Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4233 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Missouri: Saunders Elsevier, 2006
616.120 754 3 SAU
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Aulia Fanani
"Latar Belakang: Hipertrofi ventrikel kiri VKi merupakan adaptasi kardiak pada hipertensi dan meningkatkan risiko gagal jantung diastolik. Hipertrofi VKi sering ditemui pada gagal jantung diastolik, namun hubungan hipertrofi VKi dengan kapasitas fungsional dan parameter disfungsi diastolik masih kontroversi.
Tujuan: Menilai korelasi IMVKi dengan kapasitas fungsional, perubahan parameter diastolik, dan global longitudinal strain GLS pada pasien hipertensi laki-laki asimptomatik dengan hipertrofi VKi.
Metode: Pasien hipertensi laki-laki asimptomatik dengan IMVKi>115 gr/m2 tanpa masalah koroner, aritmia, penyakit jantung bawaan, dan penyakit jantung katup masuk kriteria studi. Uji latih ergocycle menggunakan protokol ramp. Akuisisi IMVKi pada awal uji dan pengukuran parameter diastolik E/A, E/e rsquo;, IVRT dan GLS pre dan puncak uji.
Hasil: Terdapat 41 subjek dengan usia 55 32-64 tahun. Median nilai IMVKi subjek 129 116-319 gr/m2, dengan rerata kapasitas fungsional 5,7 1 METs. parameter diastolik pre dan puncak uji latih beban tidak berbeda bermakna. Rerata GLS pre uji rendah namun berbeda bermakna pada puncak uji latih pre vs puncak: -15,4 vs 18,5 ; p

Backgrounds: Left Ventricular Hypertrophy LVH is an adaptation on hypertension and increases diastolic heart failure risk. LVH are common in diastolic heart failure. Prior studies showed various results on correlation Left ventricular mass index LVMI, with functional capacity and diastolic parameters.
Objectives: To assess correlations of LVMI with functional capacity, diastolic parameters changes, and global longitudinal strain GLS in male asymptomatic hypertensive patients with LVH.
Methods: Male asymptomatic hypertensive patients with LVMI 115 gr m2 without history of CAD, arrhythmia, congenital, and valvular heart disease are recruited. Stress test use ramp protocol. Initial LVMI is acquired, and diastolic parameters E A, E e, IVRT and GLS are acquired at pre and peak stress test.
Results: Forty one patients were recruited aged 55 32 64 years old. The median of LVMI was 129 gr m2 and mean functional capacity was 5,7 METs. Pre and peak stress test diastolic parameter values were insignificant. Pre stress test GLS mean was low but increased at peak pre vs peak 15,4 vs 18,5 p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charles Krisnanda
"Latar Belakang: Konfirmasi diagnosis gagal jantung dengan fraksi ejeksi terjaga (HFpEF) berdasarkan algoritma HFA-PEFF masih dirasa sulit untuk diaplikasikan karena terdapat komponen uji lanjutan berupa uji ekokardiografi dengan protokol uji latih beban dan hemodinamik secara invasif. Belum terdapat pemeriksaan untuk mengkonfirmasi diagnosis HFpEF secara lebih mudah dan terbukti secara klinis.
Tujuan: Mengevaluasi apakah pemeriksaan ekokardiografi melalui protokol uji angkat kaki secara aktif (AKA) dapat menjadi alternatif diagnostik uji ekokardiografi dengan protokol latih beban menggunakan ergocycle (ergocycle stress echo) dalam mengkonfirmasi diagnosis pada populasi suspek HFpEF berdasarkan algoritma HFA-PEFF.
Metode: Studi komparatif diagnostik yang mengevaluasi pasien suspek HFpEF berdasarkan algoritma HFA-PEFF dengan skor intermediate dan high. Pasien suspek HFpEF menjalani pemeriksaan ekokardiografi protokol uji AKA dan protokol uji latih beban menggunakan ergocycle (ergocycle stress echo) yang sesuai algoritma HFA-PEFF.
Hasil: Dari 66 pasien suspek HFpEF, terdapat 14 pasien (21%) dengan hasil ergocycle stress echo positif (average E/e' >=15). Dari 14 pasien, protokol ekokardiografi dengan uji AKA positif terhadap 8 pasien (57,1%). Sensitivitas dan spesifisitas ekokardiografi dengan protokol uji AKA bila dibandingkan dengan protokol ergocycle stress echo adalah 57,1% dan 100% secara berurutan. Area di bawah kurva receiver operating characteristic (ROC) adalah 0,96 (p<0,001). Didapatkan tiga nilai potong untuk average E/e’ (>=15, >12,8 dan >12,2) pada protokol uji AKA yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 57,1% dan 100%; 85,7% dan 88,5; dan 100% dan 84,6% secara berurutan.
Kesimpulan: Pemeriksaan ekokardiografi dengan protokol uji AKA dapat menjadi alternatif diagnostik ekokardiografi dengan protokol ergocycle stress echo dalam mengkonfirmasi diagnosis pada pasien suspek HFpEF dengan skorintermediate dan high berdasarkan algoritma HFA-PEFF.

Background: Confirmation of heart failure with preserved ejection fraction (HFpEF) diagnosis based on the ESC HFA-PEFF algorithm is still difficult to apply because further tests are needed through echocardiography stress test and invasive hemodynamic test. There are currently no clinically proven and less complex tests to confirm the diagnosis of HFpEF.
Objective: To evaluate whether echocardiography through the active leg raise (ALR) protocol can become an alternative diagnostic test to ergocycle stress echocardiography protocol (ergocycle stress echo) in confirming the diagnosis of suspected HFpEF patients based on HFA-PEFF algorithm.
Methods: This is a comparative diagnostic study that evaluated patients with HFA-PEFF algorithm suspected HFpEF patients (intermediate and high scores). Suspected HFpEF patients underwent echocardiographic examination through the ALR protocol and ergocycle stress echo according to the HFA-PEFF algorithm.
Results: Of the 66 patients with suspected HFpEF included in the study, 14 patients (21%) had positive ergocycle stress echo results (average E/e' >=15). Of the 14 patients, the echocardiography protocol with the ALR was positive for 8 patients (57.1%). The sensitivity and specificity of echocardiography with the ALR when compared with the ergocycle stress echo protocol were 57.1% (95%CI 28.9% - 82.3%) and 100% (95%CI 93.2% - 100%), respectively. The area under the receiver operating characteristic (ROC) curve is 0.96 (p<0.001). Three cutoff values for the average E/e' >=15, >12.8 and >12.2 in the ALR protocol ​​were proposed which had a sensitivity and specificity of 57.1% and 100%; 85.7% and 88.5%; and 100% and 84.6%, respectively.
Conclusion: Echocardiography with the ALR protocol may become an alternative to ergocycle stress echocardiography in diagnosis confirmation of suspected HFpEF patients with intermediate and high scores based on the HFA-PEFF algorithm.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ngantung, Robert Noldy
"Latar Belakang: Jaringan adiposa epikardial (JAE) sebagai jaringan adiposa visera penting peranannya dalam proses aterosklerosis di arteri koroner. Studi sebelumnya menunjukkan ketebalan adiposa epikardial lebih besar pada pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK) Tujuan Mengetahui korelasi antara ketebalan adiposa epikardial dengan derajat stenosis arteri koroner pada pasien PJK stabil.
Metode: Dilakukan studi potong lintang pada tujuh puluh pasien PJK stabil yang menjalani angiografi koroner. Derajat stenosis arteri koroner dinilai dengan skor Gensini > 40 (berat) dan ≤ 40 (ringan-sedang). Ketebalan adiposa epikardial dinilai dengan ekokardiografi transtorakal pada fase sistolik akhir tampilan parasternal long axis.
Hasil: Nilai rerata ketebalan adiposa epikardial adalah 5,96 mm (SB 1,76) dan nilai median skor Gensini adalah 35,0 (kisaran 2-126). Analisis bivariat menunjukkan korelasi positif kuat yang bermakna (r = 0,768, p < 0,001). Nilai titik potong terbaik dari ketebalan adiposa epikardial yang memiliki nilai klinis berkaitan dengan derajat stenosis arteri koroner berdasarkan skor Gensini adalah 6,15 mm dengan sensitivitas 85,29%, spesifisitas 83,33%, nilai duga positif 82%, nilai duga negatif 85% dengan AUC sebesar 0,893 (IK 95% 0,814-0,971, p < 0,001).
Simpulan: Ketebalan adiposa epikardial berkorelasi signifikan dengan derajat stenosis arteri koroner berdasarkan skor Gensini. Ketebalan adiposa epikardial 6,15 mm memiliki kemampuan yang cukup baik untuk membedakan pasien PJK stabil ringan-sedang dan berat berdasarkan skor gensini.

Background: Epicardial adipose tissue (EAT) as part of visceral adipose tissue, has an integral role in the atherosclerotic cardiovascular disease. Previous studies have shown that EAT is thicker in those with coronary heart disease.
Objective: To determine the correlation of epicardial adipose thickness with the severity of coronary artery stenosis in stable coronary heart disease (CHD) patient.
Method: A cross-sectional study was conducted on seventy stable CHD patient undergoing coronary angiography. Severity of coronary artery stenosis was evaluated using Gensini scoring system : > 40 (severe) and ≤ 40 (mild-moderate). Epicardial adipose tissue was measured using transthoracic echocardiography at end-systole from parasternal longaxis view.
Results: Mean value of epicardial adipose thickness was 5,96 mm (SD 1,76) and median value of Gensini score was 35,0 (range 2-126). The correlation test showed a significant strong-positive correlation (r = 0,768, p < 0,001). The best cut-off point of epicardial adipose thickness which has a clinical value correlating to severity of coronary artery stenosis based on Gensini scoring system was 6,15 mm with the sensitivity 85,29 %, specificity 83,33%, positive predictive value 82 %, negative predictive value 85 % and AUC of 0,893 (CI 0,814-0,971, p < 0,001).
Conclusion: Epicardial fat thickness is significantly correlated to the severity of coronary artery stenosis based on Gensini scoring system. The thickness cutoff point of 6,15 mm has a good capability in discriminating mild-moderate dan severe stable CHD patient based on Gensini scoring system.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suprohaita
"Latar belakang: Penurunan curah jantung merupakan masalah yang penting dalam penatalaksanaan pasca-bedah jantung terbuka karena penurunan curah jantung ini meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Modalitas untuk pemantauan curah jantung bergeser dari invasif ke non-invasif. Alat ultrasonic cardiac output monitor (USCOM) dan ekokardiografi menjadi alat baru yang non-invasif. Bila dibandingkan dengan alat ekokardiografi yang membutuhkan keahlian khusus, alat USCOM dapat dijadikan alat pengukuran indeks curah jantung alternatif secara intermiten oleh tenaga medis terlatih.
Tujuan: Untuk mengetahui kesesuaian hasil pengukuran indeks curah jantung dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan pintasan jantung paru.
Metode: Studi potong lintang (cross sectional) pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan PJP dengan metode pengukuran simultan indeks curah jantung dengan alat USCOM dan ekokardiografi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dari bulan Juni-Juli 2014.
Hasil: Tiga belas pasien yang menjalani bedah jantung terbuka berhasil diukur dengan alat USCOM dan ekokardiografi secara simultan. Subyek terdiri atas 8 laki-laki dan 5 perempuan dengan median usia 3 tahun (1-12 tahun). Median berat badan, tinggi badan, dan luas permukaan tubuh berturut-turut 11 kg (5,5-29 kg), 82 cm (63-133 cm), dan 0,53 m2 (0,32- 0,98 m2). Diagnosis terbanyak berturut-turut adalah tetralogi Fallot (5 subyek), defek septum ventrikel (3 subyek), dan DORV (2 subyek). Pada analisis Bland-Altman indeks curah jantung yang diukur dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi didapatkan perbedaan rerata sebesar 0,115 L/menit/m2 (IK95% -0,536 hingga 0,766) dan batas kesesuaian -3,616 hingga 3,846 L/menit/m2. Hasil tambahan penelitian ini berupa perbedaan rerata indeks isi sekuncup 0,03 mL/m2 (IK95% -5,002 hingga 5,065) dan batas kesesuaian -28,822 hingga 28,885 mL/m2. Perbedaan rerata diameter LVOT -0,017 cm (IK95% -0,098 hingga 0,064) dan batas kesesuaian -0,285 hingga 0,251 cm. Perbedaan rerata nilai VTI didapatkan sebesar -2,991 cm (IK95% -4,670 hingga -1,311) dan batas kesesuaian -12,616 hingga 6,635 cm.
Kesimpulan: Pengukuran indeks curah jantung dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan PJP didapatkan perbedaan rerata kedua pengukuran kecil dan batas kesesuaian 95% yang lebar. Pada pengukuran indeks curah jantung yang makin rendah, perbedaan atau selisih rerata semakin kecil dan memiliki kesesuaiannya lebih baik.

Background: Low cardiac output is important problem in post-open heart surgery management because this condition increase morbidity and mortality. Modality of cardiac output monitoring shifted from invasive to non-invasive. Ultrasonic cardiac output monitor (USCOM) and echocardiography are new non-invasive tools. Echocardiography needs special skill, but USCOM can used by trained user because of fast learning curve of skill.
Objectives: To determine the agreement of cardiac index measurement by USCOM and echocardiography in children after open heart surgery with cardiopulmonary bypass.
Methods: Cross sectional study using simultaneous measurement of cardiac index by USCOM and echocardiography on post-open heart surgery patient in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, from Juni-Juli 2014.
Results: Thirteen post-open heart surgery of pediatric patient were enrolled (8 male and 5 female, median of age 3 years old (1-12 years old). Median of body weight, height, and body surface area respectively were 11 kg (5,5-29 kg), 82 cm (63-133 cm), dan 0,53 m2 (0,32-0,98 m2). Diagnosis of patient were tetralogi Fallot (5 subject), ventricular septal defect (3 subject), dan double outlet right ventricle (2 subject). This study using Bland-Altman analysis of cardiac index measurement by USCOM and echocardiography. Mean bias was 0,115 L/minute/m2 (95%CI -0,536 to 0,766) and limit of agreement was -3,616 to 3,846 L/minute/m2. Secondary outcome of this study was mean bias of stroke volume index 0,03 mL/m2 (95%CI -5,002 to 5,065) and limit of agreement was -28,822 to 28,885 mL/m2. Mean bias of LVOT diameter was -0,017 cm (95%CI -0,098 to 0,064) and limit of agreement was -0,285 to 0,251 cm. Mean bias of VTI was -2,991 cm (95%CI -4,670 to -1,311) and limit of agreement -12,616 to 6,635 cm.
Conclusion: Cardiac index measurement by USCOM and echocardiography in children after open heart surgery has narrow mean bias and wide limit of agreement. Mean bias was narrower and good agreement in patient with low cardiac index."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendro Darmawan
"Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai perubahan area katup mitral (AKM) dan respon hemodinamik dengan Doppler ekokardiografi (DE) pada stenosis katup mitral (SKM) yang dilakukan uji latih baring. Menilai perubahan gradien tekanan (MVPG) dan aliran katup mitral (MVF) dalam penerapannya terhadap rumus Gorlin. Perekaman dilakukan pada istirahat dan akhir uji latih. Penelitian dilakukan pada 20 penderita SKM (18 SKM murni dan 2 SKM+Insufisiensi katup mitral).
Parameter hemodinamik yang dinilai adalah AKM, dimensi atrium kiri, denyut jantung (DJ), curah jantung (CJ), isi sekuncup (IS); MVPG, MVF dan rasio ∆ MVPG/∆ MVF. Berdasarkan derajat stenosis penderita dibagi atas SKM ringan (AKM >1,5 cm2), SKM sedang (AKM 1-1,5 cm2) dan berat (AKM <1,0 cm2). Membuat korelasi AKM Doppler dengan kateterisasi, menilai perubahan AKM dengan uji latih dan menilai berbagai respon hemodinamik dengan AKM.
Ada 8 penderita yang mempunyai data kateterisasi. Penilaian AKM dari Doppler dengan kateterisasi mempunyai korelasi yang balk (r=0,7365,p=O,04). Hanya 12 penderita yang dapat dinilai AKM dengan uji latih. Tidak didapatkan perubahan AKM dengan uji latih (p >0,05). Terdapat korelasi antara AKM dengan delta CJ (r=0,7552,p=0,0001) dan dengan delta IS (r=0,52,p=0,02), tetapi tidak mempunyai korelasi dengan delta DJ (selisih DJ puncak uji latih dengan istirahat) dengan r=0,09 maupun dengan delta DJ yang diperoleh dari selisih DJ pada saat rekaman Doppler pada akhir uji latih dengan DJ istirahat (r=-0,05). Nilai DJ pada puncak uji latih (dari EKG) tidak sama dengan DJ pada saat rekaman Doppler pada akhir uji latih (136 ± 13 dan 108 T 19). Terdapat keterbatasan DE untuk mendapatkan rekaman pola pada puncak uji latih, disamping penentuan "slope" dari pola mempunyai pengaruh terhadap perhitungan AKM.
Perubahan gradien tekanan rata-rata {delta mMVPG) tidak mempunyai korelasi dengan AKM (r=0,01). Terdapat korelasi antara MVF dengan AKM (r=0,6692,p=0,001) begitu jugs pada rasio ∆MVPG/∆ MVF mempunyai korelasi terbalik dengan AKM (r=- 0,8247, p=0,00001). Perubahan hemodinamik ini mengikuti rumus Gorlin.
Penelitian ini menyimpulkan, bahwa pemeriksaan Doppler ekokardiografi dapat dipakai untuk menilai perubahan hemodinamik pada penderita SKM yang dilakukan uji latih. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gardjito Hardjosukarso
"Penelition ini bertuiuan untuk menilai derajat Hipertensi Pulmonal (HP) secora kwantitatif dengan pemeriksaan "Pulsed Doppler Echocardiography" (PDE). Penelition dilakukan terhadap 60 penderita HP, semua menialani kateterisasi jantung. Kelompok kelola terdiri dari 15 orang normal.
Parameter PDE dilakukan pengukuran "right ventricel pre ejection period" (RPEP), "acceleration time" (ACT), "right Ventricel ejection time" (RVEP) serta rosio RPEP/ACT, RPEP/RVET don AcT/RVET. BerdosarKan panjang fase AcT.
penderita dibagi dalom 2 kelompok, yaitu kelompok ACT < 80 ms (kelompok A) dan ACT = 80-120 ms (kelompok B). Berdasarkan "mean pulmonary artery pressure" (MPA) dari kateterisasi jantung, penderita dikelompokkan menjadi kelompok 20-40 mmHg (HP-1), 41-60 mmHg (HP-2) don >60 mmHg C HP-3 ), berturut-turut sesuai dengan deraiat ringan, sedang dan berat. Berdasarkan "pulmonary arterial resintance" ( PAR ) penderita HP karena pirau intrakardial dibagi 2, yaitu kelompok < 5HRU (PAR-1) dan > 5 HRU (PAR-2). Nilai Parameter PDE dari tiap kelompok dibandingkan dengan nilai MPA dan PAR dari hasil pemeriksaan kateterisasi jantung. penderita dibagi 2 golongan, yaitu HP hiperkinetiK don HP pasif, selonjutnya parameter PDE kedua golongon tersebut dibandingkan.
Didapatkon korelasi kuat antara AmPA masing-masing dengan RPEP ( MPA = 5.14 + 0.44 RPEP, r = 0.76, SEE = 9.34, X0.01), ACT ( MPA = 84.69 + 0.55 ACT, r =-0.78, SEE=8.99, p<0.01), dan RPEP/ACT (MPA= 18.93 + 15.90 RPEP/ACT, r=0.87, SEE= 7.07, P<0.01). Juga didapatkan korelasi kuat antara PAR dengan RPEP (PAR = -7.93 + 0.12 RPEP, r = 0.82, SEE = 2-055, P<0-01), ACT ( PAR = 17.44 - 0.15 ACT, r = -0.84, SEE = 1.89, P<0.01) dan RPEP/ACT (PAR= -1.16 + 4-24 RPEP/Ac75 r = 11.90, SEE=1.56, P<0-01). Rasio RPEP/ACT dapat membedakon kelcmpoK HP-1, HP-2 don HP-3 secara bermakna (HP-13 1.03-+0.27, dibanding HP-2, 2-02 (0.36, P<0.05 ; HP-2 dibanding HP-3, 2.82±0.423 p<0.05). Rasio RPEP/ACT 1.61 atau kurang sesuai dengan HP ringan, rasio 2.22 atau lebih sesuai dengan HP berat, rasio antara 1.61 - 2.22 sesuai dengan HP sedang. Parameter tersebut juga dapat menentukan tingginya PAR. Parameter PDE golongan HP hiperkinetik tidak berbeda bermakna dibanding HP pasif.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa RPEP, ACT don RPEP/ACT merupakan Parameter PDE yang dapat dipokai untuk menilai secora kwanitatif don kwanitatif dero,iat HP. Rasio RPEP/ACT merupakan satu-satunya parameter sensitif yang dapat digunakan untuk menentukan HP ringan, sedang dan berat. Golongan HP hiperkinetik dan HP pasif mempunyai parameter PDE soma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamed Oemar
Jakarta : Yayasan Mencerdaskan Bangsa , 2005
616.123 HAM t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Luthra, Atul
New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers, 2012
616.120 75 LUT e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Ekokardiografi transesofageal (TEE) dalam anestesi umum telah merupakan prosedur rutin untuk memandu penutupan defek septum atrium tipe sekundum (ASDs) dengan Amplatzer septal occluder (ASO) bersama-sama dengan fluoroskopi dilaboratorium kateterisasi jantung. Untuk menyederhanakan prosedur dan juga untuk mengurangi biaya, telah dipakai ekokardiografi transtorakal (TTE) untuk memandu implantasi ASO. Tujuan studi ini adalah mengevaluasi akurasi dan hasil procedure ASO yang dipandu dengan TTE dibandingkan dengan yang dipandu dengan TEE. Ini merupakan studi komparasi. Sembilan puluh satu penderita dengan ASDs yang telah dicoba untuk penutupan dengan ASO secara transkateter di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta dievaluasi. Akhir-akhir ini, pada 22 penderita, prosedur dilakukan tidak dengan panduan TEE tetapi dengan TTE. Seleksi penderita dilakukan seperti lazimnya dengan TEE dipoliklinik. Diameter dengan balon dilatasi diukur secara TEE atau TTE dan fluoroskopi dilaboratorium kateterisasi jantung. Penderita dibagi atas 2 kelompok, kelompok TEE adalah kelompok yang prosedur dipandu TEE, sedang kelompok TTE adalah yang dipandu TTE. Kasus yang dapat dianalisa sejumlah 83 penderita, 61 kelompok TEE dan 22 kelompok TTE. Pengukuran diameter dengan TTE maupun TEE memiliki korelasi yang tinggi dengan ukuran secara fluoroskopi (masing-masing: r=0.837 and r=0.853). Dan tidak ada perbedaan bermakna antara akurasi pengukuran dengan TEE maupun dengan TTE (p=0.085) dibandingkan dengan ukuran secara fluoroskopi. Waktu fluoroskopi pada prosedur ASO dengan panduan TEE lebih panjang secara bermakna dibanding dengan waktu fluoroskopi dengan panduan TTE (33.2 ± 21.3 mnt vs. 22.8 ± 19.3 mnt, P=0.014). Selain itu, juga tidak diketemukan perbedaan bermakna pada angka kegagalan antara tehnik panduan TEE maupun TTE. Prosedur ASO dengan panduan TTE mempunyai derajat akurasi yang sama dengan prosedur yang dipandu TEE, dengan waktu fluoroskopi yang lebih singkat. Angka kegagalan dengan panduan TTE juga tidak berbeda dengan yang dipandu TEE.

Abstract
Transesophageal echocardiography (TEE) under general anesthesia has become a routine procedure as guidance in implanting Amplatzer septal occluder (ASO) for closing secundum atrial septal defects (ASDs) together with fluoroscopy in cardiac catheterization laboratory. To simplify the procedure and reduce the cost, recently we used transthoracal echocardiography (TTE) in guiding the ASO implantation. Aim of this study is to evaluate accuracy and performance of ASO procedure guided by TTE compared to ASO procedure guided by TEE. This is a comparative study. Ninety-one patients with ASDs referred for transcatheter closure with ASO in National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital Jakarta were reviewed. In the 22 patients, TTE were used as guidance instead of TEE. Patients selection were performed in the outpatient clinic by TEE. The stretched diameter was measured by TEE or TTE and fluoroscopy. Patients were divided into two groups, TEE group consisted of procedures guided by TEE, and TTE group guided by TTE. From 91 patients, 83 can be evaluated. It consisted of 61 patients in TEE group and 22 in TTE group. Measurement of defects sizes with TTE and TEE have a high correlation with fluoroscopic measurements (r=0.837 and r=0.853, respectively). There were no significant differences between the accuracy of TTE and TEE sizes measurement (p=0.085) compared to fluoroscopy. Fluoroscopy time in ASO procedures guided by TEE was significantly longer than those guided by TTE (33.2 ± 21.3 min vs. 22.8 ± 19.3 min, P=0.014). There was also no significant differences in the failure of devices implantation between TEE and TTE guidance. All patients were in good condition at follow-up. ASO procedures guided by TTE have similar accuracy to those guided by TEE, with shorter fluoroscopy time. TTE guidance also has no difference in failure rate compared to TEE guidance. "
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2007
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>