Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75140 dokumen yang sesuai dengan query
cover
A. Hamid S. Attamimi
Jakarta: Fakultas Hukum UI, 1991
342.05 HAM h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Secara formal perwakilan Indonesia bersifat bikameral karena terdiri atas DPR dan DPD, tetapi secara struktural bersifat trikameral karena terdiri atas MPR, DPR, DPD. Secara praktis parlemen Indonesia bersifat unikameral karena kekuasaan legislasi secara penuh ada di DPR."
JHUII 14:1 (2007)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Arifin Sari Surungalan
"Dalam peraturan perundang-undangan terdapat empat istilah yang bermaksud menguraikan fungsi DPR yaitu fungsi, wewenang, tugas, kekuasaan. Sebutan fungsi DPR terdapat dalam Pasal 32 beserta Penjelasannya dalam Undang-undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (LN 1969 No. 59, TLN No. 2915) sebagaimana telah tiga kali diubah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1975 (LN 1975 No. 39, TLN No. 3064), Undang-undang No, 2 Tahun 1985 (LN 1985 No.2, TLN No. 3282) dan Undang-undang No.5 Tahun 1995 (LN 1995 No. 36, TLN No. 3600). Pasal itu menguraikan bahwa fungsi DPR (selanjutnya disebut DPR saja) berdasarkan UUD 1945 adalah (1) membuat undang-undang bersama dengan Pemerintah, (2) menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama-sama Pemerintah, dan (3) mengadakan pengawasan terhadap kebijaksanaan Pemerintah. Kemudian DPR dalam Keputusannya No. 1O/DPR-RI/82-83 tanggal 26 Februari 1983 tentang Peraturan Tata Tertib yang masih beriaku sampai sekarang, menyebutnya tidak sebagai fungsi DPR tetapi sebagai wewenang dan tugas DPR. Tetapi UUD 1945 dalam Pasal 5 ayat (1) menggunakan istilah kekuasaan membentuk undang-undang. Jadi, empat istilah itu dianggap sinonim. Yang oleh undang-undang No. 16 dinamakan sebagai fungsi oleh DPR diubah menjadi wewenang dan tugas, sedangkan UUD 1945 sendiri menyebutnya sebagai kekuasaan. Menurut kamus pengertian fungsi tidaklah sama dengan wewenang, tugas atau kekuasaan.. Tidaklah mengherankan kalau dalam masyarakat baik dalam masyarakat umum maupun dalam masyarakat cendekiawan timbul kesimpangsiuran mengenai pengertian fungsi DPR ini."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
D407
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tig Eri Prabowo
"Skripsi ini membahas kedudukan dan fungsi DPR serta perbandingannya dengan DPD dan Presiden, dalam pembentukan undang-undang menurut UUD 1945. Penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis-normatif menggunakan studi kepustakaan eksploratoris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi legislasi Presiden berdasarkan pasal 5 ayat (1) UUD 1945, sedangkan dalam lembaga perwakilan Indonesia yang memiliki fungsi legislasi dalam membentuk rancangan undang-undang adalah DPR dan DPD berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 22D UUD 1945; perbandingan fungsi legislasi antara keduanya adalah dalam hal kewenangan, DPD dalam fungsi legislasinya hanyalah sebagai acuan, yang perannya dalam merancang suatu undang-undang tidak dapat mengawal proses terjadinya maupun menolak suatu undang-undang. Sistem pemerintahan dalam perspektif fungsi legislasi di Indonesia tidak menganut sistem bikameral dimana ada dua kamar yang memiliki kewenangan yang sama dalam hal legislasi.

The focus of this study is the status and function of the House of Representatives in the establishment of the law according to the Constitution. The purpose of this study is to compare between the House of Representatives, the House of Regional Representatives (the Senate) and the President in respective of their legislative functions. This research is a juridical normative-legal research using the explanatory library studies. The results showed that President’s legislative functions under Article 5 paragraph (1), whereas the representative institutions in Indonesia which has the function of legislation in the form of the Bill, are the House of Representatives and the House of Regional Representatives (the Senate) based on Article 20 paragraph (1) and Article 22D of the Constitution; comparison of legislative function between both Houses is in terms of their authority."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44781
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sayman Peten Sili
"Tema tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah sengaja diangkat oleh penulis, karena kedua lembaga pemerintahan di daerah ini sesungguhnya memegang peranan penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Berbicara tentang DPRD dan Kepala Daerah tentu tidak akan terlepas dari pembi.caraan mengenai otonomi daerah, begitu pula sebaliknya, berbicara tentang otonomi daerah tidak akan sempurna jika tidak dikaitkan dengan pembicaraan mengenai DPRD dan Kepala Daerah.
Hubungan antara kedua lembaga pemerintahan di daerah ini selalu bergeser dan mengalami pasang surut sepanjang sejarah pemerintahan daerah di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemerintahan daerah yang pernah berlaku di Indonesia, di mana dominasi antara kedua lembaga pemerintahan daerah ini saling bergantian, di mana DPRD pernah begitu dominan atas lembaga eksekutif di daerah, begitupun sebaliknya, lembaga eksekutif daerahpun pernah begitu dominan atas DPRD.
Penelitian ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa dengan beriakunya tindang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-uridang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan Kepala Daerah telah mengalami pergeseran. Lembaga perwakilan rakyat daerah yang pernah memiliki kedudukan yang sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, namun dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar dengan mengembalikan kedudukan DPRD pada keadaan di masa masih berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Pemerintahan di Daerah. Dalam Pasal 3 ayat (1) ini disebutkan bahwa "Pemerintah daerah adalah: a. pemerintah daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi, b. pemerintah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. Selanjutnya, dalam Pasal 40 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dikatakan bahwa DPRD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Di sini, penulis dapat mengatakan bahwa dengan adanya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, hak DPRD telah banyak yang dipangkas atau dipreteli.
D
alam kondisi seperti ini, dibutuhkan lembaga perwakilan rakyat di daerah yang memiliki kedudukan yang kuat dalam mewakili kepentingan rakyat di daerah. Kedudukan yang kuat ini, hanya dapat terlaksana apabila diimbangi dengan kedudukan kepala daerah yang kuat pula. Harapan ini kiranya dapat terpenuhi, apabila kedua lembaga pemerintaha di daerah ini sama-sama menyadari bahwa mereka adalah samasama memegang kedaulatan rakyat di daerah, karena sama-sama dipilih secara langsung melalui pemilihan (umum).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, ditemukan beberapa fakta sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan kepala daerah, seperti faktor pendidikan yang masih rendah dari anggota DPRD, faktor pengalaman sebagai anggota DPRD dan faktor rekruitmen awal yang dilakukan oleh partai politik, sementara di sisi lain pihak eksekutif memiliki sumber daya manusia (SDM) yang lebih baik.
Faktor-faktor tersebut akan sangat mempengaruhi pelaksanaan hubungan antara DPRD dengan kepala daerah sebagai wakil pihak eksekutif daerah, terlebih dalam pelaksanaan fungsi DPRD yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawaman atau fungsi kontrol, di mana dalam melaksanakan fungsi-fungsi tersebut DPRD akan selalu berhadapan dengan pihak eksekutif Dalam kedudukannya yang sama-sama sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah ini, perlu dikembangkan suatu etika yang dapat merefleksikan bahwa sesungguhnya antara kedua lembaga pemerintaha di daerah ini tidak ada yang paling dominan satu di antara yang lainnya, karena keduanya sama-sama bekerja untuk kepentingan rakyat.
Hubungan yang dibangun antara kedua lembaga pemerintahan di daerah ini secara realistik dapat dikembangkan dalam 3 (tiga) bentuk, antara lain: 1. bentuk komunikasi dan tukar menukar informasi; 2. bentuk kerjasama atas beberapa subyek, program, masalah dan pengembangan regulsai, dan 3.klarifikasi atas beberapa permasalahan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19130
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ambrosius Degei
Depok: Universitas Indonesia, 2004
S25162
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patrialis Akbar
Jakarta: Total Media, 2013
320.404 PAT h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Mashuri Maschab
Jakarta: Bina Aksara, 1983
342 MAS s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Maringan S.
"Tindak pidana perkosaan merupakan tindak pidana yang menimbulkan ketakutan tersendiri dalam masyarakat, terutama bagi perempuan dan anak-anak perempuan, sebab golongan perempuan dan anak perempuan ini yang kerap menjadi korban perkosaan. Hal ini dikarenakan posisi mereka yang lemah dan subordinat. Meski pelaku tindak pidana perkosaan diancam dengan pidana berat, namun fenomena yang terjadi justru terdapat peningkatan dari jenis kejahatan ini. Hukum sebagai pranata penegak keadilan, ternyata tidak dapat berfungsi. Penegakan hukum tidak hanya memerlukan kepastian hukum, tapi juga kesebandingan dan keadilan dalam porsi yang sama. Kesulitan pembuktian tindak pidana perkosaan menjadi permasalahan yang harus dicari jalan keluarnya. Asas unus testis nullus testis yang memiliki filosofi ‘guna menghindari fitnah’ bagi terdakwa, ternyata dalam pembuktian tindak pidana perkosaan telah mendiskualifikasikan perempuan dan anak perempuan sebagai korban perkosaan. Asas inilah yang dipegang teguh oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam pembuktian tindak pidana perkosaan. Belum lagi rumusan perkosaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia tidak sensitive gender, ini dapat dipahami mengingat dahulu hukum dibentuk bersandarkan pada perspektif kaum laki-laki, dimana perempuan kala itu tidak memiliki akses untuk menyuarakan kepentingannya. Ketimpangan jender ini berakibat fatal. Maka yang terjadi kepentingan perempuan dibentuk berdasarkan apa yang dianggap baik oleh kaum laki-laki, yang belum tentu dalam prakteknya menjadi baik bagi perempuan itu sendiri. Rumusan perkosaan dalam KUHP, tidak mengakomodir bentuk-bentuk perkosaan yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan perempuan tidak memiliki perisai untuk melindungi dirinya ataupun untuk menuntut pelaku atas apa yang terjadi pada dirinya. Selain rumusan dalam KUHP dan hukum acara dalam KUHAP, yang tak kalah penting adalah persepsi bias jender dalam alam pikiran aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasus perkosaan. Sesungguhnya, hal inilah yang patut dibenahi terlebih dahulu, karena peraturan apapun akan menjadi berbahaya bagi perempuan ketika diterapkan berdasarkan pandangan bias jender. Namun, tetap perlindungan perempuan dan pengakomodiran kepentingan perempuan dalam hukum juga harus dilakukan, sebab pranata hukum itulah yang kemudian menjadi senjata bagi aparat penegak hukum dan perempuan serta masyarakat untuk menegakkan hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S25443
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
POL 3(1-2) 2012 (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>