Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 73522 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hulsman, L.H.C.
Jakarta: Rajawali, 1984
345 HUL s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hulsman, L.H.C.
Jakarta: Rajawali, 1984
345 Hul s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sanusi Husein
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
T36429
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mudzakkir
"Korban kejahatan, setelah menjadi korban kejahatan, harus menghadapi suatu problem hukum yang krusiai yang menyebabkan dirinya mengalami viktlmlsasi sekunder (secondary victimization) karena adanya penolakan secara sistematis oleh sistem peradilan pidana. Sebagal pihak yang menderita dan dirugikan akibat pelanggaran hukum pidana yang sedang diperiksa, korban kejahatan tidak dillbatkan dalam proses peradilan pidana (atau out sidet), keouali hanya sebagai saksi, dan semua reaksi terhadap pelanggar dimonopoli oleh negara (polisi dan jaksa). Hubungan hukum antara korban kejahatan di satu pihak dengan pelanggar hukum pidana dan negara (polisi dan jaksa) di lain pihak tidak diatur secara jelas. Masalah posisi hukum korban ini menjadi problem hukum yang mendasar karena menyangkut keberadaannya dalam hukum pidana secara menyeluruh.
Disertasi ini mengkaji tentang posisi hukum korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana yang diatur dalam hukum positif (ius constitum) dan pengaturannya di masa datang (ius constituendum) melalui kajian peraturan perundang-undangan, yurisprudensi MARI, dan telaah pustaka serta dilengkapi dengan kajian hukum pidana Belanda sebagai contoh atau bahan analisis pengaturan korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana.
Nilai keadilan yang menjadi pangkal tolak pengaturan korban kejahatan dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana adalah keadilan retributif (retributive Justice) dan keadilan restoratif (restorative Justice). Kedua konsep Ini memiliki sejumlah perbedaan dalam memahami konsep dasar dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana dan posisi hukum korban. Sebagai elemen fiiosofis dari suatu sistem hukum (pidana) perbedaan ini adalah mendasar — atau perbedaan paradigmatik — yang mempengaruhi elemen substantif lainnya. Perkembangan pemikiran hukum pidana hingga sekarang menunjukkan adanya pergeseran perspektif dari retributive Justice kepada restorative Justice. Pengaturan korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana melalui pembaruan hukum pidana Tahun 1981 (UU. No. 8 Tahun 1981, tentang KUHAP) secara umum telah mengubah elemen filosofis dan asas-asas hukum sebagai landasan filosofis peraturan hukum dari undang-undang sebelumnya (HIR), tetapi sejauh mengenai pengaturan korban kejahatan perubahan tersebut tidak sampai mengubah elemen filosofis dan asas-asas hukumnya. Masuknya 'hak-hak korban kejahatan' dalam KUHAP tidak diperkuat oleh landasan filosofis dan teori hukum yang mengakibatkan korban kejahatan tetap tidak diakui eksistensi dan posisi hukumnya sebagai korban dari pelanggaran hukum pidana yang menjadi baglan dari hukum pidana. Kelemahan aspek pengaturan korban ini berlanjut dalam praktek hukum yakni tidak dikembangkannya metode penemuan hukum yang inovatif untuk mendukung keadilan bagi korban kejahatan. Yurisprudensi MARI cenderung mempersempit (restriksi) dalam melakukan penafsiran hukum tentang penegakan hak-hak korban. Sesuai dengan dasar falsafah Pancasila dan konsep hukum pengayoman, kebijakan pembaruan hukum pidana yang beroiientasi kepada korban kejahatan (victim oriented) yang bertitik-tolak pada keadilan restoratif (restorative justice) diperlukan sebagai kebljakan penyeimbang (balance) pembaruan hukum sebelumnya yang berorlentasi kepada peianggar (offender oriented), atau sebagai kebijakan yang parity bukan priority, dikuatkan oleh kenyataan praktek hukum sehari-hari (aspek empirik), perkembangan teori hukum pidana (aspek teoretik), ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan pokok serta kecenderungan masyarakat Internasional atau PBB (aspek yuridik/normatif). Keadilan restoratif (restorative Justice) dijadlkan kerangka dasar pengaturan korban kejahatan menuntut adanya perubahan pemahaman mengenal beberapa konsep dasar dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana, yaitu kejahatan atau pelanggaran hukum pidana adalah utamanya melanggar hak korban kejahatan, di samping melanggar kepentingan masyarakat dan negara; pengakuan eksistensi dan posisi hukum korban kejahatan; sistem peradilan pidana sebagai sistem penyelesalan konflik; dan restitusi dan kompensasi sebagai baglan dari hukum pidana dan pemidanaan. Strategi kebijakan terhadap korban kejahatan dilakukan; pertama, memberi perspektif baru (restorative Justice) dalam penyelenggaraan peradilan pidana tanpa campur tangan legislatif dan, kedua, kemudian mengubah peraturan hukum. Dalam penataan sistem peradllan pidana, pertama, mendampingkan penyelesaian perkara pidana menurut konsep restorative Justice dengan sistem peradilan yang berlaku sekarang sebagai sarana penyaring masuknya perkara ke pengadilan dan mencangkokkan restorative Justice ke dalam sistem peradllan pidana sekarang."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
D1783
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Mafia peradilan merupakan cap buruk yang melekat pada budaya kerja aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, penasehat hukum , serta petugas permasyarakatan) yang mengesampingkan tata cara penegakan hukum secara benar serta melakukan perbuatan-perbuatan yang memperjualbelikan keadilan. Walaupun belum merupakan jaringan terorganisasi dan dan memiliki aturan-aturan yang mengikat pelaku mafia sebagai sebuah organisasi kejahatan telah nyata terlihat. Apabila tidak ditanggulangi secara serius, maka mafia peradilan akan menjadi organisasi kejahatan yang menguasai lembaga peradilan yang bertugas memerangi kejahatan."
JMHUMY 7:2 (2000)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Soedjono Dirdjosisworo
Bandung: Armico, 1984
345.1 SOE f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Syaiful Bakhri
"Pidana denda adalah jenis pidana yang tergolong tua dalam pelaksanaannya di berbagai negara, dan secara umum bermula dari hubungan keperdataan, yakni berupa ganti kerugian, seterusnya ikut campurnya pemerintah dalam hal ganti kerugian itu. Dalam perkembangannya, sekurangnya ada empat fase sejarah pertumbuhannya yakni pada awal abad pertengahan hingga akhir abad pertengahan. Pada tahun 1600 sampai abad kedelapan belas dengan ditandai berkembangnya aliran klasik.
Perubahan pemikiran dalam hukum pidana diwarnai oleh berbagai aliran, terutama aliran klasik, aliran modern dan aliran kontrol sosial, dan perkembangan yang terakhir ini ialah, memandang hukum pidana sebagai suatu konsep pengendalian sosial. Sehubungan dengan tujuan dari pelaksanaan pemidanaan maka pidana penjara mendapatkan sorotan, terutama oleh gerakan Abolisionis yakni suatu gerakan yang berkeinginan untuk menghapuskan pidana penjara dengan suatu alternatif baru dari pidana perampasan kemerdekaan.
Salah satu alternatif perampasan kemerdekaan itu ialah penggunaan lebih maksimal dari pidana denda dengan tujuan pemidanaannya, melalui pemikiran atau prinsip menghukum menjadi membina dan menjadikan terpidana sebagai subjek dari manusia seutuhnya. Perkembangan pemikiran ini dibarengi pula oleh pembaharuan hukum pidana kita dewasa ini melalui serangkaian politik kriminal, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pelaksanaan dan sistem peradilan pidana Indonesia dewasa ini.
Kecenderungan dan perkembangan pidana denda mengalami kemajuan pesat, melalui serangkaian Undang-Undang di bidang Administratif dimana rumusan pidana dendanya sangat tinggi, hingga mencapai lima belas milyar rupiah, dalam Undang-Undang Pasar Modal. Namun demikian dalam hal penerapannya perlu mendapatkan perhatian, terutama dalam sistem penerapan serta batas waktu pembayaran denda, demikian pula mengenai tindakan paksaan serta pedoman atau kriteria penjatuhan pidana denda tersebut. Antisipasi terhadap ini, telah dilakukan oleh Tim Rancangan KUM Pidana dengan rumusan sistem pemidanaan melalui pedoman, yakni mencantumkan pidana mati sebagai pidana khusus dan lebih banyak menggunakan pidana denda dengan sistem kategori serta membatasi dan mengganti ancaman pidana jangka pendek dengan pidana denda."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tandigau, Rannu
"Pengorbanan bangsa Indonesia yang telah diraih untuk mencapai suatu kemerdekaan tidaklah mudah begitu saja, memerlukan rentan waktu yang sangat lama sampai mencapai kemerdekaan. Penegakan hukum yang terjadi selama ini dan sampai saat sekarang belum menunjukkan suatu kerja yang baik, akan tetapi masih jauh dari harapan dan hukum masih tertatih-tatih mengikuti keadaan yang seyogyanya diatur (het recht hink achter de feiten aan) namun sudah mulai nampak sedikit demi sedikit kinerja yang dilakukan oleh pemerintah sekarang ini karena tidaklah mudah untuk memperbaiki keadaan yang sudah sangat buruk, jadi diperlukan penahapan satu demi satu.
Institusi Kejaksaan sebagai lembaga negara di bawah eksekutif yang bertugas melakukan penuntutan mewakili negara, dalam hal ini seyogyanya hanya sebatas koordinasi dengan eksekutif bukan komando oleh eksekutif ini dilakukan agar fungsi penuntutan tetap independen, akuntabel, dan mandiri.
Hak oportunitas (asas oportunitas) yang dimiliki oleh Jaksa Agung berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. Bagian Kedua Khusus Pasal 35 huruf c, Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Kepentingan umum yang menyangkut kepada seluruh rakyat bukan sekelompok golongan saja, dan harus dikoordinasikan juga dengan lembaga-lembaga pemerintah yang terkait terhadap asas
ini.
Lokasi penelitian penulis yaitu di wilayah DKI Jakarta tepatnya di Kejaksaan Agung R.I, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Mahkamah Agung R.I., dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Janis data yang dikumpulkan yakni studi kepustakaan (library study) dan studi lapangan (field study)."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16423
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erlin Yuliastuti
"Kekayaan alam berupa hutan merupakan karunia dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang tak ternilai harganya. Oleh karenanya, hutan wajib diurus dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya berdasarkan akhlak mulia sebagai ibadah dan perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hutan banyak manfaatnya bagi kesinambungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Salah satu manfaat hutan secara langsung adalah menghasilkan kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Kayu tersebut ditebang dan kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat. Pemanfaatan kayu tersebut harus berdasarkan ijin dari Departemen Kehutanan.
Namun pada kenyataannya, banyak pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat sehingga menimbulkan kerusakan hutan yang salah satunya adalah perdagangan kayu ilegal. Tindak pidana perdagangan kayu ilegal sangat marak diIndonesia dan melibatkan banyak pelaku dan merupakan tindak pidana yang rapi dan teroganisasi. Hal mendasar yang menyebabkan sulitnya memberantas perdagangan kayu ilegal adalah karena perdagangan kayu ilegal adalah termasuk kategori "kejahatan teroganisasi". Kegiatan ini melibatkan banyak pelaku yang teroganisasi dalam suatu jaringan yang sangat solid, luas rentang kendalinya, kuat dan mapan. Oleh karena itu penegakan hukum perlu diwujudkan melalui sistem peradilan pidana. Proses penegakan hukum di bidang kehutanan khususnya terhadap pelaku perdagangan kayu ilegal dilakukan melalui suatu sistem yang dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system).
Sistem Peradilan Pidana terdiri dari komponen-komponen antara lain Kepolisian, PPNS Kehutanan, Kejaksaan, Kehakiman dan Lembaga Pemasyarakatan. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah mengatur pengelolaan hutan dan basil hutan dengan tujuan agar hutan dapat dikelola secara proporsional dan tidak mengurangi nilai kegunaannya. Dalam praktek penanganan kasus perdagangan kayu ilegal, proses penegakan hukum terhadap perdagangan kayu ilegal sangat lemah. Salah satu faktor lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan kayu ilegal ditandai dengan penanganan tindak pidana perdagangan kayu ilegal yang tidak integral (menyeluruh) karena pelaku intelektual yang berkaitan langsung seperti pemodal, pemesan, pengirim, pemalsu dokumen, saw mill yang berperan sebagai penghubung jarang sekali dipidana dan hanya orang-orang lapangan Baja yang dipidana.
Selain itu banyak faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan kayu ilegal sehingga hal tersebut menjadi kendala dalam penegakan hukum. Dalam penegakan hukum diperlukan sinkronisasi dalam sistem hukum yaitu sinkronisasi substansial, sinkronisasi struktural dan sinkronisasi kultural. Sistem dapat berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan jika semua sinkronisasi sistem hukum saling mendukung dan melengkapi. Dengan demikian penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan kayu ilegal dalam sistem peradilan pidana perlu didukung oleh sinkronisasi sistem hukum."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16617
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanafi Rachman
"Dalam penulisan tesis ini membahas mengenai penegakan hukum terhadap Tindak Perdagangan Orang. definisi Tindak Pidana Perdagangan Orang dewasa ini mengacu pada Protokol Palermo yang merupakan sebuah perjanjian internasional. Protokol tersebut merupakan sebuah perangkat hukum yang mengikat dan mewajibkan bagi semua negara yang meratifikasi atau menyetujuinya termasuk Indonesia. Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mendefinisikan perdagangan orang sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Hukum Acara Pidana yang digunakan pada penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang pada dasarnya adalah Hukum Acara sebagaimana ditentukan dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali mengenai ketentuan khusus mengenai alat bukti, pembuktian dan hak-hak korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
Dari hasil penelitian yang sifatnya yuridis normatif dan menggunakan metode pengumpulan data yang meliputi, penelitian pustaka melalui pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, serta teknik wawancara dengan para nara sumber diperoleh kesimpulan yaitu meskipun dalam Undang-undang 21 tahun 2007 diatur mengenai ketentuan pembuktian yang memuat 1 (satu) keterangan saksi saja sudah cukup apabila disertai dengan alat bukti lainya (pasal 30 Undang-undang 21 tahun 2007) tetapi para aparat penegak hukum dalam mengajukan perkaranya ke pengadilan masih menganut asas unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi) yang diatur secara tegas dalam hukum acara (KUHAP) pasal 185 ayat (2). Lebih lanjut, ketentuan mengenai hak korban untuk mendapatkan restitusi seringkali tidak diperhatikan oleh para penegak hukum kita karena lebih mengutamakan kepastian hukum dalam penyelesaian perkara daripada keadilan yang seharusnya didapatkan oleh korban atas penderitaanya yang menjadi objek perdagangan orang.

This thesis discussed the enforcement of the Acts of Trafficking in Persons. Definition of the Crime of Trafficking in Persons today refers to the Palermo Protocol is an international treaty. The Protocol is a legal instrument that binds and obliges all countries that ratified or acceded including Indonesia. An Act No. 21 of 2007 on the Eradication of Trafficking in Persons defines trafficking as an act of recruitment, transportation, shelter, transportation, transfer, or receipt of a person by threats of violence, the use of violence, kidnapping, abduction, fraud, deception, abuse of power or vulnerable position, trapping the debt or giving payments or benefits to achieve consent of a person having control over another person, whether committed in the country and between countries, for the purpose of exploitation or the cause of the exploited. Criminal law is used in law enforcement on the Crime of Trafficking in Persons is basically the Law of Procedure as defined in Law No. 8 of 1981 on the Book of Law Criminal Code (Criminal Code), except on special provisions concerning the evidence, proof and victims' rights as stipulated in Law No. 21 of 2007.
From the results of studies that are juridical and normative data collection methods that include, library research through the collection of primary legal materials, legal materials secondary, tertiary legal materials, and techniques of interviews with informants Although the conclusion that the Act 21 of 2007 set regarding the provision of evidence that includes one (1) witness is sufficient if accompanied by other evidence (section 30 of Act 21 of 2007) but the law enforcement agencies in submitting his case to the courts still adhere to the principle of Unus nullus testis testis (one witness is not a witness), which is set firmly in procedural law (Criminal Code) Article 185 paragraph (2). Furthermore, the provisions regarding the rights of victims to restitution often overlooked by law enforcement because they prefer the rule of law in the resolution of the case rather than justice that ought to be obtained by the victim for his suffering which is the object of trafficking in persons.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30369
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>