Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 968 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kavanagh, Frederick
New York: Academic Press, 1973
576.119 246 KAV a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yovita Endah Lestari
"Acinetobacter baumannii adalah salah satu bakteri gram negatif oportunis yang ada di lingkungan. Karbapenem merupakan salah satu agen antibiotik yang digunakan untuk pengobatan infeksi Acinetobacter baumanni. Beberapa tahun terakhir laju resistensi karbapenem terhadap Acinetobacter baumannii selalu meningkat dengan prevalensi di seluruh dunia mencapai 30%. Peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian terkait hubungan kejadian CRAB dengan penggunaan antibiotik karbapenem di rumah sakit St. Carolus. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan desain studi case control. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit St. Carolus pada bulan Juni-Agustus 2019. Jumlah sampel dalam penelitian ini sejumlah 149 pasien (110 terinfeksi CRAB, 39 terinfeksi Carbapenem Sensitive Acinetobacter baumannii (CSAB)). Data yang didapatkan dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat menggunakan SPSS. Analisis multivariat dilakukan dengan analisis regresi logistik etiologik. Hasil penelitian ini adalah pasien yang dirawat di ICU dan menggunakan antibiotika golongan karbapenem berpeluang 32 kali meningkatkan risiko infeksi CRAB (OR=32.266; p=0.020).

Acinetobacter baumannii is one of the opportunistic gram-negative bacteria in the environment. Carbapenem is an antibiotic agent used for the treatment of Acinetobacter baumanni infections. The last few years the rate of carbapenem resistance to Acinetobacter baumannii has always increased with a worldwide prevalence of 30%. Researchers intend to conduct research related to the correlation between the incidence of CRAB and the use of carbapenem antibiotics in the St. Carolus Hospital. This research was an observational analytic study using a case control study design. The study was conducted at the St. Carolus Hospital in June-August 2019. The number of samples in this study were 149 patients (110 infected with CRAB, 39 infected with Carbapenem Sensitive Acinetobacter baumannii (CSAB)). The data obtained were analyzed univariate, bivariate and multivariate using SPSS. Multivariate analysis was performed with an etiologic logistic regression analysis. The results of this study are patients who were treated in ICU and used antibiotics carbapenem 32 times increasing the risk of CRAB infection.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T55096
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Siswati
"Penggunaan obat yang tidak rasional seperti antibiotika pada ISPA bukan pneumonia merupakan masalah yang mengkhawatirkan karena dapat menghambat penurunan angka morbiditas dan mortalitas penyakit, menyebabkan pemborosan karena pemakaian yang tidak perlu serta menimbulkan efek samping dan resistensi terhadap bakteri, Penggunaan antibiotika untuk kasus ISPA bukan Pneumonia dan diare di Kota Padang masih tinggi yaitu rata-rata 28 %, dengan target ideal 0 % dan target propinsi kecil dart 20 %.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan Pneumonia di puskesmas se-Kota Padang, dan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen yang meliputi umur, latar belakang pendidikan, pengetahuan, sikap terhadap pedoman pengobatan, keterampilan dalam penetapan diagnosis, adanya tenaga kesehatan panutan, permintaan pasien, supervisi serta pelatihan dengan variabel dependen yaitu perilaku penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan pneumonia.
Penelitian ini dilakukan dengan 2 metode yaitu metode kuantitatif dengan desain cross sectional dan metode kualitatif. Proporsi penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan pneumonia 24,3 % dan hasil analisis bivariat pada penelitian kuantitatif diperoleh adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan responder, sikap responden terhadap pedoman pengobatan, supervisi dan pelatihan dengan perilaku penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan pneumonia . Hasil pada penelitian kualitatif sebagian besar menunjang hasil yang diperoleh pada penelitian kuantitatif.
Dengan hasil penelitian ini diharapkan adanya penurunan penggunaan antibiotika yang tidak rasional, khususnya pada penderita ISPA bukan pneumonia dengan menginterverisi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku dalam penggunaan antibiotika ini.

Factors Related to Antibiotic Use Health Center Personal Behavior for Children Under Five Years with Non Pneumonic Acute Respiratory Tract Infections in PadangIrrational drug use such as antibiotic for non pneumonic acute respiratory tract infections is the problem because reduction in the quality of drug therapy leading to increased morbidity and mortality increased cost, adverse reactions and bacterial resistance. Antibiotic use for non pneumonic acute respiratory tract infections and nonspecific diarrhea in Health Center Padang City, average 28,0 % . It is much higher than ideal target of 0 % and still height than province target of less than 20 °/a,
The aim of this study to know how much antibiotic use proportion in children under five years with non pneumonic acute respiratory tract infections, and to know about relationship independent variable such as age, background study, knowledge, attitude of standard treatment, skill of decision diagnoses, prescribes behavior, patients demands, supervision and formal training with dependent variable antibiotic use behavior for children under five years with non pneumonic acute respiratory tract infections.
Study with 2 methods, Quantitative method with cross sectional design and Qualitative method. Result of antibiotic use proportion 24,3 %, and bivariat analysis in quantitative method result significant relationship between knowledge, attitude of standard treatment, supervision, and formal training with antibiotic use behavior for children under five years with non pneumonic acute respiratory tract infections. Amount of qualitative result support quantitative result study.
Result study may use to decrease irrational antibiotic use behavior, especially to decision making for drug use interventions in non pneumonic acute respiratory tract infections.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T7743
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Usman Chatib Warsa
"

Perkembangan mikroba atau jasad renik yang resistan atau kebal pada antibiotika yang sering digunakan untuk pengobatan infeksi, telah menjadi masalah besar didalam pelayanan kesehatan di rumah sakit maupun di masyarakat. Bersamaan dengan berkembangnya penyakit baru akhir-akhir ini, ramai dipublikasikan adanya bentuk baru evolusi kuman yang sulit ditanggulangi dengan obat antibiotika yang biasa dipergunakan untuk pengobatan, yang kemudian disebut sebagai "Superbugs" atau "Killerbugs" atau "Killer Microbes"(1,2,3). Kejadian mikroba resistan terhadap kemoterapi telah dilaporkan terjadi pada berbagai jenis bakteri, jamur, virus maupun parasit. Saat ini bakteri yang resistan antibiotika prevaiensinya paling besar, sehingga pada kesempatan ini saya akan membahas secara singkat masalah ini. Contoh mikroba resistan lain misalnya pada jamur/fungi (Candida sp. resistan pada flukonasol), virus (HIV resistan pada zidovudin), dan parasit (Trichomonas sp. resistan pada metronidasol dan Plasmodium falsifarum resistan pada kloroquin)(4).

Telah diteliti oleh para ahli penyakit infeksi, bahwa pada penderita dengan penyakit infeksi yang disebabkan bakteri resistan antibiotika, akan menyebabkan penyakit makin berat, makin lamanya masa sakit dan lebih lama tinggal di rumah sakit bagi penderita yang dirawat, juga menyebabkan gejala sisa atau sequelae yang lebih besar, meningkatnya angka kematian/mortalitas, serta biaya pengobatan yang meningkat karena makin mahalnya obat pilihan alternatif(5). Sebaliknya peningkatan resistansi juga dipengaruhi oleh beberapa kemajuan yang didapat dari kehadiran dan efektivitas pengobatan dengan antibiotika itu sendiri, antara lain dimungkinkannya prosedur operasi yang lama dan banyak komplikasi pada penderita immunosupresi, usia lanjut atau penderita yang sakit berat; dapat dilakukan transplantasi; dan dapat digunakannya peralatan dan alat bantu yang kompleks. Kehadiran antibiotika berspektrum luas yang dapat digunakan pada tindakan profilaksis dan pengobatan, memberikan kemungkinan tindakan medik yang lebih kompleks dan dahulu sulit dilakukan(6,7).

Meningkatnya prevalensi bakteri resistan terhadap antibiotika, mengharuskan pertimbangan yang lebih besar didalam melakukan evaluasi risiko tindakan medik yang sudah ada. Ini termasuk tindakan operasi metode baru yang membutuhkan waktu lama; penggunaan instrumentasi dan alat bantu dengan teknologi baru; tindakan pada penderita menurunnya imunokompeten, sakit berat dan sakit kronik; pada kondisi di mana kurangnya fasilitas pada pendidikan dan pelatihan kontrol infeksi; tidak mempunyai fasilitas laboratorium mikrobiologi untuk pemeriksaan tes kepekaan antibiotika, guna mendeteksi adanya resistansi; tidak adanya standar teknik antiseptik yang baik; pada densiti komunitas yang padat; sanitasi buruk di sekitar tempat tinggal.

"
Jakarta: UI-Press, 2004
PGB 0223
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistijawati
"Dalam memenuhi tuntutan persaingan rumah sakit pada saat ini, setiap rumah sakit berupaya untuk meningkatkan citranya dengan meningkatkan mutu pelayanan secara menyeluruh. Aspek pembekalan farmasi merupakan hal yang sangat panting untuk diperhatikan. Dalam pengelolaan dan pengendalian obat di rumah sakit diperlukan manajemen yang tepat agar tujuan yang akan dicapai bisa terpenuhi.
Penelitian ini mempunyai tujuan agar manajemen pembekalan farmasi dapat dilaksanakan secara optimal serta identifikasi informasi kelengkapan jenis, kecukupan jumlah serta ketepatan waktu pengadaan obat-obat antibiotik yang masuk dalam kategori kritis. Kemudian dicari metode yang tepat untuk pengadaannya. Penelitian ini adalah survey data sekunder dan data primer mengenai persediaan pembekalan farmasi khususnya obat-obatan antibiotik yang tersedia di Rumah Sakit Puri Cinere. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kuantitatif melalui analisis indeks kritis dan model persediaan yang bersifat probabilistik. Populasinya adalah seluruh obat antibiotik yang tersedia di bagian farmasi RSPC selama enam bulan terakhir dari Agustus 1997 s.d. Januari 1998. Jumlah jenis obat antibiotik selama enam bulan berjumlah 177 jenis.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa manajemen pembekalan farmasi di Rumah Sakit Puri Cinere belum berjalan dengan baik. Hal ini terlihat masih kerap terjadi stock out, over stock maupun obat kedaluarsa. Disamping itu anggaran yang digunakan untuk belanja obat selalu lebih besar dari pada anggaran yang sudah ditentukan sedangkan pendapatan selalu di bawah target. Mengingat bahwa farmasi merupakan salah satu pusat keuntungan rumah sakit ( profit centre) , maka perlu dilakukan optimalisasi dalam pendayagunaan persediaannya. Optimalisasi ini akan memberi dampak penting terhadap peningkatan pendapatan rumah sakit. Dengan demikian perlu diperhatikan perencanaan jenis obat agar jenis obat yang tersedia adalah yang memang pasti digunakan dalam jumlah yang cukup, sehingga lebih memudahkan dalam melakukan pengendalian obat. Agar dapat berjalan dengan lancar , perlu dilibatkan pihak farmasi untuk ikut merencanakan anggaran sehingga diharapkan perbedaan antara anggaran dan realissi dapat ditekan. Disamping itu perlu bagi Rumah Sakit Puri Cinere untuk mulai menggunakan indikator kinerja persediaan dalam menilai persediaan yang ada.
Berdasarkan analisis kuantitatif ternyata bahwa terdapat perbedaan jumlah jenis obat dan adanya variasi pada analisis ABC berdasarkan pemakaian, investasi dan indeks kritis. Pengambilan keputusan perbandingan persentase kelompok ABC yang diambil, sangat dipengaruhi oleh kebijakan dari pihak manajerial Rumah Sakit. Semakin besar nilai persentase yang diambil untuk kelompok A, maka semakin besar jumlah item pada kelompok A indeks kritis. Pembagian berdasarkan kategori pemakaian, investasi dan indeks kritis akan memberikan hasil yang berbeda. Kategori pemakaian memberikan hasil untuk kelompok A sebanyak 32 macam (jika diambil 70%) dan 27 macam (jika diambil 75%). Sedangkan apabila dipertimbangkan nilai investasinya, maka akan diperoleh jumlah item kelompok A sebanyak 21 macam (jika diambil 70%) atau 25 macam (jika diambil 75%) dengan biaya investasi Rp. 45.914.003 (jika diambil 70%) atau Rp. 48.938.612 (jika diambil 75%). Apabila dilakukan analisis indeks kritis, maka item untuk kelompok A akan berjumlah hanya 13 (jika diambil 70%) atau hanya 18 (jika diambil 75%) dengan biaya investasi Rp. 26.345.929 (jika diambil 70%) atau sebesar Rp. 30.208.100,- (jika diambil 75%), Dan hasil di atas menunjukkan bahwa Rumah Sakit Puri Cinere dapat melakukan efisiensi dengan adanya pengurangan jumlah item maupun biaya yang harus diinvestasikan apabila menggunakan analisis indeks kritis.
Dalam meningkatkan mutu pelayanan di Rumah Sakit Puri Cinere terutama dalam penyediaan pembekalan farmasi diperlukan manajemen yang baik dalam mengelola perencanaan dan penyediaan obat. Penentuan stok pengaman (safety stock), kapan dilakukan pemesanan (Reorder Point), dan banyaknya pemesanan (Order Quantity) digunakan model persediaan yang tepat. Dengan demikian, pasien rawat inap maupun rawat jalan yang membutuhkan obat dapat terlayani dengan baik.

To survive hospital competition today, every hospital has effort to enhance its image by improving the whole service quality. Pharmaceutical logistic aspect is very significant. In managing and controlling drug in hospital, the right management is needed to achieve the goal.
The purpose of this research is to answer whether the management of pharmaceutical logistic has been performed optimally. The other purpose is to identify information regarding to the item, volume sufficiency and on time procurement of vital antibiotic drug. This research is to survey primary and secondary data relating to pharmaceutical logistic inventory, especially antibiotic drug available in Puri Cinere Hospital. The research uses quantitative analysis approach through critical index analysis and probabilistic inventory model. The population is the entire antibiotic drug available in pharmacy unit of Puss Cinere Hospital during the last six month from August 1997 to January 1998. The number of antibiotic drug item for six month is 177 items.
From the result of research, it is known that management of pharmaceutical logistic in Puri Cinere Hospital has not been performed well because stock out, over stock and expire drug still occur frequently. Beside, the budget spent to buy drugs always higher than its plan and revenue target is never reached. Considering that pharmacy unit is one of profit centre, optimalization of inventory is necessary. This will has significant impact to the increasing of hospital income. Therefore, planning should be done carefully in order to assure that the drug needed is always available. It can ease in controlling inventory. To minimize the gap between budget and expenditure, pharmacist should be involved in budget planning. Furthermore, the hospital has to use inventory performance indicator to evaluate inventory.
Based on quantitative analysis, there is difference in the number of drug item and there is variation in the ABC analysis based on the use, investment and critical index. The decision making to compare the percentage of ABC group is mostly influenced by the policy of hospital management. The higher percentage of A group, the higher number of A group item in critical index. On the basis of using category, investment and critical index has different result. The result of using category is that for A group, it will order 32 items (if it is taken 70 % ) or 27 items (if it is taken 75 % ), whereas if the investment is considered, the result is 21 items for A group (if it is taken 70 % ) or 25 items (if it is taken 75 % ) with the cost of investment Rp. 45.914.003; (if it is taken 70 %) or Rp.48.938.612,- (if it is taken 75 % ). If it is analyzed with critical index, the number of A group will be only 13 items ( if it is taken 70 %) or it is only 28 items (if it is taken 75 % ) with the cost of investment Rp.26.345.929,- (if it is taken 70 %) or Rp.30.208.100; (if it is taken 75 % ). The above result shows that the hospital improve efficiency by saving the number of item or investment cost using critical index analysis.
To increase the service quality in the hospital, especially pharmaceutical logistic, the proper management is needed to manage drug inventory and planning. The determination of safety stock, reorder point and order quantity should use the proper inventory model. This will serve inpatient and outpatient well.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T8316
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atiek Soemiati
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Streptokok hemolitik beta grup A (SH-A) adalah kuman patogen pada manusia menyebabkan radang tenggorok dan kulit dengan sequelae demam rematik. SH-A mempunyai protein M pada dinding selnya yang menyebabkan kuman tersebut tahan terhadap fagositosis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ampisilin subkadar hambat minimal (sub KHM) terhadap daya fagositosis makrofag. Kuman SH-A dicampur dengan ampisilin sub KHM (1/4 KHM dan 1/8 KHM) dengan makrofag dan diinkubasi selama 60 menit dan 120 menit. Penelitian ini menggunakan SH-A strain standar WHO (Ceko), dan ampisilin trihidrat diperoleh dari PT Kalbe Farma. Makrofag diambil dari peritoneal mencit strain CBR umur 4-8 minggu. Sebagai kontrol dilakukan terhadap kuman yang dibiakkan dalam kaldu Todd Hewitt yang mengandung ampisilin sub KHM tanpa dicampur makrofag.
Hasil dan Kesimpulan: Terdapat penurunan populasi kuman pada perbenihan yang mengandung makrofag tanpa ampisilin setelah diinkubasi 120 menit karena penurunan pH pada media. Populasi kuman menurun setelah kuman dicampur ampisilin sub KHM pada inkubasi 60 menit dan 120 menit dibandingkan dengan kontrol. Prosentase fagositosis makrofag dan indeks fagositosis makrofag terhadap kuman yang dicampur ampisilin sub KHM pada inkubasi 60 menit dan 120 menit meningkat. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa secara in vitro daya fagositosis makrofag meningkat setelah dicampur ampisilin sub KHM pada inkubasi 60 menit dan 120 menit.

ABSTRACT
Effect Of Ampicillin At Sub Mic On The Phagocytosis By Macrophage Of Streptococcus Hemolytic Beta Group AScope and Method of Study: Streptococcus beta-hemolyticus group A (SH-A) is pathogenic for man, the most usual causative agent for acute streptococcal upper respiratory tract and skin diseases with sequelae namely rheumatic fever. The bacterial cell wall contains protein M, a virulence factor, which is responsible for the resistance to phagocytic activity of macrophage. The aim of this research was study the phagocytosis of streptococci grown in subminimum inhibitory concentration (sub MIC) of ampicillin by macrophage after incubation for 60 and 120 minutes. SH-A was obtained from Ceko Colaboratorium (standard strain of WHO), and ampicillin trihydrate was from Kalbe Farma. The mice were kindly supplied by Central Biomedical Research, Jakarta; age 4-8 weeks, were free from infections, and used as macrophage source.
Findings and Conclusions: The number of bacteria in the medium containing macrophage after incubation for 60 minutes increase, but after 120 minutes decreases, probably due to the low pH medium. The population of bacteria decreases in the medium treated with sub MIC of ampicillin after incubation for 60 and 120 minutes. Percentage of relative effect of phagocytosis and phagocytosis index of macrophage seem to be increasing after incubation of the whole component for 60 and 120 minutes. SH-A treated with sub MIC of ampicillin underwent rapid ingestion by macrophage after incubation for 60 and 120 minutes. The result showed that the hypothesis of the rapid ingestion of SH-A treated with sub MIC ampicilin by macrophage after incubation for 60 and 120 minutes could be accepted.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kombinasi antibiotik b-laktam dengan penghambat b-laktamasa terbukti telah dapat mengatasi resistensi yang disebabkan oleh produksi b-laktamasa. Konsentrasi Hambatan Minimal (KHM) beberapa antibiotik b-laktam terhadap isolat penghasil b-laktamasa akan dievaluasi. A.anitratus, E.koli, K.pneumoniae, Proteus sp, Pseudomonas sp, S.aureus, S.epidermidis, S.pneumoniae, S.viridans, dan b-hemolitik Streptokokkus, dipaparkan terhadap Ampisilin/Sulbaktam (AMS), Seftriaksone (CRO), dan Sefotaksime (CTX) menggunakan teknik Etest. Produksi b-laktamasa diidentifikasi menggunakan cakram Cefinase. Enampuluh empat persen isolat memiliki kemampuan menghasilkan b-laktamasa. Semua E.koli dan K.pneumoniae yang diuji merupakan penghasil b-laktamasa, namun tidak satupun Proteus sp, Pseudomonas sp, dan S.epidermidis yang diuji menghasilkan b-laktamasa. Dalam kelompok penghasil b-laktamasa, sulbaktam mampu menurunkan resistensi terhadap CFP dari 25% menjadi 5%. Sekitar 20% dari isolat penghasil b-laktamasa yang resisten terhadap CFP, ternyata peka terhadap CSL. Kepekaan S.viridans terhadap AMS, AMC, CFP, dan CSL ternyata lebih dari 80%, tetapi kurang dari 50% terhadap CRO dan CTX. S.pneumoniae ternyata kurang peka terhadap antibiotik yang diuji. Kepekaan S.aureus terhadap antibiotik uji adalah 60 sampai 70%, sedangkan Streptokokus b-haemolitikus memperlihatkan respons yang baik. Hanya 30% atau kurang K.pneumoniae dan E.koli yang peka terhadap AMS dan AMC. A.anitratus memperlihatkan kepekaan yang baik hanya terhadap AMS (78%) dan CSL (89%). Enampuluh empat persen isolat yang diamati ternyata menghasilkan b-laktamasa. Penghambat b-laktamasa dapat menurunkan resistensi organisma penghasil b-laktamasa terhadap antibiotik b-laktam dari 25 menjadi 5 persen. (Med J Indones 2004; 13: 140-5)

Combination of b-lactam antibiotic with b-lactamase inhibitor has been proven to overcome resistance caused by b-lactamase production. An evaluation to the MIC of some b-lactam antibiotics to b-lactamase producing isolates will be reported. A.anitratus, E.coli, K.pneumoniae, Proteus sp, Pseudomonas sp, S.aureus, S.epidermidis, S.pneumoniae, S.viridans, and b-hemolytic Streptococcus, were challenged to Ampicillin/Sulbactam (AMS), Amoxicillin/Clavulanic acid (AMC), Cefoperazone (CFP), Cefoperazone/ Sulbactam (CSL), Ceftriaxone (CRO), dan Cefotaxime (CTX) using ETest techniques. b-lactamase production was identified using Cefinase disk. Sixtyfour percent of isolates were capable of producing b-lactamase. All E.coli and K.pneumoniae tested were b-lactamase producer, none of Proteus sp, Pseudomonas sp, and S.epidermidis tested produced b-lactamase. In b-lactamase producing group, Sulbactam was able to reduce resistance to CFP from 25% to 5%. About 20% of b-lactamase producing isolates which were resistant to CFP, were susceptible to CSL. Susceptibility of S.viridans to AMS, AMC, CFP, and CSL was higher than 80%, but less than 50% to CRO and CTX. S.pneumoniae was less susceptible to tested antibiotics, 50 to 60% susceptibility was shown to AMC, CFP, and CSL. S.aureus was 60 to 70% susceptible, while b-haemolytic Streptococcus showed good response to the tested antibiotics. Only 30% or less of K.pneumoniae and E.coli was susceptible to AMS and AMC. A.anitratus showed good susceptibility only to AMS (78%) and CSL (89%). Sixtyfour percent of isolate studied produced b-lactamase. b-lactamase inhibitor could reduce resistance of b-lactamase producing organism to b-lactam antibiotic from 25 to 5 percent. (Med J Indones 2004; 13: 140-5)"
Medical Journal of Indonesia, 13 (3) Juli September 2004: 140-145, 2004
MJIN-13-3-JulSep2004-140
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Retnosari Andrajati
"Tujuan penelitian ini ialah untuk membandingkan penggunaan antibiotik sebelum dan sesudah penerapan Formularium Rumah sakit (FRS) di Rumah Sakit MMC (RS MMC). Seluruh penggunaan antibiotik yang termasuk dalam klasifikasi J01 Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) dicatat dari data pelayanan farmasi rawat-inap dan rawat-jalan. Paramater kuantitatif penggunaan antibiotik pasien rawat inap adalah Defined Daily Doses/100 hari rawat (DDDs/shr) dan DDDs/1000 pasien/hari (DDDs/rph) untuk pasien rawat-jalan. Parameter kualitas penggunaan obat adalah jumlah nama obat yg berdasarkan urutan DDDs membentuk segmen 90% dari total penggunaan obat (DU90%) dan kepatuhan peresepan antibiotik terhadap formularium dalam segmen DU90% berdasarkan nama dagang dan nama generik. Kuantitas dan kualitas penggunaan antibiotik dibandingkan sebelum dan sesudah penerapan FRS (tahun 2000 terhadap tahun 1999). Analisa perbandingan kuantitas penggunaan antibiotik dilakukan dengan. uji peringkat tanda Wilcoxon. Penggunaan antibiotik untuk pasien rawat-inap menurun nyata sebesar 23,1%, dari 124,96 DDDs/shr di tahun 1999 menjadi 96,13 DDDs/shr (p= 0,03). Penurunan penggunaan antibiotik di rawat-jalan 4,9%, dari 3,49 DDDs/rph di tahun 1999 menjadi 3,32 DDDs/rph di tahun 2000 (p=0,58). Siprofloksasin adalah antibiotik yang terbanyak diresepkan di rawat-inap pada tahun 1999 dan 2000, sedangkan di rawat-jalan amoksisilin pada tahun 1999 dan siprofloksasin pada tahun 2000. Kepatuhan peresepan antibiotik terhadap FRS untuk pasien rawat-inap dan rawat-jalan berturut-turut berdasarkan nama generik 100% dan 100%, berdasarkan nama dagang 90,5% dan 94,3%. Profil penggunaan antibiotik dalam segmen DU90% untuk pasien rawat-inap dan rawat-jalan dapat dikatakan tidak menunjukkan perbaikan baik berdasarkan nama dagang maupun nama generik. Sebagai kesimpulan ialah bahwa penerapan FRS di RS MMC hanya menunjukkan penurunan bermakna pada penggunaan antibiotik untuk pasien rawat-inap. (Med J Indones 2004; 13: 173-9)

The objective of this study is to compare the use of antibiotics at the Metropolitan Medical Center Hospital in Jakarta, Indonesia (MMCH), before and after the implementation of a hospital formulary. All antibiotic data under J01 Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) classification were collected from pharmacy inpatient and outpatient records. Quantitative antibiotic use was expressed in Defined Daily Doses/100 bed-days (DDDs/hbd) for inpatients and DDDs/1000 patients/day (DDDs/tpd) for outpatients. The general quality of drug use was assessed in number of drugs that account for 90% of the use (DU90%) and the adherence to hospital formulary by substance and brand name within the DU90% segment. Quantitative and qualitative antibiotic use were compared before and after implementation of the formulary (1999 to 2000). The Wilcoxon rank sign test was used to compare overall antibiotic use. Inpatient antibiotic usage decreased significantly by 23.1%, 124.96 DDDs/hbd in 1999 to 96.13 DDDs/hbd during 2000 (p= 0.03) and outpatient antibiotic usage decreased insignificantly by 4.9%, 3.49 DDDs/tpd during 1999 to 3.32 DDDs/tpd during 2000 (p=0.58).The most commonly antibiotic use was ciprofloxacin in inpatient setting during the study and in out-patient setting was amoxicillin in 1999 and ciprofloxacin in 2000. The adherence to the formulary by substance and by brand name in inpatient department was 100% and 90.5% and in outpatient department was 100% and 94.3% during the study. DU 90% by substance name and by brand name was considerably not improved in both settings. The conclusion is that the effectiveness of one year formulary implementation at MMCH was only revealed in inpatient setting. (Med J Indones 2004; 13: 173-9) "
2004
MJIN-13-3-JulSep2004-173
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Telah dilakukan studi penggunaan obat secara rasional, khususnya penggunaan antibiotika pada pasien-pasien infeksi saluran nafas akut dan diare akut di 6 Puskesmas (PKM) di daerah-daerah perkotaan, pinggir kota dan pedusunan di Propinsi Sumatra Selatan. Sampel diambil secara acak sebanyak 15% dan proporsional dengan jumlah pasien berobat jalan di tiap PKM, selama periode 3 bulan (Januari s/d Maret 1997). Karakteristik pasien, diagnosis, dan jumlah serta tipe obat (termasuk obat suntik) dicatat dalam coding sheet” untuk selanjutnya dilakukan analisis. Didapatkan 1781 kasus, dengan jumlah rata-rata obat per resep 2.7; persentase kasus yang diberi suntikan adalah 47%; dan persentase pasien yang mendapat antibiotika adalah 49%. Enam puluh empat persen dari 1277 kasus infeksi saluran nafas atas akut, dan 79% dari 140 kasus diare akut diberi antibiotika. Studi ini menunjukkan bahwa terdapat penggunaan obat yang tidak rasional (berlebihan) yang jelas terlihat pada kasus-kasus infeksi saluran nafas atas akut dan pada kasus-kasus diare akut. (Med J Indones 2004; 14: 44-9)

Drug utilization study, especially antibiotic usage in therapy of mild acute upper respiratory infections and acute diarrheas has been conducted in six Primary Health Center (PHC) in urban, suburban and rural area in the Province of South Sumatra. We conducted systematic random sampling during which 15% of patients in each PHC were taken. We collected information about drug utilization from medical record of out patient in each PHC for three months period (January to March 1997). We recorded the characteristics of patients, the diagnosis, the number and type of drug (including injection) used. The number of cases studied was 1781, with the average number of drug per prescription being 2.7; the percentage of cases receiving an injection was 43%, and the percentage of cases receiving antibiotic was 48%. Sixty-four percent of 1277 acute respiratory tract infections (common cold), and 79% of 140 cases of acute diarrhea received antibiotic. This study showed that there is overuse or inappropriate use of drugs, especially antibiotic for acute nonspecific diarrhea and mild acute respiratory tract infections. (Med J Indones 2004; 14: 44-9)"
Medical Journal of Indonesia, 14 (1) January March 2005: 44-49, 2005
MJIN-14-1-JanMar2005-44
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Rianti
"ABSTRAK
A laboratory experimental study conducted on antimicrobial effects of Coleus amboinicus. Lour concentrate towards Candida albicans on acrylic resin. Samples of this study are 10x10x1 mm heat cured acrylic plates immersed in 15%, 12.5%, 10%, 7.5% of Coleus amboinicus. Lour concentrate solution. Sterilized aquadest was used as control. 16 samples were used for each exercise. Statistical analyses used are One-way Anova and LSD with 5% significance degree. The results showed that increasing Coleus amboinicus. Lour concentrate solution i.c. 7.5%, 10%, 12.5%, 15% will increased the antimicrobial effects towards Candida Albicans. The most effective concentrate solution in reducing Candida albicans colonies is 15%."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>