Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95458 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mujahid A. Latief
"Law Enforcement particularly criminal law enforcement in Indonesia is higly crititized by the public. The people's respect and trust for the judiciary institutions are very low. In people view the judiciary institution and judicial power are not yet independent and impartial in executing their task (duty). The interference from other party in the judiciary process has become one of many indications which show the dependent of those institutions. The implementation of the criminal justice system have not been carried out effectively and effeciently.
Therefore, it fails in achiving its goal. The problems that exist in this issue are covering the structural and substantial problems, the law enforcement officer's culture, and the weak mechanism control. These problems are the main obstacle to achieve the criminal justice system's goals. There are some types of control mechanism in the criminal justice system, those are a) internal control (from the related institution); b) external control (from other institution or the society); c) horizontal control (within the law enforcement officers); and 6) vertical control (from supervisor). Those control mechanisms have not been able to encourage the efectiveness of the implementation of the criminal justice system. With the vast growing public awareness, the public control become as one of the alternative control such as done by the civil society organizations.
This research shows that there is a correlation between the weaknesses of the control mechanism and the performance of the criminal justice system. With respect to this problem, it is necessary to establish an effective and effecient control mechanism. Those actions should be done in integrated manner in order to achieve the goal of the criminal justice system."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T25723
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Purnomo Hadi
"Pembebasan bersyarat, pada hakekatnya merupakan satu tahapan dari proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan. Tahapan itu merupakan rangkaian dalam penegakan hukum pidana, yang berarti menanggulangi kejahatan dengan sarana hukum pidana, yang dioperasionalkan melalui suatu sistem yang di sebut sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sebagai suatu sistem, maka akan didukung dengan unsur perundang-undangan (unsur substansial) dan unsur kelembagaan (unsur struktural) meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, yang harus bekerja secara terpadu. Namun, secara praktis, kenyataan menunjukkan, yang terjadi justru masih terdapat ketidakterpaduan baik unsur substansial maupun struktural, khususnya yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat. Dalam unsur substansial terdapat kontradiksi antara hukum pidana material dengan hukum pidana formal; antara hukum pidana material dengan hukum pelaksanaan pidana; antara hukum pidana formal dengan hukum pelaksanaan pidana.
Aspek yang sangat penting yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat, bahwa secara faktual sebagian besar narapidana ternyata hanya menjalani dan dibina di dalam lembaga pemasyarakatan kurang dari setengah masa pidana dari putusan hakim. Keadaan ini disebabkan karena cara penghitungan persyaratan masa menjalani pidana duapertiga yang tidak sesuai dengan ide KUHP yang menjadi dasar pembebasan bersyarat. Unsur struktural, juga masih terdapat ketidakserasian yang berkaitan dengan proses pemberian pembebasan bersyarat, yaitu tidak dilibatkannya Hakim Wasmat dalam proses pemberian pembebasan bersyarat. Ketidakserasian itu berarti mengarah pada ketidakterpaduan sistem peradilan pidana, yang jika tidak diadakan perbaikan, justru dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kejahatan, atau faktor kriminogen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tandigau, Rannu
"Pengorbanan bangsa Indonesia yang telah diraih untuk mencapai suatu kemerdekaan tidaklah mudah begitu saja, memerlukan rentan waktu yang sangat lama sampai mencapai kemerdekaan. Penegakan hukum yang terjadi selama ini dan sampai saat sekarang belum menunjukkan suatu kerja yang baik, akan tetapi masih jauh dari harapan dan hukum masih tertatih-tatih mengikuti keadaan yang seyogyanya diatur (het recht hink achter de feiten aan) namun sudah mulai nampak sedikit demi sedikit kinerja yang dilakukan oleh pemerintah sekarang ini karena tidaklah mudah untuk memperbaiki keadaan yang sudah sangat buruk, jadi diperlukan penahapan satu demi satu.
Institusi Kejaksaan sebagai lembaga negara di bawah eksekutif yang bertugas melakukan penuntutan mewakili negara, dalam hal ini seyogyanya hanya sebatas koordinasi dengan eksekutif bukan komando oleh eksekutif ini dilakukan agar fungsi penuntutan tetap independen, akuntabel, dan mandiri.
Hak oportunitas (asas oportunitas) yang dimiliki oleh Jaksa Agung berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. Bagian Kedua Khusus Pasal 35 huruf c, Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Kepentingan umum yang menyangkut kepada seluruh rakyat bukan sekelompok golongan saja, dan harus dikoordinasikan juga dengan lembaga-lembaga pemerintah yang terkait terhadap asas
ini.
Lokasi penelitian penulis yaitu di wilayah DKI Jakarta tepatnya di Kejaksaan Agung R.I, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Mahkamah Agung R.I., dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Janis data yang dikumpulkan yakni studi kepustakaan (library study) dan studi lapangan (field study)."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16423
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Mafia peradilan merupakan cap buruk yang melekat pada budaya kerja aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, penasehat hukum , serta petugas permasyarakatan) yang mengesampingkan tata cara penegakan hukum secara benar serta melakukan perbuatan-perbuatan yang memperjualbelikan keadilan. Walaupun belum merupakan jaringan terorganisasi dan dan memiliki aturan-aturan yang mengikat pelaku mafia sebagai sebuah organisasi kejahatan telah nyata terlihat. Apabila tidak ditanggulangi secara serius, maka mafia peradilan akan menjadi organisasi kejahatan yang menguasai lembaga peradilan yang bertugas memerangi kejahatan."
JMHUMY 7:2 (2000)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kencana, 2011
340.114 ROM s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rafa Tabina Bakhiatushsholihat
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan dan penerapan Judicial Pardon dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023). Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian doktrinal yang menggunakan tipologi Funtional Comparative Legal dengan fokus Perbandingan Substantif yang berfokus pada perbandingan isi atau substansi dari norma-norma hukum yang ada dari berbagai negara dengan membandingkan pengaturan, mekanisme, dan penerapan dari judicial pardon dari berbagai negara yang mengatur mengenai judicial pardon, antara lain Belanda, Yunani, Portugal, Uzbekistan, Perancis, Greenland, dan Somalia, untuk menyusun rekomendasi rencana pembaharuan hukum. Pada skripsi ini, pembahasan akan dibagi menjadi tiga. Pertama, pembahasan mengenai kualifikasi tindak pidana yang dapat diberikan judicial pardon dengan mengalisis hukum positif di Indonesia dan melakukan perbandingan dengan beberapa negara yang mengatur mengenai judicial pardon dalam hukum positifnya. Kedua, pembahasan mengenai penerapan judicial pardon dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan menganalisis peraturan hukum pidana formil dan praktiknya dalam peradilan di Indonesia serta melakukan perbandingan dengan beberapa negara yang menerapkan judicial pardon. Ketiga, menganalisis pengaturan dan penerapan judicial pardon yang tepat apabila hendak diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Penelitian ini mengemukakan bahwa kualifikasi tindak pidana terhadap pemberian judicial pardon diperlukan yang meliputi ringannya perbuatan mengacu pada ketentuan tindak pidana ringan atau dampak dari perbuatannya ringan, keadaan pribadi yang mengacu pada umur dan riwayat hidup pelaku, dan keadaan pada waktu dilakukannya tindak pidana dan setelahnya mengacu pada dampak tindak pidana terhadap korban dan terdakwa serta upaya pemulihannya. Lebih lanjut, perlu diatur mengenai mekanisme penjatuhan judicial pardon dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang meliputi bentuk putusan terhadap pemberian judicial pardon yang diatur sebagai putusan khusus dan upaya hukum terhadap putusan judicial pardon berupa upaya hukum kasasi.

This thesis discusses the regulation and application of Judicial Pardon in the criminal justice system in Indonesia with the legal basis of Law Number 1 of 2023 concerning the Criminal Code (Criminal Code 2023). The research method used in writing this thesis is doctrinal research that uses Functional Comparative Legal typology with a focus on Substantive Comparison which focuses on comparing the content or substance of existing legal norms from various countries by comparing the regulation, mechanism, and application of judicial pardon from various countries that regulate judicial pardon, including the Netherlands, Greece, Portugal, Uzbekistan, France, Greenland, and Somalia, to develop recommendations for legal reform plans. In this thesis, the discussion will be divided into three. First, a discussion of the qualifications of criminal offenses that can be granted judicial pardon by analyzing positive law in Indonesia and making comparisons with several countries that regulate judicial pardon in their positive laws. Second, it discusses the application of judicial pardon in the criminal justice system in Indonesia by analyzing formal criminal law regulations and practices in the Indonesian judiciary as well as making comparisons with several countries that apply judicial pardon. Third, to analyze the appropriate regulation and application of judicial pardon in Indonesia's criminal justice system. This research argues that the qualifications of criminal offenses for the granting of judicial pardon are needed, which include the seriousness of the act referring to the provisions of minor crimes or the impact of minor acts, personal circumstances referring to the age and life history of the offender, and the circumstances at the time of the crime and afterwards referring to the impact of criminal acts on victims and defendants as well as efforts to recover. Furthermore, it is necessary to regulate the mechanism of judicial pardon in the Criminal Procedure Code (KUHAP) which includes the form of verdict on the granting of judicial pardon which is regulated as a special verdict and legal remedies against judicial pardon decisions in the form of cassation legal remedies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairul Huda
"Kurun waktu seratus tahun belakangan ini telah terjadi perubahan-perubahan pemikiran dalam hukum pidana. Perubahan pemikiran yang paling mutakhir adalah dilihatnya hukum pidana sebagai suatu konsep pengendalian sosial. Perhatian tidak lagi semata-mata ditujukan kepada perbuatan pidana (Aliran Klasik), ataupun perbuatan pidana dan pembuat perbuatan pidana (Aliran Modern), tetapi hukum pidana itu sendiri menjadi pusat perhatian (Aliran Kontrol Sosial). Konsep ini melahirkan gerakan yang bersifat abolisionistis terhadap hukum pidana. Selain itu timbul pula usaha untuk memperhatikan prinsip-prinsip negara kesejahteraan dalam sistern peradilan pidana dan upaya menemukan cara pelaksanaan pemidanaan yang lebih efektif. Akibatnya, berbagai permasalahan mendasar dalam hukum pidana yang selama ini dipandang telah selesai, dibuka kembali. Masalah-masalah tersebut kini dilihat dalam spektrum yang lebih luas, yang melibatkan metode dan pandangan pemikiran disiplin-disiplin lain.
Kenyataan ini menimbulkan berbagai kecenderungan dalam sistem dan pelaksanaan peradilan pidana. Kecenderungan-kecenderungan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga tahap, yaitu kecenderungan dalam tahap perumusan (kebijakan legislatif), kecenderungan dalam tahap penerapan (kebijakan yudikatif), dan kecenderungan dalam tahap pelaksanaan (kebijakan eksekutif). Tercatat adanya beberapa kecenderungan baru dalam kriminalisasi dan dekriminalisasi, kecenderungan meluasnya penggunaan wewenang diskresi aparat peradilan pidana, dan kecenderungan untuk memperlunak pelaksanaan pemidanaan.
Kecenderungan-kecenderungan demikian pada gilirannya berpengaruh terhadap sistem dan pelaksanaan peradilan pidana Indonesia. Betapapun beberapa kecenderungan telah terantisipasi dalam usaha pembaharuan hukum pidana, namun masih banyak kecenderungan-kecenderungan lain yang belum terlihat tanda-tandanya akan diantisipasi dalam berbagai rancangan dan peraturan perundang-undangan di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Abdussalam
Jakarta: Restu Agung, 2007
345 ABD s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Qorry Nisabella
"Indonesia merupakan negara civil law. Peraturan tertulis menjadi sumber hokum yang terutama dalam negara civil law. Dahulu sistem peradilan pidana di Indonesia bersumber pada HIR yang menganut prinsip inquisitor. Sejak tahun 1982, sistem peradilan pidana Indonesia bersumber pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana/KUHAP yang menganut prinsip akusator. Prinsip akusator menjamin pelaksanaan hak asasi manusia yang terlibat dalam suatu proses pidana. Namun pasal-pasal dalam KUHAP sendiri justru masih menganut prinsip inquisitor. Hal ini dapat dilihat dengan adanya ketentuan mengenai suatu dokumen yang disebut sebagai berita acara penyidikan/BAP. BAP saksi dalam KUHAP, selain menjadi pedoman bagi hakim dalam memeriksa perkara, dapat pula menjadi sebuah alat bukti bagi hakim. Tentu saja hal ini telah melanggar prinsip akusator. Bahkan dalam praktik sistem peradilan pidana di Indonesia, hakim kerap melakukan apa yang tidak ditentukan oleh KUHAP, dengan lebih mengutamakan keterangan dalam BAP saksi ketimbang dengan keterangan yang diberikan oleh seorang saksi di depan persidangan, sebagai alat bukti keterangan saksi yang sah.

Indonesia is a civil law country. In the civil law country, written rules become main sources of law. Indonesian Criminal Justice System was based on HIR which embraces an inquisitor principle. Since 1982, the Indonesian Criminal Justice System had been rooted in Law No. 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure / Criminal Procedure Code which adopts an akusator principle. Akusator principle ensures the implementation of human rights who involved in a criminal process. But the articles in the Criminal Procedure Code itself still adopts an inquisitor principle. It can be seen with the existence of a document named as the investigation report / BAP. This witness investigation minute, besides being a guide for judges in examining cases, it can also be an evidence for the judge?s consideration. Of course this condition has violated the principle of akusator. In fact, judges often do what is not determined by the Criminal Procedure Code, to prioritize the witness testimony written in BAP more than the testimony given by a witness before trial, as evidence of legitimate witness testimony."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S232
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>