Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16223 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Keraf, Alexander Sonny
Jakarta: Kompas, 2002
179.1 SON e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Samlawi Azhari
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kedudayaan, 1997
304.201 SAM e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Etika lingkungan berdasarkan pada kesatuan wujud Teosofi Transenden merupakan kritik terhadap paradigma modern yang bercorak antroposentris. Perspektif ini memiliki keyakinan bahwa hanya manusia yang memiliki nilai di dalam dirinya (nilai intrinsik) sedang nilai yang terdapat pada alam semata instrumental dalam kaitannya dengan kepentingan manusia. Di sisi lain ia juga mengkritik pandangan ekosentrisme yang memandang alam memiliki nilainya sendiri terlepas dari kepentingan manusia. Prinsip kesatuan wujud (oneness of being, waḥdat al-wujūd) merupakan argumentasi ontologis para filsuf Muslim, termasuk di dalamnya Mulla Sadra sebagai pendiri aliran Teosofi Transenden. Teosofi Transenden sendiri merupakan perspektif yang relatif baru dalam tradisi filsafat Islam yang mendasarkan dirinya pada sintesis-kreatif dan harmonisasi semua aliran filsafat."
297 KANZ 4:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Margarethe Maria Ratnawati Winarto
"Ringkasan
Tujuantesis ini adalah untuk menyajikan hasil penelitian dalam Etika Lingkungan Para Petapa Trappist Pertapaan Santa Maria Rawaseneng, Jawa Tengah. Dalam hal ini adalah mengetahui pengertian mereka mengenai lingkungan dan pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Penulis meneliti apakah perlakuan para Trappist terhadap lingkungan mempengaruhi atau tidak mempengaruhi perilaku karyawannya.
Pertapaan Santa Maria Rawaseneng terletak di Desa Ngemplak, 14 kilometer sebelah utara kota Temanggung, terdiri dari Sembilan dusun yaitu Rawaseneng, Rejosari, Kebonandong, Klodran, Dakaran, Ngedongan, Bendosari, Kalisanten dan Ngasinan. Luas wilayah Desa Ngemplak adalah 993.000 ha.
Desa Ngemplak terletak pada ketinggian antara 500 sampai 825 meter di atas permukaan laut. Permukaan tanah tidak rata, tetapi bergelombang di kaki lereng Gunung Sumbing dan Sundoro.
Pertapaan Rawaseneng mengelola sebuah perkebunan kopi dan sebuah peternakan yang mempunyai dampak positif terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya. Sebagian besar masyarakatnya adalah petani dan buruh tani. Para Trappist telah dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan memberikan kesempatan kerja kepada buruh tani.
Pada umumnya, kehidupan masyarakat pedesaan berada dalam situasi miskin, tetapi ada sebagian kecil yang hidup dalam tingkat ekonomi lebih baik. Para rahib membaktikan diri secara utuh kepada Tuhan dengan tanggung jawab sosialnya, Mereka hidup miskin dan harus menghindari segala kesenangan duniawi, sesuai Kitab Suci.
Para Trappist merasa terdorong oleh panggilan Yang Maha Kuasa, untuk mencintai Allah dan sesamanya. Mereka percaya bahwa Allah menciptakan alam untuk manusia, oleh karena itu manusia harus memelihara dan melestarikannya sekarang dan untuk generasi yang akan datang.
Dalam menjalankan penelitian sebagai eksplorasi tentang perilaku ekologis para Trappist itu metodologi yang digunakan adalah kualitatif dan deskriptif analitis yaitu mengamati mereka dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan mengangkat tafsiran tentang lingkungan hidup mereka. Jumlah informan yang diwawancara adalah 19 imam rahib dan 39 karyawan.
Sebagai konsekuensi logis dari keberadaan peternakan dan perkebunan, serta kegiatan-kegiatan lain yang terkait, dihasilkan limbah yakni berupa limbah perkebunan, peternakan, perbengkelan, dan berbagai masalah sosial.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Para Trappist telah melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup secara lestari, baik di lingkungan Pertapaan, maupun di luar Pertapaan.
Pertapaan mendampingi masyarakat setempat, khususnya dalam masalah sosial. Pekerjaan mereka yang bermanfaat dirasakan berpengaruh juga di Bandung, Jakarta, Semarang dan Surabaya.
Para rahib meminjamkan modal tanpa bunga untuk membangun sederhana atau memulai usaha, mereka memberikan beasiswa kepada anak yang berinteligensi tetapi miskin. Pekerjaan para Trappist membawa perubahan dalam dunia hidup masyarakat Rawaseneng dan dusun-dusun di sekitarnya; Mereka lebih memperhatikan lingkungan hidup dengan membuang sampah pads tempat yang ditentukan, mereka mengalami peningkatan hidup mereka.
Para Trappist telah menyatukan kesadaran lingkungan hidup dalam praktek dan mereka tidak hanya mengerti secara teoritis. Mereka menyatukan pertumbuhan lingkungan dimana mereka hidup sebagai petapa, sehingga mereka menjadi contoh dari kesadaran lingkungan hidup yang dilaksanakan dalam hidup mereka.
Semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi pertapaan lain, biara-biara, perkebunan-perkebunan dan peternakan serta untuk banyak orang, sehingga mereka dapat meningkatkan kepedulian mereka terhadap lingkungan hidup mereka, bukan untuk mereka sendiri, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.

ABSTRACT
The purpose of this thesis is to present the results of an research into the environmental ethics of the Trappist monks- in Rawaseneng, to know their understanding about the environment and how they practice it in their daily life. The writer enquires into how the attitude of the monks has or has not influenced the attitudes of their employees.
Saint Mary's Monastery Rawaseneng is located in the village Ngemplak, 14 kilometers North of Temanggung, which is surrounded by nine smaller villages Rawaseneng, Rejosari, Kebonandong, Kiodran, Dadakan, Ngedongan, Bendosan , Kalisanten, and Ngasinan. Its area is 700.979,5- hectares.
It ranges from 500-825 meters above sea-level, and has a typical tropical climate. The land is not flat but rolling at the foothills of Sumbing and Sundoro mountains.
Rawaseneng monastery runs a coffee-plantation and farm which has a positive affect on the people of this area. Most of the people are farmers or hired farm-workers. The monks have been able to lift the standard of living and have increased work-opportunities for the farm workers. In general, the people of this area live in very simple conditions, although there are some people whose economic situation is quite good. The group of the monks have given their lives to God and can dedicate themselves wholly. This frees them from the cares of the world so that they can live a simple life according to the Holy Scriptures say. This enables the monks to lighten the burdens of the poor.
These men are motivated by the feeling of being called by the Almighty to love God and their neighbors. They believe. that God created nature for people and so people have to care for it and cultivate it now and for those who will come after them. People should not misuse the environment but ought to preserve it for their children and children's children.
The plantation, farm and other activities produce a variety of waste, for example breeding waste, unusable plantation materials, these is spillage from the workshop and there a variety of social of problems.
This research concludes that the management by the monks of their environment, inside and outside the monastery, is seen from an environmental point of view, quite effective.
The monastery assists the people of their area especially in their social problems. Their beneficial work has an impact that is felt even in the cities like Semarang, Bandung, Jakarta, and Surabaya. The monks lend money to their neighbors to buy small houses to start mini-businesses. They give scholarships to children who are intelligent but poor.
The work of the monks has induced change in the life-world of the other villages around. They now pay attention to their environment by putting the waste in more certain designated places, they live a better life.
Hopefully, the results obtained from this study may be useful for other monasteries, convents, plantations, farms and for many people, so they are able to increase and to care for their environment not only for themselves but also for future generations.
The monks implement environmental consciencousnes in practice and do not just theorize about it. They integrate cultivation of the environment with their monastic life, so they become model of a practical ecological awareness.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudjoko
"Keberadaan manusia di alam, baik segi fisik maupun mentalnya, memiliki potensi sebagai penyebab perubahan lingkungan. Perilaku manusia, yang berdampak pada perubahan-perubahan lingkungan, sangat ditentukan oleh kondisi mental, yakni etika lingkungan.
Menurut Alois A Nugroho, dasar-dasar pertimbangan untuk etika lingkungan ada lima kategori, yaitu : (1) egoisme etis, (2) humanisme, (3) vitalisme, (4) altruisme planeter subtipe tak holistik, dan (6) altuistue planeter subtipe holistik. Lima kategori ini merupakan etika yang berjenjang, karena dari satu etika ke etika yang lain merupakan perluasan-perluasannya. Selanjutnya, lima kategori yang merupakan dasar pertimbangan untuk etika lingkungan itu dalam tesis ini diangkat sebagai tipe etika lingkungan.
Pembentukan etika lingkungan pada diri orang per orang dapat didekati dari pendekatan ekologik dan teologik. Peranan pendekatan ekologik adalah memberikan pengetahuan tentang konsep, teori, prinsip, dan hukum-hukum ekologi (kognitif) yang kemudian diharapkan mampu diinternalisasi sampai kepada tingkat kesadaran lingkungan, sehingga mampu pula membawa ke arah pembentukan nilai-nilai dan etika lingkungan (afektif). Sedangkan pendekatan teologik lebih menekankan kepada tanggung jawab manusia terhadap alam, sebagai yang diajarkan oleh kitab suci setiap agama, karena konsep etika juga menyangkut tentang tanggung jawab.
Isu tentang kerusakan lingkungan telah menjadi salah satu kekhawatiran yang muncul sebagai dampak negatip dalam.rangka pembangunan dan modernisasi masyarakat, dan negara kita adalah salah satu di antara negara yang tengah giat melaksanakan pembangunan dan modernisasi itu. Sementara itu Mahasiswa merupakan calon-calon pemimpin masyarakat yang di kemudian hari, pada masa mereka menduduki jabatan tertentu di masyarakat, kondisi mentalnya yang berupa etika lingkungan merupakan salah satu bekal yang amat penting dalam menentukan peranan manusia/masyarakat terhadap lingkungannya. Oleh sebab itu, sebagai pemimpin masyarakat nanti, mulai sekarang mahasiswa harus dibekali dengan etika lingkungan yang luhur, agar setiap keputusan dan parilakunya, baik yang menyangkut diri sendiri maupun koinunitasnya di dalam proses pembangunan, selalu mengacu kepada keseimbangan ekosistem/lingkungan.
Yogyakarta sebagai kota pendidikan, yang telah terkenal sejak lama, memiliki daya tarik bagi lulusan SMTA dari sekitarnya dan bahkan dari seluruh penjuru Indonesia, untuk memperoleh pendidikan tinggi pada PTN maupun PTS di kota ini. Setelah menyelesaikan studinya mereka akan kembali ke daerah asal ataupun menyebar ke daerah lain.
Karena itu, dengan mengetahui tipe etika lingkungan mahasiswa Yogyakarta merupakan hal yang penting dalam pembinaan generasi muda pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya.
Untuk mengetahui tipe etika lingkungan mahasiswa Yogyakarta dilakukan penelitian terhadap mahasiswa Yogyakarta yang menempuh pendidikannya pada PTN dan PTS yang berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tipe etika lingkungan dalam penelitian ini diungkap melalui gagasan sikap atau perilaku yang akan diambil atau dilakukan oleh responden jika seandainya menghadapi persoalan lingkungan, sehingga lebih tepat bila dinyatakan sebagai ide tentang etika mengenai lingkungan. Dengan dipandu oleh kajian pustaka bahwa psmbentukan etika lingkungan dapat didekati dari pendekatan ekologi dan teologi, maka diduga bahwa ketaatan terhadap agama yang dianut oleh mahasiswa dan keterlibatan dalam organisasi pecinta alam (OPA) akan memberikan warna pada etika lingkungan yang dimilikinya. Karena itu, ketaatan beragama dan keterlibatan dalam kegiatan OPA didudukkan sebagai variabel bebas, sedangkan ide tentang etika mengenai lingkungan merupakan variabel tergantung.
Pengambilan data penelitian dilakukan dengan teknik wawancara terhadap sampel sebanyak 300 orang mahasiswa yang ditetapkan dengan teknik kuota. Pengambilan sampel dengan teknik kuota ini semata-mata hanya didasarkan kepada keterbatasan biaya penelitian yang pengambilan datanya dengan teknik wawancara. Hasil penelitian yang dianalisis dengan deskriptif dan chi-kuadrat sampel tak berpasangan, menunjukkan bahwa: (1) ide tentang etika mengenai lingkungan mahasiswa Yogyakarta cenderung bertipe etika vitalisme, (2) ada kecenderungan ide tentang etika mengenai lingkungan ke arah tipe etika yang lebih rendah untuk masalah lingkungan yang menyangkut langsung kehidupan sehari-hari, (3) ide tentang etika mengenai lingkungan mempunyai ketergantungan dengan tingkat ketaatan beragama, dan (4) ide tentang etika mengenai lingkungan tidak mempunyai ketergantungan dengan tingkat keterlibatan dalam OPA.
Pembahasan hasil penelitian, dengan menghubungkan dengan berbagai pendapat/teori, menyatakan bahwa ide tentang etika mengenai lingkungan mahasiswa Yogyakarta masih diwarnai oleh pengetahuan yang bersifat umum yang sering diekspose dalam media massa, Di samping itu, dalam hubungan dengan ketaatan beragama, dapat ditafsirkan bahwa penghayatan agama telah mampu memberikan sumbangan dalam pembentukan etika lingkungan: sedangkan jika dihubungkan dengan keterlibatan pada OPA, kegiatannya belum mampu memberikan sumbangan pada pembentukan etika lingkungan. Kegiatan OPA mahasiswa masih banyak diwarnai oleh Kode Etik Pecinta Alam Indonesia yang butir-butirnya masih menunjukkan kecenderungan pada pandangan antroposentrik. Oleh sebab itu, disarankan perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap kode etik tersebut untuk perumusan kembali dengan menyesuaikan kepada konsepkonsep baru ilmu lingkungan.

Human potentialities, both seen from the physical and the mental aspects, determine environmental changes. Human behavior toward nature, which affects environmental changes, depends on their mental condition that is their environmental ethics.
Alois A. Nugroho stated that the basis of environmental ethics can be classified in to five categories, i.e.: (1) Egoism Ethics, (2) Humanism, (3) Vitalism, (4) Planetary Altruism subtype Non-holistic, and (5) Planetary Altruism subtype Holistic. The five categories are structurally hierarchical, because the upper level categories are improving continuously from the lower levels. In this research, the five categories which is considered as the environmental ethics are being adopted as types of environmental ethics.
The formation of individual environmental ethics in man can be seen from two kinds of approach, e.g. ecological approach and theological approach. The goals of ecological approach are to give the knowledge, as well as concepts, theories, principles, and laws of ecology and environmental sciences. By way of internalization, hopefully, the knowledge will motivate the development of environmental awareness. Since ethics always related to responsibility, theological approach can be used to develop ethics, because many religions, through the Holy Scriptures such as Koran and Bible, emphasize on the responsibility of man to the nature.
Nowadays, issues of environment deterioration have been taking place seriously. We are concerned about environmental deterioration more seriously in the development and modernization processes of the nation. Whereas the youth, especially students of tertiary education will be leaders of their society in the future. Indonesian leaders have important role in social changes of their society. They are social and innovation agents as much as motivators of the social changes. Therefore, as social agents or leaders in the future, students of tertiary education must be provided with environmental ethics from now on, in order to be able to exercise right justification for themselves, or their community and to maintain the stability of their ecosystem and environment.
Yogyakarta has been famous as students city. It attracts not only youths graduated from SMTA (Senior High School) from the nearly districts or cities, but also other regions of Indonesia. They come to Yogyakarta in order to continue their studies at the State-owned or Private Universities. After graduating from the tertiary education, most of them will go back to their homesteads or scattered in other regions of Indonesia. With regard to that, introduction of environment ethics as earlier as possible and continuously, seems very important.
The objective of this research is to identify the types of environment ethics of students in several State-owned and Private Universities in the Daerah Istimewa Yogyakarta. The types of environmental ethics in this research will be represented by conceptual attitude or behavior of the students in facing environmental problems, which in this case are identical to their environmental ethics. According to several theories, ecological and theological approach can be used as tools to develop environmental ethics; it is estimated that the degree of environmental ethics of the students is in line with their religiousness, activities or involvement in the Organisasi Pecinta Alam (OPA = Nature Lovers organization). Hence, both the degree of religiousness and the involvement in the OPA are regarded as independent variables in this research, and the ideas on environmental ethics as dependent variable.
Data of this research were collected from 300 respondents by way of interviews, using quota sampling technique. method of sampling were adopted due to lack of financial support. Descriptive analysis has been carried out based on statistical chi-suare contingency tables, indicating that: (1) ideas of environmental ethics of the students in Yogyakarta tend to vitalism ethics, (2) there are tendencies that the level of the students, ideas of environmental ethics tend to become lower in the daily life affairs, (3) there's dependency between the degree of religiousness and the ideas of environmental ethics, and (4) there's no dependency between the degree of students involving in OPA and the ideas of environmental ethics.
Evaluation of data based on existing knowledge and theories indicates that the ideas of environmental ethics were determined by popular knowledge, which is commonly exposed in mass-medias. While it is true that there is dependency between the degree of religiousness and their ideas of environmental ethics, it does not represent the degree of involvement in the OPA. It seems that the activities of OPA refer to the Ethic Codes of the national OPA, which is mainly dominated by anthropocentric ethics or ideas.
Therefore, I propose to re-examine these ethics codes in terms of their reformulation or adaptation to the latest concepts in environmental science."
Depok: Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The Hindu Balinese society has a strong stand on respecting nature in the ritual processes. The knowledge of which, is a precious contribution to the environment as it is described in the anthropo-, bio-, and eco-centric ethics. The Hindu Balinese people has described themselves as both micro- and macro-cosmos, and that they are obliged to keep harmony the relations of God, man, and nature, known as the concept of tri Hita Kirana which consists for Parahyangan (God), Pawongan (man), and Palemahan (the earth or the world). The Balinese sense of loyalty, submission, and loving devotion to God has to be expressed by their efforts to maintain harmony with nature and other human beings. The religions and cultural rituals in Bali, in essence, are not only theological, or mere esthetical, but they express the value of harmony between man and culture."
JUETIKA
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Suwira Satria
"The Hindu Balinese society has a strong stand on respecting nature in the ritual processes. The knowledge of which, is a precious contribution to the environment as it is described in the anthropo-, bio-, and eco-centric ethics. The Hindu Balinese people has described themselves as both micro- and macro-cosmos, and that they are obliged to keep harmony the relations of God, man, and nature, known as the concept of tri Hita Kirana which consists for Parahyangan (God), Pawongan (man), and Palemahan (the earth or the world). The Balinese sense of loyalty, submission, and loving devotion to God has to be expressed by their efforts to maintain harmony with nature and other human beings. The religions and cultural rituals in Bali, in essence, are not only theological, or mere esthetical, but they express the value of harmony between man and culture."
Depok: Departemen kewilayaan FIB Universitas Indonesia, 2009
360 JETK 1:1 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bertens, Kees
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000
170 BER e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
I.R. Poedjawijatna
Jakarta: Bina Aksara, 1982
170 POE e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>