Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23540 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Okidi, C.Odidi
Alphen aan den Rijn: Sijthoff and Noordhoof, 1978
341.046 3 OKI r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 1999
341.44 PEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tantia Rahmadhina
"Skripsi ini membahas mengenai pencemaran laut yang bersumber dari darat (land-based sources) dan bagaimana hukum internasional dan beberapa negara di dunia mengatur mengenai perihal tersebut. Land-based sources merupakan sumber penyumbang pencemaran laut terbanyak dibandingkan dengan sumbersumber lainnya. Kandungan dari land-based sources sangat bervariasi, sehingga dibutuhkan pengaturan yang komprehensif untuk mencegah dan mengelolanya. Secara internasional, perjanjian multilateral pertama yang menyinggung permasalahan ini adalah UNCLOS 1982 yang mendorong negara-negara anggotanya untuk mengadopsi ketentuan-ketentuan hukum internasional untuk mencegah terjadinya pencemaran laut yang disebabkan oleh land-based sources. UNCLOS 1982 tidak memberikan pengaturan yang lebih spesifik terkait hal-hal apa saja yang termasuk ketentuan-ketentuan hukum internasional tersebut. Dalam perkembangannya, beberapa negara di Benua Eropa dan di wilayah Amerika Tengah telah melahirkan perjanjian regional terkait pencegahan pencemaran laut dari land-based sources. Perjanjian-perjanjian tersebut dilengkapi dengan aktivitas-aktivitas dan bahan-bahan apa saja yang menjadi ancaman terhadap lingkungan laut, sehingga dapat dijadikan pedoman di dalam pembuatan peraturan perundang-undangan nasional. Beberapa negara yang dijadikan acuan adalah Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Indonesia, dimana di keempat negara tersebut telah memiliki peraturan perundang-undangan yang cukup komprehensif dalam mencegah terjadinya pencemaran laut dari land-based sources. Akan tetapi, negara-negara tersebut menemui kendala berupa kurangnya perhatian yang diberikan oleh pemerintah dalam menjalankan peraturan perundang-undangan tersebut, seperti kurangnya dana dan tenaga ahli. Peneliti juga menemukan beberapa contoh kasus terkait dengan land-based sources dan bagaimana prinsipprinsip hukum lingkungan internasional dapat digunakan untuk mencegah kasus itu dapat terjadi. Pada akhirnya, tetap dibutuhkan suatu perjanjian internasional dengan ruang lingkup yang sama luasnya dengan UNCLOS 1982, namun sama komprehensifnya dengan perjanjian-perjanjian regional yang dibuat oleh beberapa negara di Benua Eropa dan wilayah Amerika Tengah.

This thesis is going to explain about marine pollution originating from land-based source and how international law and several countries in the world set about the subject. Land-based sources of marine pollution is the largest contributor to the sources compared to other sources. Land-based sources consist of variety of substances and activities, so it takes a comprehensive arrangements to prevent and manage this problem. Internationally, the first multilateral agreement pertaining to this problem is the 1982 UNCLOS that encourages its member states to adopt the provisions that?s being used internationally to prevent marine pollution caused by land-based sources. Unfortunately, 1982 UNCLOS does not provide more specific requirements on what is the provisions that?s being used internationally, so it can be adopted as guidelines in the creation of national legislation. Some countries are used as a references in this thesis, they are the United States, United Kingdom, France and Indonesia in which they all have adequate legislations to prevent marine pollution from land-based sources. However, these countries are encountering many obstacles to implement their legislation as their government lack of priorities to this problem by not giving enough fund and expertise that onto this problem. The researcher also found several examples of cases related to land-based sources and how the principles of international environmental law can be used to prevent these cases to happen. At the end, the researcher believes that the world needs an international agreement with the same broad scope of the 1982 UNCLOS, but also its comprehensive arrangements of some regional agreements made by several countries in Europe and Central American Region."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42535
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jayakumar, S.
"Summary:
Transboundary Pollution: Evolving Issues of International Law and Policy provides a comprehensive and perceptive overview of the legal principles that govern pollution internationally and explores the utilisation of these principles in practic"
Cheltenham: Edward Elgar, 2015
363.739 2 JAY t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, M. Daud, compiler
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992
341.445 98 SIL p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Adryan Adisaputra Tando
"Pengendalian polusi udara adalah salah satu bentuk perlindungan hak asasi manusia, terutama untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Pada dasarnya, upaya ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu berdasarkan pada perintah-dan-kontrol atau instrumen berbasis pasar. Pendekatan pertama dikritik karena dianggap efisien dalam hal biaya dan tidak memberikan insentif bagi pencemar, sedangkan pendekatan kedua dianggap sebaliknya. Salah satu bentuk instrumen berbasis pasar adalah sistem izin polusi yang dapat diperdagangkan. Di Indonesia, hal ini telah diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan dengan mengamanatkan Peraturan Menteri untuk mengatur hal-hal secara lebih rinci. Sayangnya, masih banyak peraturan yang berpotensi menghambat implementasi sistem perdagangan izin emisi dimulai dengan standar kualitas ambien yang tidak sesuai dengan tingkat kesehatan, penilaian lemah, dan kesalahpahaman denda administrasi.
Oleh karena itu, tesis ini mencoba memberikan solusi untuk masalah ini dengan melakukan penelitian yuridis normatif dan melakukan perbandingan dengan praktik di Amerika Serikat dalam Amandemen Undang-Undang Udara Bersih 1990 (CAAA) dengan nama Program Hujan Asam. Hasil Program Acid Rain dapat dikatakan berhasil karena mereka menciptakan kualitas udara yang lebih baik dan membutuhkan biaya yang lebih rendah. Berdasarkan hal ini dan dipandu oleh Program Hujan Asam di Amerika, diharapkan sistem perdagangan izin emisi di Indonesia dapat berjalan dengan baik dan mendapatkan hasil terbaik.

Air pollution control is a form of protection of human rights, especially to get a good and healthy environment. Basically, these efforts are divided into two categories, namely based on order-and-control or market-based instruments. The first approach is criticized because it is considered efficient in terms of cost and does not provide incentives for pollutants, while the second approach is considered the opposite. One form of market-based instruments is a pollution permit system that can be traded. In Indonesia, this has been regulated by Government Regulation No. 46 of 2017 concerning Environmental Economic Instruments by mandating Ministerial Regulation to regulate matters in more detail. Unfortunately, there are still many regulations that have the potential to hamper the implementation of the emission permit trading system starting with ambient quality standards that are not in accordance with the soundness level, weak assessment, and misunderstanding of administrative fines.
Therefore, this thesis tries to provide a solution to this problem by conducting normative juridical research and making comparisons with practice in the United States in the Amendments to the Clean Air Act 1990 (CAAA) under the name of the Acid Rain Program. The results of the Acid Rain Program can be said to be successful because they create better air quality and require lower costs. Based on this and guided by the Acid Rain Program in America, it is hoped that the emissions permit trading system in Indonesia will run well and get the best results.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tasya Nur Ramadhani
"Pencemaran air yang marak terjadi di Indonesia menyebabkan hak atas air di Indonesia terancam karena berakibat pada perubahan kualitas air dan penurunan kualitas daya guna, hasil guna, daya dukung, daya tampung sumber daya air, dan produktivitas. Pencemaran air yang dibiarkan terus menerus akan berakibat kepada kerusakan kingkungan. Maka dari itu, tindakan pemulihan sebagai salah satu bentuk pengendalian pencemaran air perlu dilaksanakan agar kualitas air dapat kembali ke kondisi semula. Pemulihan mutu air pasca kasus pencemaran air di Indonesia sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk dalam UUPPLHH dan PP 22/2021. Meskipun sudah diatur, pemulihan mutu air di Indonesia belum memiliki kerangka kebijakan yang optimal. Hal tersebut disebabkan belum terdapat peraturan/kebijakan yang dapat dijadikan dasar untuk penegakan pemulihan mutu air yang efektif. Sementara itu, Amerika Serikat melalui CERCLA, OPA, serta 40 dan 43 Code Federal Regulation, telah memiliki kerangka regulasi yang mengatur secara jelas ketiga aspek dalam pemulihan, yaitu Amerika Serikat telah memiliki regulasi yang jelas. Dari sisi kebijakan, baik OPA maupun CERCLA telah mengatur dokumen kebijakan yang menjadi panduan pelaksanaan pemulihan di Amerika Serikat, kelembagan yang berwenagn melaksanakan pemulihan, yaitu Trustees dan Team Respons, serta sisi prosedur pelaksanaan pemulihan yang dibagi menjadi tiga, yaitu Removal Actions, Remedial Actions, serta Restoration.. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang akan menguraikan analisis mengenai kerangka regulasi pemulihan mutu air di Indonesia dan di Amerika Serita serta merefleksikan regulasi yang terdapat di Amerika Serikat dan menganalisis potensi serta tantangan apabila Indonesia akan menerapkan regulasi tersebut.

Water pollution that is rife in Indonesia has threatened the right to water in Indonesia because it has resulted in changes in water quality and a decrease in the quality of usability, usability, carrying capacity, the capacity of water resources, and productivity. Water pollution that is allowed to continue will result in environmental damage. Therefore, recovery measures as a form of water pollution control must be implemented so that water quality can return to its original state. Recovery of water quality after cases of water pollution in Indonesia has been regulated in various laws and regulations, including UUPPLHH and PP 22/2021. Even though it has been regulated, Indonesia's water quality restoration does not yet have an optimal policy framework. This is because no regulations/policies can be used as a basis for effective enforcement of water quality restoration. Meanwhile, through CERCLA, OPA, and Code Federal Regulations 40 and 43, the United States already has a regulatory framework that clearly regulates the three aspects of recovery; namely, the United States already has precise regulations. From a policy standpoint, both OPA and CERCLA have regulated policy documents that guide the implementation of recovery in the United States, the institutions authorized to carry out recovery, namely Trustees and Response Teams, as well as the procedure for carrying out recovery, which is divided into three, namely Removal Actions, Remedial Actions, and Restoration. This research is a normative juridical research that will describe an analysis of the regulatory framework for restoring water quality in Indonesia and the United States, reflect on existing regulations, and analyze the potential and challenges if Indonesia implements these regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Natasha Natio
"Pencemaran dan kerusakan sungai yang terjadi, baik di Indonesia maupun Selandia Baru telah mencapai titik krisis yang memerlukan kebijakan hukum yang inovatif. Di Selandia Baru, Sungai Whanganui melalui Undang-Undang Te Awa Tupua 2017 ditetapkan sebagai subjek hukum. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode hukum normatif-empiris untuk menganalisis konsep pengakuan Sungai Whanganui sebagai subjek hukum di Selandia Baru dan untuk mengevaluasi penanganan pencemaran air pasca pengakuan subjek hukum pada Sungai Whanganui. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menelaah potensi pengakuan subjek hukum pada sungai di Indonesia, baik dari segi perumusan undang-undang maupun penerapannya sebagai langkah menuju penanganan pencemaran sungai yang lebih efektif di masa depan. Sungai Whanganui diakui dalam UU Te Awa Tupua 2017 sebagai subjek hukum penuh yang menyandang hak dan kewajiban, serta memiliki wali yang terdiri dari satu orang wakil suku asli Māori dan satu orang wakil perwakilan negara bagian. Pengakuan hukum terhadap Sungai Whanganui telah menunjukkan dampak positif dalam penanganan pencemaran air. Dengan adanya pengakuan subjek hukum pada sungai di Indonesia dapat berpotensi memberikan sejumlah manfaat bagi penanganan pencemaran sungai, seperti memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat dan mendorong tanggung jawab lingkungan yang lebih besar. Akan tetapi, pengakuan ini juga menimbulkan sejumlah tantangan dalam teori hukum dan implementasinya, seperti menentukan mekanisme pengakuan subjek hukum, mengatur kewajiban dan hak yang melekat pada sungai, serta memastikan kepatuhan dan penegakan hukum yang efektif.

The pollution and damage to rivers, both in Indonesia and New Zealand have reached a crisis point that requires innovative legal policies. In New Zealand, the Whanganui River has been legally recognized as a legal subject subject through the Te Awa Tupua Act 2017. This research utilizes a normative-empirical legal method to analyze the concept of recognizing the Whanganui River as a legal subject in New Zealand and to evaluate the post-recognition measures taken to address water pollution in the river. Additionally, this study aims to explore the potential recognition of rivers as legal subjects in Indonesia, focusing on the formulation and implementation of laws as a step towards more effective river pollution management in the future. The Whanganui River is acknowledged under the Te Awa Tupua Act 2017 as a full legal subject with rights and responsibilities, and it is represented by a legal guardian comprising a representative from the indigenous Māori tribe and a representative from the state government. The legal recognition of the Whanganui River has demonstrated positive impacts in addressing water pollution. The recognition of rivers as legal subjects in Indonesia has the potential to provide several benefits for river pollution management, including stronger legal protection and promoting greater environmental responsibility. However, this recognition also presents various challenges in legal theory and its implementation, such as determining mechanisms for legal subject recognition, regulating the rights and obligations inherent to rivers, and ensuring effective legal compliance and law enforcement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stanislaus Demokrasi Sandyawan
"Pencemaran air pada badan air permukaan merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup yang signifikan di Indonesia. Dalam perspektif ekonomi, pencemaran merupakan contoh klasik dari eksternalitas di mana pelaku ekonomi tidak memperhitungkan seluruh biaya dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh kegiatannya sehingga biaya tersebut harus ditanggung secara eksternal oleh masyarakat. Instrumen ekonomi dapat diterapkan untuk menginternalisasi eksternalitas tersebut. Instrumen ekonomi yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini adalah sistem perdagangan alokasi beban pencemar air. Penelitian ini akan menggambarkan kerangka sistem perizinan dalam kebijakan pengendalian pencemaran air di Indonesia, menjelaskan aspek-aspek penting dalam sistem perdagangan alokasi beban pencemar air menurut teori dan praktik di Amerika Serikat, serta menganalisis bagaimana sistem perdagangan alokasi beban pencemar air dapat diadopsi dalam kerangka kebijakan pengendalian pencemaran air di Indonesia. Penelitian ini akan menggunakan metode yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem perizinan pengendalian pencemaran air di Indonesia berpusat pada Persetujuan Teknis. Penetapan Persetujuan Teknis dapat didasarkan pada standar berbasis kualitas air, teknologi pengolahan air limbah, atau kombinasi antara keduanya. Selain itu, terdapat setidaknya tujuh aspek penting sistem perdagangan alokasi beban pencemar air yang perlu diperhatikan, yaitu model sistem perdagangan alokasi beban pencemar air, karakteristik beban pencemar, sumber pencemar, struktur pasar, mekanisme pembagian alokasi, rasio jual beli, serta pengawasan dan penegakan hukum. Penelitian ini juga menemukan dua potensi penerapan sistem perdagangan alokasi beban pencemar air di Indonesia, yaitu telah diaturnya sistem tersebut secara umum dalam peraturan perundang-undangan serta tersedianya instrumen pengendalian pencemaran yang dapat mendukung penerapan sistem perdagangan tersebut. Meskipun demikian, penerapan sistem masih akan menghadapi berbagai tantangan besar, yaitu sistem perizinan eksisting yang terlalu mengandalkan standar berbasis teknologi, tidak dilibatkannya sumber pencemar nirtitik dalam sistem perdagangan, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pencemaran air di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa pada saat ini, sistem perdagangan alokasi beban pencemar air belum dapat diterapkan secara efektif di Indonesia.

Water pollution on surface water bodies has become one of the most significant environmental problems in Indonesia. In economic perspective, water pollution is a classic example of externalities. Economic instruments can be used to internalize the externalities. The economic instrument which will be the focus of this research is water quality trading. This research is going to describe the framework of the water discharge permitting policy in Indonesia, explain the important aspects of water quality trading based on theory and practice in the United States, and analyze how water quality trading can be adopted into the water pollution control policy in Indonesia. This research shows that the water discharge permitting regulation in Indonesia is centered on Techical Approval. The issuance of the Technical Approval can be based on water quality standards, water treatment technology standards, or the combination of both. Moreover, there are at least seven important aspects of water quality trading identified in this research: model of the trading system, characteristics of the water pollutants, sources of discharge, market structure, allocation method, trading ratio, as well as monitoring and law enforcement. This research also found that there are two potentials of implementing water qualiy trading in Indonesia: the system itself in general has been regulated in the Indonesian laws and regulations; and the availability of water pollution control instruments that can support the implementation of the trading system. However, the implementation of such system still face several major barriers: the water discharge permitting regulation in Indonesia still heavily relies on technology-based standards, the exclusion of non-point sources as participants in the water quality trading system, and weak monitoring and law enforcement on water pollution violations in Indonesia. It can be concluded that presently, the water quality trading system can not be implemented effectively in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Inez Wiraatmadja
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>