Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166607 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ita Zaleha Saptaria
"Notaris adalah pejabat umum yang oleh Undang-Undang diberikan kewenangan dan kepercayaan dari masyarakat untuk menjalankan sebagian kekuasaan Negara untuk membuat alat bukti tertulis yang otentik dalam bidang hukum perdata. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna serta memberikan kepastian hukum. Apabila Notaris tersebut dalam menjalankan jabatannya ternyata diketahui melakukan pelanggaran, kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian bagi kliennya, maka Notaris tersebut berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Sanksi Notaris diatur dalam Pasal 84 dan Pasal 85 UUJN. Dalam UUJN diatur sanksi Perdata dan sanksi Administratif bagi Notaris yang melakukan pelanggaran tersebut. UUJN tidak mengatur sanksi pidana untuk Notaris. Dalam melakukan pengawasan terhadap Notaris, Menteri membentuk Majelis Pengawas yang bertugas membantu Menteri dalam mengawasi Notaris meliputi perilaku dan pelaksanaan dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris.

Notary is a public officer who by law is given the authority and trust of the people to run some power of the State to create an authentic written evidence in the field of civil law. Deed authenticated by the Notary has the power itself of perfect proof and provide legal certainty. If the Notary is found in exercise his job have some fraud or negligence, errors or omissions that causes losses for his clients, then the Notary is obliged by law to account and liability for his actions. Notary sanctions provided in Article 84 and Article 85 UUJN. In UUJN Civil penalties and sanctions provided for the notary who Administrative committed the fraud. UUJN not regulate criminal sanction for the Notary. In supervising the notary, the Minister formed the Supervisory Council of Ministers tasked to assist in overseeing the conduct and execution of Notary included in exercise his job as a Notary if there Notary who has committed a violation of regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27493
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Amelya Rasman
"Tesis ini membahas mengenai larangan membuka Kantor Cabang bagi Notaris yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan Kode Etik Notaris, akan tetapi apabila pelanggaran tersebut terjadi, tidak ada pengaturan secara tegas mengenai sanksinya dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
Permasalahan yang diteliti dalam tesis ini adalah mengenai pengaturan dan pengawasan terhadap Notaris dalam UUJN, pelaksanaan pengawasan terhadap Notaris oleh Majelis Pengawas Notaris dan Dewan Kehormatan serta analisis kasus mengenai Notaris yang membuka Kantor Cabang.
Kesimpulan dari tesis ini yaitu Notaris hanya diperbolehkan membuka satu kantor ditempat kedudukannya dan dilarang membuka Kantor Cabang; Majelis Pengawas Notaris dan Dewan Kehormatan melakukan pengawasan secara preventif dan kuratif dalam menangani kasus Notaris membuka Kantor Cabang; dan pengenaan sanksi terhadap Notaris yang membuka Kantor Cabang berupa teguran lisan merupakan sanksi yang ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi Notaris yang bersangkutan.
Saran dari tesis ini yaitu hendaknya didalam Undang-Undang ditentukan sanksi yang tegas bagi Notaris yang membuka Kantor Cabang; Majelis Pengawas Notaris dan Dewan Kehormatan sebaiknya berkoordinasi agar pelaksanaan pengawasan terhadap Notaris dapat berjalan lebih baik dan para Notaris hendaknya memiliki kesadaran dari dalam diri untuk melaksanakan UUJN dan Kode Etik dengan sebaik-baiknya.

The focus of this study is about the prohibition to open branch office for Notary contained in Notary Occupation Law Number 30, Year 2004 and Notary Code of Ethics, but then if the violation occurs, there is no distinct rule about the sanction.
The issue to be researched in this study is about the regulation and supervision of Notary, implementation supervision of Notary by the Notary Control Committee and Honor Council, and case analyze about Notary branch office.
The conclusion of this study are : Notary should have only one office in their occupation area and to open a branch office for Notary is forbidden; Notary Control Committee and Honor Council carry out the supervision in preventive and curative ways in up againts Notary whose open branch office; and about the sanction for Notary whose open a branch office that is warning by word is a light arrest so that no deterrent effect for Notary.
The researcher suggest that the regulation should determine district sanction for the Notary whose open a branch office, Notary Control Committee and Honor Council have to coordinate in order to get better supervision of Notary, and the Notary ought to have an awareness of the self to made a success the implementation of Notary Occupation Law Number 30, Year 2004 and Notary Code of Ethics.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27430
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Halimah Humayrah Tuanaya
"Proses kriminalisasi merupakan hal yang esensial dalam hukum pidana. Pada dasarnya proses kriminalisasi terhadap perbuatan ?penyalahgunaan kewenangan" bukan hal baru, sejak tahun 1957 terminologi ?penyalahgunaan kewenangan" telah digunakan pada beberapa perundang-undangan pidana, namun hingga saat ini unsur "penyalahgunaan kewenangan" belum memiliki pengertian yang jelas. Kemerdekaan hakim dalam menafsirkan unsur ?penyalahgunaan wewenang" melahirkan disparitas putusan yang layak untuk terus dikaji, baik dari sudut pandang Hukum Pidana maupun dari dimensi lain termasuk Hukum Administrasi. Mengingat pegawai negeri merupakan personifikasi dari wewenang publik, sehingga Hukum Administrasi sangat relevan untuk membantu memahami konsep penyalahgunaan kewenangan.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan parameter tertentu sebagai acuan dalam menentukan ada tidaknya perbuatan penyalahgunaan kewenangan; meneliti bentuk perbuatan penyalahgunaan kewenangan yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK); serta menganalisis beberapa putusan tindak pidana korupsi yang terkait dengan penyalahgunaan kewenangan.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan pendekatan analitis (analytical approach) yang bertujuan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam istilah yang digunakan dalam perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam putusan pengadilan. Data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data primer maupun data sekunder yang akan dianalisis dengan menghubungkannya pada putusan-putusan pengadilan yang sebelumnya telah lebih dulu melakukan penafsiran terhadap unsur penyalahgunaan wewenang.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak seluruh perbuatan yang dianggap sebagai penyalahgunaan kewenangan menurut Hukum Administrasi merupakan perbuatan yang melawan hukum pidana. Terkait dengan kewenangan yang sifatnya terikat, maka parameter penyalahgunaan kewenangan adalah peraturan perundang-undangan tertulis, sedangkan terhadap kewenangan bebas parameternya didasarkan pada asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur). Berdasarkan hasil kajian terhadap beberapa putusan pengadilan, parameter yang digunakan hakim untuk menilai adanya perbuatan penyalahgunaan kewenangan sangat beragam.
Penelitian ini merekomendasikan agar Mahkamah Agung menentukan satu Yurisprudensi Tetap yang dapat dijadikan acuan hakim ketika menafsirkan unsur menyalahgunakan kewenangan pada Pasal 3 UU PTPK untuk menghindari disparitas putusan pengadilan yang berlebihan guna mengembalikan eksistensi hukum pidana yang identik dengan prinsip legalitas.

Criminalization process of a do that is assumed reprehensible by people to be a rule of criminal legislation is essential in the criminal law. Basically criminalization process of abuse of authority abuse is not a new thing in the history of enforceability of criminal legislation rule in Indonesia. Since 1957 terminology of authority abuse has been used on some criminal legislation, but thus far matter of ?authority abuse" has not clear definition on criminal legislation. The independency of judge to define the elements of authority abuse has born disparity of judgment that is reasonable to be reviewed. It's not only to review it by point of view of criminal legislation but also by other dimensions, such as administration law. Because civil servant and public official are personification of public authority, so administration law is relevant object of study to comprehend further the concept of authority abuse.
This resource aims to discover the certain parameter that can be used as the reference of determining whether there"s the authority abuse or not. Then this resource is delving further about the doings of authority abuse that are unlawful things based on Article 3 of Law No. 31 Year 1999 on the Eradication of Corruption. As the application review of unlawful things based on Article 3 of Law No. 31 Year 1999 on the Eradication of Corruption, this recourse is also analyzing some court decisions related to corruption actions of authority abuse.
This resource is normative resource with analytical approach that aims to know the meaning of names that are used in the legislation conceptually, and to know its applications in the practice and law judgments. The dates used in this resource are included primer and secondary date that are analyzed by linking the court judgments that previously interpreted the authority abuse on the corruption criminal action eradication.
The result of this resource showing that not all action assumed as authority abuse on administration law is action which is unlawful on criminal law as being regulated on Article 3 of Law No. 31 Year 1999 on the Eradication of Corruption. Related to the bound authority, authority abuse parameter is written rules, whereas on the authority which parameter is free based on general pinciple of good government (algemene beginselen van behoorlijk bestuur). However, from the review result of some court judgments is founded that the parameters used by judge to assess whether there"s the authority abuse are so diverse.
This resource recommends that the Supreme Court determine a constant case law to be a judges benchmark when interpreting the elements of authority abuse based on Article 3 of Law No. 31 Year 1999 on the Eradication of Corruption to prevent disparity of excessive court judgment to return the existence of criminal law as guidance of the way to behave in the society which is identical to the legality."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T30591
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Marbun, Nindya Meylani
"Penyelesaian kerugian keuangan negara akibat kelalaian/kesalahan administrasi seharusnya merupakan penyelesaian administrasi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Kerugian negara selalu diarahkan kepada hukum pidana dan mengabaikan hukum administrasi negara. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman mengenai teori hukum administrasi negara. Tidak semua penyimpangan khususnya dalam hal tindakan aparatur pemerintah dikenai sanksi pidana apabila hukum administrasi negara memberikan pedoman dan sanksi. Untuk itu, perlu dibuat adanya Standar Operasional agar penyelesaian kerugian keuangan negara akibat kesalahan/kelalaian admnistrasi dapat diselesaikan secara administrasi dan peningkatan pengawasan dari APIP dalam hal ?hal yang berhubungan dengan administrasi pemerintahan.

Solving Mechanism of State Financial Loss Due to Administrative Failure and/or error should be an administrative settlement in accordance with Law No. 1 of 2004 on State Treasury and Law No. 30 Year 2014 on Government Administration. State losses are always directed to the criminal law and the law ignores the state administration. This is due to lack of understanding of the theory of administrative law. Not all irregularities, especially in terms of the actions of government officials subject to criminal sanctions if the administrative law providing guidelines and sanctions. For that, need to be made that the completion of their Standard Operating state financial losses due to errors / omissions of Administrative can be resolved administratively and increased supervision of the APIP in those things which relate to government administration."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46142
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Andahyani
"Tesis lni membahas mengapa dlperlukan kebijakan penghapusan sanksi administrasi sesuai Pasa137 A Urulang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan bagaimana kepastian hukum bagi Wajib Pajak serta dampaknya yang memanfaatkan Penghapusan sanksi administrasi Pasal37 A Undang Undang Nomor 28 tahua 2007. Metode penelitian yang digunakan adalah normatif yuridis. Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoieh melalui penelitian kepustakaan yaitu penelittan dengan menggunaka..i data
sek.I.IIlder berupa buk.u-buku, pcratLU'an-peratur.:m, laporan-laporan, inforrnasi ilmiah dan bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Tujuan Kebijakan Penghapusan Penghapusan Sanksi Administrasi yang diatur dalam Pasal37A Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 adalah agar Direktorat Jenderal Pajak mempunyai Data Base Wajib Pajak yang akurat disamping itu untuk menambah penerimaan pajak di tahun 2008. Kepastian Hukum bagi Wajib Pajak yang memanfaaikan Kebijakan Penghapusan Penghapusan Sanksi Administrasi yang dialur dalarn Pasal 37A Undang Undang Nomnr 28 Tahun 2007, alas data dan infonnasi yang disampaikan dalam SPT Tahuanan PPh /Pembetulan SPT Tahuanan PPh dalam rangka kebijakan ini adalah tidak akan dilakukan pemeriksaan sepaujang tidak ada data lain yang membuktikan bahwa SPT yang bersangkutan tidak benar. Namun demikian pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sangat terbuka untuk tahun-tahun pajak selanjutnya setelah tahun pajak 2006 (WP lama) atau tahun 2007 (WP Baru) Dampek Kebijakan Penghapusan Penghapusan Sanksi Administrasi yang diatur dalam Pasal 37 A Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 mempunyai ·pengaruh positif dan negatif bagi Wajib Pajak dan bagi Direktorat Jenderal Pajak.

This thesia discusses why the administrative sanction deletion policy is required in compliance witl1 Article 37A Act Number 28 Year 2007 and haw is legal certainty for taxpayer and its impact bay taking advantages of administrative suction deletion Article 37A Act Number 28 Year 2007. Research metlwd used is juridical normative. Data required in this research was obtained through library research namely research by using secondary data in fonn of books, regulation and Jaws, reports~ scientific information and
other writeing material related to the subject matter. The aim nf administrative sanction deletion policy as regulated in Arttcle 37 A Act Number 28 Year 2007 is in order that Directorate General of Taxation has an accurate Taxpayer Database in addition to increase tax revenue in 2008. Legal certainty for taxpayer by taking advantages from administrative sanction deletion policy as regulated in Article 37A Act Number 28 Year 2007, upon data and information submitted in Annual SPT Income Tax/Correction of Annual SPT Income Tax in order that there would be no inspection as long as there is no other data providing evidence that the SPT is not correct. However, the inspection toward taxpayers is very transparent fur futher Administrtive Sanction Delete!on Policy regulated in Article 37A Act Number 28 Year 2007 has positive and negative impacts for taxpayers and for Directorate General of Taxation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25708
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hevi Dwi Oktaviani
"ABSTRAK
Pasca disahkannya Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terjadi perluasan dalam pemaknaan Keputusan Tata Usaha Negara KTUN . Sehingga, perlu dipahami perbedaan definisi sebelum dan sesudah munculnya pasal tersebut. KTUN dimaknai secara sempit pada Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Setelah itu, perluasan redefinisi KTUN berdampak pada wewenang PTUN karena KTUN merupakan objek sengketa di PTUN. Pembahasan terakhir akan mencoba mencari putusan-putusan PTUN yang sudah menerapkan ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dalam pertimbangan hukum hakim. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder serta menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang diperoleh dari studi kepustakaan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak adanya penambahan wewenang PTUN pasca munculnya Pasal 87 karena pada intinya wewenang PTUN tetap mengadili dan memutus sengketa Tata Usaha Negara yang disebabkan oleh terbitnya suatu KTUN. Tetapi, saat ini PTUN harus memaknai KTUN berdasarkan Pasal 87. Selanjutnya, terdapat putusan PTUN yang telah menerapkan Pasal 87 dalam pertimbangan hukumnya yaitu pada Putusan No.45/B/2016/PT.TUN.MKS yang khususnya menggunakan dalil unsur KTUN pada Pasal 87 huruf e ldquo;berpotensi menimbulkan akibat hukum rdquo;. Pasca disahkannya Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terjadi perluasan dalam pemaknaan Keputusan Tata Usaha Negara KTUN . Sehingga, perlu dipahami perbedaan definisi sebelum dan sesudah munculnya pasal tersebut. KTUN dimaknai secara sempit pada Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Setelah itu, perluasan redefinisi KTUN berdampak pada wewenang PTUN karena KTUN merupakan objek sengketa di PTUN. Pembahasan terakhir akan mencoba mencari putusan-putusan PTUN yang sudah menerapkan ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dalam pertimbangan hukum hakim. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder serta menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang diperoleh dari studi kepustakaan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak adanya penambahan wewenang PTUN pasca munculnya Pasal 87 karena pada intinya wewenang PTUN tetap mengadili dan memutus sengketa Tata Usaha Negara yang disebabkan oleh terbitnya suatu KTUN. Tetapi, saat ini PTUN harus memaknai KTUN berdasarkan Pasal 87. Selanjutnya, terdapat putusan PTUN yang telah menerapkan Pasal 87 dalam pertimbangan hukumnya yaitu pada Putusan No.45/B/2016/PT.TUN.MKS yang khususnya menggunakan dalil unsur KTUN pada Pasal 87 huruf e ldquo;berpotensi menimbulkan akibat hukum rdquo;.

ABSTRACT
After the passing of Article 87 of Law Number 30 Year 2014 on Government Administration, there is an expansion in the meaning of the State Administrative Decision KTUN . Thus, it is necessary to understand the difference of definition before and after the emergence of the article. KTUN is interpreted narrowly in the Law on State Administrative Court. After that, the redefinition extension of KTUN affects the authority of the PTUN because KTUN is a dispute object in the PTUN. The last discussion will try to find the decision of the Administrative Court which has applied the provisions of Article 87 of Law Number 30 Year 2014 in the judge 39 s judicial consideration. The research method used is normative juridical, using secondary data and using primary, secondary and tertiary legal material obtained from literature study. The conclusion of this research is the absence of additional authority of PTUN after the emergence of Article 87 because in essence the authority of PTUN still adjudicates and decides the State Administration dispute caused by the issuance of a KTUN. However, the current State Administrative Court must interpret the KTUN under Article 87. Furthermore, there is a decision of the Administrative Court which has applied Article 87 in its legal considerations, namely Decision No.45 B 2016 PT.TUN.MKS which specifically uses the KTUN elementary argument in Article 87 letter e has the potential to cause legal consequences ."
2018
T49058
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joseph Harry Krisnamurti
"Berlakunya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan selain telah menjawab kebutuhan atas adanya suatu undang-undang yang mengatur tentang hukum materiil bagi Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia juga telah menimbulkan permasalahan tersendiri dalam pengaturannya. Hal ini karena Undang-Undang Administrasi Pemerintahan telah mengatur bahwa Badan Pemerintahan dapat ditetapkan sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk mengembalikan kerugian negara, yang mana pengaturan tersebut justru bertentangan dengan pengertian dari kerugian negara itu sendiri sebagaimana diatur dalam Perundang-Undangan Bidang Keuangan Negara yang menempatkan negara sebagai pihak yang menderita kerugian dalam hal terjadinya kerugian negara. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bertujuan untuk menguji kesesuaian antara norma-norma hukum yang belaku dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dengan Perundang-Undangan Bidang Keuangan Negara. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Badan Pemerintahan tidak dapat ditetapkan sebagai subyek hukum penanggung jawab atas terjadinya kerugian negara. Pengaturan tersebut cenderung tidak logis secara hukum karena mengatur bahwa Badan Pemerintahan sebagai wujud perwakilan dari negara itu sendiri dapat diminta untuk melakukan pengembalian atau pembayaran kerugian negara kepada dirinya sendiri. Dengan demikian untuk kedepannya perlu dilakukan perbaikan-perbaikan atas ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan agar sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang telah berlaku sebelumnya dalam Perundang-Undangan Bidang Keuangan Negara.

The enactment of the Law of Government Administration in addition to having answered the need for the existence of a law regulating the material law for the State Administrative Court in Indonesia has also raised its own problems on its regulation. This is because the Law of Government Administration has provided that the Government Officials may be designated as the party responsible for returning the state losses, in which the arrangement contradicts with the meaning of state losses itself as stipulated in the Laws of State Finance which places the state as a party suffering losses in the event of a state losses. This research is compiled by using normative juridical research method which aims to test the conformity between legal norms that are applied in Law of Government Administration and Laws of State Finance. The results of this research indicate that the Government Officials can not be designated as the legal subject in charge of the state losses. This regulation is tend not to be legally logical because it provides that the Government Officials as a representative form of the state itself may be required to return or pay the state losses to the state itself. Therefore, for further, it is necessary to make revisions of the provisions applicable in the Law of Government Administration to be in line with the provisions that have been applied before in the Laws of State Finance."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49801
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rumagit, Rian Benedictus
"Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU APS”), telah mengatur mengenai alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan Arbitrase. Permohonan pembatalan putusan ini diajukan di Pengadilan Negeri. UU APS tidak memberikan pembedaan terhadap pembatalan baik terhadap putusan arbitrase nasional maupun pembatalan atas putusan arbitrase internasional. Faktanya, pengaturan mengenai alasan pembatalan putusan arbitrase dalam UU APS terdapat ketidakharmonisan aturan yang menimbulkan multitafsir. Pasal 70 UU APS menggunakan frase “sebagai berikut” yang apabila diartikan maka ketentuan mengenai alasan pembatalan putusan arbitrase adalah bersifat limitatif. Disisi lain dalam Penjelasan Umum Bab VII UU APS menggunakan frase “antara lain” yang apabila ditafsirkan maka alasan pembatalan putusan arbitrase adalah bersifat tidak limitatif. Ketidakharmonisan dalam pengaturan mengenai pembatalan putusan arbitrase dalam UU APS ini tentunya menimbulkan ketidakpastian. Terhadap hal tersebut, Mahkamah Agung telah mengeluarkan SEMA No. 7 Tahun 2012. SEMA tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa ketentuan mengenai alasan pembatalan putusan arbitrase dalam Pasal 70 UU APS tidak dapat disimpangi. Dengan demikian ketentuan dalam Pasal 70 UU APS bersifat limitatif. Meskipun telah terdapat SEMA, ternyata ketentuan SEMA masih belum banyak dipergunakan dan dipertimbangkan oleh hakim pengadilan dalam memeriksa dan memutus pembatalan putusan arbitrase. Masih terdapat putusan yang mengabulkan pembatalan putusan arbitrase di luar dari ketentuan Pasal 70 UU APS yang bersifat limitatif. Walaupun berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat, namun SEMA hanya bersifat pedoman, sehingga hakim berpendapat bahwa ketentuan SEMA dapat di simpangi. Hal tersebut juga menyebabkan ketidakseragaman pada putusan pengadilan yang memutus tentang alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase di Indonesia.

Indonesian Law Number 30 year 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution (“UU APS”). The law regulates the reasons that can be used to file an application for the annulment of an arbitration decision, which is submitted to the District Court. UU APS does not differentiate between the annulment of national arbitration decisions and the annulment of international arbitration decisions. In fact, there is inconsistency in the regulation of the reasons for the annulment of arbitration decisions in the UU APS, leading to multiple interpretations. Article 70 UU APS uses the phrase "sebagai berikut" (as follows), which, when interpreted, implies that the provisions regarding the grounds for annulment of arbitration decisions are restrictive. On the other hand, in the General Explanation of Chapter VII of the UU APS, the phrase "antara lain" (among other things) is used, implying that the grounds for annulment of arbitration decisions are non-restrictive. The inconsistency in the regulation of the annulment of arbitration decisions in the UU APS undoubtedly creates uncertainty. In response to this, the Supreme Court issued Regulation No. 7 of 2012 (SEMA No. 7 Tahun 2012). This regulation essentially states that the provisions regarding the grounds for annulment of arbitration decisions in Article 70 of the UU APS cannot be deviated from. Thus, the provisions in Article 70 of the UU APS are restrictive. Despite the existence of SEMA, it appears that its provisions are not widely used and considered by court judges in examining and deciding on the annulment of arbitration decisions. There are still decisions that grant annulment of arbitration decisions outside the restrictive provisions of Article 70 of the UU APS. Although SEMA is valid and binding, it is considered a guideline, so judges believe that its provisions can be deviated from. This also causes inconsistency in court decisions regarding the reasons that can be used to file for the annulment of arbitration decisions in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Deby
"Tesis ini membahas mengenai penggelapan yang dilakukan oleh Notaris berdasarkan kasus di dalam Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 141/PID/2017/PT.DKI, dimana Notaris melakukan penggelapan sertipikat rumah milik klien untuk mendapatkan keuntungan. Perbuatan Notaris tersebut melanggar hukum pidana. Perbuatan Notaris tersebut bertentangan dengan Peraturan Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris yang menyebutkan bahwa seorang Notaris harus memiliki integritas tinggi, jujur, amanah, tidak berpihak, tidak dapat memiliki kepentingan terhadap akta yang dibuatnya. Penulis tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut yaitu mengenai penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh Notaris dalam tindak pidana penggelapan dan tanggung jawab hukum penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh Notaris dalam tindak pidana penggelapan. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Analisis data dengan pendekatan kualitatif. Penggelapan yang dilakukan oleh Notaris melanggar hukum pidana dan juga melanggar ketentuan di dalam Peraturan Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, sehingga Notaris bertanggung jawab atas perbuatannya baik secara administrasi, perdata dan secara pidana. Agar tidak menyalahgunakan jabatannya diperlukan pembinaan prefentif dari Majelis Pengawas Daerah, sanksi tegas dari Majelis Pengawas Notaris bagi Notaris yang melakukan tindak pidana dan tentunya integritas tinggi yang harus selalu dimiliki oleh Notaris.

This thesis discusses about embezzlement that was done by a Notary based on case in Jakarta High Court Decision No. 141 PID 2017 PT.DKI. The case is about a Notary who has embezzled his client rsquo s home certificate to get advantages. His action has violated criminal law. Furthermore his action conflicted with the requirement of a Notary according to Position of Notary Regulation and Code of Ethics of Notary that state a Notary must possess high integrity, honesty, trustworthy, independent and may not have interests to deeds that made by him. In regard to that case, therefore I am interested to research about the abuse of position by Notary in the criminal act of embezzlement and the liability of law from that action. This research is normative research and has characteristic as descriptive analytic. The type of data which is used is secondary data, consists of primary, secondary, and tertiary legal materials. Data analysis is done with qualitative approach. This thesis conclude that embezzlement by a Notary is infringement to criminal law and violate the Notary Position and Code of Ethics of Notary, therefore he must liable for his actions according to administration law, civil law, and criminal law. In order to prevent a Notary to do such matter, some actions are required such as preventive coaching from Regional Supervisory Board, strict penalty from Notary Supervisory Board to the Notary who does an offense, and obviously the capability of a Notary to preserve a high integrity."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>