrated justice system based on the Criminal Procedure Code using NIST SP800-53 Rev 5 as an effort to control information security and privacy. This integrated design has 8 control targets, 34 control clauses, and 110 information security and privacy activities. Then evaluate the plan by measuring the maturity of the organization based on the design using NIST Maturity. Measurements were carried out qualitatively, using purposive sampling and determining respondents based on the roles and responsibilities of personnel using the RACI Matrix. The results of measuring the maturity of the XYZ organization of 2.35 (on a scale of 0-5) are used as planning evaluation materials to improve security control of the XYZ organization as a law enforcement agency. Organizations, in general, have implemented information security controls with repetitive patterns but have not been well documented, so the implementation is still inconsistent. The expected result of the organization is at level 3, so the value of the gap is 0.65. Organizations need to document their security controls in the state of operational standards or guidelines to provide a better level of information security and privacy. After that, it outlines the recommendations based on the organizational level in each control clause and describes its implementation. Finally, assigning a priority order based on information security risks (confidentiality, integrity, and availability) for each control target combined with the risks contained in the organization's risk management documents (legal risk, compliance risk, regulatory risk, and operational risk). As a result, the control targets that become implementation priorities are (DTR) data transfer, (DST) data storage, (DBU) data backup, (DOC) documentation, (DIC) data identification and classification, (CLA) collection and acquisition, (DRT) data return and (DSN) data sanitization."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Zainuddin
"Anak merupakan anugrah tuhan yang Maha Esa. Anak merupakan penerus dan generasi bangsa. Dalam perkembangan zaman yang makin maju ini, anak tidak lagi merupakan sosok yang lucu dan menggemaskan. Beberapa anak dalam masyarakat tumbuh menjadi anak yang nakal, kejam yang melanggar aturan hukum. Anak yang bermasalah dengan hukum merupakan persoalan yang mengkhawatirkan, dimana apabila anak dihadapkan pada peradilan maka akan timbul stigma negatif bagi anak tersebut, sehingga anak bukan menjadi lebih baik setelah dipidanakan akan tetapi menjadi penjahat yang lebih profesional. Sebab anak-anak yang bermasalah tersebut dikumpulkan dengan anak-anak lain yang bermasalah sehingga ilmu-ilmu kejahatan akan mereka pertajam lagi. Pemidanaan bukan merupakan solusi yang terbaik bagi anak. Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak tidak mengenal istilah penyelesaian perkara anak bermasalah dengan hukum menggunakan mekanisme diversi. Diversi merupakan penyelesaian perkara anak dengan mengenyampingkan atau meniadakan pidana terhadap anak tersebut. Diversi merupakan penyelesaian suatu perkara pidana oleh anak dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Landasan hukum diversi baru lahir setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana anak diupayakan penyelesaian secara restorative justice dimana dalam tiap tingkat proses peradilan baik ditingkat penyidikan, penuntutan hingga pengadilan diupayakan dahulu dilakukan diversi. Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak baru berlaku setelah 2 tahun diundangkan, hal ini dikarenakan pelaksanaan diversi yang merupakan penjabaran nilai-nilai keadilan restoratif merupakan barang baru bagi aparat penegak hukum. Sehingga terdapat hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan diversi dalam penyelesaian perkara pidana oleh anak. Untuk itu dalam penulisan ini akan dilakukan penelitian tantang perbandingan hukum pelaksanaan diversi diberbagai negara, guna mengetahui pelaksanaan diversi dan mengambil pelaksanaannya yang sekira dapat diterapkan dilaksanakan di Indonesia. Serta guna memantapkan pelaksanaan diversi dicari faktor-faktor penghambat pelaksanaan diversi guna mencari jalan keluar agar pelaksanaan diversi dapat berjalan dengan baik.

Children are the gift of God Almighty Son is successorand the future generation In the development of a more advanced age the child is notagain a figure that is funny and adorable. Some children incommunity grew into a naughty child in violation of the rule of law cruel. Children in conflict with the law is a matter of concern which if children are exposed to justice will arise negative stigmafor the child so the child is not getting better after criminalized willbut become more professional criminals. For the people with problems.The gathered with other children with problems so that the sciencescrime will they sharpen again. Punishment is not a solution best for the child. In Act No 3 of 1997 on Judicial Children do not know the term settlement with the troubled child law divesi mechanisms. Diversion is a child settlement with mengemyampingkan or negate the crime against children. Diversion represents the completion of a criminal case by the child using the restorative justice approach. The legal basis diversion newborn after the enactment of Law No 11 Year 2012 on the Justice System Criminal child. In Act attempted child Criminal Justice System completion of the restorative justice where judicial process in each levelboth in the investigation prosecution until the court first soughtcarried diversion Law No 11 Year 2012 on the Justice System Criminal Children take up to 2 years of enactment this is because implementation of diversion which is a translation of the values of restorative justice is new to law enforcement officials. So there hambatan-hambatan encountered in the implementation of diversion in settlement crime by children. Therefore in this study will be conducted the research challenge comparative law versioned implementation in different countries in order to know implementation of diversion and take approximately implementation that can be applied implemented in Indonesia And in order to strengthen the implementation of the factors inhibiting the implementation of diversion sought diversion in order to find a way out so that the implementation diversion can run well."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35856
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yevgeni Lie Yesyurun
"Miscarriage of justice, adalah suatu istilah yang berkaitan dengan putusan pengadilan yang salah atau keliru, yang dapat berupa dipidananya seseorang sekalipun tidak didukung dengan alat bukti yang cukup, atau dipidananya seseorang yang sama sekali tidak melakukan tindak pidana. Miscarriage of justice tidak disebabkan oleh factor tunggal, akan tetapi sebagian besar dari kasus-kasus miscarriage of justice baik yang terjadi di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan bahwa kesalahan penyidik pada tahap penyikan menjadi faktor penyebab yang paling dominan. Kesalahan-kesalahan tersebut mengambil banyak bentuk antara lain, salah mengidentifikasi saksi mata, salah dalam menginterpretasi bukti forensik, termasuk tindakan kriminal penyidik seperti merekayasa saksi  (fabricated witness) atau mendistorsi keterangan saksi, memaksakan pengakuan tersangka, menyembunyikan atau mengabaikan bukti-bukti yang membebaskan tersangka atau terdakwa. Kesalahan-kesalahan ini terjadi karena lemah dan tidak efektifnya mekanisme kontrol yang disediakan oleh hukum acara pidana, terutama di fase penyidikan. Praperadilan yang sedianya menjadi sarana atau mekanisme kontrol terhadap jalannya penyidikan ternyata hanya menguji segi formil dari suatu upaya paksa, padahal penyimpangan yang terjadi ditahap ini tidak hanya mengenai pelaksanaan upaya paksa. Selain mekanisme kontrol yang tidak efektif, kedudukan advokat dalam proses pidana hanya menjadi sasaran tindakan yang disebabkan oleh pengaturannya yang sangat minimalis dalam hukum acara pidana. Rancangan Undang Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2012 tenyata belum memberikan solusi bagi pengungkapan kasus miscarriage of justice terutama dalam kaitannya dengan persoalan bagaimana mengungkap bukti-bukti yang membebaskan yang dikecualikan atau ditahan oleh penyidik, karena selain tidak ada mekanisme yang tersedia, kedudukan advokat yang tetap sekedar menjadi sasaran tindakan masih dipertahankan dalam rancangan tersebut.

Miscarriage of justice, is a term that relates to wrong or erroneous court decisions,   that can take form in the conviction of a person even when there is not enough evidence to support it, or the conviction of a person who did not commit any crime. Miscarriage of justice is not caused by a single factor, but most of the cases of miscarriage of justice that occurred both in Indonesia and in other countries show that the investigator’s error at the investigation stage to be the most dominant factor. These errors took many forms, namely, misidentifying witnesses, misinterpreting forensic evidence, including the investigator’s criminal acts such as manipulating witnesses (fabricated witness) or distorting witness’ testimony, forcing a confession from the suspect, hiding or ignoring evidence that frees up (relieve) suspects or defendant, among others. These errors occur due to weak and ineffective control mechanisms provided by the law of criminal procedure, especially in the investigation stage. Pretrial which was originally a means or mechanism to control the course of the investigation turned out to be just testing the judiciary aspect (formal aspect) of a forced effort, while the deviation/irrelevancy that occurs in this stage is not only about the implementation of the forced effort. In addition to ineffective control mechanism, the position of an advocate in criminal proceedings only becomes the target of actions caused by it being limitedly regulated in law of criminal procedural. Draft of Criminal Procedure Code of 2012 has yet to provide a solution for the disclosure of the miscarriage of justice, especially in relation to the issue of how to uncover exempting evidence that is excluded or detained by investigators, because aside from there is no mechanism available, the position of advocate that still becomes the target of the action is still retained in the draft."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Ameilia
"ABSTRAK
Perlindungan terhadap hak-hak anak mutlak diperlukan. Negara sebagai pihak yang menjamin kepastian hak-hak anak Indonesia juga Wajib memastikan hak-hak anak tersebut terpenuhi. Anak dalam peradilan pidana memiliki kerentanan yang lebih dari biasanya, terutama dalam hal pelanggaran hak-haknya. Oleh karena itu diperlukan perlindungan yang khusus. Analisis Rancangan Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia merupakan upaya peneliti dalam berkontribusi mewujudkan mekanisme perlindungan hak-hak anak dalam peradilan pidana anak bagi anak-anak yang disangka atau divonis sebagai pelanggar hukum pidana. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif peneliti melakukan analisis wacana kritis terhadap teks Rancangan Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia pada bagian Acara Peradilan Anak. Melakukan interpretasi terhadap teks merupakan langkah awal yang digunakan, kemudian melakukan dekonstruksi terhadap teknis tersebut. Berdasarkan analisis yang sudah dilakukan oleh peneliti, rnaka hasil dari teknik analisis wacana kritis terhadap Rancangan Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia pada Acara Peradilan Anak belum cukup mewakili hak-hak anak dan berpihak pada anak dalam sistem peradilan pidana.

ABSTRACT
The protection of children's rights is absolutely necessary. State as a party, which ensures the rights of children in Indonesia are also required to ensure children's rights are met. Children in the criminal justice have more vulnerability than usual, especially in the case of violation of his rights. Therefore, it needs special protection. Analysis of the Draft Law on Children's Criminal Justice System in Indonesia is contributing to the efforts of researchers in realizing the mechanism of protection of the rights of children in child criminal justice for children suspected of or convicted for criminal offenders. By using a qualitative research approach to critical discourse analysis of the text of the Draft Law on Children's Criminal Justice System in Indonesia on the Occasion of Juvenile Justice. Interpretations of the text is the first step used, then perform the deconstruction of the text. Based on the analysis already done by the researchers, the results of the techniques of critical discourse analysis of the Draft Law on Children's Criminal Justice System in Indonesia on the Occasion of Juvenile Justice has not adequately represent the rights of children and in favor of the children in the criminal justice system."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>