Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 187284 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Faisal Reza
"Istilah-istilah deskriptif digunakan dalam perdagangan untuk menyampaikan informasi kepada konsumen mengenai atribut, sifat atau keunggulan suatu produk. Merek yang hanya terdiri dari istilah deskriptif ini disebut sebagai merek deskriptif. Merek adalah suatu tanda yang digunakan untuk membedakan barang atau jasa dari suatu produsen dan produsen lain. Karena itu merek deskriptif seharusnya tidak dapat didaftar karena dianggap tidak mempunyai daya pembeda.. Merek deskriptif di Indonesia tidak dapat didaftar, baik di dalam ketentuan UU merek No. 21 tahun 1961 yang menggunakan sistem pendaftaran dekalaratif, maupun dalam UU Merek No. 19 tahun 1992 yang menggunakan sistem pendaftaran konstitutif, hingga UU Merek No. 15 tahun 2001 yang berlaku saat ini. Namun dalam kenyataannya di Indonesia terdapat merek-merek deskriptif yang didaftar, terutama berdasarkan Putusan Pengadilan.
Tesis ini meneliti mengenai masalah pendaftaran merek deskriptif di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan konseptual yang meneliti mengenai konsep Secondary Meaning, pendekatan undang-undang dengan meneliti undang-undang merek di Indonesia dan pendekatan komparatif dengan melakukan perbandingan undang-undang merek di beberapa Negara berkaitan dengan masalah pendaftaran merek deskriptif. Pendekatan kasus juga dilakukan untuk meneliti putusanputusan pengadilan yang menjadi dasar didaftarkannya merek-merek deskriptif di Indonesia.
Dari hasil penelitian yang dilakukan didapat hasil bahwa masalah utama dalam pendaftaran merek deskriptif ini adalah tidak jelasnya pengaturan mengenai merek deskriptif ini dalam Undang-Undang Merek di Indonesia. Hal ini mengakibatkan terjadi perbedaan pendapat antara Hakim dan Pemeriksa merek mengenai merek deskriptif ini. Seharusnya dibuat suatu pengaturan yang jelas dan rinci mengenai pendaftaran merek deskriptif dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pemilik merek dengan kepentingan pihak ketiga sesuai dengan ketentuan dalam Paris Convention dan TRIPS Agreement.

Descriptive terms commonly used in the course of trade to convey information about attribute, characteristics or quality of a product, to consumers. Trademark, consists solely of descriptive terms is called Descriptive Marks. Trademark is a sign, used to distinguished goods or services from a producer from another. Therefore Descriptive Mark should not be registered because it lacks distinctive nature. Descriptive Mark in Indonesia is non-registrable, in the provision of The Trademark Act No. 21/1961 which used declarative system or in its predecessor, The Trademark Act No. 19/1992, even in the current Trademark Law in Indonesia, The Trademark Act No.15/2001. On the contrary, there are Descriptive Marks registered in Indonesia, based on Court and Supreme Court Decision in Indonesia.
This Tesis analyses the problem regarding the registration of Descriptive Marks in Indonesia, using Conceptual Approach which analyze the concept of Secondary Meaning, and using Statute Approach to analyze Trademark Law in Indonesia, and also using Comparative Approach to compare Trademark Law in various country in relation to Descriptive Mark. Case-Approach also used to analyze various Court and Supreme Court decisions in Indonesia that become Landmark Decision in Descriptive Mark registration problems.
Based on this Legal Research, we find that the major problem in the problematic registration of Descriptive Mark is because of the ambiguity of the current Trademark Law in Indonesia, regarding Descriptive Mark. This problem is causing different opinion between Judges and Trademark Examiner regarding Descriptive Mark. There should be more clear and comprehensive provisions in Indonesian Trademark Law about Descriptive Mark, which also considered the legitimate interests of trademark owners and third parties, based on the provisions in Paris Convention and TRIPS Agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T37056
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal Reza
"Istilah-istilah deskriptif digunakan dalam perdagangan untuk menyampaikan informasi kepada konsumen mengenai atribut, sifat atau keunggulan suatu produk. Merek yang hanya terdiri dari istilah deskriptif ini disebut sebagai merek deskriptif. Merek adalah suatu tanda yang digunakan untuk membedakan barang atau jasa dari suatu produsen dan produsen lain. Karena itu merek deskriptif seharusnya tidak dapat didaftar karena dianggap tidak mempunyai daya pembeda.. Merek deskriptif di Indonesia tidak dapat didaftar, baik di dalam ketentuan UU merek No. 21 tahun 1961 yang menggunakan sistem pendaftaran dekalaratif, maupun dalam UU Merek No. 19 tahun 1992 yang menggunakan sistem pendaftaran konstitutif, hingga UU Merek No. 15 tahun 2001 yang berlaku saat ini. Namun dalam kenyataannya di Indonesia terdapat merek-merek deskriptif yang didaftar, terutama berdasarkan Putusan Pengadilan.
Tesis ini meneliti mengenai masalah pendaftaran merek deskriptif di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan konseptual yang meneliti mengenai konsep Secondary Meaning, pendekatan undang-undang dengan meneliti undang-undang merek di Indonesia dan pendekatan komparatif dengan melakukan perbandingan undang-undang merek di beberapa Negara berkaitan dengan masalah pendaftaran merek deskriptif. Pendekatan kasus juga dilakukan untuk meneliti putusanputusan pengadilan yang menjadi dasar didaftarkannya merek-merek deskriptif di Indonesia.
Dari hasil penelitian yang dilakukan didapat hasil bahwa masalah utama dalam pendaftaran merek deskriptif ini adalah tidak jelasnya pengaturan mengenai merek deskriptif ini dalam Undang-Undang Merek di Indonesia. Hal ini mengakibatkan terjadi perbedaan pendapat antara Hakim dan Pemeriksa merek mengenai merek deskriptif ini. Seharusnya dibuat suatu pengaturan yang jelas dan rinci mengenai pendaftaran merek deskriptif dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pemilik merek dengan kepentingan pihak ketiga sesuai dengan ketentuan dalam Paris Convention dan TRIPS Agreement.

Descriptive terms commonly used in the course of trade to convey information about attribute, characteristics or quality of a product, to consumers. Trademark, consists solely of descriptive terms is called Descriptive Marks. Trademark is a sign, used to distinguished goods or services from a producer from another. Therefore Descriptive Mark should not be registered because it lacks distinctive nature. Descriptive Mark in Indonesia is non-registrable, in the provision of The Trademark Act No. 21/1961 which used declarative system or in its predecessor, The Trademark Act No. 19/1992, even in the current Trademark Law in Indonesia, The Trademark Act No.15/2001. On the contrary, there are Descriptive Marks registered in Indonesia, based on Court and Supreme Court Decision in Indonesia.
This Tesis analyses the problem regarding the registration of Descriptive Marks in Indonesia, using Conceptual Approach which analyze the concept of Secondary Meaning, and using Statute Approach to analyze Trademark Law in Indonesia, and also using Comparative Approach to compare Trademark Law in various country in relation to Descriptive Mark. Case-Approach also used to analyze various Court and Supreme Court decisions in Indonesia that become Landmark Decision in Descriptive Mark registration problems.
Based on this Legal Research, we find that the major problem in the problematic registration of Descriptive Mark is because of the ambiguity of the current Trademark Law in Indonesia, regarding Descriptive Mark. This problem is causing different opinion between Judges and Trademark Examiner regarding Descriptive Mark. There should be more clear and comprehensive provisions in Indonesian Trademark Law about Descriptive Mark, which also considered the legitimate interests of trademark owners and third parties, based on the provisions in Paris Convention and TRIPS Agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Janice Fitri Piekarsa
"Di Indonesia, istilah yang bersifat deskriptif tidak dapat didaftarkan sebagai merek yang dilindungi oleh hukum merek di Indonesia. Meskipun demikian, pada kenyataannya banyak merek yang bersifat deskriptif berhasil didaftarkan. Hal ini menimbulkan ketidakselarasan antara hukum tertulis dan prakteknya. Larangan untuk mendaftarkan istilah deskriptif sebagai merek ini memiliki alasannya tersendiri. Istilah deskriptif tidak dapat didaftarkan sebagai merek karena adanya kemungkinan terjadinya persaingan usaha tidak sehat apabila istilah umum yang bersifat deskriptif dimiliki secara eksklusif oleh satu pihak. Sebagai akibat dari banyaknya merek deskriptif yang berhasil didaftarkan di Indonesia, dibutuhkan ketentuan yang dapat mengatur pendaftaran merek deskriptif agar tetap dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dalam skripsi ini, Penulis akan menganalisa ketentuan di Amerika Serikat dan Uni Eropa yang mengatur terkait merek deskriptif yang dapat didaftarkan karena telah memiliki daya pembeda yang kuat. Analisis ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengaturan di Indonesia.

In Indonesia, descriptive terms cannot be registered as a trademark protected by Indonesian trademark law. However, in reality, many descriptive terms have been successfully registered as a trademark. This creates a discrepancy between written law and its practice. This prohibition to register descriptive terms as trademarks has its own reasons. Descriptive terms cannot be registered as trademarks because of the possibility of unfair business competition if general descriptive terms are owned exclusively by one party. As a result of the large number of descriptive marks that have been successfully registered in Indonesia, provisions are needed to regulate the registration of descriptive marks to minimize the potential of unfair business competition occuring. In this thesis, the author will analyze the provisions in the United States and the European Union that regulate the registration of descriptive trademarks based on their distinguishing power. This analysis is expected to provide input for regulation in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mekhdi Ibrahim Johan
"For well-known trademark regulation in Indonesia there is a gap in the legal framework, due to a poor legal system. Indonesia is attractive to some foreign companies in expanding their market, not only because it is a developing country, but also because of its geographical area and fast growing population which are beneficially appealing to foreign companies. Nevertheless, there are still problems regarding well-known trademark in Indonesia, whether it is an infringement, bad faith, or illegal logo replicas. Famous brands have often found themselves struggling with local companies in Indonesia to defend their well-known trademark. Even though the trademark policy has somewhat improved, the case of infringing and bad faith still exists. Therefore, by following the example of the European Union, Indonesia can improve its legal system."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
S54149
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ezha Nafis Aufa Laili
"ABSTRAK
Meskipun hukum merek di Indonesia telah mengatur secara tegas bahwa pemilik merek wajib untuk menggunakan mereknya di dalam perdagangan, masih terdapat permasalahan berkaitan dengan ketentuan penggunaan merek, terutama mengenai apa yang dimaksud dengan penggunaan merek. Pemilik merek seringkali gagal dalam menentukan apakah ketentuan penggunaan merek telah dipenuhi dan hal tersebut menyebabkan hilangnya hak atas merek mereka. Sehubungan dengan hal ini, harus dipahami bahwa merek adalah aset bisnis yang penting, sehingga perlu untuk menyediakan perlindungan kepada pemilik merek dengan memberikan ketentuan dan interpretasi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan penggunaan merek di dalam hukum merek di Indonesia. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk memeriksa ketentuan hukum merek khususnya mengenai penggunaan merek. Skripsi ini akan membahas permasalahan merek yang timbul dari konsep-konsep dasar penggunaan merek. Skripsi ini menggunakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan konseptual dan komparatif terhadap hukum merek di beberapa negara. Berdasarkan pada hukum merek dan praktiknya di beberapa negara, merek harus digunakan dalam perdagangan dan penggunaan merek yang sesuai harus dilakukan oleh pemilik merek. Jika pemilik merek dapat menetapkan bahwa mereknya digunakan dalam perdagangan dan penggunaan merek dilakukan dengan sesuai, hak eksklusif atas merek dapat beroperasi dengan sebagaimana mestinya.

ABSTRACT
Although trademark law in Indonesia has firmly regulated that it is compulsory for trademark owners to use their trademarks in the course of trade, there are still some issues regarding the use of trademark provisions, especially about what constitutes use of a trademark. Trademark owners often fail to determine whether the use of a trademark provision is satisfied, and it brings to the loss of their trademarks. With respect to this viewpoint that shapes the issue, it must be understood that trademarks are important business assets, so it is necessary to provide trademark owners protection by giving a clear provision and interpretation about what constitutes use of a trademark in Indonesian trademark law. The purpose of this thesis is to examine the law relating to trademarks with particular emphasis on the use of a trademark. This thesis will discuss trademark issues that emerge from the basic concepts of use of a trademark. This thesis applies normative juridical research with a conceptual and comparative approach to trademark law in some countries. Based on the trademark law and practices in some countries, trademarks must be used in the course of trade and the proper use of a trademark must be actionable by the trademark owners. If trademark owners can establish that their trademarks are used in the course of trade and in the proper way, the exclusive right of a trademark can operate indefinitely."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Krishna Vesa
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan dan penerapan prinsip iktikad baik dalam sengketa merek khususnya pembatalan merek di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif dengan meninjau aturan iktikad baik dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2001 dan Undang-Undang No 20 Tahun 2016, Putusan-Putusan Hakim di Indonesia dikomparasikan dan diulas dengan pendapat para ahli hukum dan Putusan US Supreme Court dan European Union Supreme Court. Hasil penelitian menyimpulkan dibutuhkan aturan atau panduan yang lebih detail mengenai penentuan ada atau tidaknya iktikad baik dalam sengketa merek di Indoneisa.
This thesis discusses the regulation and implementation of the principle of good faith in trademark disputes that focus on cancellation of the trademark in Indonesia. This study uses the juridical normative by reviewing good faith principles in the Law No. 15 of 2001 and Law No. 20 of 2016, Judge Decisions in Indonesia that compared and reviewed with the opinion of legal experts and Decision of US Supreme Court and the European Union Supreme Court. The research concludes rules or guidelines necessary details regarding the determination of whether there is any good faith in trademark disputes in Indonesia."
2017
S66765
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaslyn Annisa
"Skripsi ini membahas tentang perlindungan yang diberikan kepada pemegang merek terkenal tidak terdaftar dengan berlakunya Pasal 83 dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, serta untuk menentukan apakah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Merek Indonesia tersebut mengakomodir perlindungan melalui gugatan passing off dengan membandingkan pada ketentuan gugatan passing off di Inggris dan Republik Rakyat Cina. Penelitian hukum ini ialah penelitian normatif yuridis, dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan menghasilkan suatu bentuk penelitian deskriptif. Hasil penelitian hukum dengan membandingkan ketentuan gugatan passing off di Inggris dan Republik Rakyat Cina ialah berlakunya Pasal 83 Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis tidak mengakomodir gugatan passing off dalam perlindungan merek di Indonesia. Sehingga, penulis menyarankan untuk mempertimbangkan perubahan pada ketentuan Undang-Undang Merek Indonesia agar dapat memberikan perlindungan terhadap merek terkenal tidak terdaftar.

This undergraduate thesis discussed about the measure of protection provided for the unregistered well known trademark holder by the recent enactment of Indonesia Trademark Law, in which contained in Article 83 of Law No. 20 Year 2016 concerning Trademark and Geographical Indication, and whether the provision provided within the law serve similar measure of protection that catered by passing off lawsuit, using comparison with passing off in United Kingdom and People rsquo s Republic of China. This legal research is juridical normative legal research, conducted by qualitative approach and resulted in a form of descriptive research. The result of this legal research is that by comparing with passing off lawsuit in the United Kingdom and People rsquo s Republic of China, the enactment of Article 83 does not accommodate passing off lawsuit within Indonesia trademark protection. Hence, the author suggests taking into consideration to revised the provision in Indonesia Trademark Law to provide extended protection towards unregistered well known trademark
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Johanes Julian
"Pengaturan mengenai merek di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Pengaturan terkait merek dalam undang-undang tersebut juga meliputi pengaturan mengenai merek terkenal. Adanya ketentuan terkait merek terkenal dalam undang-undang tersebut ditandai dengan diaturnya kriteria merek terkenal dan perlindungan merek terkenal. Selain itu, Permenkumham No. 67 Tahun 2016 sebagai peraturan turunan dari UU MIG, memuat ketentuan yang lebih spesifik berkenaan dengan kriteria merek terkenal. Namun demikian, sekalipun UU MIG telah mengatur perlindungan terhadap merek terkenal, pengaturan tersebut dirasa belum cukup karena tidak mencakup perlindungan merek terkenal dari tindakan passing off dan dilusi merek. Tidak adanya pengaturan terkait perlindungan merek terkenal dari tindakan passing off dan dilusi merek dapat merugikan pemilik merek terkenal dan konsumen dari merek terkenal tersebut. Oleh karenanya, dalam skripsi ini Penulis menganalisis dan membandingkan pengaturan mengenai perlindungan merek terkenal, khususnya dari tindakan passing off dan dilusi merek antara Indonesia, Malaysia, dan India. Selain itu, Penulis juga menganalisis penerapan kriteria merek terkenal serta penerapan doktrin passing off dan dilusi merek dalam sengketa merek terkenal di Indonesia, Malaysia, dan India melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan terkait perlindungan merek terkenal dalam UU MIG, belum mencakup keseluruhan unsur doktrin passing off dan dilusi merek, sehingga belum dapat dikatakan bahwa Indonesia menerapkan doktrin passing off dan dilusi merek dalam ketentuan mereknya.

Regulation of trademark in Indonesia is regulated in Law No. 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indication. The Law No. 20 of 2016 also includes the regulation of well-known trademarks. The existence of provisions related to well-known trademarks in the Law No. 20 of 2016 is marked by the stipulation of criteria for well-known trademarks and protection of well-known trademarks. In addition, Permenkumham No. 67 of 2016 as a derivative regulation of the Law No. 20 of 2016 contains more specific provisions regarding the criteria for well-known trademarks. However, even though the Law No. 20 of 2016 has regulated the protection of well-known trademarks, the regulation is deemed insufficient because it does not cover the protection of well-known trademarks from passing off and trademark dilution. The absence of regulation related to the protection of well-known trademarks from passing off and trademark dilution can be detrimental to well-known trademark’s owners and consumers. Therefore, in this thesis the Author analyzes and compares the regulation regarding the protection of well-known trademarks, especially from passing off and trademark dilution between Indonesia, Malaysia, and India. In addition, the Author also analyzes the application of the criteria for well-known trademarks, especially the application of the doctrine of passing off and trademark dilution in well-known trademark disputes in Indonesia, Malaysia, and India through court decisions that have permanent legal force. In writing this thesis, The Author uses a juridical-normative research method with data obtained through library research. The result of the research shows that the regulation related to the protection of well-known trademarks in Law No. 20 of 2016 does not cover all elements of the doctrine of passing off and trademark dilution, so it cannot be said that Indonesia applies the doctrine of passing off and trademark dilution in its trademarks provisions. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atika Mega Chairina
"Tesis ini membahas mengenai perlindungan hukum merek terkenal atas tindakan dilusi merek terhadap persaingan curang di Indonesia. Penulis mengajukan dua pokok permasalahan: Pertama, mengenai perlindungan merek terkenal atas tindakan dilusi merek terhadap persaingan curang berdasarkan perjanjian internasional dan hukum merek di Amerika Serikat, Uni Eropa, Singapura, dan Indonesia. Sedangkan kedua, mengenai penerapan teori dilusi oleh Hakim dalam pertimbangannya dalam memutus sengketa merek terkenal. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative dengan pendekatan perundang-undangan dan metode perbandingan hukum. Perlindungan yang diberikan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 12 Tahun 2021 tentang Pendaftaran Merek belum secara eksplisit mengatur dan memberikan perlindungan merek terkenal atas suatu tindakan dilusi merek terhadap persaingan curang di Indonesia. Disisi lain, Singapore Trademark Act 1998 Chapter 332 as revised 2005 yang telah memberikan perlindungan hukum pada merek terkenal atas tindakan dilusi merek terhadap persaingan curang di Singapura. Namun, jika merujuk dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat secara tidak langsung telah menerapkan dan memberikan perlindungan hukum merek terkenal atas tindakan dilusi merek terhadap persaingan curang secara benar. Penulis menyarankan agar perlindungan merek terkenal terhadap dilusi merek dapat dijadikan sebuah ketentuan hukum baru demi memberikan kepastian hukum bagi pemilik merek terkenal.

This thesis discusses the legal protection of well-known trademarks for trademark dilution against unfair competition in Indonesia. The author proposes two main issues: First, regarding the protection of well-known trademarks for trademark dilution against unfair competition based on International Treaties and Trademark Law in the United States, European Union, Singapore, and Indonesia. While the second is regarding the implementation of dilution theory by the Judge in his consideration in deciding the well-known trademark dispute. By using a normative juridical research method with a statutory approach and a comparative law method. The protection provided in Law No. 20 of 2016 regarding Trademarks and Geographical Indications and The Regulation of Minister of Law and Human Rights No. 12 of 2021 regarding Trademark Registration has not explicitly regulated and provided protection for well-known trademarks for an act of trademark dilution against unfair competition in Indonesia. On the other hand, the Singapore Trademark Act 1998 Chapter 332 as revised in 2005 has provided legal protection for well-known trademarks for trademark dilution against unfair competition in Singapore. However, if referring to the consideration of the Panel of Judges of the Commercial Court at the Central Jakarta District Court, it has indirectly implemented and provided legal protection of well-known trademarks for trademarks dilution against unfair competition correctly. The authors suggest that the protection of well-known trademarks for trademark dilution can be used as a new legal provision to provide legal certainty for the owner of a well-known trademark."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Anugerah Lase
"Penetapan sementara adalah suatu mekanisme perlindungan bagi pemilik Merek terdaftar dalam hal terjadinya suatu pelanggaran Merek. Penetapan sementara diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Penetapan sementara merupakan perintah Pengadilan Niaga atas permohonan Pemohon dengan tujuan untuk mencegah masuknya barang yang diduga hasil pelanggaran Hak atas Merek; pengamanan ddan pencegahan hilangnya barang bukti oleh pelanggar; dan/atau penghentian pelanggaran guna mencegah kerugian yang lebih besar. Oleh karena itu, penetapan sementara merupakan suatu mekanisme yang menghindarkan ataupun meminimalisir kerugian yang akan dialami oleh pemilik Merek terdaftar dari adanya pelanggaran Merek. Apabila melihat pengaturan mengenai penetapan sementara di negara lain, ditemukan suatu perbedaan dan juga persamaan mengenai mekanisme penetapan sementara. Persamaan dari implementasi penetapan sementara di Amerika Serikat dan Australia memiliki tujuan yang sama, yaitu mencegah dan meminimalisir dialaminya kerugian bagi pemilik Merek terdaftar. Perbedaan dari implementasi penetapan sementara di Amerika Serikat dan Australia, yaitu dari dapat diajukannya upaya hukum terhadap penetapan sementara, serta ada atau tidak adanya suatu uang jaminan. Selanjutnya, diketahui bahwa masih terdapat beberapa pihak yang belum mengerti mekanisme permohonan penetapan sementara. Hal ini terlihat dari tidak sesuainya permohonan penetapan sementara berdasarkan UU MIG. Terdapat pihak yang masih mengajukan permohonan penetapan sementara dengan mekanisme gugatan penghentian pelanggaran Merek berdasarkan Pasal 84 ayat (1) UU MIG. Selain permasalahan tersebut, penetapan sementara juga memiliki permasalahan dalam pengaturannya itu sendiri. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan menganalisis bagaimana pengaturan penetapan sementara beserta dengan perbandingan pengaturan penetapan sementara di Amerika Serikat dan Australia, bagaimana permasalahan pengaturan penetapan sementara, serta kekeliruan pemohon dalam permohonan penetapan sementara.

Injunction is a protection mechanism for registered Mark owners when a Mark infringement occured. Injunction are regulated in Law Number 20 of 2016 about Marks and Geographical Indications. The Injunction is an order from the Commercial Court at the Petitioner's request with the aim of preventing the entry of goods suspected of infringing on Trademark Rights; securing and preventing the loss of evidence by violators; and/or cessation of violations to prevent greater losses. Therefore, a temporary determination is a mechanism that avoids or minimizes losses that will be experienced by registered Mark owners from Mark infringements. The arrangements regarding injunction in Indonesia and other countries, have differences as well as similarities. The similarity of the implementation of injunction in the United States and Australia has the same objective, namely to prevent and minimize losses for registered Mark owners. The difference from the implementation of the injunction in the United States and Australia, namely from the possibility of filing legal remedies against the provisional order, and the obligation of a bail. Furthermore, it is known that there are still several parties who do not understand the mechanism for requesting an interim determination. This can be seen from the incompatibility of the request for a injunction based on the MIG Law. There are parties who are still submitting requests for injunctions with a claim mechanism for ending Mark infringement based on Article 84 paragraph (1) of the MIG Law. Apart from these problems, the injunction also has problems in the regulation itself. By using normative juridical research methods, this paper will analyze how the injunction is regulated along with a comparison of the provisional determination arrangements in the United States and Australia, how are the problems of injunction arrangements, and the applicant's confusion in the application for the injunction."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>