Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 126627 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"One of the most important things in human life is land. It is sociologically as a step of human life and death. Therefore, it caused a number of problems deals with human interest. Concerning to development program especially in the space of local governance is always faced by land issues. One of the most current stuck out issue is land use for public interest. The land used for public interest through development program is always faced with land rights owned by public interest, government and local government need to carry out sociological approach as it is presented in this article."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Zunelda
"Surat Kuasa Membebankan Hak tanggungan (SKMHT) sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 adalah untuk merubah ketentuan yang berlaku dalam praktek penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang pada masa itu dikenal dengan Surat Kuasa Memasang Hipotik (SKMH). Dengan diundangkannya Undang-undang Hak Tanggungan, maka tuntaslah Unifikasi Hukum Tanah Nasional sebagaimana diamanatkan dalam UUPA. Berlakunya UUHT, maka ketentuan mengenai Hipotik sebagaimana diatur dalam Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Pokok masalah yang diambil adalah (1) Apakah terdapat perbedaan persyaratan untuk pembuatan SKMHT jika dibandingkan surat kuasa pada umumnya dan SKMH, (2) Apakah permasalahan yang dihadapi kreditur dalam pelaksanaan SKMHT yang dibuat dihadapan Notaris X, dan (3) Apakah ketentuan SKMHT dalam memberikan perlindungan bagi kreditur sebagai pemegang kuasa.
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Surat kuasa terdapat unsur persetujuan, unsur atas namanya dan unsur menyelenggarakan suatu urusan. Bentuk surat kuasa terbagi atas kuasa khusus dan kuasa umum. Dalam pemberian kuasa tersebut, maka akan ditentukan isi yang mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak. SKMHT adalah surat kuasa khusus yang dalam ketentuannya wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan: (a) tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan; (b) tidak memuat kuasa substitusi dan; (C) mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah hutang dan nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitur bukan pemberi hak tanggungan. Untuk membebankan hipotik berbeda dengan membebankan hak tanggungan karena Hipotik harus dibuat dengan akta otentik dan pada waktu itu yang dimaksud dalam hal ini adalah akta Notaris. Ketentuan UUHT ini terdapat kesulitan dalam pelaksanaan, karena tidak dipatuhinya aturan tersebut oleh kreditur dalam membebankan hak tanggungan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T19841
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Sumardji Djaya
"Pemberian kredit erat kaitannya dengan pemberian jaminan/agunan, pemberian jaminan yang sering digunakan oleh bank adalah dengan menggunakan tanah, dengan telah terjadi univikasi dibidang hukum jaminan khususnya dengan tanah maka pengikatan jaminan yang aman menggunakan hak tanggungan yang lelah diamanatkan oleh pasal 51 UUPA maka terbentuk UU No:4 tahun 1996 mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan. UUHT mempunyai sifat Droite de suite dan Droite de preferen, juga masih ada pembaharuan lain dibanding hipotek misalnya untuk tanah-tanah yang dapat diikat dengan hak tanggungan seperti hak milik, hak atas usaha, hak guna bangunan dan hak pakai, sedangkan untuk hipotek hanya tanah-tanah yang berstatus hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, dalam hal pengikatan dapat dilakukan oleh pejabat Notaris dan PPAT, pelaksanaan eksekusinya mudah dan pasti melihat uraian tersebut diatas kiranya UUITT dapat meminimalisasikan kerugian yang akan timbul dari nasabah yang wanprestasi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nur Fathya
"Pada tanggal 26 April 2007 Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal {UU Penanaman Modal) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Penyebabnya adalah karena dirasakan peraturan perundangan yang terdahulu sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan percepatan perkembangan perekonomian dan pembangunan hukum nasional. Selain itu pertimbangan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerjasama internasional yang berakibat perlu diciptakannya suasana penanaman modal yang kondusif dan efisien serta memberikan kepastian hukum kepada para investor. Pengesahan UU Penanaman Modal menuai penolakan dari berbagai pihak, karena dinilai lebih berpihak kepada para investor khususnya mengenai jangka waktu pemberian hak atas tanah dalam rangka penanaman modal juga bertentangan dengan semangat dan filosofis Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Yang menjadi pokok permasalahan adalah ketidak harmonisan akibat perbedaan jangka waktu pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dalam rangka penanaman modal. Untuk menjawab hal tersebut dilakukan penelitian kepustakaan yang bersifat deskriptif normatif yang menggambarkan peraturan perundangan yang berlaku dalam bidang pertanahan dan penanaman modal dikaitkan dengan teori berkenaan dengan permasalahan yang ada. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa pemberian hak atas tanah dalam rangka penanaman modal yang terlalu lama dikhawatirkan akan menjauhkan rasa keadilan sosial. Oleh karena itu diperlukan sinkronisasi dalam pembuatan peraturan pelaksana UUPA khususnya yang berkaitan dengan penanaman modal baik yang sudah ada maupun yang akan datang.

The Government Of Indonesia has enacted Law of The Republic Indonesia Number 25 Year 2007 on Investment (Investment Law) to replace Law Number 1 Year 1967 on Foreign Investment as amended by Law Number 11 Year 1970 on Amendment and Supplement to Law Number 1 Year 1967 on Foreign Investment and Law Number 6 Year 1968 on Domestic Investment as amended by Law Number 12 Year 1970 on Amendment and Supplement to Law Number 6 Year 1968 on Domestic Investment. The reasons of the enactment of Investment Law are both Foreign and Domestic Investment Law no longer keep pace with national economic enhancement and national law development and Indonesia's participation in various international cooperation regarding investment has consequences to create a conducive investment atmosphere, promoting and giving legal certainty. The enactment on Investment Law has posed into controversies from various parties especially regarding the period of land use approvals given by the government with respect to investments. This matter considered in opposite with spirit and philosophy of Law Number 5 Year 1960 on Agrarian Principal Regulation. The main issue of this research is the disharmony as consequences of the differences of land use approval period for Right of Use, Right to Build and Right to Cultivate. This research utilized library research with normative descriptive approach which describe land laws and investment laws connected with the land theories. The research found that the land use approval for investment will refrain sense of social justice in community. Therefore, it is .urgent to synchronize the implementing regulations of Law Number 5 Year 1960 related to investment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19578
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendarin Ono Saleh
"ABSTRAK
Maraknya pembangunan perumahan (real-estate) di DKI sejak awal tahun 1980-an yang dilakukan oleh kalangan pengusaha swasta, menyusul dikeluarkannya Keputusan Gubernur DKI Nomor : Da. 11/23149/1972 sangat menarik perhatian. Terutama ketika media massa ramai mempublikasikan adanya tunggakan para developer perumahan dalam jumlah yang cukup banyak terhadap kewajiban penyediaan fasilitas umum dan sosial (fasos-fasum) di kawasan perumahan yang mereka bangun. Persoalan tersebut menjadi menarik, karena jika ternyata tunggakan para developer itu disebabkan oleh persoalan intern dari organisasi publik, seperti ketidakjelasan aturan, institusional, mekanisme kerja, kelemahan sumber daya manusia dan sebagainya, maka hal ini dapat dijadikan bahan pertimbangan yang berharga bagi pemerintah (Daerah maupun Pusat), sebelum melakukan privativasi - (penyerahan tugas-tugas publik kepada swasta) - dalam hal ini penyediaan rumah untuk rakyat dan pembangunan prasarana kota.
Penelitian ini di lakukan dengan menganalisis Keputusan Gubernur nomor: Da.11/23149/1972 dilihat dari tiga proses penetapannya; formulasi, implementasi dan evaluasi, dengan mengambil sampel kasus pembangunan perumahan di dua kawasan ; Kelapa Gading dan Citra Garden 1 dan 2. Hasil penelitian ternyata membenarkan perkiraan tersebut di atas. Bahwa benar Keputusan Gubernur tersebut mengalami hambatan terutama dalam proses implementasinya, yang mengkibatkan adanya tunggakkan dari para developer untuk membangun fasum-fasos. Untuk itu pula diberikan beberapa catatan di bagian akhir tulisan ini sebagai saran atau rekomendasi untuk Pemerintah Daerah DKJ Jakarta.
Teori yang digunakan untuk mendekati masalah tersebut ialah teori-teori umum kebijakan publik ( Theory of Public Policy ). Sedangkan metodologi yang digunakan antara lain analisis data sekunder, penyebaran kuesioner (angket), wawancara dan observasi yang semuanya kemudian disajikan secara deskriptif kualitatif, dengan dilengkapi teknik frekwensi secara kuantitatif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Bachrun N.A.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2007
T39429
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suporaharjo
"Obyek sengketa tanah antara komunitas Ketajek dengan Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Jember adalah bekas hak Erfpach Verponding No. 2712 dan Verponding No. 2713 dikenal dengan nama kebun Ketajik I dan II atas nama NV Land Bow My Oud Djember (LMOD) leas keseluruhan 477,87 ha yang berakhir haknya tanggal 29 Juli 1967, terletak di desa Pakis dan desa Suci kecamatan Panti, kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur.
Sengketa tanah Ketajek mulai mencuat ketika pada tahun 1972 pemerintah daerah kabupaten Jember yang dipimpin Bupati Abdul Hadi yang juga sebagai komisaris PDP jember mulai berencana mengambil alih Kebun Ketajek I dan 11 yang telah digarap warga Ketajek sejak tahun 1950-an.
Proses pengambilalihan oleh PDP Jember atas tanah kebun Ketajek I dan II yang telah didistribusikan kepada warga Ketajek melalui kebijakan land reform pada tahun 1964 ini akhirnya menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga saat ini. Mengapa konflik sosial atas tanah Ketajek terus bertahan cukup lama dan bagaimana pilihan strategi penyelesaian konflik yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa serta para pihak yang terlibat dalam pusaran konflik tersebut coba dipahami lebih mendalam melalui penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah:
1) Menelusuri dan memetakan sejarah dan sumber penyebab konflik;
2) Menemukenali faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya eskalasi konflik;
3) Mendalami proses-proses pilihan dan akibat dari strategi manajemen/penyelesaian konflik yang digunakan para pihak yang berkonflik; dan
4) Memberikan rekomendasi perbaikan atas cara-cara penyelesaian konflik antara masyarakat Ketajek dan PDP Jember yang selama ini dilakukan.
Pendekatan yang dilakukan untuk penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena dianggap sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu memahami fenomena peristiwa terjadinya konflik dan kaitannya terhadap keberadaan berbagai pihak, baik yang pro maupun kontra dengan penyelesaian konflik atas tanah antara komunitas Ketajek dan PDP Jember. Dari kelompok yang pro dan kontra coba dilakukan wawancara dan pemahamam secara mendalam atas usulan penyelesaian yang seharusnya dilakukan atas sengketa tanah Ketajek ini. Berbagai pendapat dari wawancara dengan informan dan penelusuran dokumen atas cara intervensi untuk menyelesaikan konflik ini kemudian direview dan di analisis kekuatan dan kekurangannya dengan cara membandingkan pengalaman di tempat lain atau kasus-kasus yang sudah pernah terjadi.
Dalam penelitian ini konflik dilihat sebagai suatu bentuk interaksi yang dapat membangun, mengintegrasikan dan meneruskan struktur dalam masyarakat. Konflik coba dipahami dari sisi positif dan sisi negatif. Konflik seharusnya dihadapi dan dikelola karena konflik dapat dipahami dari para pihak yang terlibat, sumber penyebab, tahapan perkembanganya, faktor-faktor yang mempengaruhi eskalasi dan kemungkinan mekanisme intervensinya.
Temuan penting dari hasil penelitian ini antara lain: adanya lima cara penyelesaian yang diusulkan para pihak yang berkepentingan, yaitu:
1) Pemberian tali asih/ganti rugi;
2) Membawa kasus sengketa ke pengadilan (peradilan umum);
3) Menempuh jalur hukum non pengadilan atau jalur politik;
4) Musyawarah; dan
5) Membangun kemitraan antara PDP dan warga Ketajek.
Pilihan terhadap tali asih/ganti dan membawa kasus ke lembaga pengadilan merupakan pilihan utama dari Pemerintah kabupaten/PDP Jember. Sementara pihak komunitas Ketajek lebih menyukai pendekatan jalur hukum non pengadilan atau politik dan musyawarah.
Dari hasil analisis terhadap kegagalan beberapa pilihan strategi penyelesaian yang telah ditempuh menunjukkan bahwa keputusan pilihan jalan keluar dilakukan secara sepihak oleh yang berpower kuat dan tidak mengatasi sumber penyebabnya, rendahnya keahlian para mediator/fasilitator, lemahnya anal isa atas problem bersama, dialog antara para pihak yang bersengketa sering bersifat konfrontatif, berbagai proses yang dilakukan lebih bersifat permusuhan dari pada kolaboratif, terjadinya polarisasi dalam berbagai kelompok dari komunitas Ketajek, terjadinya rivalitas antara para pihak yang berkepentingan mendampingin komunitas, tidak ada kemauan politik dari pimpinan/elit yang berada di pemda/PDP, DPRD untuk berbagi power/kegiatan manfaat kepada komunitas lokal atas aset sumberaya alam yang ada.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa cara penyelesaian yang telah ditempuh seperti pemberian tali asih/ganti rugi, musyawarah dan membawa kasus ke peradilan umum telah gagal menyelesaikan sengketa tanah Ketajek, karena cara-cara tersebut tidak membawa kepada kesepakatan secara bulat yang didukung oleh semuat pihak yang terlibat dan memuaskan kepentingan seluruh pihak.
Sedangkan dari sisi kebijakan pemerintah daerah kabupaten Jember, dapat disimpulkan bahwa pemda tidak memiliki infrastruktur baik dari segi kelembagaan maupun sumberdaya manusia untuk melaksanakan penyelesaian konflik secara non litigasi atau alternative dispute resolution (ADR). Niatan untuk menyelesaikan konflik secara ADR hanya ada dalam teks saja, dalam prakteknya tidak ada kebijakannya.
Oleh karena itu, dengan melihat berbagai usulan dari para pihak yang berkepentingan dengan sengketa tanah Ketajek, maka direkomendasikan kepada pemda dan DPRD kabupaten Jember untuk mempertimbangkan strategi kolaborasi untuk menyelesaikan sengketa tanah Ketajek.
Dalam melaksanakan strategi kolaborasi para pihak yang bersengketa harus mempunyai kemauan untuk merubah penyelesaian konflik dari pendekatan permusuhan ke pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadiersarial approach). Karena dalam proses kolaborasi perlu keterbukaan, kesadaran adanya saling ketergantungan, menghormati perbedaan, membutuhkan partisipasi aktif para pihak yang berkonflik, membutuhkan jalan keluar dan penetapan hubungan yang disepakati bersama dan kesadaran bahwa kolaborasi adalah suatu proses bukan resep.
Ada empat desain umum untuk kolaborasi yang harus mendapatkan perhatian seksama para pihak yang berkonflik, yaitu yang berkaitan dengan upaya-upaya bersama menemukan pilihan yang tepat atas:
1) Perencanaan yang apresiatif;
2) Strategi kolektif;
3) Dialog; dan
4) Menegosiasikan penyelesaian.
Agar dapat membangun desain kolaborasi yang konstruktif dan mendapatkan komitmen dari para pihak yang bersengketa maka harus ada kejelasan tahapan yang dapat dijadikan panduan bersama. Tahapan ini paling tidak terdiri dari, tahap pertama, kejelasan dalam menetapkan problem; tahap kedua, kejelasan dalam menetapkan arah kolaborasi; dan tahap ketiga, kejelasan dalam menetapkan pelaksanaannya.
Untuk mendukung keberhasilan strategi kolaborasi, juga peran dukungan pemerintah daerah kabupaten jember merupakan faktor penting. Tanpa kemauan yang kuat dari pihak pemda untuk mendukungnya maka mustahil tahapan proses kolaborasi tersebut dapat dijalankan. Oleh karena itu, kemauan politik dari pemda tidak cukup hanya dicantumkan dalam teks POLDAS tapi harus diwujudkan dalam praktek, yaitu dengan cara menyediakan sumberdaya manusia yang terlatih sebagai fasilitator/mediator andal dan dukungan membangun kelembagaannya.
Review Strategies For The Resolution Of Social Land Conflicts: A Case Study Of Ketajek Community Vs. Jember Estate Company, In Kecamatan Panti, Kabupaten Jember East Java Province The land disputed by Ketajek community and Jember estate company (PDP) used to belong to the rights of Erfpach Verponding No. 2712 and No. 2713. They are known as Ketajek Estate I and If, on behalf of NV. Land Bow My Oud Djmber (WOD), with the overall area of 477.87 hectares located in Pakis and Suci villages, kecamatan Panti, Kabupaten Jember, East Java. The rights ended on 29 July 1967.
The land conflict broke out in 1972 when the local government under Bupati Abdul Hadi, who was also one of PDP's board of directors, planned to take over Ketajek Estate I and II which had long been cultivated by Ketajek local people since 1950s.
Ketajek I and II having been distributed since 1964 by means of land reform policy, the take-over has caused an intractable conflict-up to now. This research tries to explore how the social conflict of Ketajek land remains unresolved, and what kinds of conflict resolution strategies have been adopted by the conflicting parties as well as those involved in the turbulence of conflict. So, the objectives of this research are:
1) To dig up and map the history and sources of conflict;
2) To identify the factors influencing the conflict escalation;
3) To observe the process of selection and the result of conflict management/resolution strategy applied by the conflicting parties; and
4) To provide a recommendation of how to improve the existing conflict resolution methods between Ketajek community and PDP Jember.
The research made use of qualitative approach. This approach best-matched with the objectives of the research, i.e. to understand conflict fenomena in connexion with the presence of multi parties, both those in favor and those against the resolution of the land conflict between Ketajek community and PDP Jember. For the pros and cons, interviews were given to get a deep understanding of what opinions they have about the resolution proposed for Ketajek land conflict. Ideas obtained from the interviews with informants and data from scrutinizing the documents about intervention methods for this conflict were collected to be reviewed and analyzed to get the strength and weaknesses by comparing with experience from other sites or with the preceding cases.
In this research, conflict was seen as a form of interaction that can develop, integrate, and continue the structures within a society. It is understood from both positive and negative perspectives because conflict should be faced and managed as it can be understood from the perspectives of the parties involved, from the very cause, from the stages of development, from the factors influencing the escalation and from the possibilities of intervention mechanisms The important findings of the research are, among others, five methods of resolution proposed by interest parties, i.e.:
1) Providing a compensation;
2) Bringing the case to the court;
3) Taking an extra-court law (nonlitigation) orpolitical action;
4) Building dialog/negotiation; and
5) Building a partnership between PDP and Ketajek local people. The local governmentiPDP jember prefers options 1 and 2, whereas Ketajek community prefers points 3 and 4.
From the analysis of the above failure, it was found that: the options were made unilaterally by the power-ed party, and it failed to hit the source of the problems, the facilitators/mediators were unskilled, the analysis of the shared problems was poor, dialogs between conflicting parties were frequently confrontational, the processes were more confrontational than collaborative, groups of Ketajek community were polarized, there was a rivalry between interest parties that went with the community, there was a lack of political will from elites in the local government/PDP, DPRD to share power/activities/benefit with the local community over the natural resources.
The conclusion is that the five resolutions failed to lead to an agreement supported by all parties and failed to satisfy all. From the perspective of Jember local government's policy, it can be concluded that the local government did not have adequate infrastructures, either in the form of institutions or human resources to enact a no litigation conflict resolution or alternative dispute resolution (ADR). To manifest the ADR was all in theory; in practice, none of the policies used it.
Considering the ideas proposed by interest parties in the Ketajek Iand conflict, therefore, it is recommended to the local government and DPRD Jember to think over collaborative strategies to resolve Ketajek land conflict.
In plying the collaborative strategies, the conflicting parties must have a will to shift from adversarial approaches to no adversarial ones since the collaborative processes need openness, respect for difference, the awareness of interdependency, active participation of the conflicting parties, way out and agreed relationship, and the awareness that collaboration is a process, not a recipe.
There are four general designs for collaboration to be noted carefully by the conflicting parties related to joint efforts to make the smart choice of
1) Appreciative planning;
2) Collective strategy;
3) Dialog; and
4) Negotiation of resolution.
In order to be able to build a constructive design for collaboration that all conflicting parties are committed to, there must be clear stages for a common guideline, The stages should at least comprise first stage, a clear problem statement; second stage, a clear direction of collaboration; and third stage, a clear operation.
To support a successful collaborative strategy, the support from Jember local government is an important factor. Without a strong will from the local government to sustain it, it is impossible for the collaborative processes to be operated. Therefore, the political will of the local government should not only be typed on POLDAS text, but should also be realized in practice, by providing skilled human resources for the best facilitators/mediators and giving support or developing the institution.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Azhar Abdurachman
"Seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi industri, Kabupaten Karawang yang dulunya adalah sebagai daerah pertanian yang merupakan penghasil beras terbesar di pulau jawa, sebagian besar lahannya digunakan untuk bercocok tanam padi perlahan-lahan berubah menjadi daerah terbangun. Peneletian ini bertujuan untuk mengetahui diimana dan penyebab Perubahan Penggunaan lahan Pertanian menjadi daerah terbangun pada tahun 1984 dan 2008 serta pengaruh terhadap swasembada beras di Kabupaten Karawang dengan menggunakan Metode analisis deskriptif, super imposed peta, dan uji data statistik Multiple Regressi sehingga terlihat bahwa Perubahan Penggunaan lahan pertanian menjadi daerah terbangun yang tinggi pada Kabupaten Karawang secara umum terjadi pada Kecamatan yang mengalami pertambahan kepadatan penduduk yang tinggi, penurunan rata-rata pendapatan petani dan prosentase lahan terbangun yang direncanakan oleh RTRW yang tinggi. Perubahan lahan pertanian menjadi daerah terbangun memberikan dampak pada Kabupaten Karawang dalam memenuhi Swasembada beras kedua di Kabupaten Karawang. Secara Umum Kabupaten Karawang masih dapat melakukan Swasembada beras, namun terjadi penurunan surplus beras di setiap Kecamatan di Kabupaten Karawang."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S27849
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Sadjid
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2003
T39635
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radian Nurcahyo
"Hak atas tanah pada kawasan pantai merupakan salah satu substansi yang terdapat dalam rancangan undang-undang hak tanah, rencana pengaturan hak tanah pada kawasan pantai tersebut perlu diperhatikan kawasan yang ditarik sepanjang100 (seratus) meter dari bibir pantai atau dikenal sebagai daerah sempadan pantai, hal ini dikarenakan kawasan sempadan pantai merupakan kawasan yang dilindungi dan berpotensi menentukan kelestarian atau kerusakan wilayah pantai yang di.sebabkan faktor alami atau buatan manusia, pokok permasalahan yang perlu diperhatian terhadap kawasan sempadan pantai adalah dari sisi penerapan peraturan perundang-undangan pertanahan nasional pada kawasan tersebut. Bila peraturan perundang-undangan pertanahan nasional yang mengatur mengenai hak-hak atas tanah sudah diterapkan pada kawasan pantai dan tidak terjadi masalah, tentu tanah pada kawasan pantai akan dapat dimanfaatkan dengan baik, hal inilah yang mendorong penulis melakukan penelitian menggunakan metode studi kepustakaan dan tinjauan lapangan dengan melakukan pengamatan langsung pada lokasi obyek penelitian serta wawancara dengan respondenguna mendapatkan jawaban atas permasalahan penerapan hak-hak atas tanah yang diatur dalam ?Undang-Undang Pokok Agraria?. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa Penerapan hak-hak atas tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria belum sepenuhnya efektif dilaksanakan di kawasan sempadan pantai karena di daerah sempadan pantai tersebut hanya terdapat hak menumpang di atas tanah dengan status tanah Sultan Ground. Dimana status tanah Sultan Ground tidak diakui lagi semenjak adanya Undang-Undang Pokok Agraria. Hal ini menjadi tugas bagi praktisi maupun akademisi hukum pertanahan untuk lebih berperan aktif memikirkan solusi permasalahan yang terjadi pada kawasan pantai, untuk selanjutnya dari hal tersebut dapat dilakukan reformasi pengaturan hak atas tanah pads kawasan pantai dengan penentuan kebijakan yang tepat dan bermanfaat bagi terwujudnya kepastian hukum penguasaan hak atas tanah pada kawasan pantai, sehingga hak-hak atas tanah yang berada pada kawasan pantai akan dapat dimanfaatkan secara optimal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16383
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>