Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15644 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gardner, Howard
Boston: Harvard Business School Press, 2006
153.42 GAR f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bono, Edward de
Walford: Penguin Books, 1971
153.42 BON f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Albrecht, Karl, 1941-
Semarang: Dahara Prize, 2004
153.42 ALB d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Alifia Amri
"Moda berpikir manusia dalam melakukan kategorisasi dan memaknai kehidupan beranekaragam terdiri dari tiga yaitu magi, religi, dan sains. Seringkali perdebatan dalam antropologi hingga dalam kehidupan nyata magi disandingkan dengan sains dan dianggap terbelakang. Salah satu praktik magi adalah divinasi. Dalam perkembangan teknologi digital yang kian meluas terutama di media sosial, ragam ekspresi dari moda berpikir dapat ditemukan melalui konten tanda dari semesta. Penelitian ini menggunakan metode etnografi dengan observasi partisipan dan wawancara mendalam. Argumen utama penelitian ini adalah bentuk divinasi digital—sebagai keseluruhan dari konten tanda dari semesta TikTok, kreator konten, respons pengguna penerima pesan melalui kerja algoritma beranda FYP TikTok—menunjukkan ekspresi moda berpikir manusia (magi dan sains) yang dapat berjalan beriringan. Transformasi divinasi melalui mediasi teknologi dan kerja algoritma konten mendukung penjelasan lebih lanjut terkait divinasi digital. Pernyataan ini turut menyokong gagasan divinasi digital sebagai praktik sains dari teknologi yang serupa dengan ramalan. Dengan demikian, baik moda berpikir magi-divinasi dan sains tetap dapat hadir dalam masyarakat modern.

There are three modes of human thinking in categorizing and interpreting various kinds of life, namely magic, religion, and science. Magic, whether in anthropology and in real life, is juxtaposed with science and is considered backward. One of the practices of magic is divination. In the development of digital technology that is increasingly widespread, especially in social media, various expressions of modes of thinking can be found through sign content from the universe. This study uses an ethnographic method with participant observation and in-depth interviews. The main argument of this research is that the form of digital divination—as a whole from the sign content of the TikTok universe, content creators, user responses to message recipients through the work of TikTok's FYP homepage algorithm—shows the expression of human modes of thinking (magic and science) that coexist. Divination practices through technology mediation and content algorithm work supports further explanation regarding digital divination. This statement also supports the idea of ​​digital divination as a scientific practice of technology similar to divination. Thus, both magic-divination and scientific modes of thinking can still be present in modern society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bradt, A. Gordon
New York : Parker, 1973
658 BRA f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sentanu, Erbe
Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007
158.1 ERB q
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Utoyo
"Pokok Masalah
1. Sejarah perkembangan industri sejak zaman Renaissance hingga sekarang adalah sejarah simulacra, yaitu sejarah imitasi, atau reproduksi sehingga rnenimbulkan persoalan makna, orisinalitas dan identitas manusia.
2. Masyarakat konsumer adalah nasyarakat dalam pertanyaan.
3. Sirnanya realitas "Not into nothingness, but into the more real than real (the triumph of simulacra) ? (Ecstasy: 103).
4. Perkembangan yang pesat dari teknologi diakhir abad 20 dan awal millennium ketiga ini telah melampaui batas-batasnya dan menjalar keseluruh sendi-sendi kehidupan manusia dan mengubah secara radikal cara pandang manusia terhadap dunia. Dipertanyakan kemampuan teori untuk menjawabnya.
Dasar Teoritis
Latar belakang pemikiran Baudrillard merupakan suatu intellectual landscape yang luas, yaitu bahwa:
1. Baudrillard dilihami oleh pernyataan Nietzsche bahwa "Tuhan sudah mati", sebenarnya adalah suatu upaya mencari nilai-nilai baru.
2. Gestell dart Heidegger, walaupun tidak langsung, tersebar didalam tulisan-tulisan Baudrillard.
3. Symbolic Exchange adalah teori yang diilhami oleh Accursed Share-nya Georges Bataille, Gift-Exchange-nya Marcel Mauss, dan Anagram-nya Ferdinand de Saussure.
4. Seduction adalah game of appearance yang berada pada tataran simbolik.
5. Fatal Strategy telah menggantikan teori yang menjadi usang karena tidak dapat mengikuti perubahan zaman yang pesat.
6. Symbolic exchange, seduction dan fatal strategy dapat dibandingkan dengan differance, differend dan chora.
7. Metamorphosis, Metaphor, Metastasis adalah tahapan proses dehumanisasi.
8. Vanishing of history adalah karena ruang-waktu non-Euclidian.
Analisis
Perlu digaris bawahi bahwa cara berpikir Baudrillard yang radikal, metaforis dan ironis disebabkan so great is the sway of the real over the imagination" (Fatal : 181), "... it's not a familiar form you can use and abuse, but something alien which has to be seduced" (Paroxysm: 32) dan untuk mengatasi tirani dari sign.
Pada tahun 1960-an Baudrillard memulai penelitian strukturalis terhadap the consumer society, the society of spectacle pada industri kapitalis akhir. Masyarakat ini bukanlah masyarakat dalam artian yang sebenarnya, melainkan la masse, the silent majorities yang tidak mempunyai akar sosiologis - sehingga merupakan akhir dari masyarakat.
Baudrillard juga mengkritisi Karl Marx, bahwa a) bukan produksi, melainkan konsumsi lah yang merupakan basis dari tatanan sosial, b) Use value adalah efek dari exchange value - use value adalah alibi agar produksi tetap berjalan.
Ho mmo consumans atau ego consumans pada affluent society adalah manusia yang hidup dikelilingi oleh the system of objects. Ego consumans membutuhkan obyek hanya untuk dihancurkan sehingga diperoleh maknanya in its disappearance. Dari the system of objects ke the destiny of objects: Keunggulan object diatas subject, merupakan fatal strategies yang juga adalah the principle of evil yang bersifat seductive.
Sejak jaman Renaissance hingga kini telah terjadi tiga kali revolusi simulacra, yaitu counterfeit, production dan simulation, yang merupakan nama yang berbeda untuk arti yang lama yaitu, imitasi atau reproduksi dari image atau obyek. Pertama, image merupakan representasi dari realitas. Kedua, image menutupi realitas. Ketiga, image menggantikan realitas yang telah sirna, menjadi simulacrum murni. Pada sign as sign, simbolika muncul dalam bentuk irruption. Baudrillard kemudian menambahkan tahapan keempat yang disebut fractal atau viral.
Kesimpulan
1. Gagasan Nietzsche mengenai transvaluation of all values telah terwujud dalam kebalikannya: involution of all values.
2. There Is Never Anything To Produce, melainkan imitasi dan reproduksi (simulacra) menimbulkan krisis makna dan identitas (Bewahrung = proving oneself).
3. Kini kita pada tahapan fractal, suatu tahapan trans-everything yang mengubah secara radikal cara pandang kita terhadap dunia.
4. Diperlukan tatanan dunia baru horizontal in void."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T9504
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Turner, Johanna
London: Methuen, 1975
153.4 TUR c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Waluyo
"Tesis ini berusaha menjelaskan adanya persamaan dan perbedaan alam pikiran budayawan Lekra dan Manifestan dalam mencari sosok budaya bangsa Indonesia yang tidak kunjung selesai sampai sekarang. Proses pencarian sosok budaya bangsa sudah, diawali sejak perdebatan di kalangan budayawan/intelektual tahun 1930-an antara Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dengan Ki Hadjar Dewantara (KID) dan kawan-kawan. Proses pencarian sosok budaya bangsa ini terus berlanjut dalam Kongres Kebudayaan Nasional I tahun 1948 di Magelang yang dilanjutkan dengan Konferansi Kebudayaan di Jakarta tahun 1950, Kongres Kebudayaan II tahun 1951 di Bandung, Kongres Kebudayaan III tahun 1954 di Surakarta, dan Kongres Kebudayaan IV tahun 1991 di Jakarta.
Proses pencarian sosok budayabangsa tidak dapat dilepaskan dari situasi politik dalam dan luar negeri yang mempengaruhi alam pikiran penguasa politik di tanah air dan di kalangan budayawan. Kongres Kebudayaan I di Magelang dilaksanakan beberapa bulan sebelum terjadi peristiwa Madiun tahun 1948 dan Agresi Militer Belanda kee 2 tanggal 18 Desember 1948. Suasana hingar bingar politik pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959) turut pula menggiatkan suasana Kongres Kebuda.yaan II di Bandung tentang pentingnya organisasi kebudayaan.
Pada tahun 1950 lahirlah organisasi kebudayaan yang berafiliasi kepada PKl, Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disingkat Lekra. Organisasi ini berkiprah di bidang kebudayaan sejak Kongres Kebudayaan II (1951) di Bandung. Pada tanggal 19 Nopember 1946 di Jakarta lahir gagasan dari kolompok "Gelanggang" yang didirikan oleh Chairil Anwar, Asrul Sani dan kawan-kawan. Di dalam preamblue anggaran dikatakan bahwa "Generasi Gelanggang'' terlahir dari pergolakan roh hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian dari bangsa kita. Kita hendak melepaskan diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk, dan kita berani menantang pandangan, sifat, dan anasir lama ini untuk menjalankan baru kekuatan baru.
Akar budaya "humanisme universal" ternyata sudah masuk ke tanah air bersamaan dengan masuknya sistem pendidikan masa kolonial Belanda yang terkenal dengan nama "Budi Utomo," tetapi sudah memikirkan tentang "pentingnya" persatuan di kalangan "pribumi" yang kemudian diikuti dengan ikrar "Sumpah Pemuda" pada tanggal 2.8 Oktober 1928. Pada tahun 1930-an, seorang seniman muda Indonesia yang menyadari akan arti penting "persatuan dan kesatuan" memperjuangkan kemerdekaan di bidang kebudayaan (sastra) dan melahirkan aliran "Pujangga Baru" yang ingin melepaskan kreativitas sastra daerah (Malaya) menjadi sastra Indonesia yang dimanifestasikan dalam bahasa Indonesia Gerakan di bidang kebudayaan ini terus berlanjut dengan perdebatan STA dengan KHD mengenai sejarah dan perkembangan kebudayaan Indonesia di masa depan. Perdebatan di kalangan budayawan tahun 1930-an ini sudah terlihat adanya dua pola pikir yang "bertabrakan" yaitu pola. pikir "Barat? yang dikehendlaki oleh STA dengan pola pikir :?Tradisi" yang dikehendaki oleh KHD dan kawan-kawan. Pola pikir STA sangat dipengaruhi oleh pola pikir :Barat" yang dalam hal ini diartikan Belanda.
Ide dasar perjuangan budayawan yang mendukung prinsip "humanisme universal" ialah "kebebasan kreatif." Ide dasar "humanisme universal" terus berkembang menjadi gerakan yang manuntut "kemanusiaan yang adlil dan beradab" yang dituntut Chairil Anwar dalam "Aku ini binatang jalang, dan kumpulan yang terbuang" dan melahirkan Angkatan 45 di bidang kesastraan yang dilanjutkan oleh Asrul Sani dan kawan-kawan dangan kelompok Galanggangnya.
Perdebatan di kalangan budayawan kembali menghangat setelah situasi politik dalam negeri yang didukung dengan "Manifesto Politik" Soekarno yang memperkenalkan konsepsi baru dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang disebut NASAKOM (Nasional-Agama-Komunis). Konsepsi ini sangat didukung oleh budayawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) karena sejalan dengan ideologi realisme sosialis yang merupakan bagian dan ajaran komunisme, sedangkan budayawan Manifestan menggunakan ideologi humanisme universal yang merupakaan bagian dari ideologi liberalisme untuk menentang kebijakan pemerintah di bawah rezirn Saekarno.
Kontroversi lahirnyaPancasila dan gagalnya Konstituante (1959) dalam memecahkan masalah "dasar negara" Islam, Pancasila, atau Sosial-Ekonomi, menjadikan' bangsa ini tidak matang dalam kehidupan berbaangsa, bernegara, dan bermasyarakat, Sebagai orang Indonesia, budayawan Lekra dan Manifestan sangat menyadari akan arti penting "seni" dalam kehidupan mereka, tetapi sebagai warga bangsa dan negara Indonesia, budayawan Lekra dan Manifestan memanfaatkan "situasi politik" bagi kelompoknya daripada kepentingan bangsa dan negara Indonesia berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Tesis ini menyimpulkan bahwa budayawan Lekra dan Manifestan baru menyadari kedudukannya dan perannya sebagai anggota kelompok "seniman kerakyatan" atau "seniman inerdeka" tetapi belum sepenuhnya menyadari kedudukan dari perannya sebagai "warga bangsa Indonesia" yang berkepentingan dalam mowujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undarig Dasar 1945 di dalam negara persatuan yang bernama Repubik Indonesia. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bono, Edward de
Jakarta: Elex Media Komputindo, 1999
153.42 BON n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>