Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 217172 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Muhammad Nurfaizi Penanggungan
"Dengan berkembangnya praktik berkontrak seringkali timbul kerugian pada tahap pra kontrak. Namun, dalam hukum Indonesia belum diterapkan asas iktikad baik dalam tahap pra kontrak tersebut, sehingga menyulitkan para pihak untuk mendapat pertanggungjawaban. Hal tersebut berbeda dengan Hukum Perdata Jerman yang sudah mengatur mengenai iktikad baik pada tahap pra kontrak. Untuk menjawab permasalahan tersebut skripsi ini akan membandingkan pengaturan yang ada dalam KUH Perdata Indonesia dan BGB Jerman terkait iktikad baik pada tahap pra kontrak. Perbandingan pun juga akan dilakukan dengan melihat perkembangan iktikad baik pada tahap pra kontrak dalam Hukum Perdata Indonesia dan Hukum Perdata Jerman. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, studi kasus, dan perbandingan. Dari penelitian ini ditemukan bahwa Hukum Indonesia dan Jerman sama sama tidak mengenal secara spesifik iktikad baik pra kontrak. Namun, Hukum Perdata Jerman telah mengakui kekuatan mengikat pra kontrak yang kemudian didasarkan kepada iktikad baik, sedangkan Hukum Indonesia hanya mengenal iktikad baik yang hanya diterapkan pada pelaksanaan kontrak dan belum mengakui daya mengikat pra kontrak. Selain itu, ditemukan pula perbedaan mengenai perkembangan asas iktikad baik pra kontrak dilihat dari yurisprudensi kedua negara tersebut. Dalam hal ini Lembaga Peradilan Jerman lebih konsisten dalam menerapkan iktikad baik pra kontrak dibandingkan dengan lembaga peradilan Indonesia. Hasil penelitian ini menyarankan adanya pembaharuan Hukum Kontrak Indonesia dengan menempatkan iktikad baik tidak hanya pada saat pelaksanaan kontrak namun juga saat pembentukan kontrak. Selain itu, lembaga peradilan di Indonesia juga dapat mencontoh perkembangan-perkembangan yang dilakukan oleh lembaga peradilan Jerman terkait dengan asas iktikad baik pra kontrak tersebut.

With the development of contracting practices, losses often arise at the pre-contract stage. However, in Indonesian law the principle of good faith has not been applied in the pre-contract stage, making it difficult for the parties to be held accountable. This is different from the German Civil Code which already regulates good faith at the pre-contract stage. To answer these problems, this thesis will compare the existing arrangements in the Indonesian Civil Code and the German BGB regarding good faith at the pre-contract stage. Comparisons will also be made by looking at the development of good faith at the pre-contract stage in Indonesian Civil Law and German Civil Law. This research is a normative juridical research with statutory regulations, case studies, and comparison approaches. From this research it was found that both Indonesian and German laws do not specifically recognize pre-contract good faith. However, German Civil Law has recognized pre-contract binding power which is then based on good faith, while Indonesian law only recognizes good faith which only applies to contract execution and has not recognized pre-contract binding power. In addition, differences were also found regarding the development of the principle of good faith before the contract seen from the jurisprudence of the two countries. In this case the German judiciary is more consistent in implementing pre-contract good faith than the Indonesian judiciary. The results of this study suggest that there should be a renewal of Indonesian Contract Law by placing good faith not only at the time of contract execution but also at the time of contract formation. In addition, the judiciary in Indonesia can also follow the developments made by the German judiciary regarding the pre-contract good faith principle."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanna Hafizha
"Dalam hukum perdata Indonesia, asas itikad baik diatur secara eksplisit pada tahap pelaksanaan perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun, penerapannya pada tahap pra kontrak masih belum diatur secara jelas, sehingga hal ini dinilai menimbulkan kekosongan hukum ketika salah satu pihak bertindak tanpa itikad baik sebelum perjanjian mengikat. Berbeda dengan itu, sistem hukum Australia yang menganut tradisi common law menerapkan doktrin promissory estoppel sebagai mekanisme perlindungan hukum dalam tahap pra kontrak. Doktrin ini memberikan hak ganti rugi bagi pihak yang dirugikan akibat janji yang ditarik. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan asas itikad baik pada tahap pra kontrak di Indonesia dengan doktrin promissory estoppel di Australia, baik dari segi teori maupun penerapannya dalam praktik hukum. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan komparatif dalam bentuk doktrinal dan sumber hukum sekunder.

In Indonesian civil law, the principle of good faith is explicitly regulated at the stage of implementing an agreement as stated in Article 1338 paragraph (3) of the Civil Code. However, its application at the pre-contract stage is still not clearly regulated, so this is considered to create a legal exception when one party acts without good faith before the agreement is binding. In contrast, the Australian legal system, which adheres to the common law tradition, applies the doctrine of promissory estoppel as a legal protection mechanism at the pre-contract stage. This doctrine provides the right to compensation for parties who are harmed due to a promise that is withdrawn. This research aims to compare the principle of good faith at the pre-contract stage in Indonesia with the doctrine of promissory estoppel in Australia, both in terms of theory and its application in legal practice. This research was conducted using a comparative approach in the form of doctrine and secondary legal sources. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Octavinanda Zais
"Di Indonesia asas iktikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Iktikad baik yang diatur dalam ketentuan tersebut terbatas hanya meliputi tahap pelaksanaan perjanjian saja. Berbeda dengan Indonesia, beberapa negara penganut sistem civil law telah mengakui iktikad baik pada tahap negosiasi atau pra-kontrak, sehingga janji-janji pra-kontrak diakui dan jika dilanggar menimbulkan akibat hukum. Karena belum ada perjanjian yang mengikat maka gugatan yang diajukan untuk memperoleh ganti rugi dianggap sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Dengan konsep yang sama, di dalam sistem common law khususnya di Amerika Serikat, muncul doktrin promissory estoppel yang berakibat bahwa meskipun belum ada consideration namun janji-janji dapat mengikat. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan asas iktikad baik pada tahap pra-kontrak di Indonesia melalui putusan pengadilan. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach), perbandingan (comparative approach) dan pendekatan kasus (case approach). Dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa sampai saat ini belum ada pengaturan yang khusus mengatur penerapan asas iktikad baik pada tahap pra-kontrak. Namun demikian, berdasarkan putusan-putusan di pengadilan negeri yang dianalisis pada penelitian ini diketahui bahwa Hakim telah mengakui adanya keharusan beriktikad baik pada tahap pra-kontrak oleh para pihak.

In Indonesia, good faith principle set in article 1338 subsection (3) on the Indonesian Civil Code. The implementation of good faith principle set out from this article is limited only to the contractual phase. In contrast to Indonesia, some civil law countries have recognized the principle of good faith on the phase of negotiations or pre-contractual phase, so the promises of the pre-contract is recognized and lead to legal consequences if its broken. Since there is no binding agreement on the pre-contractual phase, therefore to the injured party in this phase can sue for reliance damages based on tort. Based on the same concept, in the common law system, particularly in US the promissory estoppel doctrine has the effect of making some kinds of promise binding even where they are not supported by consideration. This research aims to determine how the implementation of good faith principle on the pre-contractual phase in Indonesia through court orders. It is a judicial-normative research, with statute, case and comparative approach. In this research, author concluded that til nowadays there is no regulation that specifically regulates the application of good faith principle on the pre-contractual phase. Moreover, based on court orders which analyzed in this research, note that the Judge has recognizes the necessity of good faith at the pre-contractual phase by the parties.
;In Indonesia, good faith principle set in article 1338 subsection (3) on the Indonesian Civil Code. The implementation of good faith principle set out from this article is limited only to the contractual phase. In contrast to Indonesia, some civil law countries have recognized the principle of good faith on the phase of negotiations or pre-contractual phase, so the promises of the pre-contract is recognized and lead to legal consequences if its broken. Since there is no binding agreement on the pre-contractual phase, therefore to the injured party in this phase can sue for reliance damages based on tort. Based on the same concept, in the common law system, particularly in US the promissory estoppel doctrine has the effect of making some kinds of promise binding even where they are not supported by consideration. This research aims to determine how the implementation of good faith principle on the pre-contractual phase in Indonesia through court orders. It is a judicial-normative research, with statute, case and comparative approach. In this research, author concluded that til nowadays there is no regulation that specifically regulates the application of good faith principle on the pre-contractual phase. Moreover, based on court orders which analyzed in this research, note that the Judge has recognizes the necessity of good faith at the pre-contractual phase by the parties.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62384
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farhan Nurrahman Kharismatyaka Putra
"Dalam tatanan hukum perdata Indonesia mengatur bahwa suatu perjanjian dibuat harus didasarkan oleh itikad baik. Permasalahannya adalah bagaimana pengaturan dalam tahap sebelum perjanjian mengikat yang menimbulkan hubungan hukum bagi para pihaknya, atau disebut juga dengan tahap pra kontrak. Hukum positif Indonesia dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya mengatur ruang lingkup itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian saja, tidak meliputi pra kontrak. Terdapat ketidakjelasan atau kekosongan hukum dalam pelaksanaan itikad baik dalam pra kontrak. Sementara itu, dalam sistem hukum di Amerika Serikat dikenal dengan doktrin Promissory Estoppel. Doktrin ini mengatur bahwa suatu kerugian yang timbul akibat dari ditariknya janji yang disampaikan sebelum adanya suatu kontrak yang mengikat, dapat dimintakan penggantian kerugian karenanya. Oleh karena itu, Penulis dalam tulisan ini akan membandingkan penerapan doktrin Promissory Estoppel di Amerika Serikat dan asas Itikad Baik pra kontrak di Indonesia dari segi teori dan penerapannya. Kata kunci: promissory estoppel, itikad baik, janji, pra kontrak.

An agreement made must be based on the good faith of the parties. In the Indonesian civil law system, this is also regulated. The problem is how the arrangements in the pre-contract stage are binding and create a legal relationship for the parties or also known as the pre-contract stage. Indonesia's positive law in Article 1338 paragraph (3) of the Civil Code only regulates the scope of good faith in agreements, not including pre-contracts. There is ambiguity or legal vacuum in the implementation of good faith in the pre-contract. Meanwhile, in the legal system in the United States, it is known as the Promissory Estoppel doctrine. This doctrine stipulates that a loss that arises as a result of a promise made prior to the existence of a binding contract can be requested for compensation for it. Therefore, the author in this paper will compare the application of the Promissory Estoppel doctrine in the United States and the pre-contract Good Faith principle in Indonesia in terms of theory and application."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lauditta Indahdewi
"Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Asas itikad baik dalam suatu perjanjian dikenal sejak masa hukum Romawi, dan terus berkembang hingga masa modern dan telah dicantumkan ke dalam berbagai unifikasi hukum perjanjian. Asas itikad baik berperan sebagai pemberi batasan dalam asas kebebasan berkontrak dan menjaga terlaksananya norma-norma keadilan dan kepatutan. Itikad baik harus tercermin dalam setiap tahapan perjanjian, mulai dari pembentukan, pelaksanaan, hingga pengakhiran perjanjian. Asas itikad baik berperan penting untuk menjaga perjanjian agar tetap berlangsung sesuai ketentuan yang telah disepakati dan sebagai jembatan atas permasalahan-permasalahan dalam perjanjian yang semakin berkembang. Dalam perkembangannya, asas itikad baik menjadikan asas kebebasan berkontrak saat ini bukanlah lagi kebebasan tanpa batas, melainkan menjadi paradigma kebebasan berkepatutan. Asas itikad baik memiliki kekuatan hukum dengan memberikan Hakim kekuatan untuk melakukan campur tangan ke dalam suatu perjanjian, bilamana perjanjian tersebut telah melanggar itikad baik. Dalam hal ini diperlukan pula tinjauan terhadap unsur-unsur yang menentukan bagaimana suatu asas itikad baik telah dilanggar. Di Indonesia, pengaturan itikad baik terdapat pada pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, namun, pengaturannya dalam KUH Perdata Indonesia masih sangat terbatas sehingga menimbulkan ketidakpastian. Selain di Indonesia, Itikad baik pun telah diakui sebagai hukum kebiasaan internasional yang terbukti dengan diakuinya asas itikad baik dalam Prinsip Hukum Kontrak Eropa dan Prinsip-Prinsip Kontrak Komersial Internasional UNIDROIT. Sehingga dalam hal ini, diperlukan suatu tinjauan perbandingan hukum terhadap asas itikad baik menurut Prinsip Hukum Kontrak Eropa dan Prinsip Kontrak Komersial Internasional UNIDROIT.

The principle of good faith is a well known principle in contract law. The principle of good faith in an agreement has been acknowledge since the era of Roman law and continue to evolve into modern law to be included in a variety of contractual clause. The principle of good faith take the role to constraints the principle of “freedom of contract” to be shifted towards the “appropriate freedom”. Good faith principle should be reflected in every stage of the agreement, ranging from the establishment, implementation, until the termination of the agreement. The principle of good faith plays an important role to keep the agreement in order, and nowadays has given the judge a power to intervene into a contract. In Indonesia, good faith principle set in article 1338 subsection (3) of the Indonesian Civil Code, however, the regulation of this principle in the Indonesia is still very limited which lead to uncertainty. Good faith principle has also been recognized as customary international law, which proven by its recognition in the Principles of European Contract Law and the UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts. Thus, in this case, there need an analysis of comparative law on the good faith principle in the Indonesian Civil Code, Principles of European Contract Law and the UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55257
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Kamal Shidiq
"Penulisan hukum ini pada dasarnya melakukan analisa terhadap pengaturan dan penerapan asas itikad baik dan doktrin mitigasi di Indonesia beserta perkembangannya dalam lingkup hukum perjanjian, pengaturan mengenai asas itikad baik dan doktrin mitigasi di Jepang, Prancis, dan Inggris, dan juga analisis mengenai perspektif baru terhadap penerapan doktrin mitigasi dan asas itikad baik di Indonesia melalui perbandingan dengan pengaturan terkait doktrin mitigasi dan asas itikad baik di Jepang, Prancis, dan Inggris. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk Yuridis-Normatif dengan tipe deskriptif. Hasil dari penelitian ini menggambarkan bahwa asas itikad baik dalam hukum perjanjian Indonesia bersumber ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Selanjutnya terkait doktrin mitigasi di Indonesia telah diatur dalam ketentuan berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga menggambarkan secara komprehensif mengenai pengaturan terkait asas itikad baik dan doktrin mitigasi dalam hukum Jepang, Prancis dan Inggris yang masing-masing memiliki penerapan dan penasfiran yang berbeda dengan Indonesia. Dengan memperbandingkan ketentuan tersebut ditemukan berbagai perbedaan dan persamaan terkait pengaturan dan penerapan asas itikad baik dan doktrin mitigasi di Indonesia, Jepang, Prancis dan Inggris yang dapat memberikan pemahaman dan penerapan baru terhadap itikad baik dan doktrin mitigasi yang pengertian dan penerapannya masih belum diatur secara definitif sehingga menyebabkan interpretasi yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil perbandingan tersebut, Pemerintah Indonesia khususnya bagi perancang dan pembuat Undang-Undang dirasa perlu untuk melakukan perincian terhadap pengaturan-pengaturan asas itikad baik dan doktrin mitigasi di Indonesia agar terdapat suatu pemahaman dan penerapan yang sama.

This legal writing analyzes the regulation and application of good faith principle and duty to mitigate doctrine in Indonesia along with its development within the scope of the law of agreement, the regulation of good faith principles and the duty to mitigate doctrine in Japan, France and England, with analysis of new perspectives on it application in Indonesia by comparison with the regulation related to the duty to mitigate doctrine and the principle of good faith in Japan, France and England. The research method used in this research is Juridical Normative with descriptive type. This study illustrate that the principle of good faith in Indonesia 39 s treaty law stems from the Indonesian Civil Code. Furthermore, the duty to mitigate doctrine in Indonesia has been regulated in the provisions of various laws and regulations. This study also describes comprehensively the regulations related to good faith principles and the duty to mitigate doctrine in Japanese, French and English law which each have different application and interpretation with Indonesia. This study found differences and similarities concerning the regulation and application of good faith principles and the doctrine of mitigation in Indonesia, Japan, France and England that can provide new insights and applications in Indonesia whose definition and application is not yet definitively regulated causing different interpretations. Based on the results, the drafters and legislators of Indonesian Law, are deemed necessary to detail the regulations of good faith principles and the doctrine of mitigation in Indonesia in order to have a common understanding and application.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulys Respati Lestari
"Di Indonesia asas itikad baik hanya diatur dalam tahap pelaksanaan perjanjian. Namun, permasalahan yang timbul akibat salah satu pihak tidak beritikad baik kerap kali muncul pada tahap prakontrak. Tulisan ini bertujuan untuk membandingkan penerapan asas itikad baik pada tahap prakontrak di Indonesia dan Prancis dengan doktrin promissory estoppel di Malaysia. Penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif dengan metode perbandingan hukum. Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder yang dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan dan dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa di Indonesia asas itikad baik masih didasarkan pada teori klasik hukum kontrak yang membatasi ruang lingkup itikad baik hanya sebatas pada saat pelaksanaan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Sedangkan di Prancis sudah mengikuti teori hukum kontrak modern yang mengatur penerapan asas itikad baik sejak tahap prakontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1112 Civil Code Prancis 2016. Sedangkan di Malaysia, sebagai negara yang menganut sistem hukum common law, perjanjian prakontrak dilindungi oleh doktrin promissory estoppel melalui resepsi hukum Inggris yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Civil Law Act 1956.

In Indonesia the principle of good faith is only regulated in the implementation stage of the agreement. However, problems arising from one of the parties having bad intentions often arise at the pre-contract stage. This paper aims to compare the application of the principle of good faith at the pre-contract stage in Indonesia and France with the promissory estoppel doctrine in Malaysia. This research is a juridical-normative research using comparative law method. This research uses secondary data types that were collected using literature study techniques and analyzed qualitatively. Based on the research conducted, it is known that in Indonesia the principle of good faith is still based on the classical theory of contract law which limits the scope of good faith only at the time of execution of the agreement as stipulated in Article 1338 paragraph (3) of the Civil Code. Whereas in France it has followed modern contract law theory which regulates the application of the principle of good faith since the pre-contract stage as stipulated in Article 1112 of the 2016 French Civil Code. Meanwhile in Malaysia, as a country that adheres to the common law legal system, pre-contract agreements are protected by the promissory estoppel doctrine through receptions of English law regulated in Article 3 paragraph (1) of the Civil Law Act 1956."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adiguna Purnama
"Di dalam dunia usaha, merupakan suatu hal yang wajar jika semua pengusaha saling berkompetisi untuk menjual produk-produknya yang berupa barang dan/atau jasa. Pada produk-produk mereka yang dijual di pasaran itu, mereka menggunakan merek dagang sebagai alat untuk mengidentifikasi produk mereka dan membedakannya dengan produk yang dihasilkan oleh pengusaha-pengusaha lainnya. Namun merek dagang yang memiliki fungsi untuk mengidentifikasi dan membedakan suatu produk itu, sering menjadi sasaran penyalahgunaan oleh pihak lain secara melawan hukum. Bahkan merek dagang milik pengusaha lain sering ditiru atau digunakan oleh pihak atau pengusaha yang sebenarnya bukan pemilik yang sah atas merek dagang tersebut, kemudian didaftarkan ke Kantor Merek sebagai usaha mengklaimnya. Untuk melindungi merek-merek yang dimiliki dan digunakan oleh para pengusaha, serta untuk menghindari pelanggaran hukum seperti itu, pemerintah Indonesia membentuk suatu ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yang mengatur sahnya pendaftaran suatu merek dagang, yaitu kewajiban beritikad baik dalam mendaftarkan suatu merek dagang. Penelitian ini akan meninjau asas pendaftaran dengan itikad baik dalam merek di Indonesia, kemudian membandingkannya dengan di Inggris yang sama-sama mengacu kepada ketentuan-ketentuan Internasional yang berhubungan dengan Hak Kekayaan Intelektual, khususnya merek dagang.

In the business world, it is a natural thing that all entrepreneurs compete to sell their products in the form of goods and/or services. On their products sold in the market, they use trademarks as a tool to identify and to distinguish their products with other products produced by other entrepreneurs. However, a trademark which has a function to identify and to distinguish a product, often became a target for abuse by other party or entrepreneur unlawfully. Even a trademark of another entrepreneur often imitated or used by the other party who is not the legal owner of such trademark, and then register it to the Trademark Office in an effort to claim it. In order to protect the trademarks that are owned and used by entrepreneurs, as well as to avoid violation of such laws, the Indonesian government established a provision in the Law No. 15 Year 2001 concerning on Marks which regulating the validity of the registration of trademark, namely the obligation of acting in good faith in registering a trademark. This study will review the principle of good faith in the registration of a trademark in Indonesia, and then compare it to the United Kingdom, which equally refer to the International provisions relating to the intellectual property, particularly a trademark."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53485
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Athira
"ABSTRAK
Permasalahan mengenai kedudukan hukum nota kesepahaman kerap kali muncul
mengingat sering digunakannya nota kesepahaman dalam berbagai kegiatan
terutama kegiatan bisnis. Nota kesepahaman digunakan sebagai dokumen
pendahuluan atau pra-kontrak yang berfungsi sebagai pengikat komitmen pada
masa negosiasi, sebelum dibentuknya kontrak kerja sama yang sebenarnya. Oleh
karena fungsinya yang hanya digunakan sebagai pendahuluan, seringkali
kedudukan hukumnya dan kekuatan mengikatnya menjadi permasalahan yang
akhirnya menyebabkan perlindungan hukum terhadap pihak yang dirugikan
menjadi terabaikan. Terkait kedudukan hukum nota kesepahaman ini masih perlu
ditinjau lebih lanjut berdasarkan hukum perikatan yang terdapat dalam Buku III
KUHPerdata. Untuk dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan perlu dilakukan
perbandingan dengan suatu doktrin, yakni doktrin promissory estoppel yang pada
dasarnya melindungi kepentingan hukum pihak yang sudah terlibat janji terutama
janji-janji pra-kontrak. Setelah dilakukan penelitian maka diketahui bahwa di
Indonesia menurut KUHPerdata, kedudukan hukum nota kesepahaman
disetarakan dengan perjanjian sesuai dengan substansinya, sedangkan berdasarkan
promissory estoppel nota kesepahaman merupakan suatu dokumen pra kontrak
yang mengikat.
ABSTRACT
Issues regarding the legal standing of a memorandum of understanding (MoU)
often arise given the frequent use of a memorandum of understanding in various
activities, especially business activities. The MoU is used as a preliminary
document or pre-contract which serves as a binding commitment on the
negotiation period, prior to the establishment of real cooperation contract.
Therefore its function is only used as an introduction, often legal position and
strength of tying a problem that ultimately led to legal protection for the injured
party to be neglected. MoU’s legal standing still needs to be reviewed further by
the law of obligation contained in Book III of the Civil Code. To be able to know
advantages and disadvantages of the implementation in Indonesia, need to be
done a comparison with a doctrine, ie the doctrine of promissory estoppel which
is used basically to protect the legal interests of the parties that have been
involved promise especially promises a pre-contract. In conclusion, it is known
that in Indonesia, according to the Civil Code, the legal standing of memorandum
of understanding is comparable to the agreement in accordance with the
substance, while memorandum of understanding based on promissory estoppel is
a binding pre-contract documents."
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S59940
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>