Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 189675 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hendra Kurniawan
"Disertasi ini membahas dinamika hubungan-hubungan sosial yang terjalin antara polisi dan masyarakat dalam proses pertukaran sosial, terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan pelayanan publik dan penegakan hukum di wilayah hukum kepolisian resor Depok. Lebih khusus, penelitian ini mengkaji bagaimana realitas hubungan polisi dan masyarakat tersebut memberi penjelasan terhadap proses kebijakan yang dibuat oleh para petugas di lapangan, dan relasi kekuasaan di antara pihak-pihak yang terlibat.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain analisis yang bersifat deskriptif, sebagai upaya peneliti dalam mengembangkan jenis teori berdasarkan data empirik di lapangan. Masalah-masalah yang muncul dari tindakan para polisi yang bertugas di bagian terdepan (para pelaksana sekaligus pembuat kebijakan di lapangan, sebagai fokus), dikaji dengan cara menjelaskan refleksi dari tindakan mereka berupa interaksi dengan masyarakat yang terdiri dari pengguna jasa, pelapor, pengguna jalan, serta pelanggar hukum, dimana hubungan tersebut juga terjadi dalam konteks kebijakan dan kekuasaan yang melibatkan peran polisi dan mitra kerjanya, baik dari dinas lain maupun yang berasal dari warga masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelayanan publik merupakan proses pertukaran sosial berupa interaksi timbal balik di antara para pelaku yang menjalankan peran masing-masing sesuai dengan corak hubungan serta struktur kekuasaan yang ada di tempat kerja atau di lapangan.
Temuan dari penelitian ini memberi penjelasan bahwa semakin besar peluang seorang pelaku untuk melakukan pertukaran, maka semakin besar pula kekuasaan pelaku tersebut, sehingga peluang pertukaran ini secara langsung berkaitan dengan proses pembuatan kebijakan. Hal tersebut ditandai oleh adanya para pelaku yang berinteraksi satu sama lain sekaligus menjalankan strategi kekuasaan dengan cara mensiasati hukum, aturan, dan kebijakan yang secara terus-menerus diinterpretasi, diadaptasi, dan dikomunikasikan dalam kehidupan sehari-hari untuk melegalkan pertukaran di antara mereka.
Kesimpulan penelitian ini menyarankan kepada para pelaku di kepolisian agar memfokuskan diri pada peningkatan kualitas pelayanan dan penegakan hukum yang bukan sekedar slogan, tetapi dengan menyadari bahwa penekanan yang lebih kongkrit dari tindakan mereka adalah terletak pada bagaimana mereka mengatur pengelolaan uang pajak yang telah diberikan oleh masyarakat kepada pemerintah dengan sebaik-baiknya.

This dissertation discusses on dynamic social relations between police officer and the public in the process of social exchange, primarily in providing public service and law enforcement activity at Depok Police Administrative District. Simply put, this research is about how the reality of the relation between police officer and the public gives explanation to the process of policy-making by the street-level bureaucracy, and also how it could point out the power relation among parties involved.
This research is a qualitative one and its analysis design is descriptive, as an effort of researcher to develop theory based on empirical data in the field. Some others issues arise as effects of police action by the police officer that placed in front of public (policy-implementer and policy-maker in the field, as focus), studied in this dissertation by explaining the reflection of their action in law enforcement and providing service to the public that is interaction with the public, such as police?s service users, reporters, street users, and law breakers, in which this relation is in the context of policy and power that become wrapped around the role of police officers an their partnership from other department or sourced from the public.
The results of this research indicates the public service is a process of social exchange like reciprocal interaction among parties involved in rules performing according to the types of relation and the structures of power occurred in the workplace or in the field. This research findings shows that the more opportunity to bribe the more powerful the persons or the actors, and this opportunity is directly related to policy-making process and power structure. This can be found the actors or performers interacts one another and showing their power strategy to manipulate law, rules, and policy which is continuously interpreted, adapted, and disseminated in daily live to legalize exchange between them.
This research recommends to any actors in the police department to focus on improving service quality and law enforcement that is not just enough slogans, but realizing that concrete stressing of their actions is how to manage tax income paid by the public to the government carefully.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
D625
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anggi Dewinta Chairani
"Tesis ini membahas mengenai upaya pemberantasan petty corruption pada pelayanan public khususnya di Kelurahan dan Kepolisian. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, yang merupakan penelitian berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Data-data yang diperoleh kemudian diolah secara kualitatif dan diuraikan dalam bentuk kalimat sistematis. Hasil penelitian ini menyimpulkan terdapat 2 (dua) bentuk petty corruption yang terjadi pada pelayanan publik di Kelurahan dan Kepolisian: uang yang diberikan untuk mempercepat proses birokrasi dan uang yang diberikan untuk menghilangkan suatu proses dalam serangkaian proses dan bahkan dilakukan untuk membuat pegawai tingkat rendah melakukan pelanggaran terhadap kewenangan jabatannya.Namun dalam praktek, bentuk-bentuk petty corruption ini sulit diberantas karena terdapat beberapa faktor penghambat dalam pemberantasan petty corruption, yaitu faktor ketidakpaduan subsistem-subsistem pada tahap pra-adjudikasi dalam sistem peradilan pidana, faktor persepsi atau kebiasaan masyarakat yang membuat petty corruption semakin mengakar, faktor birokrasi dalam pelayanan publik yang kurang responsif, kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, birokratis atau birokrasi yang berbelit-belit, kurang mau mendengar keluhan atau saran atau aspirasi masyarakat, inefisien, dan juga faktor peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 12A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Oleh karena terdapat empat faktor penghambat pemberantasan petty corruption, peneliti mengajukan empat alternatif solusi dalam pemberantasan petty corruption: yaitu mengkategorikan petty corruption sebagai tindak pidana ringan, menindak para pelaku petty corruption dengan Afdoening Buiten Process.dengan reformasi birokrasi dan pengawasannya, menjadikan birokrasi berbayar.

This thesis discusses about eradicating petty corruption in public services, especially in the Sub-district office and the Police station. The research method using normative juridical research method, which is a research based primary legal materials in a way to examine the theories, concepts, principles of law as well as legislation related to this research. The data is obtained then processed qualitatively and described in a systematic form of the sentence. Results of this study conclude there are two forms of petty corruption that occurs on public services in the Sub-district office and the Police station: money given to speed up the bureaucratic process and the money given to eliminate a process in a series of processes and even made to make employees low-level offenses against his authority. But in practice, forms of petty corruption are difficult to combat because there are some inhibiting factors in eradicating petty corruption, which is a factor disagreement subsystems at the preadjudication in the criminal justice system, factors of perception or habits of the people who make petty corruption increasingly entrenched, factor bureaucracy in public services that are less responsive, less informative, less accessible, less coordination, bureaucratic or cumbersome bureaucracy, less willing to hear a complaint or suggestion or aspirations of the people, inefficient, and also factors of legislation, namely Article 12A Regulation No. 20 of 2001. Therefore, there are four factors inhibiting eradicating petty corruption, researchers found four alternative solutions in the fight against petty corruption: categorize petty corruption as a misdemeanor, crack the perpetrators of petty corruption with Afdoening Buiten Process,bureaucratic reform and supervision, petty corruption as bureaucratic cost."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Ulfa Rosyandeli
"Terminal Penumpang sebagai salah satu jenis pelayanan publik di perkotaan dewasa ini belum mampu menciptakan kualitas yang maksimal. Ciri utama dari tiap terminal yang ada di kota-kota besar, adalah kesemrawutan. Hal ini terkait dengan beragam kendala dalam pengelolannya seperti kekurangan daya tampung, sarana dan prasarana terminal yang kurang memadai, serta ketidakdisiplinan dari para pengemudi kendaraan umum itu sendiri. Dampak nyata dari kesemrawutan ini adalah ketidaknyamanan para pengguna jasa transportasi. Mereka tidak dapat mengakses terminal secara penuh, padahal itu hak mereka sebagai warga kota. Terminal Terpadu Depok sebagai salah satu penyelenggara pelayanan publik melibatkan dua pihak dalam pengelolaan sehari-hari, yaitu pihak formal dan nonformal. Pihak formal yang dimaksud yaitu DLLAJ yang bermitra dengan Organda, Pospol dan DKLH. Sedangkan pihak nonformal yaitu paguyuban-paguyuban yang beranggotakan kelompok-kelompok aktivitas di terminal seperti para supir, kernet, calo, timer, hingga pengamen, pemulung dan pengemis. Kedua pihak ini secara bersama-sama sesuai dengan peran dan aturan mereka masing-masing mengelola terminal. Muncul dan berkembangnya pihak nonformal ini disebabkan karena keterbatasan peraturan yang ada dalam suatu pengelolaan terminal, sehingga berkembanglah otonomi-otonomi yang bersifat relatif yang mampu mengakomodir kebutuhan para kelompok aktivitas di terminal. Selain itu, adanya pemahaman bahwa selain sebagai fasilitas umum, terminal adalah tempat untuk mencari nafkah bagi banyak orang, maka ketika peraturan yang ada tidak mampu mengakomodir kebutuhan masing-masing individu atau kelompok tersebut, peraturan lainlah yang kemudian `disepakati' bersama. Pengelolaan kebersihan lingkungan di TTD merupakan salah satu aspek yang tercantum dalam peraturan suatu penyelenggaraan Terminal Penumpang. Penelitian ini bersifat kualitatif. Dengan demikian penulis akan menggambarkan secara keseluruhan pengelolaan kebersihan yang berlangsung di sana. Wawancara dilakukan peneliti kepada para informan, yaitu para petugas kebersihan yang terdiri atas lakilaki dan perempuan dan pihak dari DKLH. Penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat faktor-faktor yang berpengaruh dalam pelaksanaan kerja di lapangan, yaitu mengenai peraturan yang lemah, pengelolaan yang kurang maksimal serta persepsi para petugas terhadap kegiatan memelihara kebersihan itu sendiri yang terwujud dalam perilaku mereka ketika melaksanakan tugasnya. Perbedaan persepsi antara laki-laki dan perempuan didasarkan pada penilaian yang ada di masyarakat mengenai jender, yaitu peran perempuan dalam urusan domestik dan peran laki-laki dalam bidang publik. Perbedaan persepsi ini kemudian berpengaruh pada perbedaan perilaku yang terwujud pada kualitas kerja yang dihasilkan. Petugas perempuan memiliki kualitas kerja yang lebih baik daripada petugas laki-laki. Hasil sapuan petugas perempuan lebih bersih dan rapih daripada petugas laki-laki. Petugas perempuan mempersepsikan menyapu adalah tugas perempuan di rumah sehari-hari, bukan laki-laki, sehingga perempuan lebih terbiasa. Asosiasi yang melekat pada perempuan yaitu bersifat rapih, tekun dan teliti, semakin membuat petugas laki-laki tertekan dengan status sebagai pesapon yang menurut mereka tidak pantas disandang untuk laki-laki. Dengan demikian, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat mengenai peran laki-laki dan perempuan masih cukup kuat untuk membentuk konstuksi berpikir dan berperilaku, termasuk dalam ruang lingkup pekerjaan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
S4290
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barda Nawawi Arief, 1943-
Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008
345 BAR m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nurmansyah
"Perkembangan penyalahgunaan narkoba sudah sangat memperihatinkan. Kalaudulu, peredaran dan pecandu narkoba hanya berkisar di wilayah perkotaan, kinitidak ada satupun kecamatan, atau bahkan desa di Indonesia yang bebas daripenyalahgunaan dan peredaran gelap obat terlarang itu. Dalam perkembangannyapengaturan tentang narkotika di Indonesia telah melalui beberapa tahap yaitu,Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika diganti dengan Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pada wilayah Indonesia bagian timur khususnya Provinsi Maluku mulai menjadi perhatian dan status waspada terkaitperedaran Narkoba, ditunjang wilayah Provinsi Maluku yang berbentuk kepulauandan banyak pelabuhan-pelabuhan kecil yang tidak terdapat aparat pemerintah, BNNRI menilai Provinsi Maluku merupakan salah satu wilayah di tanah air yang sangatrawan akan peredaran Narkoba.
Ditunjang dengan hasil survey yang dilakukan BNN RI, Posisi Maluku sendiri saat ini menempati posisi ke-tujuh dengan jumlahpenyalahgunaan sebanyak 27.940 jiwa dari jumlah populasi Maluku sebanyak1.169.800 jiwa. Kemudian salah satu Kabupaten di Provinsi Maluku yaitu SeramBagian Timur yang pada awalnya bebas Narkoba kini pada tahun 2014 mulaimasuk peredaran narkoba, hal tersebut berdasarkan data Polres Seram BagianTimur. Kabupaten Seram Bagian Timur merupakan kabupaten yang masih tumbuhdikarenakan baru mekar pada tahun 2005 serta merupakan kabupaten miskin danterisolir dengan jumlah penduduk kurang lebih 124 ribu jiwa. Hal tersebutmenjadikan fenomena unik dalam peredaran Narkoba pada saat ini. Upaya Represif Penindakan telah dilakukan terhadap orang yang diduga menyalahgunakannarkotika untuk memberantas penyalahgunaan narkotika di Kabupaten SeramBagian Timur. Dalam upaya tersebut terdapat kendala-kendala yakni sarananprasarana penegak hukum, masyarakat, penegak hukum serta geografis.

The Development of drug abuse already highly concern. Formerly, distribution anddrug addicts was only in urban areas, but nowdays there is no sub districts orvillages which released from distribution and drug abuse. On its progress theregulation of narcotics in Indonesia has passed through several phases, that isUndang undang No 9 Tahun 1976, was replaced to Undang undang No 22 tahun1977, was replaced to Undang undang No 35 tahun 2009. In the areas of easternIndonesia, especially Provinsi Maluku, began to attract attention and alert status ofdrug trafficking, because Maluku is an archipelago and there are no governmentofficer in small ports.
According to BNN RI, Maluku is one of the area in Indonesiawhich vulrerable to drug distribution. BNN RI survey shows that Maluku currentlyoccupies the seventh position with 27.940 drug addict of the 1.169800 inhabitants.Based on data from Polres Seram Bagian Timur, there is no narcotics distributionbefore 2014 in district of Seram Bagian Timur, but recently has spread, where asthis district newly formed on 2005, also poor and isolated with populationapproximately 124.000 inhabitants. It has become a unique phenomenom onnarcotics distribution. Repressive effort action towart people suspected abusingnarcotics have been made to eradicate drug abuse in district of Seram BagianTimur. Contraints in these effort include facilities and infrastructures lawenforcement, society and geography."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahardian Wahyu Pradana
"Skripsi ini membahas tentang pengaruh budaya organisasi dan kepemimpinan dan kinerja pada anggota Satuan Reserse Kriminal Polres Depok. Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian mendapatkan hasil bahwa budaya organisasi pada anggota Satuan Reserse Kriminal Polres Depok cenderung kuat, sedangkan kepemimpinan, dan kinerja cenderung tinggi. Selain itu, penelitian ini mendapati adanya hubungan yang cukup dan positif antara variabel budaya organisasi dengan variabel kinerja, dan ada hubungan yang kuat dan positif antara variabel kepemimpinan dengan kinerja.

This research is explaining about the influence of organizational culture and leadership to employee performance in members of Criminal Investigation Unit in Depok local police. The research was designed as a quantitative research. The results of the research are that the organizational culture, leadership, and employee performance in the Criminal Investigation Unit in Depok Local Police are tent to be high. Besides, this research found out that there was a moderate and positive relationship between organizational culture and employee performance, and there was a strong and positive relationship between leadership and employee performance."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Delta Gusta
"Kejahatan adalah masalah yang tidak ada hentinya, kejahatan tidak akan bisa dihapuskan, namun kejahatan hanya bisa dikurangi. Salah satu upaya untuk mengsikapinya adalah dengan melakukan pencegahan dengan skala prioritas terhadap kejahatan yang trend-nya meningkat, sehingga dapat menjadi petunjuk bagi aparat terkait dalam menfokuskan perhatian pada kejahatan yang menonjol tersebut. Untuk mengetahui bentuk kejahatan mana yang menonjol, tidak terlepas dari peran statistik kriminal, khususnya statistik kriminal yang dibuat oleh kepolisian. Hal inilah yang menjadikan peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana trend kejahatan dalam statistik kriminal yang dibuat oleh polisi dengan memperhatikan faktor demografi (trend fluktuasi penduduk) dan crime clearance (trend fluktuasi penyelesaian kejahatan) oleh kepolisian.
Penelitian ini menggunakan metode studi dokumen, hal ini karena data yang akan diteliti adalah berupa dokumen-dokumen tentang statistik kriminal resmi polisi yang ada di Polies Metro Depok. Pendekatan dalam pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui meningkatnya trend kejahatan dengan memperhatikan faktor demografi (penduduk), dan crime clearance.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ada 2 faktor yang mempengaruhi fluktuasi trend kejahatan yaitu: (1). Faktor jumlah pertumbuhan penduduk, (2). crime clearance. Dari kedua faktortersebut, tidak semuanya memperlihatkan trend yang sejalan. Seperti faktor penduduk, dari hasil penelitian tidak memperlihatkan adanya trend yang sejajar. Sedangkan pada faktor crime clearance memperlihatkan trend yang tidak sejalan dengan trend kejahatan, kecuali pada kasus penyalahgunaan narkotika yang trendnya sejalan dengan pertumbuhan penduduk serta crime clearance."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12443
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miftahul Fitri Fauziah
"Melihat kenyataan yang ada bahwa kondisi anak Indonesia masih banyak yang memprihatinkan.Seperti masih banyaknya anak-anak yang mengemis, berjualan, dan mengamen di jalanan. Anak-anak seperti itu umumnya sudah tidak bersekolah lagi. Selain itu, anak juga sangat memerlukan perlindungan hukum yang berkekuatan hukum tetap, sebab sering kali terjadi kasus-kasus hukum yang tidak tertangani. Di sisi lain dalam penanganan terhadap kasus anak pun bisa dikatakan belum baik, maka perlu adanya tindakan diversi karena diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang baik kembali, melalui jalur non formal
dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Penelitian ini akan membahas mengenai bagaimana Penyidik menentukan diversi terhadap tindak pidana yang dilkukan oleh anak, bagaimana cara Penyidik menghasilkan satu kesepakatan
diversi serta bagaimana pengawasan terhadap pelaksanaan diversi oleh Polresta Depok dan Kabupaten Bogor. Metode penelitian yang digunakan adalah normatif-empirik, dengan sumber data yang diperoleh melalui kepustakaan dan
wawancara. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian eksplanatoris. Hasil penelitian menunjukan bahwa beberapa kasus yang ditangani oleh Polresta
Depok dan Polres Kabupaten Bogor tidak ada keseragaman dalam penanganan perkara yang dapat dilakukan diversi. Pada kedua polres tersebut memiliki kebijakan yang berbeda, karena Penyidik Polresta Depok tidak mengetahui
Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum berumur 12 (dua belas) tahun. Hal ini menyebabkan perbedaan kebijakan dengan yang dilakukan Polres Kabupaten Bogor yang sudah mengetahui Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015, oleh sebab itu diperlukan sosialisasi tentang pelaksanaan diversi ditingkat Penyidikan.

Looking at the reality that the condition of Indonesian children that seem to be apprehensively alarming, like numerous of children being panhandler, busker, etc. Those children mostly lost their rights to obtain education. Moreover, those children need legal protection due to some unresolved legal cases. On the other hand, the handling of child cases remain indecent, therefore will need a diversion mechanism with the aim of giving some opportunities to the lawbreakers as a refinement through informal way by involving society. This research explains how investigator determines diversion mechanism to be used in criminal cases committed by children, how investigator resulting diversion agreements, and how the surveillance is conducted by Bogor Regency Resort Police and Depok Resort Police. The research method used is normative-empirical method with data sources obtained
through literatures and interview and the research type used is explanatory. The result tells that some cases handled by Bogor Regency Resort Police and Depok Resort Police shows no common denominator for cases that using diversion mechanism. In both Bogor Regency Resort Police and Depok Resort Police have totally different policies due to lack of acquaintance of the Government Regulation
number 65 Year 2015 concerning Guidelines for Implementing Diversion and Handling of Children Under 12 Years Old by Depok Resort Police. This resulted the total different policies between Bogor Regency Resort Police and Depok Resort Police. Therefore the massive socialization of the implementation of diversion
mechanism in the level of investigation is inevitably needed.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rycko Amelza Dahniel
"Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi berbagai fenomena implementasi birokrasi di Polres Kota Sukabumi yang berkaitan dengan berbagai aspek struktur dan sosial organisasi, sehingga bermanfaat bagi pengembangan ilmu kepolisian dan reforrnasi birokrasi Polri. Berbagai karakteristik organisasi birokratik yang dikembangkan oleh Weber (1917), Robbin (1990), dan Pinchott (1993), dijadikan pola pikir untuk mengungkap praktek-praktek birokrasi di Polres Kota Sukabumi dalam melaksanakan pemolisian. Corak masyarakat yang berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas pemolisian dan praktek birokrasi di Polres Kota Sukabumi juga menjadi fokus yang dieksplorasi dalam penelitian ini.
Berbagai teori organisasi modem dan post modern yang mengaitkan pengaruh Iingkungan terhadap struktur organjsasi, organisasi pembelajar sebagai leverage peningkatan kualitas organisasi terutama menempatkan peran dan kualitas SDM di dalam pelaksanaan tugas-tugas organisasi, menjadi landasan teoritik dan pola pikir di dalam melihat fenomena birokrasi di Polres Kota Sukabumi. Berbagai paradigma teori organisasi terkini yang mengungkapkan pergeseran paradigma dari organisasi birokratik yang cenderung mekanistik menuju organjsasi organik yang lebih merespons kompleksitas dan adaptif terhadap tuntutan lingkungan organisasi guna meningkatkan kualitas pelayanan, dijadikan kerangka bertikir di dalam menganalisis fenomena clan praktek birokrasi di Polres Kota Sukabumi (Senge, 1990; Pinchot, 1993; Osbome & Plastrik, 1997; Choo, 1998; Maycunich, 2000, Pettinger, 2002).
Penelitian ini dilakukan di Polres Kota Sukabumi sebagai unit analisisnya. Pendekatan kualitatif yang lebih berfokus pada kedalaman mengungkap dan mengeksplorasi berbagai fenomena dan praktek birokrasi di Polres Kota Sukabumi menjadi bagian penting di dalam penelitian ini. Oleh sebab itu, melalui teknik pengamatan terlibat (complete participant observation) dan wawancara mendalam (indepth-interview) kepada informan kunci, dengan mengandalkan peneliti sebagai instrumen penelitian diharapkan mampu mengeksplorasi kedalaman data yang lebih komprehensif. Triangulasi dan pemaknaan (meaning) terhadap fenornena temuan penelitian merupakan pendekatan yang dikedepankan di dalam melakukan analisis.
Pertama, penelitian ini menunjukkan bahwa organisasi Polres Kota Sukabumi lebih mencerminkan praktek organisasi birokrasi yang dicirikan dengan organisasi yang hirarkis mulai dari Mabes Polri pada tingkat tertinggi (strategic apex) dan organisasi Polres sebagai organisasi terdepan atau KOD (operating core) dalam melaksanakan tugas  pemolisian. Dalam implementasinya, organisasi yang hirarkis telah menempatkan Kapolres sebagai pejabat dengan otoritas yang sentral sehingga pengambilan keputusan lebih terpusat pada pimpinan puncak organisasi. Hal ini menimbulkan peran pimpinan tertinggi Polres sangat dominan dalam melakukan pengambilan keputusan sehingga kurangnya ?delegation of authority" yang diberikan kepada anggota organisasi dalarn rangka pengambilan keputusan. Praktek organisasi birokratik yang demikian dapat mematahkan kreativitas, inisiatif dan inovasi anggota organjsasi dalam melakukan tugas-tugas pelayanan masyarakat. Diferensiasi vertikal dalam struktur hirarkis yang menempatkan posisi Polwil diantara Polres dan Polda sebagai pengawas Polres, namun diberi tugas sebagai komando Operasional, telah bertentangan dengan prinsip-prinsip pengorganisasian Polri yang dititikberatkan pada pembagian daerah hukum yang serasi dengan administrasi pemerintahan di daerah dan perangkat sistem peradilan pidana terpadu.
Kedua, penelitian menemukan bahwa spesialisasi tugas ke dalam fungsi-fungsi organisasi baik yang bersifat ?vertical differentiation? dan ?horizontal differentiation? sebagai karakteristik organisasi birokratik cenderung menimbulkan ego fungsional antar unit organisasi sehingga sulit terciptanya ?teamwork?sebagai bentuk paradigma baru dalam organisasi untuk mendukung efektifitas pelaksanaan tugas pemolisian.
Ketiga, dominasi lcepemimpinan sebagai akibat dari struktur organisasi hirarkis telah membentuk budaya organisasi yang lebih merefleksikan budaya militeristik, sehingga perilaku anggota sangat patuh dan menunggu perintah atasan, berorientasi kepada senioritas, lebih reaktif dan terbentuk untuk melaksanakan tugas secara rutin dan statis. Padahal, paradigma pemolisian menuntut perilaku anggota menyesuaikan dengan perubahan rnasyarakat dan perkernbangan lingkungan organisasi yang dinamis.
Keempat, salah satu karakteristik organisasi birokrasi yang impersonal menjadi kurang sesuai dan cocok di dalam melaksanakan tugas pmolisian khususnya didalam menciptakan keteraturan sosial dalam masyarakat Sukabumi. Dengan demikian paradigma organisasi yang mengedepankan kpentingan masyarakat dalam pemolisian melalui kemitraan, kolaborasi, bimbingan dan fasilitator dalam menyelesaikan masalah sosial, merupakan esensi menciptakan organisasi pembelajar (learning organization) di lingkungan Polres Kota Sukabumi.
Kelima, penerapan manajemen SDM berbasis kompetensi sebagai praktek birokrasi di Polres Sukaburni masih belum tercermin secara nyata sebagai ?core value? organisasi sehingga perilaku anggota di lingkungan Polres Sukabumi kurang berorientasi kepada kinerja anggota tetapi lebih berorientasi kepada tugas-tugas rutin yang didasari atas hubungan patron-klien di dalarn organisasi.
Keenam, konteks dan lokalitas masyarakat Sukabumi dan kebudayaannya, mempengaruhi corak birokrasi di Polres Kota Sukabumi. Model birokrasi rasional oleh Weber yang impersonal dan otoritas yang legal tidak dapat sepenuhnya diimplementasikan, khususnya pada masyarakat Sukabumi dalam menciptakan keteraturan sosial dalam masyarakat. Secara khusus, masyarakat Sukabumi memiliki kebudayaan dominan dan hukum yang hidup untuk memecahkan masalah sosial. Sehingga strategi pemolisian yang mengedepankan fungsi pre-eratif melalui bimbingan, kemitraan dan menjadi fasilitator dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial, lebih sesuai dan efektif dalam menciptakan keteraturan sosial pada masyarakat Sukabumi.
This study is aimed to explore the various phenomena in bureaucratic implementation in Sukabumi City Police station related to various structural and social organizational aspects, to be beneficial for the development of police science and INP bureaucracy reformation. Various characteristics of bureaucratic organization developed by Weber (1917) and Pinchott (1993) is used as the framework to reveal bureaucratic practices in Sukabumi city police station in conducting policing duties. The variety of society influencing the implementation of policing duties and bureaucratic practices in Sukabumi city police station also becomes the focus to be explored in this research.
Various modern and post modern organization pattern relating environmental influence on organization structure, learning organization as the leverage to increase organization quality, mainly by putting the roles and quality of Human Resources in the implementation of organizational tasks, have become the theoretical and thinking pattem in seeing the bureaucratic phenomena in Sukabumi city police station. Various updated organizational theory paradigm which reveals the shifting of paradigm from bureaucratic organization that tends to be mechanistic to a more organic organization that responds better towards the complexity and adaptive towards the demand of organizational environs to increase service quality, is made into thinking pattem in analyzing phenomenon and bureaucratic practices in Sukabumi city police station (Senge, 1990; Pinchot, 1993; Osbome & Plastrik, 1997; Choo, 1998; Maycunich, 2000, Pettinger, 2002).
This research is made with Sukabumi city police station as the analysis unit. The qualitative approach which more focused in the in-depth revelation and exploration of various phenomenon and bureaucratic practices in Sukabumi city police station becomes the important point of this research. Therefore, through complete participant observation and in-depth interview to key informant, by relying on the researcher as research instrument, it is expected that the research can explore the depth of data more comprehensively. Triangulation and meaning on research Ending phenomenon in the approach promoted in conducting the analysis.
First, this research shows that the Sukabumi city police station organization reflect more on the a bureaucratic organization practice characterized by hierarchical organization, starting with Police Headquarter as the highest level (strategic apex) and city police station as the frontline organization or operating core in conducting policing duties.
In its implementation, this hierarchical organization has placed the head of city police as an oliicer with cen1;ralistic authority, so that the decision making is more centralized on the highest leader of the organization. This created a very dominant highest leader of city police in making decision, so that there was a lack of ?delegation of authority? delegated to organizational members in decision making. This kind of bureaucratic organization practice can break creativity, initiative and innovation of organizational members in conducting public services duties. Vertical differentiation in hierarchical structure which placed the position of area police between city police and regional police as the overseer of city police, but with duties as operational command has been contradictory to the INP organizing principles which emphasizes on division of legal jurisdiction in line with regional govemment administration in the region and integrated criminal justice system apparatus.
Second the research found that task specialization into organizational functions, both those with ?vertical differentiation? and ?horizontal differentiation? in nature as characteristic of bureaucratic organization tend to create functional ego among organization units so it is difficult to create a ?teamwork? as form of new organizational paradigm to support effectiveness of policing duties implementation.
Third the domination of leadership as a result of hierarchical organizational structure has fomied organizational culture that reflect more on militaristic culture, so that the behavior of the members are obedient and subservient to the boss, oriented to seniority, more reactive and formed to conduct routine and static duties. Whereas the policing paradigm demands a behavior of members that are adaptive to the changes of society and development ofa more dynamic organization environs.
Fourth, one of the impersonal characteristics of bureaucratic organization becomes not suitable and relevant in conducting policing duties, especially in creating social order in Sukabumi society. Thus, organizational paradigm that promotes community interest in policing through partnership, collaboration, assistance and facilitation in solving social problems, is the essence in creating learning organization in the environments of Sukabumi city police station.
Fifth, the competence based Human Resource management system as bureaucratic practice in the Sukabumi city police station is not really reflected as the core value of organization so that the behavior of members in the Sukabumi city police station oriented less to the performance of members but it oriented more on the routine tasks based on patron-client relationship in the organization.
Sixth, the context and locality of Sukabumi people and their culture influence the bureaucratic pattem in Sukabumi city police station. The rational bureaucratic model by Weber, that is impersonal and with legal authority cannot be fully implemented, especially to the Sukabumi people in creating social order in the community. Specifically, Sukabumi people have dominant culture and living law to solve social problem. Thus, policing strategy to promote pre-emptive function through assistance, partnership and facilitating in solving social problems, is more suitable and effective in creating social order in Sukabumi community.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
D899
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, M. Solly
Bandung: Mandar Maju, 2014
346.598 LUB p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>