Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 45869 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ali Moertopo
Djakarta: BAKIN, 1976
329.991 ALI s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdinandus S. Nggao
"Kemiskinan merupakan masalah besar bagi Indonesia. Sebelum krisis pertengahan 1997, angka kemiskinan terjadi penurunan, namun sejak krisis meningkat lagi. Berbagai program telah dicanangkan baik pemerintah maupun non pemerintah seperti lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha. Supaya berbagai program tersebut makin efektif, maka diperlukan penelitian untuk mengevaluasi program. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pelaksanaan program dan mengetahui fakor pendukung dan penghambat pelaksanaan program dengan studi kasus pada Program Pengembangan Keuangan Mikro Bina Swadaya Guswil DKI Jakarta di wilayah Manggarai, Jakarta Selatan dan Kampung Melayu, Jakarta Timur dalam kurun waktu 2001 sampai pertengahan 2004. Evaluasi pelaksanaan program di lihat dari sisi input, process, dan outcome dengan menggunakan indikator yang disebar menurut kerangka penelitian. Untuk input indikator yang digunakan adalah ketersediaan, relevansi, upaya, kualitas, dan etisiensi. Sementara untuk process, indikator yang digunakan adalah pemanfaatan, kualitas, upaya, relevansi, dan keterjangkauan. Untuk mengevaluasi ourcome, peneliti menggunakan indikator dampak, yaitu pada pengembangan kapasitas SDM dan pengembangan usaha. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, pengamataan dan data sekunder berkaitan dengan program. Sementara teknik pemilihan informan dilakukan dengan purposive sampling. Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian adalah pengembangan masyarakar, karena program ini berkaitan dengan kedua konsep ini. Konsep lain, keuangan mikro dan usaha mikro, karena program ini berkaitan dengan pengusaha mikro dalan keuangan mikro.
Ada beberapa kesimpulan penting dari hasil penelitian ini. Pertama, Guswil DKI Jakarta telah berhasil menjangkau pengusaha mikro, mampu mengembangkan Sl KSM dengan anggota sebanyak 2.874 orang, terdiri dari 1.568 wanita dan 1.306 pria. Kedua, program ini sangat relevan dengan kebutuhan sasran program. Ketiga, program ini memiliki kendala dalam hal keterbatasan penyediaan dana, fasilitas, dan kapasitas staf Keempat, dari kelima aktivitas yang dilakukan, pengembangan KSM dan pengembangan administrasi KSM serta pengembangan permodalan Iebih banyak dilakukan, sementara dua aktivitas lain yaitu pengembangan usaha produktif dan pengembangan jejaring kurang diperhatikan. Kelima, program ini telah berhasil mengembangkan kapasitas individu anggota, namun hanya pada batas wawasan dan keterampilan yang relatif,sedikit. Sementara pengembangan usaha terjadi bukan karena intervensi yang dilakukan program tetapi lebih karena perjuangan individu anggota. Keenam, perubahan kebijakan terhadap fokus pelayanan telah membawa dampak yang tidak kondusif bagi para pelaksana lapangan dan menggagu pelaksanaan program di lapangan. Ketujuh, terjadi kredit macet yang menunjukkan terjadi penyelewengan dalam penyaluran dana dan juga sebagai dampak mengejar kemandirian guswil. Karena itu, sebaiknya upaya kemandirian guswil dilakukan tidak hanya dengan mengandalkan pendapatan dari pelayanan keuangan mikro, tetapi juga altematif sumber pendanaan lain, seperti mengembangkan usaha, menangani proyek.
Berdasarkan hasil evaluasi, peneliti menyarankan program ini diteruskan dengan beberapa perbaikan, seperti perlu lebih kreatif memobilisasi dana pihak lain untuk pelaksanaan program, monitoring lebih ketat, sehingga tidak terjadi Iagi penyelewengan penyaluran kredit dengan mengacu pada pedoman penyaluran kredit. Perbaikan Iainnya, pelayanan pengembangan usaha produktif perlu ditingkatkan, misalnya, guswil bisa menjadi trading house bagi pemasaran produk kelompok. Kapasitas para stafperlu ditingkatkan agar mampu melaksanakan tugasnya secara lebih optimal, misalnya melalui pelatihan-pelatihan di luar TPKS. Program ini perlu menerapkan secara jelas tahap terminasi, supaya ada kejelasan sampai batas mana sebuah kelompok atau anggota dilayani."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T21663
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Mujaddid Ahwali
"Penelitian ini dilakukan guna mengetahui adanya pengaruh jangkauan sosial yang ditunjukkan oleh variabel persentase peminjam perempuan dan saldo pinjaman rata-rata terhadap kinerja keuangan LKM. Dengan sampel 105 LKM yang tersebar di 12 negara, pada wilayah Asia Tenggara dan Asia Selatan yang diperoleh dari MIX Market, peneliti menggunakan metode balanced data panel robust fixed effects (FE), dengan periode 2011 hingga 2018. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jangkauan sosial yang lebih luas berpengaruh positif terhadap meningkatnya biaya operasional LKM. Kemudian, peneliti juga menemukan bahwa jangkauan sosial berpengaruh positif dalam meningkatnya imbal hasil portofolio pinjaman LKM. Terakhir, peneliti juga tidak menemukan adanya keterkaitan antara jangkauan sosial yang lebih luas terhadap performa kinerja keuangan LKM (ROA, ROE, dan OSS), yang disebabkan faktor biaya operasional dan faktor pendorong lainnya.

This study aims to determine the effect of social outreach shown by percentage of female borrower and average loan balance, towards financial performance of microfinance institutions. Used sample of 105 MFIs, spread across 12 countries, in the Southeast Asia and South Asia region which obtained from MIX Market, this study uses the robust fixed effect (FE) balanced panel data with a period from 2011 to 2018. The result shows that larger social outreach positively associated with higher operational costs of MFIs. We also found positive effect of social outreach towards higher portfolio yield of MFIs. However, this study shows that larger social outreach is not related to the financial performance of MFIs, which was caused by operational expense and other driving factors."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harliantoro
"Imbal Dagang (counter-trade) mcrupakan salah satu model pemhiayaan dan sistem perdagangan yang berlaku secara intcrnasional yang digunakan untuk memacu pertumbuhan ekspor nasional. pertumbuhan industri di dalam negeri. membuka kesempatan kcrja yang lebih leas, selain penghematan devisa.
Ada sejumlah manfaat dari imbal dagang antara lain kita melakukan penghematan APBN danlatau devisa dalam rangka pembelianlimpor yang dibutuhkan. Selain itu, membuka peluang atau akses pasar non tradisional bagi barang-barang yang diproduksi oleh pihak swastalpemerintah/BUMN dan meningkatkan produksi bagi barang-barang yang termasuk dalam skema imbal dagang. Program tersebut juga merupakan stimulus ekonomi yang berdampak pada peningkatan penyerapan lenaga kerja antar sektor (multiplier effects), faktor pendukung akselerasi pembangunan sejalan dengan exit program dari IMF.
Dalam lesis ini, dilakukan analis terhadap kelemahan dan kelebihan prinsipprinsip yuridis yang terkandung dalam perjanjian imbal dagang (counter-trade) dan analis yuridis berkaitan dengan tepat tidaknya Indonesia memilih perjanjian imbal dagang (counter-trade) sebagai altematif model.
Upaya yang dilakukan oleh Indonesia perlu adanya kehati-hatian dalam penjajakan, perundingan, pembahasan dan pelaksanaan suatu perjanjian imbal dagang dengan memperhatikan dan mengacu kepada kepentingan nasional Indonesia serta memperhatikan kesiapan pihak-pihak yang akan terlibat dalam perdagangan imbal balik.
Disamping itu pula perlu memperhatikan dan mematuhi ketentuan AFTA dan WTO agar pclaksanaannya dapat berjalan lancar dan kepentingan nasional Indonesia terlindungi sehingga usaha dalam rangka meningkatkan perdagangan dan inengurangi ketergantungan terhadap mata uang tertentu dapat dilakukan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T18961
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heri
"Pohon bacang ( Mangifera foetida Lour.) merupakan pohon yang
banyak ditanam di Indonesia. Tanaman yang merupakan bagian dari famili
Anacardiaceae ini memiliki ciri yang khas yaitu dari setiap bagian pohonnya
berbau terpentin yang sangat kuat. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti
kandungan senyawa kimia dari kulit batang pohon bacang yang direndam
dalam metanol. Proses isolasi dilakukan dengan ekstral^i corong pisah
dengan n-heksana, dan etil asetat dari ekstrak kasar yang didapat. Proses
pemisahan komponen-komponen yang terdapat dalam setiap hasil ekstraksi
dilakukan dengan kolom kromatografi. Penentuan jumlah komponen tiap
fraksi yang didapat dilakukan dengankromatografi lapis tipis. Fraksi yang
berupa kristal atau bubuk direkristalisasi untuk memurnikan senyawa yang
didapat. Penentuan struktur molekul dari fraksi yang murni dilakukan
dengan instrumen FTIR, GCMS, serta NMR. Dari hasil penelitian didapatkan
senyawa triterpen yaitu sikloart-25en-3ol (CsoHspO) pada fraksi 9-12 hasil
ekstraksi dengan n-heksana. Hasil ekstraksi dengan etil asetat pada fraksi
26-29 didapatkan asam palmitat (C16H32O2), asam linoleat C18H32O2, asam
stearat (C18H36O2), 1,3, dihidroksi-5 pentadekil benzena (C21H36O2), 1,3
dihidroksi-5-(heptadek 8Z, 11Z, 14Ztrienil) benzena.(C23H36O2). "
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rachim
"ABSTRAK
Altman Z-score telah digunakan selama beberapa dekade untuk memprediksi kebangkrutan. Namun Altman Z-score konvensional mungkin tidak menyadari kemungkinan manipulasi laba yang mungkin merubah gambaran dasar akuntansi dan implikasi mereka terhadap model keputusan investor. Pengukuran risiko kebangkrutan secara umum menggunakan rasio keuangan, dalam kenyataannya Altman Z-score telah digunakan sebagai metode dalam memprediksi financial distress dan kebangkrutan. Selama bertahun-tahun Altman Z-score telah digunakan oleh analis dan investor, meskipun fakta bahwa metode tersebut sangat bergantung pada standard akuntansi terutama pengakuan laba dan laba ditahan. Pada penelitian ini kami menyusun ulang Altman Z-score dan membuat penyesuaian terhadap manajemen laba pada negara ASEAN. Kami mengaplikasikan earning management pada Altman Z-score untuk mengukur derajat deviasi dari probabilitas kebangkrutan pada sampel bangkrut di semua perusahaan terbuka di ASEAN. Lebih lanjut, kami menemukan jika adjusted model memiliki kinerja lebih baik dibandingkan model Altman Z-score original. Kami juga menemukan jika manajemen laba memperbaiki prediksi kebangkrutan perusahaan dengan memprediksi rata-rata 8,31% lebih baik dibandingkan unadjusted model pada kebanyakan negara ASEAN.

ABSTRACT
Altman's Z-score has been used for several decades to predict bankruptcy. However, the conventional Z-score may not consider possible earnings manipulations that could change the fundamental accounting figures and their implications for investors' decision models. The measurement of bankruptcy risk mostly using financial ratio, in real world Altman Z-score has been used for tools on predicting financial distress and bankruptcy. For many years Altman Z-score has been used by analyst and investor, despite the fact that Altman Z-score heavily impact by accounting standard especially for earnings and retained earnings. In this paper we reconstruct the Z-score and making adjustments for earnings management in ASEAN Countries. We apply earning management on Altman Z-score to measure the degree of deviation from bankruptcy probability for the bankruptcy sample in all public firms in ASEAN. Furthermore, we find that the adjusted model performs better than the original Altman Z-score, we also find that earning management improve the bankruptcy prediction by predict on average 8.31% more firms correctly than the unadjusted model in most ASEAN countries."
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T50409
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aris Maulana Akbar
"[ABSTRAK
Perkembangan industri di Karawang, yang awalnya diharapkan mampu
menyerap banyak tenaga kerja lokal, ternyata secara tidak langsung berdampak
pada hilangnya kesempatan kerja dan tingginya jumlah pengangguran lokal.
Persoalan pengangguran ini menuntut dirancangnya kebijakan ketenagakerjaan
yang lebih berpihak pada pengangguran lokal, yaitu Pasal 25 Perda Karawang No.
1/2011 tentang Penempatan Tenaga Kerja Lokal. Kebijakan ini bertujuan sebagai
tindakan afirmatif (affirmative action) untuk mendesak terdistribusinya
kesempatan kerja bagi pengangguran lokal yang tereksklusi dalam dunia industri.
Namun, Pasal 25 Perda Karawang No. 1/2011 ini belum mampu
diimplementasikan secara optimal, sebab masih terdapat berbagai perselisihan
kepentingan di antara aktor-aktor yang terkena dampak dari implementasi
kebijakan ini. Berbeda dengan berbagai penelitian terhadap implementasi
kebijakan yang cenderung hanya meninjau aspek-aspek prosedural dan
administratif pada level tertentu, penelitian ini berupaya mengurai faktor-faktor
sosiologis, terutama relasi sosial di antara aktor-aktor yang memiliki kepentingan
yang berbeda, sebagai pendukung atau pun penghambat proses implementasi
kebijakan ketenagakerjaan dalam multilevel: mikro, meso dan makro.
Karenanya, analisis penelitian ini dibagi dalam tiga persoalan: (1) proses
implementasi kebijakan; (2) faktor-faktor yang mendukung implementasi
kebijakan di level makro, meso dan mikro; dan (3) faktor-faktor yang
menghambat implementasi kebijakan di level makro, meso dan mikro. Dengan
begitu, penelitian ini diharapkan mampu meninjau proses implementasi kebijakan
ketenagakerjaan secara lebih komprehensif.
Berdasarkan temuan penelitian, terdapat dua faktor yang mendukung
proses implementasi Pasal 25 Perda Karawang No. 1/2011: (1) beberapa aspek
dalam lingkungan eksternal (makro), seperti perkembangan pasar otomotif dan
usaha garmen; (2) kerja sama stakeholders, seperti perusahaan Yahama dan
Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Sementara di level mikro tidak ditemukan
faktor pendukung proses implementasi. Namun, kedua faktor pendukung tersebut
lebih bersifat kondisional, sehingga sulit diterapkan pada sektor-sektor lainnya.
Sedangkan faktor-faktor penghambat proses implementasi justru lebih
banyak ditemukan di semua level, baik makro, meso maupun mikro. Di level
makro atau struktural, ditemukan tiga faktor penghambat, yaitu: (1) ketidakjelasan
rancangan kebijakan; (2) membludaknya pencari kerja baru dan minimnya
lapangan kerja; (3) minimnya anggaran. Di level meso, ditemukan dua faktor
penghambat, yaitu: (1) lemahnya sistem dan budaya organisasi; (2) resistensi
stakeholders. Sedangkan di level mikro, ditemukan dua faktor penghambat: (1) lemahnya SDM lokal; (2) kepentingan pribadi. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa proses implementasi Pasal 25 Perda Karawang No. 1/2011
masih belum diimplementasikan secara optimal berdasarkan banyaknya faktorfaktor
penghambat yang tidak mampu diatasi oleh Pemerintah Daerah Karawang.

ABSTRACT
The Industry development in Karawang, which is initially expected to
absorb many local workers, in fact indirectly influences the losing of the job
opportunity and the high rate of the local unemployment. This unemployment
case forces the attempt to design the employment policy,Pasal 25 Perda
Karawang No. 1/2011 about Formation of the Local Workers, which tend to
sustain the local employment. This policy aims to be an affirmative action to insist
the distributed job opportunity for the local unemployment which is exclusive in
the industry field.
However, the Pasal 25 Perda Karawang No. 1/2011 has not implemented
optimally yet, since there are still various conflict of interests among the actors
affected by this implementationpolicy. Having some differences from some other
various studies discussing the policy implementation which tend to observe the
procedural and administrative aspects in a certain level, this study seek to
elaborate the sociological factors, particularly social relations among the actors
having the different interests, as a support or hindrance of the implementation of
the employmentpolicy in multilevel: micro, medium, and macro.
Due to such considerations, the analysis of this study is divided into three
matters: (1) the process of policy implementation; (2) the sustainingfactors of the
policy implementation in the levels of macro, medium, and micro; and (3) the
intervening factors of the policy implementation in the levels of macro, medium,
and micro. This study is, therefore, expected to provide the more comprehensive
investigation toward the implementation of employment policy.
The findings reveal that there are two factors sustaining the
implementation process of Pasal 25 Perda Karawang No. 1/2011: (1) several
aspects in the external situation (macro), for instance the development of
automotive and garment industries; (2) cooperation of stakeholders, such as
Yamaha company and Resident Civil Organization/Organisasi Masyarakat Sipil
(OMS). Meanwhile, in the micro level, the sustaining factors of the
implementation process were not found. However, the two sustaining factors tend
to be conditional that these tend to be difficult to be implemented in other sectors. On the other hand, the intervening factors of the implementation process
are more frequently found in all levels, either in the levels of macro, medium, or
micro. In the macro or structural level, three intervening factors were found: (1)
the lack of clearance in the policy design; (2) the increasing number of the new
job seekers and the lack of work-field; (3) the lack of budgeting. In the medium
level, two intervening factors were found: (1) the weakness of system and culture
of organization; (2) stakeholders resistances. Meanwhile, in the micro level, two
intervening factors were found: the weakness of local human resources; (2)
personal interest. This study, therefore, arrives at a conclusion that
implementation process of Pasal 25 Perda Karawang No. 1/2011 is not
implemented optimally, based on the many intervening factors which cannot be
dealt with by The Region Government of Karawang.;The Industry development in Karawang, which is initially expected to
absorb many local workers, in fact indirectly influences the losing of the job
opportunity and the high rate of the local unemployment. This unemployment
case forces the attempt to design the employment policy,Pasal 25 Perda
Karawang No. 1/2011 about Formation of the Local Workers, which tend to
sustain the local employment. This policy aims to be an affirmative action to insist
the distributed job opportunity for the local unemployment which is exclusive in
the industry field.
However, the Pasal 25 Perda Karawang No. 1/2011 has not implemented
optimally yet, since there are still various conflict of interests among the actors
affected by this implementationpolicy. Having some differences from some other
various studies discussing the policy implementation which tend to observe the
procedural and administrative aspects in a certain level, this study seek to
elaborate the sociological factors, particularly social relations among the actors
having the different interests, as a support or hindrance of the implementation of
the employmentpolicy in multilevel: micro, medium, and macro.
Due to such considerations, the analysis of this study is divided into three
matters: (1) the process of policy implementation; (2) the sustainingfactors of the
policy implementation in the levels of macro, medium, and micro; and (3) the
intervening factors of the policy implementation in the levels of macro, medium,
and micro. This study is, therefore, expected to provide the more comprehensive
investigation toward the implementation of employment policy.
The findings reveal that there are two factors sustaining the
implementation process of Pasal 25 Perda Karawang No. 1/2011: (1) several
aspects in the external situation (macro), for instance the development of
automotive and garment industries; (2) cooperation of stakeholders, such as
Yamaha company and Resident Civil Organization/Organisasi Masyarakat Sipil
(OMS). Meanwhile, in the micro level, the sustaining factors of the
implementation process were not found. However, the two sustaining factors tend
to be conditional that these tend to be difficult to be implemented in other sectors. On the other hand, the intervening factors of the implementation process
are more frequently found in all levels, either in the levels of macro, medium, or
micro. In the macro or structural level, three intervening factors were found: (1)
the lack of clearance in the policy design; (2) the increasing number of the new
job seekers and the lack of work-field; (3) the lack of budgeting. In the medium
level, two intervening factors were found: (1) the weakness of system and culture
of organization; (2) stakeholders resistances. Meanwhile, in the micro level, two
intervening factors were found: the weakness of local human resources; (2)
personal interest. This study, therefore, arrives at a conclusion that
implementation process of Pasal 25 Perda Karawang No. 1/2011 is not
implemented optimally, based on the many intervening factors which cannot be
dealt with by The Region Government of Karawang.;The Industry development in Karawang, which is initially expected to
absorb many local workers, in fact indirectly influences the losing of the job
opportunity and the high rate of the local unemployment. This unemployment
case forces the attempt to design the employment policy,Pasal 25 Perda
Karawang No. 1/2011 about Formation of the Local Workers, which tend to
sustain the local employment. This policy aims to be an affirmative action to insist
the distributed job opportunity for the local unemployment which is exclusive in
the industry field.
However, the Pasal 25 Perda Karawang No. 1/2011 has not implemented
optimally yet, since there are still various conflict of interests among the actors
affected by this implementationpolicy. Having some differences from some other
various studies discussing the policy implementation which tend to observe the
procedural and administrative aspects in a certain level, this study seek to
elaborate the sociological factors, particularly social relations among the actors
having the different interests, as a support or hindrance of the implementation of
the employmentpolicy in multilevel: micro, medium, and macro.
Due to such considerations, the analysis of this study is divided into three
matters: (1) the process of policy implementation; (2) the sustainingfactors of the
policy implementation in the levels of macro, medium, and micro; and (3) the
intervening factors of the policy implementation in the levels of macro, medium,
and micro. This study is, therefore, expected to provide the more comprehensive
investigation toward the implementation of employment policy.
The findings reveal that there are two factors sustaining the
implementation process of Pasal 25 Perda Karawang No. 1/2011: (1) several
aspects in the external situation (macro), for instance the development of
automotive and garment industries; (2) cooperation of stakeholders, such as
Yamaha company and Resident Civil Organization/Organisasi Masyarakat Sipil
(OMS). Meanwhile, in the micro level, the sustaining factors of the
implementation process were not found. However, the two sustaining factors tend
to be conditional that these tend to be difficult to be implemented in other sectors. On the other hand, the intervening factors of the implementation process
are more frequently found in all levels, either in the levels of macro, medium, or
micro. In the macro or structural level, three intervening factors were found: (1)
the lack of clearance in the policy design; (2) the increasing number of the new
job seekers and the lack of work-field; (3) the lack of budgeting. In the medium
level, two intervening factors were found: (1) the weakness of system and culture
of organization; (2) stakeholders resistances. Meanwhile, in the micro level, two
intervening factors were found: the weakness of local human resources; (2)
personal interest. This study, therefore, arrives at a conclusion that
implementation process of Pasal 25 Perda Karawang No. 1/2011 is not
implemented optimally, based on the many intervening factors which cannot be
dealt with by The Region Government of Karawang., The Industry development in Karawang, which is initially expected to
absorb many local workers, in fact indirectly influences the losing of the job
opportunity and the high rate of the local unemployment. This unemployment
case forces the attempt to design the employment policy,Pasal 25 Perda
Karawang No. 1/2011 about Formation of the Local Workers, which tend to
sustain the local employment. This policy aims to be an affirmative action to insist
the distributed job opportunity for the local unemployment which is exclusive in
the industry field.
However, the Pasal 25 Perda Karawang No. 1/2011 has not implemented
optimally yet, since there are still various conflict of interests among the actors
affected by this implementationpolicy. Having some differences from some other
various studies discussing the policy implementation which tend to observe the
procedural and administrative aspects in a certain level, this study seek to
elaborate the sociological factors, particularly social relations among the actors
having the different interests, as a support or hindrance of the implementation of
the employmentpolicy in multilevel: micro, medium, and macro.
Due to such considerations, the analysis of this study is divided into three
matters: (1) the process of policy implementation; (2) the sustainingfactors of the
policy implementation in the levels of macro, medium, and micro; and (3) the
intervening factors of the policy implementation in the levels of macro, medium,
and micro. This study is, therefore, expected to provide the more comprehensive
investigation toward the implementation of employment policy.
The findings reveal that there are two factors sustaining the
implementation process of Pasal 25 Perda Karawang No. 1/2011: (1) several
aspects in the external situation (macro), for instance the development of
automotive and garment industries; (2) cooperation of stakeholders, such as
Yamaha company and Resident Civil Organization/Organisasi Masyarakat Sipil
(OMS). Meanwhile, in the micro level, the sustaining factors of the
implementation process were not found. However, the two sustaining factors tend
to be conditional that these tend to be difficult to be implemented in other sectors. On the other hand, the intervening factors of the implementation process
are more frequently found in all levels, either in the levels of macro, medium, or
micro. In the macro or structural level, three intervening factors were found: (1)
the lack of clearance in the policy design; (2) the increasing number of the new
job seekers and the lack of work-field; (3) the lack of budgeting. In the medium
level, two intervening factors were found: (1) the weakness of system and culture
of organization; (2) stakeholders resistances. Meanwhile, in the micro level, two
intervening factors were found: the weakness of local human resources; (2)
personal interest. This study, therefore, arrives at a conclusion that
implementation process of Pasal 25 Perda Karawang No. 1/2011 is not
implemented optimally, based on the many intervening factors which cannot be
dealt with by The Region Government of Karawang.]"
2015
T43232
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edhi Prasetyo
"Tesis ini membahas tentang pengecualian koperasi yang secara khusus bertujuan melayani anggotanya berdasarkan UU Persaingan Usaha yaitu: Pertama, alasan koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya dikecualikan berdasarkan Pasal 50 Huruf i UU Persaingan Usaha, Kedua, bagaimana penerapan pengecualian Pasal 50 Huruf i UU Persaingan Usaha dalam penanganan perkara di KPPU. Pengecualian terhadap koperasi dalam UU Persaingan Usaha lebih menitikberatkan pada bentuk usahanya yang khusus dan kegiatan usaha yang dilakukan oleh koperasi. Selama pelayanan atau kegiatan usahanya hanya dilakukan atau ditujukan kepada anggotanya maka koperasi dikecualikan dari UU Persaingan Usaha. Penerapan pengecualian Pasal 50 Huruf i UU Persaingan Usaha dalam penanganan perkara di KPPU digunakan pada perkara Nomor 20/KPPU-I/2009, dengan salah satu Terlapornya adalah Primer Koperasi Angkatan Laut Surabaya. Dalam putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, putusan Pengadilan Negeri sampai dengan putusan Mahkamah Agung, koperasi dalam perkara ini tidak dikecualikan dalam UU Persaingan Usaha karena dalam kegiatannya koperasi ini melakukan kegiatan usaha tidak hanya ditujukan kepada anggotanya saja, namun juga terhadap pihak ketiga. Dengan demikian, pengecualian koperasi yang diatur dalam Pasal 50 huruf i UU Persaingan Usaha bukanlah merupakan pengecualian yang bersifat mutlak, namun terdapat batasan/persyaratan yakni hanya semata-mata untuk melayani anggota dan untuk kesejahteraan anggotanya saja.

This thesis discusses the exemption of cooperatives that specifically aims to serve its members by Competition Law, First, the reason of cooperatives that specifically aims to serve its members are exempt under Article 50 Letter i Competition Law, Second, how the application of the exemption in Article 50 Letter i Competition Law effort in handling cases in the Commission for Supervision of Business Competition (KPPU). Exemptions to cooperatives in the Competition Law is more focused on the specific form of its business and operations conducted by the cooperative. During the service or its activities are only carried out or addressed to the members, the cooperatives are exempt from Competition Law. The implementation of the exemption of Article 50 Letter i Competition Law in handling cases in Commission for Supervision of Business Competition used in case No. 20/KPPU-I/2009, with one of the Defendant is Primer Koperasi Angkatan Laut Surabaya. In the Commission for Supervision of Business Competition?s Judgment, the Judgment of the District Court as well as the Supreme Court Judgment, the cooperative in this case is not excluded under Competition Law because the activities of the cooperative business activities not only addressed to members only, but also to third parties. Thus, cooperative exemption set out in Article 50 Letter i Competition Law is not an absolute exemption, but there are restrictions/requirements that merely to serve the members and for the welfare of their members.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43037
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Alexander
"Tujuan penelitian ini untuk menginvestigasi, mengeksplorasi, dan menganalisis pengaruh antara perpajakan terhadap ketimpangan pendapatan untuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN untuk periode 1998-2019 dengan model data panel. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik estimasi two stage least square (2SLS) dengan fixed effect dan variabel instrumen. Instrumen perpajakan dibagi menjadi dua, volume pajak yang diwakili oleh tax ratio dan struktur pajak yang diwakili oleh pajak langsung, pajak tidak langsung dan pajak penghasilan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa instrumen pajak yang mempunyai peran untuk mengurangi ketimpangan pendapatan adalah tax ratio, pajak langsung dan pajak penghasilan.

The purpose of this study is to investigate, explore, and analyze the effect of taxation on income inequality for countries in the Southeast Asian region that are members of ASEAN for the period 1998 to 2019 with a panel data model. The method used in this study is a two-stage least square (2SLS) estimation technique with fixed effects and instrumental variables. The tax instrument is divided into two, the volume of taxes represented by the tax ratio and the tax structure defined by direct taxes, indirect taxes and income taxes. The results of this study indicate that tax instruments that have a role in reducing income inequality are the tax ratio, direct tax and income tax."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Maury Surya Wardhana
"Krisis Ekonomi yang terjadi di kawasan Asia yang dimulai dengan kejatuhan mata uang Bath Thailand, juga menimpa Indonesia dan Korea Selatan. Rupiah dan Won terpuruk nilainya yang mengakibatkan negara ini terancam akan mengalami kebangkrutan akibat desakan hutang-hutang jangka pendek yang harus segera dilunasi yang diketahui semuanya dalam denominasi dollar Amerika Serikat. Maka tidak lain kedua negara meminta IMF yang merupakan organisasi keuangan internasional untuk membantu kesulitan finansial dalam negeri kedua negara.
IMF sebagai lembaga keuangan internasional yang memberikan bantuan likuiditas terhadap negara-negara anggota yang mengalami kesulitan sebagaimana tertuang dalam Artikel I mengenai peran dan fungsi lembaga ini, bersedia untuk membantu kedua negara. Tetapi terdapat perbedaan perilaku dalam cara-cara pemberian bantuan terhadap Indonesia. Indonesia yang tergolong sebagai negara berkembang dan juga termasuk dalam salah satu Highly Debt Country (Kelompok Negara Penghutang Besar) mendapat cairan dana hanya US$ 10 milyar itupun diberikan dalam waktu yang cukup lama semenjak komitmen IMF untuk memberikan bantuan ekonomi yang berjumlah US$ 43 milyar disepakati tahun 1998. Berbeda dengan Korea Selatan yang sebelumnya tergabung dalam OECD (Kelompok Negara-negara Kaya), IMF dengan mudahnya mengucurkan bantuannya, bahkan sejak tahun 1997 sejak Korea Selatan mulai terjerembab dalam krisis ekonomi, IMF dengan mudahnya mencairkan dana talangannya sebesar US$ 20 milyar. Sebagaimana diketahui penyebab krisis ekonomi yang dialami oleh kedua negara hampir serupa. Pertama, terlalu banyak arus modal jangka pendek dari luar negeri yang masuk ke dalam pasar domestik yang tidak dibarengi dengan pengawasan yang ketat dari pemerintah. Kedua, budaya dan etika bisnis yang sangat rentan terhadap iklim persaingan dalam pasar global, seperti masih kuatnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di kalangan pengusaha dan pejabat pemerintah.
Asumsi dasar yang digunakan adalah berdasarkan keberhasilan kedua negara untuk keluar dari krisis ekonomi. Maka bantuan ekonomi yang diberikan IMF untuk Indonesia dianggap tidak berjalan cukup efektif dibandingkan dengan bantuan ekonomi IMF untuk Korea Selatan. Hal ini dibuktikan dengan berhasilnya Korea Selatan untuk keluar dari krisis ekonomi terlebih dahulu dengan hasil pencapaian makro dan mikro ekonomi yang dianggap telah baik sejak akhir tahun 1998, dibandingkan dengan Indonesia yang sampai tahun 2000 saja indikator perekonomiannya tidak menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan.
Dalam penelitian ini sekurang-kurangnya ada dua variabel utama yang menjadi penyebab efektif tidaknya bantuan IMF terhadap Indonesia dan Korea Selatan. Pertama adalah variabel eksternal, yaitu variabel-variabel yang ada di dalam atau di luar IMF dimana kedua variabel tersebut dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap efektif tidaknya bantuan ekonomi IMF. Kedua, adalah variabel internal yaitu kondisi-kondisi sosioekonomi Indonesia dan Korea Selatan yang berpengaruh kepada efektif tidaknya bantuan ekonomi yang diberikan.
Terdapat dua variabel eksternal yaitu : pertama, adalah faktor-faktor internal IMF dalam hal ini proses terbentuknya pengambilan kebijakan IMF, dimana terjadi perumusan kebijakan paket bantuan ekonomi kepada negara-negara yang terkena krisis. Kedua adalah faktor-faktor eksternal IMF, yaitu adanya negara-negara besar (Amerika Serikat dan Jepang) yang mempengaruhi proses pengambilan kebijakan bantuan ekonomi IMF. Kedua variabel eksternal ini selanjutnya akan diukur secara kualitatif dengan menggunakan data-data sekunder.
Variabel internal merupakan variabel selanjutnya yang menjadi bagian dari proses analisis. Dalam variabel ini terdapat sekurang-kurangnya tiga variabel utama yaitu politik, ekonomi dan sosial. Kemudian dari ketiganya diambil satu sampai dengan empat indikator yang kemudian diukur secara kualitatif dengan menggunakan data-data sekunder. Selanjutnya secara metodologis kedua variabel akan digunakan untuk melihat tidak efektifnya bantuan ekonomi IMF di Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7569
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>