Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 68101 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1986
571.978 TUM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rossalyn Sandra Andrisa
"Latar belakang : Tumor ganas adneksa mata merupakan keganasan epitel yang berasal dari kelopak mata, konjungtiva dan kelenjar kelenjar yang berada pada jaringan tersebut. Tumor ini sebenarnya mempunyai prognosis baik bila diobati pada stadium dini.
Metode : Dilakukan studi historical cohort dengan survival analysis. Subyek adalah penderita tumor ganas adneksa mata yang berobat ke poliklinik subbagian Tumor Mata FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode 1 Januari 1996 sampai 31 Desember 2000 mendapat tindakan operasi. Analisis data menggunakan cara cox proportional hazard dan analisis life table menurut metode Kaplan-Meier.
Hasil : Dari 74 penderita tumor ganas adneksa mata didapat angka harapan hidup 74.24%. Penderita terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa (51.4%), karsinoma set basal (28.4%), adenokarsinoma (14.8%) dan melanoma maligna (5.4%). Metastasis memberikan resiko tertinggi terhadap kematian HR 51.69(9.72-274.76), kelompok tumor karsinoma sel skuarnosa - adenokarsinoma HR 4.91 (0.62-38.81), penderita mendapat tambahan radiasi HR 10.72(1.25-92.18), dan jenis operasi eksenterasi HR 7.63(1.59-36.48)
Kesimpulan : Faktor resiko yang berhubungan dengan kematian adalah metastasis, kelompok tumor karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma, dilakukan tindakan radiasi dan tindakan eksenterasi orbita.

Background : Malignant eye adnexa tumor originates from epithelium of eye lid, conjunctiva, and nodes of those tissues. The prognosis of this tumor is good if it is treated during the initial stadium.
Method : A historical cohort study was carried out with survival analysis. The subject of the study were patients with malignant eye adnexa tumor who went to Sub-division of Eye Tumor FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo from the period of January I, 1996 to December 31, 2000 and received surgical treatment. Data analysis used was cox proportional hazard and life table analysis with Kaplan Meier method.
Result : From 74 patients with malignant eye adnexa tumor we obtained a survival rate of 74.24%. Most of them suffer from squamous cell carcinoma (51.4%), basal cell carcinoma (28.4%), adenocarcinoma (14.8%) and melanoma maligna (5.4%). Metastasis contributes to a high risk of death HR 51.69 (9.72-274.76), squamous cell carcinoma - adenocarcinoma group type HR 4.91 (0.62-38.81), patients receiving additional radiation treatment HR 10.72 (1.25-92.18), and exenteration HR 7.63 (1.59-36.48).
Conclusion : The risk factor which causes death is metastasis, squamous cell carcinoma and adenocarcinoma group type, radiation treatment and exenteration of the orbit were done.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yusron Effendi
"Latar belakang dan tujuan: Pemeriksaan MRI standar terkadang sulit untuk membedakan tumor ganas dan jinak orbita karena karakteristik imaging yang nonspesifik, padahal biopsi pada lokasi tertentu seperti apeks orbita dan basis kranium periorbital sulit dilakukan dan memiliki risiko komplikasi yang tinggi sehingga klinisi memerlukan pemeriksaan MRI yang lebih spesifik untuk memperkirakan sifat tumor. Pada beberapa penelitian sebelumnya, nilai Apparent Diffusion Coefficient ADC baik menggunakan MRI 3Tesla T, 1,5T, dan gabungan keduanya, mampu membedakan tumor ganas dan jinak orbita, namun memiliki nilai ambang bervariasi. Penelitian ini bertujuan mencari rerata nilai ADC menggunakan MRI 1,5T pada kelompok tumor ganas dan jinak orbita serta mencari nilai ambang untuk membedakan keduanya.
Metode: Sebanyak 33 pasien tumor orbita yang telah menjalani pemeriksaan MRI orbita dengan kekuatan 1,5T dan mendapatkan nilai ADC tumor, dikelompokkan berdasarkan hasil histopatologis menjadi kelompok ganas dan jinak. Analisis statistik nilai ADC antara kelompok ganas dan jinak dilakukan menggunakan uji nonparametrik. Selanjutnya, penentuan nilai ambang optimal untuk membedakan tumor ganas dan jinak dilakukan menggunakan kurva receiver-operating characteristic ROC.
Hasil: Dari 33 sampel diperoleh 17 tumor ganas dan 16 tumor jinak. Hasil histopatologis mayoritas pada kelompok tumor ganas dan jinak masing-masing adalah limfoma 4/17 dan meningioma grade I 9/16. Median dan range nilai ADC pada kelompok tumor ganas adalah 0,8 0,6-2,1 10 minus;3 mm2/s yang berbeda bermakna dengan kelompok tumor jinak 1,1 0,8-2,6 10 minus;3 mm2/s p=0,001. Nilai ambang optimal ADC untuk membedakan tumor ganas dan jinak adalah 0,88 10 minus;3 mm2/s dengan perkiraan sensitivitas 76,5 dan spesifisitas 93,8.
Simpulan: Nilai ADC pada kelompok tumor ganas orbita lebih rendah dibandingkan tumor jinak dan bisa digunakan untuk memperkirakan karakteristik suatu tumor orbita.

Background and purpose: Differentiating between malignant and benign orbital tumor using standard MRI sometimes is difficult because of nonspecific imaging characteristics, meanwhile biopsy in certain area such as orbital apex and periorbital skull base is difficult to do with higher risk of complication so that ophthalmologist may need suggestion from MRI result to predict the characteristic of tumor. In previous studies, the Apparent Diffusion Coefficient ADC value using MRI 3Tesla T, 1,5T, and combination of both, are able to differentiate between them but with variable cut-off value. This study aims to find out the ADC value of malignant and benign orbital tumor using MRI 1,5T and calculate the optimum cut-off value to differentiate them.
Methods: Thirty-three patients with orbital tumor who has undergone MRI examination and get the ADC value of tumor are classified into malignant and benign group. ADC value between malignant and benign group is statistically analyzed using nonparametric test. The optimal cut off value between malignant and benign tumor is calculated receiver-operating characteristic ROC curve.
Results: Among all samples, 17 are malignant and 16 are benign. Majority of histopathological result in malignant group are lymphoma 4/17 while in benign group are meningioma grade I 9/16. The mean ADC value in malignant group 0,8 10 minus;3 mm2/s is significantly different from benign group 1,1 10 minus;3 mm2/s p=0,001. The optimum cut-off ADC value to differentiate between malignant and benign orbital tumor is 0,88 10 minus;3 mm2/s with prediction of sensitivity 76,5 and specificity 93,8.
Conclusion: ADC value in malignant orbital tumor is lower than benign tumor and it can be used to predict the characteristic of orbital tumor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Deny Irwan
"Sejak operasi kraniofaringioma pertama kali dilakukan oleh A.E.Halstead tahun 1908, selalu terjadi perdebatan di antara para ahli khususnya mengenai patologi dan terapi kraniofaringioma. Karena sifat tumor yang tumbuh secara lambat, maka dimungkinkan pengangkatan tumor secara total makroskopis. Posisi anatomisnya yang berdekatan dengan struktur penting, khususnya hipotalamus serta sifatnya yang menimbulkan perlekatan erat pada struktur tersebut, maka perlu hal tersebut menjadi pertimbangan sebelum melakukan tindakan pembedahan. Misalnya apakah akan dilakukan pengangkatan tumor secara total dengan kemungkinan terjadinya defisit neurologis pasca operasi atau dengan pengangkatan sebagian tumor dan dilanjutkan dengan terapi radiasi. Hasii akhir yang balk di antara semua metode yang pemah dicoba tetap saja masih menjadi perdebatan, meskipun beberapa penulis telah membuktikan bahwa pengangkatan tumor secara total mempunyai hasil akhir yang lebih balk dan angka rekurensi yang lebih rendah. Dengan berkembangnya teknik bedah mikro di bidang bedah saraf, maka dimungkinkan pengangkatan tumor kraniofaringioma secara total.
Setiap kraniofaringioma mempunyai kekhususan tersendiri terutama mengenai letak tumor terhadap struktur di sekitarnya serta konsistensi massa tumornya, sehingga teknik pendekatan dan jalur anatomis untuk tindakan operasinya juga memerlukan strategi yang berbeda-beda untuk setiap kraniofaringioma. Untuk itu diperlukan pengetahuan topografi dan anatomi bedah mikro yang balk. Operator harus mengenal dan dapat memperkirakan secara akurat posisi tumor terhadap hipotalamus, jaras optik, sistem ventrikel serta arteri karotis bahkan arteri basilaris beserta cabangcabangnya. Tanpa pengetahuan dasar anatomi mikro yang memadai, tidak mungkin seorang ahli bedah saraf dapat menjadi operator yang handal khususnya pada operasi kraniofaringioma, yang merupakan salah satu golongan tumor yang sulit memberikan hasil yang baik.
Yasargil' pads sebuah tulisannya menyebutkan bahwa dalam periode 22 tahun telah melakukan 144 operasi kraniofaringioma, dapat mengangkat seluruh tumor balk melalui sekali atau beberapa kali operasi. Setelah dilakukan evaluasi akhir disimpulkan bahwa tata laksana dengan pengangkatan tumor secara total mempunyai hasil akhir yang lebih baik.
Sedangkan Tomita melakukan pengangkatan total pada 27 kasus kraniofaringiorna pada anak. empat kasus diantaranya tidak dapat dilakukan pengangkatan secara total karena terdapat perlekatan yang hebat pada hipotalamus, letak khiasma yang pre fixed disertai bentuk tumor yang bilobus, letak khiasma terlalu post fixed dan terjadi episodic bradikardi setiap kali dicoba membebaskan perlekatan tumor dari hipotalamus.
Tim E Adamson I meneliti 104 spesimen dari 93 penderita kraniofaringioma dan menyebutkan bahwa tipe adamantinous yang 91-95 % massa tumor terdiri dari komponen kistik, mempunyai defisit neurologis visual pasca operasi yang lebih rendah dibanding dengan tipe skuamous papilari Hanya hal tersebut tidak diteliti lebih lanjut apakah hasil yang lebih baik tersebut dikarenakan sifat tumornya yang mempunyai komponen terbanyak berbentuk kistik yang lebih mudah diangkat pada waktu operasi.
Penelitian ini mencoba melihat gambaran klinis pasien dengan kraniofaringioma sebelum dan sesudah operasi dalam kaitannya dengan ukuran tumor. Parameter keberhasilan pengangkatan tumor tersebut dibagi dalam pengangkatan sub total dan total. Dilakukan beberapa tabulasi silang untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut, antara Iain konsistensi tumor ( kistik dan solid ), massa kalsifikasi, teknik pendekatan operasi, dan sebagainya, mempengaruhi kesulitan pengangkatan tumor selama operasi. Walaupun tentunya disadari bahwa masih banyak faktor di luar hal tersebut yang mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan operasi, misalnya penguasaan pengetahuan dan teknik operasi, dukungan neuro anestesi dan perawatan paska operasi yang tidak dapat dideskripsikan dalam penelitian. Sampai saat ini belum ada yg menulis aspek Minis kraniofaringioma dengan tinjauan khusus pada penurunan visus di Bagian Bedah Saraf RSUPN Ciptomangunkusumo."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Hermani
Jakarta: UI-Press, 2007
PGB 0194
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Florinda Ilona
"Latar belakang: Frekuensi tumor ovarium serosum ganas menempati urutan tertinggi dari seluruh keganasan ovarium di dunia barat 80-85 , sesuai dengan arsip Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia FKUI /Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM selama 10 tahun 2004-2013 , sebanyak 200 kasus 21,4 dari seluruh keganasan ovarium. GLUT-1 dapat digunakan sebagai penanda perangai biologik tumor ovarium serosum. Tujuan penelitian ini membandingkan ekspresi GLUT-1 pada tumor ovarium serosum borderline dan ganas serta faktor risiko.Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang. Sampel terdiri atas 17 kasus untuk masing masing kelompok tumor ovarium serosum borderline dan ganas. Dilakukan pulasan GLUT-1 dengan penilaian berdasarkan intensitas dan jumlah sitoplasma dan/atau membran sel yang terpulas. Dilakukan penghitungan histoscore dan persentase setiap kasus dan dinilai ekspresi GLUT-1 berdasarkan titik potong kemudian dikelompokkan menjadi ekspresi rendah dan tinggi.Hasil: Pulasan GLUT-1 ekspresi rendah sama banyak dengan ekspresi tinggi. Sebagian besar kelompok tumor ovarium serosum borderline menunjukkan ekspresi rendah. Kelompok tumor ovarium serosum ganas sebagian besar menunjukkan ekspresi tinggi. Perbedaan ekspresi GLUT-1 antara tumor ovarium serosum borderline dan ganas, secara statistik bermakna p

Background The frequency of serous malignant tumors of ovary occupies the highest order of all ovarian malignancies in the western world 80 85 , in accordance with Department of Anatomical Pathology, Faculty of Medicine University of Indonesia Cipto Mangunkusumo hospital datas, for 10 years 2004 2013 , as many as 200 cases 21.4 of all ovarian malignancies. GLUT 1 can be used as a marker in differentiating biological behaviour of serous ovarian tumor. The aim of the study was to compare expression of GLUT 1 in serous borderline and malignant tumours of the ovary. Methods This was cross sectional study. Sample consists of 17 cases for each group, serous borderline and malignant tumor of ovary, stained with GLUT 1 antibody. Quantification was based on the intensity and distribution of cytoplasm and or cell membrane. The appraisal was done with estimating histoscore and percentage of each case. Calculation result was assessed by GLUT 1 expression, based on the point of intersection and then grouped into low and high expression. Result The GLUT 1 low expression results are equal with high expression. Low grade expression found in majority cases of serous borderline ovarian tumors group. Groups of serous malignant ovarian tumors largely exhibit high expression. These differences in Glut 1 expression among the borderline and malignant cases, are statistically significant p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuyun Yueniwati PW
"buku ini membahas tentang bahaya tumor otak dan peranan pencitraan dalam otak."
Malang: Universitas Brawijaya Press, 2017
616.99 YUY p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Putra Yudhistira Pratama
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kenneth Gad Liempy
"Latar belakang: Core biopsy transtorakal merupakan metode biopsi tumor intratorakal yang digunakan untuk mendapatkan sampel histopatologi demi menentukan penatalaksanaan. Core biopsy dipandu gambar pindaian CT toraks di ruang operasi dilakukan terutama bagi pasien yang tidak mampu berbaring, namun belum ada studi akurasi diagnostik baik di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui akurasi diagnostik core biopsy transtorakal dipandu gambar pindaian CT toraks di ruang operasi untuk tumor intratorakal.
Metode: Uji diagnostik dengan studi potong lintang pada semua pasien yang menjalani core biopsy transtorakal di ruang operasi di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan sejak Januari 2016-Desember 2019. Tindakan dipandu gambar pindaian CT toraks, menggunakan jarum core 18G, hasil dikelompokan menjadi ganas, jinak, dan non-diagnostik. Nilai sensitivitas, spesifisitas, akurasi, nilai duga positif, dan nilai duga negatif sebagai luaran untuk menilai akurasi diagnostik.
Hasil: Penelitian melibatkan 105 subjek dengan hasil akurasi diagnostik 86,7%, sensitivitas 83,1%, spesifisitas 100%, nilai duga positif 100%, nilai duga negatif 71% dalam mendiagnosis keganasan tumor intratorakal. Komplikasi pneumotoraks 4,8%, hemotoraks 1%, tidak ada hemoptisis maupun mortalitas.
Kesimpulan: Core biopsy transtorakal dipandu gambar pindaian CT toraks di ruang operasi memperlihatkan akurasi diagnostik 86,7% pada tumor intratorakal dan relatif aman.

Background: Transthoracic needle core biopsy is one of biopsy method of intrathoracic tumors to gain histopathology sample for treatment decision. We performed CT image-guided transthoracic core biopsy in operation theatre for patient who are not able to/tolerate lie down position. Unfortunately, there are still no diagnostic accuracy study in Indonesia.
Objective: to aim diagnostic accuracy of CT image-guided transthoracic needle core biopsy in operating theatre for intrathoracic tumors.
Methods: All patients underwent CT image-guided transthoracic needle core biopsy since January 201-December 2019 are review retrospectively. Eighteen gauge automated core devices were used, and guided by CT image, core biopsy results were divide in to malignant, non-malignant, and non-diagnostic. Sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, and accuracy are main outcome to describe diagnostic accuracies.
Results: This study enrolled 105 subjects which had sensitivity of 83,1%, specificity of 100%, positive predictive value of 100%, negative predictive value of 71%, and diagnostic accuracy of 86,7% for intrathoracic malignancies. Complications of pneumothorax are 4,8% and hemothorax are 1%. No mortality was reported.
Conclusion: CT image-guided transthoracic needle core biopsy in operating theatre for intrathoracic tumors had 86,7% of diagnostic accuracy, and a relatively safe procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asih Maratani
"Latar belakang: Pengukuran tumor primer karsinoma nasofaring (KNF) belum rutin dikerjakan karena bentuknya yang ireguler dengan infiltrasi yang ekstensif pada jaringan sekitarnya. Pengukuran volume memiliki akurasi tinggi namun sulit dilakukan dan memerlukan waktu lama. Lebih lanjut, belum ada penelitian yang membandingkan antara teknik pengukuran bidimensional dengan volume tumor primer KNF di Indonesia.
Tujuan: Mendapatkan nilai korelasi ukuran bidimensional terhadap volume tumor primer KNF pada pemeriksaan Computed Tomography (CT) scan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan metode simple random sampling. Subjek penelitian berjumlah 50 pasien KNF yang menjalani pemeriksaan CT scan nasofaring di Departemen Radiologi FKUI/RSUPN CM. Penelitian dilakukan sejak Juni hingga September 2015. Pengukuran volume tumor primer nasofaring pada PACS INFINITT dilanjutkan dengan pengukuran bidimensional satu minggu kemudian.
Hasil: Uji korelasi Spearman antara ukuran bidimensional dengan volume KNF memperlihatkan nilai p<0,001 dan r=0,9, dengan formula regresi volume tumor primer = - 11,38 + (1,97 x ukuran bidimensional).
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif sangat kuat antara ukuran bidimensional dengan volume KNF.

Background: Primary tumour measurement of the nasopharyngeal carcinoma (NPC) has not been routinely performed because of its irregular shape and extensive infiltration to adjacent structures. Measuring the volume is highly accurate yet highly difficult and time-consuming. Moreover, there has not been comparison study between the bidimensional and volume measurement of the primary tumour of NPC done in Indonesia before.
Purpose: To obtain the correlation value of the bidimensional measurement to the volume of the primary tumour of NPC using the CT scan.
Method: This study used a cross-sectional design. Fifty subjects were chosen using simple random sampling from NPC patients that underwent nasopharyngeal CT scan at the Radiology Department of the Indonesia University's Faculty of Medicine/Cipto Mangunkusumo Hospital. This study was done from June until September 2015. NPC volume measurement was performed using PACS INFINITT, followed by the bidimensional measurement one week after.
Results: Spearman correlation test between bidimensional and volume measurement of NPC shows p value<0.001 and strength of correlation (r) = 0.9, with regression formula of the primary tumour volume = - 11.38 + (1.97 x bidimensional measurement).
Conclusion: There is a very strong positive correlation between bidimensional and volume measurement of NPC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>