Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146254 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sylviana Kusuma Lestari
"Tesis ini membahas tentang perlindungan industri dalam negeri terhadap adanya lonjakan impor dengan penerapan tindakan pengamanan (safeguards measures) melalui peraturan nasional dan membandingkan kesesuaian peraturan nasional mengenai safeguards tersebut dengan WTO Agreement, baik dalam GATT 1947 maupun Agreement on Safeguards. Tindakan pengamanan (safeguards measures) berbeda dari tindakan anti dumping dan countervailing measures karena safeguards diterapkan dalam suasana perdagangan yang adil (fair trade). WTO memperbolehkan negara Anggota yang industrinya mengalami kerugian serius atau ancaman kerugian serius sebagai akibat adanya lonjakan impor untuk melakukan tindakan safeguards, baik berupa pengenaan tarif tambahan, pembatasan impor (kuota) maupun keduanya. Tindakan pengamanan ini dipandang kurang popular dan jarang digunakan karena syaratnya yang cukup berat. Pemerintah negara Anggota WTO cenderung memilih untuk melindungi industri dalam negeri mereka melalui grey area measures dengan cara menggunakan perundingan bilateral di luar tata cara GATT, mereka meminta negara pengekspor untuk mengurangi jumlah ekspornya secara sukarela (voluntary export restraints-VER) atau melalui persetujuan yang saling menguntungkan untuk menyetujui cara lain untuk berbagi pasar (orderly marketing arrangement-OMA). Tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif karena menitikberatkan pada penelitian kepustakaan yang intinya meneliti asasasas hukum, sistematis hukum, dan sinkronisasi hukum dengan cara menganalisanya. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Selanjutnya, permasalahan yang dibahas dalam Tesis ini adalah mengenai kesesuaian pengaturan safeguards dalam WTO dibandingkan dengan peraturan nasional dan mengenai penerapan tindakan pengamanan (safeguards measure) apakah telah dapat melindungi industri dalam negeri dari lonjakan impor atau belum.

This thesis discusses the protection of domestic industry against the import surge to the implementation of safeguards measures through national legislation and to compare the suitability of national regulations regarding such safeguards with the WTO Agreement, either in GATT 1947 and the Agreement on Safeguards. Safeguard measures differ from anti-dumping measures and countervailing measures as safeguards applied in an atmosphere of fair trade. Members of the WTO allow countries that the industry experienced serious injury or threat of serious injury as a result of increased import to take safeguards action, whether in the form of the imposition of additional tariffs, import restrictions (quotas) or both. Safeguard measures are seen as less popular and rarely used because the conditions are quite heavy. WTO member country governments tend to choose to protect their domestic industries through the "gray area measures" by using bilateral negotiations outside GATT procedures, they require exporting countries to reduce the amount of its exports voluntarily (voluntary export restraints-VER) or through agreements mutually beneficial to agree on other ways to market share (orderly marketing arrangements-OMA). This thesis uses normative legal research because it focuses on the research literature that examines the core principles of law, the law systematically, and the synchronization of the law in a way it analyzed. The data obtained were analyzed using qualitative descriptive methods. Furthermore, the problems will be discussed in this thesis is about the suitability of setting safeguards in the WTO as compared with the national regulations and on implementation safeguards measure whether it has been able to protect domestic industries from import surge or not."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T27945
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muzdalifah Mei Nurhayati
"Sebagai negara berkembang, Indonesia sangat membutuhkan bantuan investor asing untuk dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ketentuan perdagangan diatur oleh World Trade Organization (WTO) dengan tujuan mengurangi segala hambatan atau barrier dalam perdagangan dunia. Seiring dengan masuknya berbagai produk dan investasi asing, pada umumnya negara berkembang juga akan memberlakukan ketentuan local content requirements yang di Indonesia dikenal dengan sebutan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Dalam bidang pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pemerintah Indonesia mengatur tentang kadar minimal TKDN dalam pembangunan pembangkit listrik. Ketentuan TKDN tersebut secara normatif bertentangan dengan prinsip WTO yaitu National Treatment karena terdapat diskriminasi terhadap produk impor. Dalam tesis ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dimana penelitian dilakukan dengan mengkaji regulasi TKDN Indonesia terkait pembangunan pembangkit listrik tenaga surya terhadap perjanjian WTO serta penerapan regulasi di beberapa negara untuk dilakukan analisis secara lebih mendalam. Penulis ingin mengkaji apakah ketentuan TKDN yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia selaras dengan kebijakan WTO. Penulis menyimpulkan bahwa kebijakan TKDN Indonesia dapat melanggar ketentuan WTO karena tidak dimiliki dan dioperasikan secara langsung oleh negara.

As a developing country, Indonesia really needs the help of foreign investors to be able to improve the welfare of its people. Trade provisions are regulated by the World Trade Organization (WTO) with the aim of reducing all barriers or barriers in world trade. Along with the entry of various foreign products and investments, in general, developing countries will also apply local content requirements, which in Indonesia are known as Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). In the field of electricity infrastructure development, especially Solar Power Plants (PLTS), the Government of Indonesia regulates the minimum level of TKDN in the construction of power plants. The provisions on TKDN normatively conflict with the WTO principle, namely National Treatment, because there is discrimination against imported products. In this thesis, the author uses a normative juridical research method, in which research is conducted by examining Indonesian TKDN regulations related to the construction of solar power plants against WTO agreements and the application of regulations in several countries for a more in- depth analysis. The author wants to examine whether the TKDN provisions made by the Government of Indonesia are in line with WTO policies. The author concludes that Indonesia's TKDN policy may violate WTO provisions because it is not owned and operated directly by the state."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Kurnia Putra
"Kerangka liberalisasi perdagangan komoditi pertanian dalam konteks World Trade Organization (WTO) tertuang dalam Perjanjian Umum Bidang Pertanian atau Agreement on Agriculture (AOA). AOA adalah salah satu perjanjian internasional WTO yang dihasilkan melalui serangkaian perundingan dalam Putaran Uruguay dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Perjanjian ini diberlakukan bersamaan dengan berdirinya WTO pada tanggal 1 Januari 1995 yang terdiri atas 13 bagian dengan 21 Pasal yang dilengkapi dengan 5 Pasal Tambahan (Annex) dan satu lampiran untuk Annex ke-5. Adapun AoA memiliki tiga pilar utama yaitu perluasan akses pasar, dukungan domestik serta subsidi ekspor. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Indonesia telah meratifikasi ketentuan-ketentuan WTO dimana WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyesuaikan aturan-aturan yang termuat dalam Annex WTO. Salah satunya adalah aturan-aturan kebijakan pangan Indonesia yaitu melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

Framework of agricultural trade liberalization in the context of World Trade Organization (WTO) General Agreement set out in the field of Agriculture or the Agreement on Agriculture (AOA). AOA is one of the international treaties that are generated through a series of WTO negotiations in the Uruguay Round of General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Pact is applied simultaneously with the establishment of the WTO on January 1, 1995 which contained 13 parts and 21 Articles which is equipped with 5 Annex and an appendix to the Annex 5. The AoA has three main pillars, namely the expansion of market access, domestic support and export subsidies. Through Law No. 7 of 1994, Indonesia has ratified the WTO provisions which obliges WTO member states to adapt the rules contained in Annex WTO. One of them is the rules of the food policy Indonesia through Law No. 7 of 1996 concerning Food and Government Regulation No. 68 of 2002 on Food Security."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30386
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bossche, Peter van
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010
343.087 BOS p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Josephine Hadiwijaya
"Tinjauan Hukum atas Pengaturan Subsidi terhadap Produk Pertanian dalam World Trade Organization. PK VI. Hukum tentang Hubungan Transnasional. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. World Trade Organization (WTO) merupakan badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara, yang memiliki tujuan untuk mendorong arus perdagangan antarnegara dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa. Indonesia merupakan negara anggota WTO dengan diratifikasinya Persetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1994. Dengan keikutsertaan Indonesia dalam forum perdagangan dunia ini, otomatis Indonesia juga terikat akan aturan-aturan main yang tercakup dalam perjanjian-perjanjian WTO yang dicapai dalam putaran negosiasi dan kesepakatan multilateral lainnya. Salah satu perjanjian yang wajib diikuti oleh Indonesia adalah Perjanjian di bidang Pertanian. Perjanjian Pertanian merupakan perjanjian yang bersifat Lex Specialis dari Perjanjian tentang Subsidi dan Tindakan Balasan (SCM Agreement) dimana Perjanjian Pertanian memberikan pengaturan secara khusus terkait dengan subsidi terhadap produk pertanian yang terbagi dalam tiga pilar utama yaitu Akses Pasar, Bantuan Domestik dan Subsidi Ekspor. Melalui ketiga pilar utama ini, WTO mengupayakan adanya liberalisasi perdagangan terhadap produk pertanian dengan penghapusan hambatan non-tarif dan pemberlakuan tarif yang rendah. Indonesia telah melaksanakan aturan main yang telah disepakati dalam Perjanjian Pertanian secara patuh dan konsisten. Hal ini memberikan implikasi yang signifikan terhadap sektor pertanian di Indonesia. Terlepas implikasi positif dan negatif dari diberlakukannya Perjanjian Pertanian, Indonesia harus terus memperjuangkan secara optimal Perlakuan Khusus dan Berbeda (Special and Differential Treatment); Special Product; Tindakan Pengamanan Khusus (Special Safeguard Mechanism) yang menguntungkan bagi Indonesia sehingga dapat meningkatkan perekonomian Indonesia pada umumnya dan kesejahteraan petani pada khususnya."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia;;, ], 2008
S26197
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Syahied Aryolaksono
"Skripsi ini membahas pengaruh dari keanggotaan Tiongkok di WTO terhadap perkembangan ekonomi dan politik domestiknya, periode 2001-2010. Tiongkok merupakan negara komunis pertama yang meliberalisasikan perekonomiannya dan ingin bergabung dengan rejim perdagangan internasional tersebut. WTO yang merupakan suatu institusi internasional memiliki prinsipprinsip dan aturan-aturan yang bersifat mengikat bagi setiap anggotanya. Bergabungnya Tiongkok ke dalam WTO menimbulkan dampak yang menarik untuk dipelajari. Skripsi ini bertujuan untuk membahas dan menganalisis seberapa besar dampak positif keanggotaan di WTO terhadap perkembangan ekonomi dan politik Tiongkok. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analisis dalam penyajiannya dan didukung studi pustaka yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keanggotaan WTO bagi Tiongkok memberikan beberapa dampak positif bagi perkembangan ekonomi dan politik Tiongkok khususnya dalam ekspansi pasar, peningkatan interdependensi dan munculnya transparansi di Tiongkok.

This thesis discusses the effects of WTO membership on China's economic and political development throughout 2001-2010. China is the first country to liberalize its economy among communists and was in need for WTO membership. As a multilateral trade organization, WTO has a series of binding regulation and rules which demands total compliance from all of its members. Chinese membership's effects on domestic politics and economy is not only interesting, but also provides important lessons for studies in the political economy of development. The objective of this study is to discuss and analyze how does Chinese entry into the WTO affect its domestic economic and political transformation. This research employs qualitative research methodology with explanatory type of researh and supported by relevant literature studies as its data collecting method. It concludes that China's WTO accession provides some positive impacts on China's economic and political development, especially on the development of socialist market economy, developing interdependence and increasing economic and government transparency in China.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S56274
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Manuel
"Tesis ini membahas tentang Demokrasi Deliberatif dan partisipasi Masyarakat sipil dalam proses pembentukan hukum di World Trade Organization (WTO). WTO didirikan untuk mengatur perdagangan internasional sesuai dengan WTO Agreement. WTO mendorong arus perdagangan antarnegara, dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan yang dapat mengganggu kelancaran perdagangan barang dan jasa. Namun sejak kelahirannya WTO telah mendapatkan resistensi yang sangat besar dari berbagai kalangan akar rumput. Hal tersebut dikarenakan hukum perdagangan internasional dalam kerangka WTO telah menimbulkan norma-norma yang bersinggungan langsung dengan individu masyarakat. Keputusan-keputusan yang lahir dalam sistem hukum WTO adalah keputusan yang nyata memiliki dampak secara langsung.
Walaupun secara normatif WTO dianggap sebagai organisasi internasional yang lebih demokratis, namun dalam tataran praksis banyak sekali praktek-praktek pengambilan keputusan yang lebih bersifat oligarkis. Proses pengambilan keputusan di WTO melalui mekanisme konsensus sangatlah tidak transparan, selektif dan rahasia. WTO telah mengalienasikan dirinya dan menjadi otonom dari kepentingan masyarakat sipil. Padahal agar suatu pengambilan keputusan bersifat demokratis, maka proses pengambilan keputusan itu harus melibatkan pihak-pihak yang terkena akibat dari keputusan-keputusan tersebut, baik itu secara langsung maupun melalui perwakilannya masing-masing. Disamping itu, keputusan-keputusan tersebut juga harus dicapai sebagai suatu hasil dari adanya pertukaran argumentasi yang rasional, terbuka dan transparan.
Penulis mencoba menawarkan teori demokrasi deliberatif yang digagas oleh Jurgen Habermas sebagai jawaban dari permasalahan yang terjadi dalam proses pembentukan hukum di WTO. Demokrasi dapat disebut deliberatif jika proses pemberian suatu alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji terlebih dahulu lewat konsultasi publik atau lewat diskursus publik. Menurut Habermas, politik selalu dipengaruhi oleh dua aspek. Aspek tersebut adalah faktisitas hukum dan validitas hukum. Faktisitas hukum menekankan kepastian hukum demi rumusan yang ada pada pada hukum itu sendiri, sedangkan validitas hukum menekankan bahwa hukum harus dapat dilegitimasikan secara moral. Maka dari itu, sesungguhnya teori tersebut merupakan sebuah desakan bagi WTO untuk membuka ruang-ruang dan kanal-kanal komunikasi politis di dalam masyarakat, agar keputusan-keputusan yang diambil dalam proses pembentukan hukum di WTO tidak teralienasikan dari masyarakat sipil dan menimbulkan kurangnya legitimasi.

This theses elaborates the deliberative democracy and participation of civil society in the law-making process at the World Trade Organization (WTO). World Trade Organization (WTO) was established to regulate international trade in accordance with the WTO Agreement. WTO encourages the flow of international trading, by reducing and removing barriers that may interfere the accelerations of trade in goods and services. But since the establishment of the WTO has gained enormous resistance from various grassroots. That is because the law of international trade within the WTO framework has led to the norms that interact directly with individual communities. The decisions that were taken in the WTO legal system is the decisions that have a direct impact.
Although normatively WTO is considered as an international organization that is more democratic, but in a many practical level, decision-making practices in WTO are more oligarchic. The decision making process in the WTO through a consensus mechanism is not transparent, selective and confidential. WTO has alienated himself and become autonomous from the interests of civil society. And to a democratic decision-making, then the decision-making process must involve the affected parties as a result of these decisions, either directly or through their respective representation. In addition, these decisions should also be achieved as a result of an exchange of arguments were rational, open and transparent.
The author tries to offer a theory of deliberative democracy initiated by Jurgen Habermas as an answer to the problems that occur in the WTO law-making process. Democracy can be called deliberative if the process of giving a reason on a public policy candidate tested in advance through public consultation or through public discourse. According to Habermas, politics is always influenced by two aspects. These aspects are legal facticity and legal validity. Legal facticity emphasizes the rule of law toward the formulas that exist in the law itself, while the legal validity emphasizes that law must be legitimized morally. Therefore, the theory actually is an insistence for the WTO to open spaces and channels of political communication in the community, so that the decisions taken in the law-making process in the WTO is not alienated from civil society and causing a lack of legitimacy.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45280
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>