Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6121 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chou, Cynthia
Oxon: Routledge, 2010
305.89 Cho o
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Khidir Marsanto
"This article discusses the cultural history sketch of Orang Suku Laut (the Sea Tribe) and its implications for social relations patterns with the Malays in Riau Islands, Indonesia. Problems arise now in nomadic ethnic tribe when they interacting with the Malays. Many Malays people perceive Orang Suku Laut as a backward or primitive people. This point of view emerged from a long history of Orang Suku Laut in Riau Islands, and at present, the discourse is supported by the government which resettled them from the sea to the land as part of the modernization of disadvantaged areas in the New Order era. This government label to them was later influenced the Malays perception. Moreover, negative assumption also appears along with the cultural identity differences between both of the tribes, of which the Malays condense with Islamic tradition, while Orang Suku Laut doesn?t. At this situation, thus the identity of Orang Suku Laut is staked within socio-cultural dispute or contestation (the attraction process) among themselves in practicing their everyday lives."
Depok: Jurnal Antropologi Indonesia, 2010
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
TA5963
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kahler, Hans, 1912-
"Die Sprachen der Orang darat, Orang akit, Orang laut und Orang utan sind malaiiache Dialekte. Bei der Beschreibung der Sprache der Orang darat Gesichtspunkten leiten lassen, die 0. J e s p e r s e n in seiner "The Philosophy of Grammar" (London, New York, 1925). Damit iBt eine Methode zur Anwendung gebracht, die bisher fur die Gesamtdarstellung einer indohesis SpraChe in dieaer Form nooh nicht versucht wurde. Sie weicht auch wesentlich von der Darstellungsweise at, die A.A.Fokker in seiner "Inleiding tot de Studie van de Indonesische Syntaxis" (Groningen, Djakarta,1951) erstmals auf die Bahasa Indonesia angewandt hat, obgleich sie mir z.B. "bei der Behandlung der "Wortgruppen" in mancher Hinsicht sehr nutzlich war. Als Vorbild fur die Darstellung der Transpositionsmoglichkeiten diente mir E.M.Uhlenbecks Aufaatz uber "The Study of Wordclasses in Javanese"."
Berlin : D. Reimer, 1960
K 499.27 KAH e
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Miswanto
"ABSTRAK
Tulisan ini membicarakan masyarakat suku Laut yang tinggal di laut dengan menggunakan kajang di Desa Air Sena Kepulauan Anambas. Mereka hidup berdampingan dan berinteraksi "intim" dengan masyarakat Desa Air Sena walaupun tidak semua masyarakat sekitar bisa memahami bahasa Mesuku, bahasa yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat suku Laut. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi di antara sesama anggota (warga) kelompok suku Laut, serta di antara warga kelompok suku Laut dengan warga masyarakat lain di Desa Air Sena di tengah perbedaan bahasa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data primer diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dan observasi secara langsung ke lokasi penelitian. Penelitian ini bermaksud untuk menunjukkan interaksi asosiatif berupa kerja sama, akomodasi dan asimilasi yang diwujudkan dalam bentuk gotong royong, serta proses disosiatif adanya persaingan, kontravensi, dan pertentangan. Wujud interaksi simbolik yang diobservasi berupa tanggapan seseorang terhadap orang lain melalui penggunaan simbol-simbol tubuh dan bahasa yang bermakna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerja sama masyarakat suku Laut dengan masyarakat Desa Air Sena. Mereka hidup tolong-menolong meskipun sebagian masyarakat menunjukkan sikap apatis dan tidak berpartisipasi dalam organisasi kemasyarakatan. Sikap apatis tersebut secara disosiatif tidak menimbulkan pertentangan dan konflik antara masyarakat suku Laut dengan masyarakat Desa Air Sena."
Kalimantan: Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat, 2018
900 HAN 2:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Zacot, Francois-Robert
Jakarta: KPG (Kepustakaan populer gramedia) , 2002
306.598 4 ROB o
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Lapian, Adrian Bernard
Depok: Komunitas Bambu, 2009
959.8 LAP o
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Syafrizal
"Masyarakat Suku Terasing merupakan bagian dari tujuan pembangunan nasional seutuhnya, untuk itu mereka memerlukan pembinaan. Tujuan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui program PKSMT adalah untuk menghilangkan keberadaan masyarakat Suku Terasing baik secara geografis, sosial budaya dan sosial ekonomi, sehingga kesenjangan dalam aspek tersebut diatas dapat dihilangkan dari berbagai suku bangsa yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan utama dari program PKSMT adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat terasing.
Propinsi Riau masih menghadapi masalah cukup berat dalam membina masyarakat terasing. Masalah masyarakat terasing adalah kemiskinan. Disamping masalah kemiskinan, masalah tempat bermukim mereka yang sulit dijangkau, baik orbitasinya yang terpencar-pencar dan selalu berpindah-pindah maupun yang hidup mengembara di laut. Di Riau terdapat 26.728 jiwa (5,889 KK) masyarakat terasing di enam kabupaten yang menjadi bagian dari warga desa tertinggal yang miskin itu. Pembangunan yang berjalan selama ini lebih memprioritaskan ke sektor modern.
Sehingga masyarakat terasing semakin tergusur. Dan yang menjadi pemmasalahan apakah pemerintah dalam hal ini Departemen Sosial mampu untuk mengangkat mereka dari kemiskinan dan ketertinggalan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kehidupan Suku Laut yang telah melaksanakan program PKSMT, menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial Suku Laut dan melihat tanggapan serta minat mereka terhadap program itu sendiri.
Kerangka teori untuk melihat fenomena yang ada di lokasi penelitian digunakan Teori Pertukaran (Exchange Theory) diantara lain George Homans dengan pendekatan perilaku terhadap pertukaran, John Thibaut dan Harold H. Kelly dengan pendekatan kelompok, Peter Blau melihat pertukaran dalam bentuk struktur sosial dan Levi Strauss pertukaran sosial dilihat dari sudut individualistik versus kolektivistik. Teori pertukaran sosial melihat fenomena yang ada dalam bentuk perilaku nyata, bukan proses-proses subyektif.
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif, untuk menganalisa data, dan beberapa teknik pengumpulan data, seperti dokumentasi, pengamatan semi terlibat, wawancara dengan 20 orang warga Suku Laut binaan dan beberapa orang yang bukan warga binaan dan wawancara mendalam dengan beberapa informan seperti kepala desa, camat, kepala adat, pemuka masyarakat, aparat, instansi yang terkait dan petugas lapangan, semua data yang diperoleh baik tertulis, lisan, maupun berdasarkan semua simbol - simbol yang ada dalam masyarakat serta perilaku - perilaku nyata untuk dapat dideskripsikan dalam tulisan ini. Suku Laut yang menjadi sasaran penelitian adalah 67 KK.
Penelitian ini menunjukkan pelaksanaan program PKSMT dikatakan gagal karena tujuan utama program PKSMT adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat Suku Laut tidak terwujud, hal ini dilihat dari kondisi sosial ekonomi Suku Laut tersebut. Dan pembinaan yang dilakukan oleh Depsos justru ada kesan munculnya sifat ketergantungan masyarakat pada pemerintah. Pembinaan selama ini lebih dibina dalam bentuk "derma", tidak memberi kail tapi memberi ikan. Suku Laut bukan dijadikan subyek pembangunan, tetapi dijadikan "proyek" pembangunan dari berbagai instansi yang terkait. Kegagalan ditengah jalan dalam usaha budidaya tambak dan peternakan ayam bukan dari ketidaksiapan masyarakat untuk menerima program, tetapi kesalahan lebih dititikberatkan pada pelaksana program itu sendiri Depsos maupun instansi terkait lainnya.
Program-program PKSMT yang dilakukan yang berkaitan dengan usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Suku Laut dianggap tidak operasional dan tidak bermanfaat kalau boleh dikatakan program yang dianggap "Primadona" oleh Depsos adalah mubazir. Depsos dalam pelaksanaan program tidak adanya reward dan punishment (penghargaan dan hukuman) terhadap masyarakat Suku Laut yang mau melaksanakan dan yang tidak mau melaksanakan program. Begitu juga dengan Depsos mereka tidak ada sanksi, tidak ada insentif apakah mereka gagal atau berhasil dalam melaksanakan tugasnya. Dengan begitu mereka tidak memiliki beban moral terhadap program. Hal yang sama berlaku juga pada Kepala Desa sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang tidak bisa berbuat banyak kepada masyarakat binaan. Hampir dapat dikatakan bahwa aparat yang terlibat dalam pembinaan Suku Laut turut menikmati enaknya program. Tidak adanya pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan tugas membuat aparat pemerintah (Depsos) dan Suku Laut menjadikan program PKSMT sebagai "proyek" dengan istilah "sama-sama suka, sama-sama mau"."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Burhanuddin Ch. Usman
Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Depdikbud, 1983
499.25 BUR s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Faikah
"Tugas akhir ini mengkaji tentang perjuangan hak atas tanah masyarakat Aborigin di Northern Territory, Australia dari tahun 1963-1976. Hal ini dilatarbelakangi oleh keputusan Persemakmuran Australia mengumumkan kerjasama dengan perusahaan Perancis, Pechiney untuk membangun pabrik alumina dan pertambangan bauksit di Semanjung Gove, Northern Territory, Australia dengan mengalokasikan lahan seluas 140 mil persegi dari Cagar Alam Arnhem Land pada tahun 1963. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang meliputi tahapan heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. sumber yang digunakan meliputi arsip dokumen pemerintah Australia dari Arsip Nasional Australia, surat kabar dari Trove, serta buku-buku dan artikel jurnal yang diakses online dari Perpustakaan Australia, Jstor dan The Australian National University. Hasil penelitian menekankan penderitaan yang dialami oleh masyarakat Aborigin di Northern Territory, Australia di bawah kendali Persemakmuran Australia. Pada tahun 1963, masyarakat Aborigin memprakarsai gerakan hak atas tanah dengan mengajukan petisi Yirrkala ke Parlemen Australia. Kegagalan perjuangan masyarakat Yolngu pada tahun 1971 mendorong para aktivis- aktivis Aborigin dan masyarakat Larrakia dalam memperjuangkan hak atas tanah pada tahun 1972. Setelah Gough Whitlam menjabat sebagai Perdana Menteri Australia, pemerintahan Whitlam membentuk komisi Woodward yang merekomendasikan undang-undang hak atas tanah bagi masyarakat Yolngu. Pada tahun 1976, pemerintahan John Fraser mengesahkan The Aboriginal Land Rights (NT) Act 1976. Kesimpulan dari penelitian ini adalah perjuangan mereka dapat dikatakan berhasil dengan menghasilkan undang-undang hak atas tanah meskipun kesejahteraan masyarakat Aborigin masih rendah.

This final project examines the land rights struggle of Aboriginal communities in the Northern Territory, Australia from 1963-1976. This is motivated by the Commonwealth of Australia's decision to announce a partnership with French company Pechiney to build an alumina plant and bauxite mine on the Gove Peninsula, Northern Territory, Australia by allocating 140 square miles of land from the Arnhem Land Reserve in 1963. This research uses the historical method which includes the stages of heuristics, verification, interpretation, and historiography. The sources used include archives of Australian government documents from the National Archives of Australia, newspapers from Trove, as well as books and journal articles accessed online from the Australian Library, Jstor and The Australian National University. The results emphasize the suffering experienced by Aboriginal people in the Northern Territory, Australia under the control of the Commonwealth of Australia. In 1963, Aboriginal people initiated a land rights movement by submitting the Yirrkala petition to the Australian Parliament. The failure of the Yolngu people's struggle in 1971 encouraged Aboriginal activists and the Larrakia people to fight for land rights in 1972. After Gough Whitlam became Prime Minister of Australia, the Whitlam government established the Woodward Commission which recommended land rights legislation for the Yolngu people. In 1976, the John Fraser government passed The Aboriginal Land Rights (NT) Act 1976. The conclusion of this research is that their struggle can be said to be successful by producing land rights laws even though the welfare of Aboriginal people is still low."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>