Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136282 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1987
641.1 SIS m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lilis Heri Mis Cicih
"ABSTRAK
Kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) merupakan masalah pembangunan yang penting. Pembinaan SDM seharusnya berawal sejak dalam kandungan dan berkesinambungan sampai usia lanjut. Indikator status kesehatan yang konvensional terdiri dari tingkat kesakitan, status gizi dan tingkat kematian. Upaya meningkatkan kesehatan dapat diidentikan dengan upaya penurunan resiko sakit dan peningkatan status gizi. Penduduk yang sehat memberikan sumbangan positif terhadap laju pembangunan. Profil kesehatan diperlukan untuk estimasi prevalensi penyakit kronik dan tingkat ketidak mampuan (disability} sejalan dengan lanjutnya usia penduduk. Penyajian informasi status kesehatan (disabilitas, tingkat kesakitan dan status gizi) penduduk Indonesia, serta upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap, dan pengobatan sendiri) merupakan tujuan studi ini.
Pengukuran status disabilitas, kesakitan dan status gizi penduduk sebagai tolak ukur status kesehatan penduduk secara umum belum banyak ditelaah di Indonesia. Status disabilitas sebagai salah satu ukuran langsung dari kualitas hidup dan tingkat kemandirian juga penduduk masih belum banyak dianalisis.
Studi ini merupakan suatu studi pendahuluan yang lebih banyak ditujukan untuk mengeksplorasi data untuk kepentingan analisis lebih lanjut. Hal ini terutama berkaitan dengan data hasil suatu survei yang relatif baru sehingga belum banyak yang menganalisisnya. Data yang digunakan dalam studi ini adalah data hasil survei rumah tangga SAKERTI/IFLS 1993. Survei tersebut memuat informasi yang sangat luas, karena mencakup banyak aspek kehidupan rumah tangga, seperti kesehatan, kelangsungan hidup bayi dan anak, pendidikan, migrasi, ketenagakerjaan, kelahiran, keluarga berencana, sosial dan ekonomi. Banyaknya cakupan data tersebut mungkin dianggap sebagai keunggulan dari survei tersebut, namun sekaligus merupakan kekurangan dari survei tersebut. Misalnya dalam proses pengolahan data masih banyak ditemukan kesulitan-kesulitan baik menyangkut manajemen data maupun kualitas datanya.
Aspek utama dalam survei SAKERTI 1993 adalah kesehatan, sehingga dalam proses eksplorasi data tersebut ditekankan pada aspek kesehatan. Secara umum tujuan dari studi ini adalah untuk memperoleh gambaran status disabilitas, status kesakitan dan status gizi penduduk. Tujuan studi secara khsusus adalah menyajikan (1) status disabilitas, status kesakitan dan status gizi penduduk, (2) upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) menurut gambaran karakteristik sosial, ekonomi dan demografi.
Hasil studi ini diharapkan: (1) dapat menambah dan melengkapi pustaka di bidang kependudukan dan kesehatan, (2) menambah dan melengkapi pustaka mengenai cara pengolahan data SAKERTIIIFLS yang dapat direplikasi oleh peneliti lain di masa yang akan datang, dan (3) menyajikan gambaran status disabilitas, status kesakitan, dan status gizi (pra krisis ekonomi tahun 1997) yang berguna sebagai pembanding dalam perencanaan selama atau masa pasca krisis yang akan datang.
Responden dalam studi ini adalah individu semua kelompok umur yang dibagi menjadi kelompok usia kurang dari 15 tahun dan usia 15 tahun ke atas sesuai data yang tersedia. Informasi diperoleh dari 7 (tujuh) buku kuesioner yang terdiri dari buku 1 (daftar ART), buku II (ekonomi RI), buku III (informasi orang dewasa), buku IV (informasi wanita pemah kawin), buku V (informasi anak), buku K (kontrol), dan buku CA (antropometri)
Berbagai informasi karakteristik sosial, ekonomi dan demografi yang dapat digali dari data tersebut meliputi umur (yang dibagi menjadi kelompok umur 5 tahunan kecuali bayi), tempat tinggal (kota dan desa), pendidikan yang ditamatkan (tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, dan SLTP+), pendapatan per kapita (25 % pertama, 25 % kedua, 25 % ketiga dan 25 % tertinggi), serta jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Khusus pembagian pendapatan per kapita, kategori yang digunakan dalam studi ini agak berbeda dengan kategori yang umum digunakan oleh ekonom yaitu dibagi lima kategori (20 % pertama sampai 20 % tertinggi). Kriteria yang digunakan dalam studi ini didasarkan pada sebaran nilai pengeluaran per kapita per bulan dari yang terkecil sampai terbesar.
lnformasi kesehatan dicerminkan oleh status disabilitas, status kesakitan, status gizi dan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri). Status disabilitas dicerminkan oleh ADL (Activities of Daily Living) yang terdiri dari variabel keterbatasan fisik (mendasar dan lebih lanjut) dengan kategori tidak sehat (tidak dapat atau susah payah) dan sehat (mudah) melakukan kegiatan sehari-hari. Selain itu juga gejala psikis dengan kategori tidak sehat (sering atau kadang-kadang) dan sehat (tidak pernah) mengalami gejala psikis sejak empat minggu sebelum wawancara.
Gejala akut beberapa penyakit umum yang pernah dialami penduduk dalam periode empat minggu sebelum wawancara, terdiri dari gejala sakit mata, sakit gigi, sakit mencret, dan sakit kulit. Keempat gejala ini dipilih karena sesuai dengan nama organ, sehingga lebih mudah untuk mendeteksi jenis penyakit.
Status gizi diukur dengan cara antropometri berdasarkan data yang tersedia yaitu umur, berat badan dan tinggi badan. Penentuan status gizi untuk usia kurang dari 15 tahun didasarkan pada rujukan WHO-NCHS dengan z-score yang dibagi menjadi 2 (dua) kategori buruk/kurang (<-2 sd) dan baik (>= -2 sd). Sedangkan untuk usia 15 tahun ke atas penentuan status gin berdasarkan pada Indeks Masa Tubuh (BMI=Body Mass Index) dengan kategori kurus (IMT < 18.5), normal (18.5 < IMT< 25.0) dan gemuk (IMT>25.0).
Upaya pencarian pengobatan sendiri merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengobati keluhan kesehatan dengan cara mengobati sendiri tanpa bantuan tenaga kesehatan (seperti dokter, mantri dan bidan). Jenis pengobatan sendiri dilakukan yaitu dengan cara minum obat modern, minum jamu atau obat tradisional, dan memakai obat luar. Sedangkan jenis upaya pencarianpengobatan yang dilakukan dengan cara memeriksakan langsung ke petugas kesehatan baik untuk rawat jalan maupun rawat inap. Berbagai fasilitas kesehatan rawat jalan yang ditanyakan meliputi Rumah Sakit Pemerintah, Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Posyandu, Rumah Sakit Swasta, Poliklinik(klinik swasta/BP/KIA), Dokter Praktek, Paramedis (perawat/bidan praktek), dan Praktek Tradisional. Selanjutnya fasilitas rawat inap terdiri dari Rumah Sakit Pemerintah, Puskesmas, Rumah Sakit Swasta dan Klinik Swasta.
Analisis data dilakukan dengan menyajikan tabel frekuensi dan tabel silang berdimensi dua atau tiga. Tabel-tabel tersebut menyajikan gambaran status disabilitas, status kesakitan, dan status gizi serta upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) menurut karakteristik sosial ekonomi dan demografi (umur, tempat tinggal, pendidikan, dan pendapatan). Selain itu analisis dilakukan dengan menyajikan grafik berdimensi dua melalui metode biplot. Berdasarkan metode ini dapat disajikan gambaran keragaman masing-masing variabel dan korelasi antar variabel, posisi masing-masing objek yang diamati dalam plot yang terpisah, serta mampu memberikan gambaran posisi dari objek-objek yang diamati relatif terhadap variabel-variabel keseluruhan dalam satu plot (biplot). Selain itu, menyajikan secara simultan hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan demografi dengan status disabilitas, kesakitan, status gizi serta upaya pencarian pengobatan (sendiri, rawat jalan dan rawat inap).
Hasil studi ini menggambarkan kondisi disabilitas, kesakitan, status gizi, dan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) penduduk pra krisis ekonomi 1997. Secara umum status disabilitas, dan status gizi penduduk tergolong baik, namun dari studi ini diperoleh kelompok penduduk yang tergolong rawan yang perlu mendapat perhatian. Menurut kelompok umur, yang tergolong rawan meliputi usia bayi atau balita dan usia lanjut usia (60 tahun ke atas). Kelompok ini merupakan kelompok penduduk dewasa yang paling tinggi tidak dapat melakukan kegiatan fisik (mendasar dan lebih lanjut) dan mengalami gejala psikis, paling banyak penduduk dewasa yang kurus, paling tinggi mengalami gejala penyakit dan paling tinggi melakukan pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri).
Sedangkan menurut karakteristik sosial, ekonomi dan demografi: penduduk dewasa yang paling banyak tidak dapat melakukan kegiatan fisik (mendasar dan lebih lanjut) sehari-hari, penduduk yang paling banyak mengalami gejala penyakit, anak-anak paling banyak berstatus gizi buruk/kurang, penduduk dewasa paling banyak yang kurus, serta penduduk yang paling sedikit melakukan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) adalah yang tinggal di pedesaan, orang tua dan penduduk dewasa yang berpendidikan tidak sekolah dan tidak tamat SD, serta pendapatan pada tingkat pendapatan 25 persen pertama sampai 25 % kedua (sampai Rp 51.615).
Studi ini juga menunjukkan kecenderungan minum jamu atau obat tradisional (terutama untuk usia kurang dari 15 tahun) meningkat seiring dengan naiknya tingkat pendapatan. Meskipun secara umum persentase minum jamu atau obat tradisional masih rendah dibanding minum obat modern, namun biaya yang dikeluarkan untuk minum jamu atau obat tradisional paling tinggi. Pada masa krisis ekonomi, penggunaan obat tradisional sedang diupayakan ditingkatkan pemakaiannya, mengingat biaya obat modern sangat melambung tinggi.
Dalam rangka peningkatan penggunaan obat tradisional, disarankan untuk melakukan penelitian-penelitian (uji klinis) terhadap jenis obat-obat tradisional yang sering dipergunakan masyarakat, serta perlu memantapkan "khasiat" dari obat tradisional tersebut. Selain itu, perlu ada jaminan keamanan pada masyarakat sebagai pemakai sehingga dapat memberikan kepercayaan pada masyarakat dalam menggunakannya.
Hasil studi ini kemungkinan dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk penentuan sasaran program perbaikan gizi dan peningkatan kesehatan masyarakat. Sasaran program harus ditentukan dengan sebaik-baiknya terutama pada masa krisis ekonomi, karena dapat menentukan berhasil tidaknya suatu program. Penentuan sasaran program sangat sulit, sehingga diperlukan data-data yang menunjang yang menggambarkan kondisi masyarakat setempat. Seiring dengan rencana desentralisasi, maka penggunaan informasi seperti informasi yang diperoleh dari data SAKERTI/IFLS 1993 diharapkan dapat membantu perubahan perencanaan kebijakan program kesehatan. Informasi yang dapat digunakan terutama yang berhubungan dengan status disabilitas, status kesakitan, status gizi, upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) sebagai cerminan untuk perencanaan selanjutnya.
Berkaitan sasaran program, maka penduduk yang tergolong rawan perlu mendapat perhatian, dan mendapat prioritas dalam upaya perbaikan gizi dan peningkatan kesehatan terutama pada masa krisis ekonomi. Dikhawatirkan dengan adanya krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dan dampak kekeringan/kemarau panjang serta kekurangan pangan di beberapa tempat akan menimbulkan dampak lebih buruk terhadap status kesehatan dan gizi kelompok rawan tersebut pada masa krisis.
Berdasarkan status disabilitas, status kesakitan, dan status gizi kelompok usia 60 tahun ke atas merupakan paling tinggi persentase yang tergolong tidak dapat melakukan kegiatan fisik (mendasar dan fisik lebih lanjut} sehari-hari dan Bering mengalami gejala psikis sejak empat minggu sebelum wawancara. Keluhan gejala penyakit yang cendenmg paling banyak dialami kelompok ini adalah sakit mata dan sakit kulit. Berdasarkan IMT, mereka merupakan persentase tertinggi kategori kurus. Kelompok usia ini hanya sekitar 10.4 persen dari seluruh sampel dalam studi ini. Namun jika dilihat dan hasil proyeksi penduduk Indonesia, dari tahun 1995-2025 proporsi penduduk lanjut usia akan meningkat menjadi 13,2 persen (Lembaga Demografi FEUI, 1994). Negara yang mempunyai penduduk lanjut usia di atas 10 persen akan menghadapi masalah sosial, ekonomi, dan psikologis kelompok lanjut usia (Wirosuhardjo, 1994). Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan kelompok ini perlu mendapat perhatian supaya mereka masih tetap produktif, sehingga tidak menimbulkan masalah sosial dan ekonomi.
Berkaitan dengan kelompok lanjut usia ini, beberapa saran yang mungkin dapat dijadikan masukan bagi pemerinaah khususnya Departemen Kesehatan dalam upaya meningkatkan pemerataan kesehatan masyarakat kelompok tersebut. Upaya kesehatan yang dapat dilakukan untuk kelompok ini antara lain dengan memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh secara gratis, pemberian makanan yang bergizi sesuai dengan kebutuhannya, dan pemberian konseling di tempat pelayanan kesehatan atau di puskesmas secara gratis. Hal lain yang panting adalah pemberitahuan kepada kelompok tersebut bahwa mereka dapat menggunakan fasilitas kesehatan dengan gratis, karena adanya fasilitas tanpa diiringi dengan pengetahuan dari sasaran kemungkinan akan tidak tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan atau dapat dikatakan salah sasaran.
Kelompok lain yang perlu mendapat perhatian adalah anak usia bawah lima tahun (balita), karena paling tinggi mengalami gejala penyakit terutama sakit mencret, status gizi buruk/kurang sekitar 23 persen (menurut BBIU), dan paling tinggi persentase yang memerlukan rawat jalan dan rawat inap. Gejala sakit mencret pada kelompok tersebut cenderung paling banyak dialami oleh anak yang ibunya tidak sekolah. Kelompok ini merupakan salah satu kelompok yang sering dibicarakan pada masa krisis, dengan seringnya pemberitaan mengenai kasus terjadinya gizi buruk di beberapa wilayah. Sebenarnya mungkin prevalensi gizi buruk/kurang yang kronis sudah terjadi sejak sebelum krisis, namun tidak secara transparan terlihat. Dan hasil studi ini tampak bahwa status gizi buruk/kurang terutama anak laid-iaki usia kurang dari 15 tahun menurut berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) sekitar 58.7 persen, 53.2 persen (TBIU), dan 57,4 persen menurut BBIU. Apabila kelompok ini tidak ditangani dengan serius, maka kemungkinan akan terjadi lost generation, karena kelompok ini adalah generasi penerus yang akan meneruskan dan mengisi pembangunan di masa yang akan datang. Dengan demikian kualitas sumberdaya manusianya harus ditingkatkan sedini mungkin.
Kelompok bayi atau balita pada studi ini dapat dikatakan merupakan salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam program perbaikan kesehatan dan peningkatan gizi masyarakat pada masa krisis. Sedangkan kelompok sasaran lain adalah: (1).untuk pelayanan kesehatan dasar meliputi seluruh keluarga miskin, yaitu keluarga dengan kriteria Pra-Sejahtera dan Sejahtera-I (karena alasan ekonomi) serta keluarga miskin lain yang ditetapkan oleh Tim Desa, (2) untuk pelayanan kebidanan dan rujukannya: seluruh ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas (dengan bayi neonatalnya) dari keluarga miskin seperti butir 1, (3) untuk pemberian makanan tambahan: ibu hamil dan ibu nifas yang menderita Kurang Energi Kronis (KEK), seluruh bayi (6-11 bulan) dan anak (12-23 bulan) dari keluarga miskin seperti pada butir 1.
Kelompok sasaran tersebut merupakan kelompok sasaran yang ingin dicapai dalam program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK). Program ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi dampak negatif akibat krisis. Selain JPSBK, program yang dilakukan melalui JPS meliputi JPS padat karya, JPS pengembangan usaha pertanian, JPS pengembangan ekonomi keluarga miskin, JPS pendidikan, JPS pengembangan usaha kecil dan menengah, dan JPS pangan.
Program JPSBK ditujukan untuk membantu keluarga-keluarga miskin di seluruh Indonesia agar tetap terpelihara kesehatannya. Pada dasarnya tujuan umum dari program tersebut adalah meningkatkan/ mempertahankan dan derajat kesehatan dan status gizi keluarga miskin. Sedangkan tujuan khususnya adalah: (1) memberikan bantuan dana pelayanan kesehatan dasar dan rujukan bagi keluarga miskin, (2) memberikan pelayanan kebidanan dan pelayanan rujukan kebidanan bebas biaya bagi ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas (dengan bayi neonatalnya) dari keluarga miskin, (3) memberikan makanan tambahan bagi ibu hamil dan ibu nifas KEK, bayi (6-11 bulan) dan anak (12-23 bulan) dari keluarga miskin, (4) memantapkan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Dati II dan Kecamatan, (5) menyelenggarakan JKPM dengan menyediakan premi bagi keluarga miskin di seluruh Dati II, dan melakukan pengamatan khusus penyelenggaraan JKPM di sepuluh Dati II.
Dalam Program JPSBK juga dilakukan pengembangan JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) di seluruh Dati II. Idealnya semua keluarga miskin di seluruh Dati II memperoleh penanganan yang sama meskipun dana program ini berbeda, yaitu dari ADB dan APBN. Dana dari ADB ditujukan untuk 8 (delapan) propinsi yaitu Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, dan dari dana APBN untuk 19 propinsi lainnya. Dana APBN juga diberikan kepada propinsi lokasi bantuan ADB untuk kabupaten dan kegiatan yang belum dicakup oleh bantuan ADB.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan status gizi masyarakat terutama bayi atau balita adalah: mengaktipkan kembali Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dengan memanfaatkan dana jaring pengaman sosial bidang kesehatan. Berkaitan dengan pelaksanaan SKPG, maka pejabat Departemen Kesehatan sebaiknya turun ke daerah memberitahukan Gubernur, Bupati, serta instansi terkait agar melakukan SKPG. Hal ini dikarenakan status gizi buruk/kurang merupakan rantai terakhir akibat kurang pangan yang sejak awal tidak ditangani. Indikator yang perlu dilihat dalam pelaksanaan SKPG antara lain: (1) adanya penimbangan di posyandu sebagai suatu isyarat dini di tingkat terendah, kalau berat bayi tidak naik tiap bulan, dan (2) perubahan pola konsumsi penduduk dari kemampuan mereka membeli atau kebiasaan makan bahan makanan pokok sehari-hari yang pada saat krisis menurun jumlah maupun intensitasnya.
Berkaitan dengan posyandu, perannya sangat panting untuk memantau kesehatan balita, namun pelaksanannya perlu didukung dengan dana yang memadai. Jumlah dan program yang jelas belum tentu bisa dilakukan jika tidak didukung oleh dana yang memadai.
Upaya lain yang perlu disarankan dalam rangka memperbaiki status gizi masyarakat adalah melaksanakan program pemberian makanan tambahan dengan dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi anak, untuk mencegah proses deteriorasi status gizi, pencegahan penyakit infeksi, dan menyelenggrakan program KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) kepada orang tua sasaran. Meskipun demikian juga perlu diperhatikan kekurangan-kekurangan dan program tersebut, yang antara lain menyangkut kandungan zat gizi dan jenis pangan, frekuensi pemberian, kelompok umur sasaran, prosedur pentargetan, dan hubungan dengan penyedia makanan.
Secara mendasar terdapat dua pendekatan dalam hal jenis pangan dalam program pemberian makanan tambahan, yaitu (1) pendekatan didasarkan pada ketersediaan pangan lokal, (2) pendekatan didasarkan pada bantuan pangan atau pangan campuran (blended food). Meskipun hal ini masih merupakan perdebatan dalam pelaksanaannya. Khusus untuk usia 6-11 bulan dianjurkan untuk menggunakan pangan campuran, karena produk ini menyediakan keperluan zat gizi sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu disarankan jenis makanan tersebut diperkaya dengan zat gizi mikro esensial untuk meningkatkan status gizi mikro anak. Selanjutnya untuk anak usia lebih dari 12 bulan disarankan untuk menggunakan pangan olahan.
Lama program pemberian makanan tambahan sebaiknya berlangsung sampai usia kritis atau sekurang-kurangnya 10-12 bulan. Hal ini didasarkan pada pengalaman di Klinik Gizi Puslitbang Gizi Bogor, yaitu untuk memperbaiki anak yang berstatus gizi kurang sampai berstatus gizi sedang diperlukan pemberian makanan tambahan enam bulan. Sedangkan untuk program yang berskala besar disarankan untuk menggunakan tenaga lokal dengan memperluas periode pemberian makanan tambahan sampai 10-12 bulan.
Berkaitan dengan 7PSBK, seharusnya keluarga-keluarga yang menjadi kelompok sasaran program pemberian makanan tambahan tercakup dalam upaya pengentasan kemiskinan atau peningkatan status sosial, ekonomi dari masyarakat miskin. Namun demikian program 7PSBK ini bukan hanya untuk membagi-bagikan uang saja tetapi perlu dimonitor pelaksanaanya, sehingga kemungkinan salah sasaran dapat dikurangi. Sebenarnya melesetnya sasaran tidak akan terjadi, jika semua pihak mempunyai kesadaran akan hak dan kewajiban masing-masing, sehingga tidak terjadi penyerobotan terhadap hak-hak orang lain (termasuk hak orang miskin). Salah satu hal panting dalam hal ini adalah memperbaiki sikap mental/moral dan menumbuhkan kesadaran semua pihak akan hak dan kewajiban, tidak hanya mementingkan diri sendiri saja.
Dalam rangka memperbaiki status gizi dan meningkatkan kesehatan balita disarankan supaya Departemen Kesehatan membuat perencanaan logistik obat-obatan untuk pengobatan gejala penyakit terutama untuk penyakit yang banyak dialami oleh anak balita. Misalnya penyediaan obat-obatan untuk mencegah atau mengobati penyakit mencret (oralit atau larutan gula garam). Selain itu, sebaiknya Departemen Kesehatan lebih memprioritaskan program bantuan pada penduduk yang ada di daerah pedesaan baik dalam pendistribusian obat maupuan penyediaan fasilitas kesehatan. Misalnya dengan lebih mengoptimalkan kerja Puskesmas sebagai fasilitas yang paling banyak digunakan oleh masyarakat pedesaan.
Usaha mengatasi masalah gizi dihubungkan dengan program kesehatan yang intensif, karena program gizi tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status gizi anak, tetapi juga berhubungan dengan masalah penyakit infeksi dan kesehatan lain. Oleh karena itu disarankan untuk menyediakan pengarahan ulang, pelatihan ulang terhadap tenaga gizi yang berhubungan dengan tenaga-tenaga dari Departemen Kesehatan, Pertanian, Koperasi, Dalam Negeri, Sosial, dan sebagainya.
Pengorganisasian JPSBK atau program lain yang sejenis sudah lintas sektor, namiin yang memegang dana adalah puskesmas. Kondisi seperti ini sebenarnya mempunyai kelemahan, karena puskesmas sebagai pelaksana juga sekaligus sebagai pemegang dana. Jadi sebaiknya dana yang disalurkan oleh Bappenas melalui Kantor Pos dikelola oleh pihak lain selain puskesmas, sehingga fungsi pelaksana, pengelola dan pengawas diharapkan dapat berjalan dengan baik.
Selain itu, disarankan agar terus diadakan sosialisasi program JPSBK kepada masyarakat, kontinuitas program, upaya mengatasi ketergantungan masyarakat terhadap program, pelatihan petugas dan peran aktif puskesmas turun ke sasaran, serta pemberdayaan tokoh masyarakat sebagai sosialisasi program.
Upaya yang dapat dilakukan terhadap masyarakat untuk mengatasi ketergantungan terhadap program yaitu dengan pemberdayaan keluarga miskin melalui penyaluran dana, supaya taraf hidupnya meningkat. Beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu dengan membentuk lembaga keuangan pedesaan yang merupakan pemberi kredit usaha kecil. Upaya inovatif yang dilakukan dalam menyalurkan kredit yakni dengan menekankan cara pemberian secara kelompok. Dengan cara ini diharapkan dapat menimbulkan sikap saling bertanggung jawab dan saling mendukung dalam menyukseskan usaha masing-masing anggota. Mekanisme yang mungkin dapat dilakukan yaitu dengan mewajibkan setiap calon peminjam untuk membentuk kelompok yang berjumlah lima orang, yang masing-masing kelompok mempunyai usaha kecil. Berkaitan dengan ini sebenamya telah banyak jenis-jenis bantuan yang dapat diberikan kepada keliarga-keluarga miskin, seperti koperasi-koperasi, kredit usaha tani, program IDT (Inpres Desa Tertinggal), takesra dan kukesra. Namun pada kenyataanya program tersebut tidak sampai kesasaran, bahkan mungkin masyarakat tidak tahu bagaimana cara memperolehnya. Meskipun sudah tahu prosedur, namun kredit kadang tidak kunjung cair.
Upaya lain yang dapat dilakukan dalam menghadapi kelompok sasaran adalah dengan memberikan penyuluhan tentang pentingnya kesehatan dengan memberi pengetahuan mengenai cara pencegahan penyakit dan cara-cara hidup sehat. Selain itu, untuk mengatasi masalah kurangnya kemampuan masyarakat dalam pembiayaan kesehatan dapat dilakukan dengan asuransi kesehatan yang dapat menjangkau kelompok pendapatan rendah.
Di pihak lain pars peserta program .FPS seperti koperasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dituntut kesadarannya untuk tidak mengatas namakan rakyat kecil demi kepentingan sendiri, atau tidak menggunakan dana yang bukan haknya dengan cara menipu (misal mengajukan lahan fiktif untuk memperoleh KUT). Oleh karena itu, seharusnya birokrasi yang diterapkan tidak menyulitkan masyarakat kecil, dan petugas yang berwenang mempunyai kesadaran untuk memberdayakan masyarakat miskin. Selama sikap mental ini belum bisa diberantas, maka program sebaik apapun tidak mungkin akan berjalan dengan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini diperlukan adanya suatu kontrol dari semua pihak terhadap pelaksanaannya, yang apabila program tersebut tidak mengenai sasaran dikenakan sanksi.
Mubyarto (1999) mengatakan bahwa pemihakan pemerintah lebih diperlukan daripada PS. Lebih lanjut dikatakan bahwa paradigma pembangunan nasional adalam pembangunan yang bertumpu pada kekuatan ekonomi rakyat, yaitu pembangunan yang makin memperkuat dan makin memberdayakan. Dulu kata rakyat tidak hanya berbobot filosofis humanis, tetapi juga menggambarkan bahwa orang-orang di lembaga-lembaga pemerintah diharapkan memiliki Kati nurani, rasa kemanusiaan, dan pengorbanan besar yang sesuai untuk jamannya. Berbicara mengenai kerakyatan dan ekonomi rakyat berarti menunjukkan ada suatu rasa tanggung jawab moral dari orang-orang yang sudah lebih baik posisinya daripada mereka yang perlu diangkat dan dipihaki.
Pembicaran yang berkaitan dengan masalah krisis ini cukup menarik untuk dikaji, terutama berkaitan dengan informasi dampak krisis yang berbeda-beda. Sebagai contoh Bank Dunia mengemukakan bahwa status gizi buruk di Indonesia tidak mengalami peningkatan dari pra krisis sampai masa krisis. Namun pada kenyataan hampir setiap hari pemberitaan di media masa menyebutkan ada kasus balita kurang gizi bahkan sampai mengakibatkan kematian. Sedangkan dari analisis-Basuni dkk (1999) berdasarkan data Susenas tahun 1989 sampai tahun 1998, memperlihatkan bahwa telah terjadi penurunan status gizi buruk dari sekitar 35,7 persen (tahun 1989) menjadi 30.5 persen (tahun 1995), dan 27.8 persen (tahun 1998). Namur jika umur dipecah menjadi kelompok 6-17 bulan, tampak peningkatan status gizi di daerah perkotaan dari 23.3 persen (tahun 1995) menjadi 24.6 persen (tahun 1998), dan di pedesaan meningkat dari 29,9 persen (tahun 1995) menjadi 31,9 persen tahun 1998. Indeks ini didasarkan pada indeks BBIU (underweight) sebagai ukuran yang baik untuk pengaruh krisis jangka pendek. Dalam hal ini tampak bahwa status gizi burukllrnrang sudah lama terjadi sebelum krisis, hanya mungkin kejadiannya tidak sesering setelah krisis. Sebenarnya mungkin saja status gizi buruk/kurang sudah banyak terjadi lama sebelum krisis, namuan tidak secara transparan dikemukakan. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan sistem pemerintahan yang bersifat kurang terbuka pada waktu pra krisis, sehingga kasus-kasus seperli itu berusaha untuk ditutupi. Pada waktu pra krisis, upaya mendapatkan penghargaan dari pihak yang lebih tinggi (atasan) dianggap merupakan satu hal yang paling penting dibandingkan dengan mengatasi status gizi buruk/kurang.
Terlepas dari: berbagai perbedaan pendapat tersebut, disarankan untuk melihat lebih jauh dampak krisis dengan menganalisis data SAKERTI tahun 1997 dan 1998. Khusus berkaitan dengan status gizi disarankan untuk menganalisis usia balita dengan kelompok umur yang dipecah menurut kelompok umur (dalam bulan), misal enam bulanan. Pemecahan kelompok umur ini panting mengingat terdapatnya perbedaan hasil status gizi yang diperoleh dengan adanya perbedaan kelompok umur tersebut.
Disarankan juga untuk melakukan studi semacam ini lebih lanjut secara lebih mendalam, antara Iain dengan menganalisis: (1) hubungan antara status disabilitas dengan status kesakitan atau status gizi, (2) hubungan antara status disabilitas, status kesakitan dan status gizi dengan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap, dan pengobatan sendiri), (3) status disabilitas, status kesakitan dan status gizi menurut jenis kelamin. Pembagian menurut jenis kelamin ini untuk melihat status disabilitas, status kesakitan dan status gizi wanita terutama wanita hamil dan wanita pada masa nifas sebagai salah satu sasaran program .IPSBK. (4) menurut propinsi, sehingga bisa digunakan untuk perencanaan per propinsi."
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naomi Wiramah
"Buah dan sayur kaya akan serat, vitamin, dan mineral sehingga bermanfaat untuk melancarkan pencernaan, mencegah kegemukan dan penyakit kronis, serta meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Namun, persentase perilaku kurang konsumsi buah dan sayur pada masyarakat Indonesia tergolong tinggi, terutama di Jakarta Selatan. Remaja diketahui merupakan kelompok usia yang paling jarang mengonsumsi buah dan sayur. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi buah dan sayur pada siswa SMA Negeri 97 Jakarta ini menggunakan metode cross-sectional. Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 2016, dengan besar sampel 148 siswa. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner yang diisi sendiri oleh responden.
Berdasarkan nilai mean skor konsumsi buah (1,51 porsi/hari) dan sayur (1,29 porsi/hari), diketahui bahwa 56,8% responden kurang mengonsumsi buah dan/atau sayur. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa konsumsi buah dan sayur berhubungan positif dengan kesukaan (p-value= 0,0020; OR (95% CI= 4,070 (1,712−9,677))), pengetahuan gizi (p-value= 0,0001; OR (95% CI= 3,903 (1,908−7,983))), efikasi diri (p-value= 0,0010; OR (95% CI= 4,151 (1,802−9,565))), pengaruh orangtua (p-value= 0,0001; OR (95% CI= 4,250 (2,043−8,842))), dan ketersediaan (p-value= 0,0001; OR (95% CI= 3,593 (1,750−7,379))), namun tidak berhubungan dengan pengaruh teman (p-value= 1,0000; OR (95% CI= 1,323 (0,181−9,651)).

Fruits and vegetables are so rich in fibers, vitamins, and minerals that they can be very useful to smooth the digestive system, prevent any obesity, chronic disease and enhance the immune system as well. On the other hand, the percentage of inadequate of consuming fruits and vegetables are still increasing by most Indonesian people, especially many of whom are living in South of Jakarta. Adolescents are considerably known the average age of groups who rarely in consuming both fruits and vegetables. The objective of this research is intended to find out what factors are related to the students habitual activity regarding the mentioned issue above on lack of consuming them by using a cross-sectional approach. Data collected from February through June of 2016, along with the sample size of 148 students. Data collected carried out by means of questionnaires filled out by each respondent.
Based on the mean score of the consumption of fruits (1.51 servings/day) dan vegetables (1.29 servings/day) revealed that 56.8% of respondents have lack of fruits and vegetables consumption. The results of the bivariate analysis showed that fruits, vegetables consumption are positively related to preferences (p-value= 0.0020; OR (95% CI= 4.070 (1.712−9.677))), nutritional knowledge (p-value= 0.0001; OR (95 % CI= 3.903 (1.908−7.983))), self-efficacy (p-value= 0.0010; OR (95% CI= 4.151 (1.802−9.565))), parents influence (p-value= 0.0001; OR (95% CI= 4.250 (2.043−8.842))), and availability (p-value= 0.0001; OR (95% CI= 3.593 (1.750−7.379)), but not related to friends influence (p-value= 1,0000; OR (95% CI= 1,323 (0,181−9,651))."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
S65568
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoel Wijaya
"[ABSTRAK
Energi dan protein merupakan zat gizi yang penting selama pertumbuhan. Apabila pada masa anak-anak asupan protein kurang dari yang dibutuhkan, maka akan terjadi penurunan berat badan dan gangguan fungsional hingga akhirnya mengganggu kesehatan, menghambat pertumbuhan, dan pada tahap yang parah dapat berakibat terhentinya pertumbuhan anak (Jackson dan Truswell, 2012). Prevalensi berat-kurang di Jawa barat berada pada posisi kelima, lebih besar daripada DKI Jakarta yang berada pada posisi kedua berdasarkan rendahnya kejadian berat-kurang. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil analisis kandungan zat gizi cookies sumber protein serta daya terima cookies pada ibu yang memiliki batita di Kota Bandung tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode rancang acak lengkap dengan pola satu arah. Perbandingan formula tepung kacang hijau dan tepung ikan yang digunakan adalah (60%:40%, 50%:50%, dan 40%:60%). Panelis dalam uji hedonik berjumlah 30 orang. Hasil penelitian ini, menunjukan bahwa kandungan gizi yang terkandung dalam cookies sumber protein memenuhi kebutuhan protein selingan batita. Cookies yang paling disukai berdasarkan penilaian aroma, rasa, tekstur, dan warna adalah cookies dengan perbandingan tepung kacang dan tepung ikan sebesar 50%:50%. Kandungan gizinya adalah air 3,35%, abu 4,27%, protein 13,52%, lemak 8,25%, dan karbohidrat 69,57%. Perlakuan cookies terbaik berdasarkan kadar protein adalah cookies dengan perbandingan tepung kacang hijau dan ikan sebesar 40%:60%.

ABSTRACT
Energy and Protein is a nutrition that is essensial for growth. If children’s protein intake is less than the required, there will be weight loss and functional impairment, and eventually will harm the health, inhibit the growth, and in the severe stage would result in atrophy of children (Jakson dan Truswell, 2012). Prevalence for underweight in West Java is in fifth position meanwhile in Jakarta is in second position based on low prevalence of underweight. The main goals for this research are to know the result of nutrition analysis for protein source cookies and to know the acceptance for these cookies in mothers with toddler at Bandung on 2015. This research is an experimental research which use completely randomized design method. The formulas ratio for mung bean flour and fish flour are 60%:40%, 50%:50%, and 40%60%. Panelists for hedonic test are 30 peole. The results of this research shows that the nutrition content in protein source cookies have met daily needs of protein for snack. The most preferred cookies based on aroma, flavour, texture, and colour test is cookie with mung bean flour and fish flour ratio by 50%:50%, the nutrients are 3,35% water, 4,27% ash, 13,52% protein, 8,25% fat, and 69,57% carbohydrate. Cookies with the best treatment based on its protein is cookies with mung bean flour and fish flour ratio by 40%:60%., Energy and Protein is a nutrition that is essensial for growth. If children’s protein intake is less than the required, there will be weight loss and functional impairment, and eventually will harm the health, inhibit the growth, and in the severe stage would result in atrophy of children (Jakson dan Truswell, 2012). Prevalence for underweight in West Java is in fifth position meanwhile in Jakarta is in second position based on low prevalence of underweight. The main goals for this research are to know the result of nutrition analysis for protein source cookies and to know the acceptance for these cookies in mothers with toddler at Bandung on 2015. This research is an experimental research which use completely randomized design method. The formulas ratio for mung bean flour and fish flour are 60%:40%, 50%:50%, and 40%60%. Panelists for hedonic test are 30 peole. The results of this research shows that the nutrition content in protein source cookies have met daily needs of protein for snack. The most preferred cookies based on aroma, flavour, texture, and colour test is cookie with mung bean flour and fish flour ratio by 50%:50%, the nutrients are 3,35% water, 4,27% ash, 13,52% protein, 8,25% fat, and 69,57% carbohydrate. Cookies with the best treatment based on its protein is cookies with mung bean flour and fish flour ratio by 40%:60%.]"
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S59510
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kholida Eliyana
"Label informasi nilai gizi produk pangan kemasan dapat digunakan untuk memantau asupan makanan, sehingga pemahaman terhadap informasi nilai gizi pada kemasan harus diperhatikan karena akan mempengaruhi pemilihan makanan sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang  mempengaruhi kebiasaan membaca label informasi nilai gizi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional. Pengumpulan data dilaksanakan bulan Mei-Juli 2023 pada Mahasiswa Rumpun Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia. Sampel penelitian ini yaitu 208 responden melalui pengisian kuesioner.  Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua cara, yaitu chi square dan uji t independen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 30,8% responden memiliki kebiasaan baik dalam membaca label informasi nilai gizi. Uji statistik menunjukkan adanya hubungan antara gaya hidup dan pengetahuan gizi pada produk pangan kemasan dengan kebiasaan membaca label informasi nilai gizi. Oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan pengetahuan dan pemahaman mengenai keuntungan dan cara membaca label informasi nilai gizi untuk meningkatkan kebiasaan yang baik dalam membaca label informasi gizi sebelum membeli produk pangan kemasan.

Nutrition labels on packaged food products can be utilized to monitor dietary intake and understanding of nutrition labels on the packaging should be noticed because it affects daily food selection.  Lack of understanding of nutrition labels will impact inappropriate food selection. The Objective of this study is to identify the factors influencing the habit of reading nutritional information labels. The research adopts a quantitative approach with a cross-sectional design. Data collection was conducted from May to July 2023 among students from the Health Sciences Cluster at the University of Indonesia. The sample in this study was 208 respondents who were collected with a self-administered questionnaire and who were selected using accidental sampling. The study utilized two statistical analysis methods: chi-square and independent t-test. This study showed that 30,8% respondents have a good habit of reading nutrition labels. According to bivariate analysis, there was a significant association between  healthy lifestyle and nutrition knowledge of packaged food products with the habit of reading nutritional information labels. Therefore, it is necessary to improve knowledge and understanding of the benefits and methods of reading nutritional information labels to enhance the good habit of reading such labels before purchasing packaged food products."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Ramadhani
"Pendidikan gizi merupakan suatu bidang pengetahuan yang memungkinkan sesorang memilih dan mempertahankan pola makan berdasarkan prinsip-prinsip ilmugizi. Pendidikan gizi secara formal ditujukan kepada siswa sekolah dan akan lebih baik jika diberikan pada usia sedini mungkin. Salah satu sarana yang digunakan dalam pendidikan gizi di sekolah dasar adalah buku pelajaran. Di sekolah dasar, materi gizi salah satunya terintegrasi di dalam pelajaran sains. Materi gizi yang terdapat di dalam buku pelajaran haruslah mengikuti aturan-aturan yang diberlakukan oleh pemerintah. Aturan tersebut antara lain standar untuk aspek materi, aspek penyajian dan aspek bahasa dari buku teks. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis materi gizi berdasarkan materi, aspek penyajian, aspek bahasa dan mengetahui tingkat pengetahuan gizi siswa kelas V di Sekolah Dasar Standar Nasional Kelas I-V tahun 2008. Penelitian ini dilakukan di SDSN Pasar Minggu 01 Pagi dan SDSN Pasar Minggu 02 Pagi.
Alasan pemilihan sekolah karena kedua sekolah tersebut merupakan Sekolah Dasar Standar Nasional, di mana buku pelajaran yang digunakan tentu berstandar nasional pula.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengetahui informasi mendalam tentang materi gizi berdasarkan aspek materi, aspek penyajian dan aspek bahasa. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mendapatkan skor pengetahuan gizi siswa kelas V. Penelitian ini dilakukan selama bulan Mei-Juli 2008.
Hasil penelitian untuk aspek materi ditemukan bahwa materi gizi yang disajikan kelas I dan kelas V kurang sesuai dengan indikator standar kompetensi karena adanya materi yang diberikan melebihi indikator yang ditentukan. Materi gizi kelas I teridentifikasi kurang sesuai dengan perkembangan kognitif siswa yang baru mencapai tahap konkret operasional. Sementara itu, materi gizi kelas II, III dan IV sudah sesuai dengan indikator standar kompetensi dan perkembangan kognitif. Aspek penyajian materi gizi dilihat dari dua indikator yaitu kegiatan praktek tentang gizi dan tampilan umum ilustrasi. Materi gizi kelas I sampai dengan kelas IV kurang sesuai dengan teori perkembangan kognitif siswa karena tidak memasukkan praktek untuk materi gizi. Pada materi gizi kelas V sudah terdapat kegiatan praktek untuk menguji karbohidrat, hal ini sudah sesuai dengan teori perkembangan kognitiff siswa. Diidentifikasi bahwa pada materi gizi kelas I digunakan ilustrasi gambar, kelas II ilustrasi foto, kelas III ilustrasi gambar dan foto, kelas IV ilustrasi bagan berupa foto dan ilustrasi yang digunakan di kelas V berupa foto.
Pada penelitian ini aspek bahasa yang diidentifikasi pada materi gizi adalah materi gizi pada kelas I sampai dengan kelas V telah sesuai dengan indikator standar kompetensi, yaitu tidak menggunakan jenis huruf hias dan menggunakan dua jenis huruf. Materi gizi kelas IV dan V kurang sesuai untuk penggunaan ukuran huruf dan jenis huruf.
Pengetahuan gizi siswa sebanyak 89,5 % siswa kelas V SDSN Pasar Minggu 01 Pagi dan 86,3% siswa kelas V SDSN Pasar Minggu 02 Pagi memiliki pengetahuan gizi yang baik. Sementara itu, 10,5% siswa kelas V SDSN Pasar Minggu 01 Pagi dan 13,7% siswa kelas V SDSN Pasar Minggu 02 Pagi memiliki pengetahuan gizi yang kurang baik.
Saran yang penulis berikan adalah Departemen Pendidikan Nasional, khususnya Pendidikan Dasar perlu melakukan pembaruan terhadap konten materi gizi agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sekolah perlu bekerjasama Dinas Kesehatan untuk menyediakan kelengkapan media promosi gizi di sekolah seperti poster, leaflet, booklet dan lainnya untuk diinformasikan kepada siswa dan guru. Materi gizi yang diintegrasikan kedalam kurikulum atau mata pelajaran di sekolah dasar sebaiknya sudah dibahas oleh ahli gizi, kompetensi dasar harus sesuai dengan perkembangan anak, sekolah perlu berperan aktif dalam menjalankan program program yang berhubungan dengan gizi, misalnya menyediakan kantin sehat dan menjalankan Usaha Kesehatan Sekolah. Guru perlu mengembangkan cara pengajaran yang sesuai dengan tahap perkembangan anak untuk menambah pemahaman siswa tentang materi seperti kegunaan telur, kandungan dan kegunaan susu, daging dan keju dan pelengkap menu sehari-hari dan perlu adanya pengembangan dan sosialisasi mengenai pedoman konsumsi makanan kepada siswa sekolah dasar dan masyarakat sekolah."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Adani
"Pemilihan makanan merupakan sebuah proses kompleks yang melibatkan banyak faktor, mulai dari biologis hingga antropolgis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan makanan pada mahasiswa S1 Reguler Universitas Indonesia. Penelitian menggunakan desain studi cross-sectional dengan pendekatan kuantitatif. Pemilihan makanan dalam penelitian ini diukur menggunakan skor pemilihan makanan yang mencakup aspek kecukupan asupan zat gizi, variasi, dan keseimbangan zat gizi makro. Variabel independen yang dinilai berhubungan signifikan dengan skor pemilihan makanan berdasarkan penelitian ini adalah tempat tinggal, motivasi dalam memilih makanan, dan pengetahuan gizi.

Food Choice is a complex process involving different factors from biological to anthropological. This study was conducted to find the factors influencing food choice in undergraduate students of University of Indonesia. This study uses cross-sectional design with quantitative method. Food choice in this study were measured using food choice score which includes aspects of nutrition intake adequacy, variety, and macronutrient balance. Independent variables considered significantly related to food choice score in this study are place of recidency, food choice motivation, and nutrition knowledge.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S55779
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nancy Kosasih
"Penelitian ini merupakan pembuatan produk makanan inovasi, berupa penambahan sayuran sawi hijau dan wortel pada produk siomay, untuk menghasilkan produk jajanan yang rendah lemak, tetapi tinggi serat pangan. Penelitian eksperimental ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan sayuran terhadap kadar serat pangan dan kandungan gizi, serta hasil uji hedonik pada produk siomay. Terdapat 4 jenis siomay yang diteliti, yaitu siomay tanpa penambahan sayuran, sebagai variabel kontrol, dan tiga jenis siomay dengan perlakukan penambahan 20%, 30%, dan 40% sayuran. Perbandingan penambahan sayuran sawi hijau dan wortel adalah 50%:50%. Analisis kadar serat pangan dan kandungan gizi lainnya dilakukan di Laboratorium analisis pangan PT. Saraswati Indo Genetech, Bogor. Sedangkan, uji hedonik ketiga jenis siomay sayuran dilakukan pada 65 murid SMPN 200 Jakarta Utara pada bulan April 2013. Data dianalisis dengan menggunakan uji Anova dan dilanjutkan dengan uji Bonferroni. Jenis siomay sayuran yang mempunyai kadar serat pangan tertinggi dan tingkat kesukaan tertinggi adalah siomay 40% sayuran. Kandungan dalam 100 gram siomay 40% sayuran adalah 5,24 g serat pangan; 62,94 g air; 1,72 g abu; 5,46 g protein; 1,02 g lemak; 28,86 g karbohidrat; dan 125,5 kkal energi.

This study was conducted by creating innovative food products, with the addition of chinese flowering cabbage and carrots on Siomay products, to produce snacks which are low fat, but having high content of dietary fiber. This experimental study was aimed to determine the effect of vegetables addition to dietary fiber content and nutritional values along with hedonic test result on siomay products. There were 4 types of siomay which were observed, the first one was siomay without the addition of vegetable, as control variable, and the other types were siomay with additional treatments containing 20%, 30%, 40% vegetables. The comparison of the addition of chinese flowering cabbage and carrots are 50%: 50%. The analysis of dietary fiber content and other nutritional values was carried in food analysis laboratories PT. Saraswati Indo Genetech, Bogor. Meanwhile, the hedonic test from three types of vegetable siomay conducted on 65 students of SMPN 200 Jakarta Utara in April 2013. These data had been analyzed by Anova test and continued by Bonferroni test. The vegetable siomay that had the higest dietary fiber content and highest preference level was siomay containing 40% vegetables. The content in 100 grams siomay containing 40% vegetables were 5,24 g dietary fiber; 62,94 g water; 1,72 g ash; 5,46 g protein; 1,02 g fat; 28,86 g carbohydrate; and 125,5 kkal energy.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S47227
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lailiyana
"ABSTRAK
Penelitian ini tentang analisis kandungan zat gizi dan uji hedonik cookies
kaya gizi pada siswi SMPN 27 Pekanbaru. Tujuan umum dari penelitian adalah untuk
mengetahui gambaran kandungan zat gizi cookies kaya gizi dan tingkat kesukaaan
remaja terhadap cookies kaya gizi. Pengumpulan data tentang kandungan zat gizi
cookies menggunakan data hasil pemeriksaan laboratorium Fakultas Teknologi
Pertanian IPB dan laboratorium gizi FKM UI Depok. Data uji hedonik cookies
diperoleh dari hasil penilaian panelis (siswi kelas VIII) dalam panel konsumen uji
hedonik yang meliputi penilaian warna, rasa, aroma dan tekstur terhadap tiga jenis
cookies yaitu cookies plain, cookies kaya gizi tuna dan cookies kaya gizi non tuna.
Analisa data untuk kandungan zat gizi cookies menggunakan analisa deskriptif, dan
untuk uji hedonik menggunakan uji anova dan bonferroni test. Kandungan energi
cookies kaya gizi berkisar antara 497.79-501.61 kkal/100g. Takaran saji cookies kaya
gizi sebagai makanan selingan/camilan bagi remaja anemia agar memenuhi 10%
kebutuhan energi remaja (235 kkal) adalah 4 - 5 keping per saji. Kandungan zat gizi
lain dari cookies kaya gizi yang telah diketahui adalah lemak (24.47-25.41g/100g),
protein (7.50-7.70g/100g), karbohidrat (60.53-61.89g/100g), kadar air (4.96-
5.34g/100g), kadar abu (0.80-1.40g/100g), serat kasar (0.88-0.99g /100g), zat besi
(4.07-8.67mg/100g), dan kandungan vitamin C (0.25-0.68mg/100g). Hasil penilaian
hedonik dalam panel konsumen didapatkan bahwa rasa cookies kaya gizi tuna kurang
disukai. Dan hasil penilaian aroma didapatkan bahwa aroma cookies kaya gizi tuna dan
cookies kaya gizi non tuna kurang disukai. Namun secara keseluruhan baik dari segi
warna, rasa, aroma, dan tekstur cookies secara statistik tidak ada perbedaan yang
signifikan (p-value:0.330) kesukaan konsumen terhadap warna, rasa, aroma dan tekstur
dari cookies kaya gizi.

ABSTRACT
This study analyzes the content of nutrients and hedonic test of nutrient-rich
cookies to the students of 27 Junior High School, Pekanbaru. The general purpose of
this study is to describe the content of nutrients of nutrient-rich cookies and the level of
preference of teenagers to the nutrient-rich cookies. The data collection over the
nutrient content of cookies uses the data from the result of laboratory examination of
Agricultural Technology Faculty Bogor Agricultural Institute and nutrition laboratory
of Public Health Faculty University of Indonesia, Depok. The hedonic test data are
obtained from the result of panelists? assessment (eight-grade students) in the
consumer panel of hedonic test over the assessment of color, flavor, aroma, and texture
to three kinds of cookies namely plain cookies, tuna nutrient-rich cookies, and nontuna
nutrient-rich cookies. The data analysis for nutrient content of cookies uses
descriptive analysis, and for the hedonic test uses anova test and bonferroni test. The
energy content of nutritious cookies is around 497.79 ? 501.61 kkal/100 g. The serving
portion of nutrient-rich cookies as snack for teenagers suffering from anemia should
fulfill 10% of teenagers? needs of energy (235 kkal) is 4 ? 5 chips per serving. The
other nutrients contained in the nutritious cookies are fat (24.47-25.41g/100g), protein
(7.50-7.70g/100g), carbohydrate (60.53-61.89g/100g), water content (4.96-
5.34g/100g), ash content (0.80-1.40g/100g), crude fiber (0.88-0.99g /100g), iron (4.07-
8.67mg/100g), and vitamin C (0.25-0.68mg/100g). The result of hedonic test in
consumer panel states that the flavor of tuna nutrient-rich cookies is less favored. And
the result of aroma states that the aroma of tuna nutrient-rich cookies and non-tuna
nutrient-rich cookies are less favored. However, the color, flavor, aroma, and texture of
cookies statistically show no significant differences (p-value: 0.330) of the consumers?
preference to the color, flavor, aroma, and texture of nutrient-rich cookies."
2012
T30779
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>