Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113462 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Taufiqullah
"Pada pengelasan baja, fenomena cold cracking atau retak dingin merupakan problem yang sangat signifikan. Fenomena ini sering terjadi setelah proses pengelasan selesai. Retak ini bisa terjadi pada daerah heat affected zone (HAZ) maupun pada logam las. Secara umum, cold cracking dapat diketahui dan dinyatakan sebagai hadirnya hidrogen dan tegangan pada struktur mikro yang sensitif terhadap retak pada kondisi temperatur di bawah 150oC. Proses pengelasan pelat tebal baja paduan rendah kekuatan tinggi (high strength steel) dalam pembuatan komponen memiliki resiko yang cukup tinggi terhadap terjadinya fenomena cold cracking. Hal ini disebabkan adanya dua parameter yang saling mendukung yaitu pelat tebal dan baja paduan rendah untuk kemungkinan terbentuknya struktur mikro yang sensitif terhadap retak. Baja paduan rendah kekuatan tinggi memiliki sensitivitas terhadap retak relatif tinggi karena memiliki nilai karbon ekuivalen (CE) yang tinggi. Sedangkan pelat tebal, laju pendinginan pengelasan menjadi lebih cepat karena daya serap panas lebih besar jika dibanding dengan pelat tipis. Pengontrolan laju pendinginan menjadi faktor utama pada proses pengelasan pelat tebal baja paduan rendah kekuatan tinggi untuk mendapatkan hasil lasan yang bebas dari cold cracking.
Dalam penelitian ini dilakukan pengontrolan laju pendinginan pada proses pengelasan baja HSLA dengan tebal 40mm dengan menggunakan media pendinginan udara, blanket dan heater electric. Proses pengelasan yang digunakan Gas Metal Arc Welding (GMAW) dengan parameter pengelasan mengikuti parameter yang tercantum pada standar.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa cold cracking dapat dihindari dengan mengontrol waktu pendinginan pada temperatur rendah (T300- T100) agar lebih besar dari waktu pendinginan kritisnya. Penggunaan media pendinginan berupa electric heater dapat mencegah terjadinya cold cracking pada daerah HAZ lasan HSLA. Retak dapat terjadi karena adanya konsentrasi tegangan, variasi lokal kekerasan dan struktur mikro serta adanya patahan getas pada permukaan retak.

Cold cracking phenomenon is a very significant problem on steel weld. This phenomenon usually occurs after welding process finished. Crack often occurr on heat affected zone area. Generally, cold cracking is caused due to hydrogen diffuse during welding process and stress on micro structure which is susceptible to the crack at low temperature (under 150oC). Welding process on thick plate high strength low alloy steel has high risk to cold craacking phenomenon. The cooling rate of thick plate during welding will increase the absorbtion of heat compare to thin plate. On the other hand, high strength low alloy steel is susceptible to the crack due to high carbon equivalent (CE). Controlling cooling rate is the main factor on thick plate HSLA welding process in order to prevent cold cracking phenomenon.
This research will be done by controllong cooling rate on welding process of HSLA steel which have thickness of 40mm and using cooling media such as air, blancket and electric heater. Welding process is carried out by using Gas Metal Arc Welding (GMAW) with welding parameter as stated on the WPS.
The result showed that prevention of cold cracking can be done by controlling cooling time at low temperature (T300 - T100) in order to keep cooling time larger than critical cooling time. The use of cooling media with electric heater can prevent the cold cracking at the HAZ of HSLA weldment. Crack can be found on the weldment due to the present of stress concentration, local variation of hardness and micro structure and present of brittle fracture on the crack surface.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009
T26790
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiqullah
"ABSTRAK
Pada pengelasan baja, fenomena cold cracking atau retak dingin merupakan problem yang sangat signifikan. Fenomena ini sering terjadi setelah proses pengelasan selesai. Retak ini bisa terjadi pada daerah heat affected zone (HAZ) maupun pada logam las. Secara umum, cold cracking dapat diketahui dan dinyatakan sebagai hadirnya hidrogen dan tegangan pada struktur mikro yang sensitif terhadap retak pada kondisi temperatur di bawah 150oC. Proses pengelasan pelat tebal baja paduan rendah kekuatan tinggi (high strength steel) dalam pembuatan komponen memiliki resiko yang cukup tinggi terhadap terjadinya fenomena cold cracking. Hal ini disebabkan adanya dua parameter yang saling mendukung yaitu pelat tebal dan baja paduan rendah untuk kemungkinan terbentuknya struktur mikro yang sensitif terhadap retak.
Baja paduan rendah kekuatan tinggi memiliki sensitivitas terhadap retak relatif tinggi karena memiliki nilai karbon ekuivalen (CE) yang tinggi. Sedangkan pelat tebal, laju pendinginan pengelasan menjadi lebih cepat karena daya serap panas lebih besar jika dibanding dengan pelat tipis. Pengontrolan laju pendinginan menjadi faktor utama pada proses pengelasan pelat tebal baja paduan rendah kekuatan tinggi untuk mendapatkan hasil lasan yang bebas dari cold cracking. Dalam penelitian ini dilakukan pengontrolan laju pendinginan pada proses pengelasan baja HSLA dengan tebal 40mm dengan menggunakan media pendinginan udara, blanket dan heater electric. Proses pengelasan yang digunakan Gas Metal Arc Welding (GMAW) dengan parameter pengelasan mengikuti parameter yang tercantum pada standar.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa cold cracking dapat dihindari dengan mengontrol waktu pendinginan pada temperatur rendah (T300- T100) agar lebih besar dari waktu pendinginan kritisnya. Penggunaan media pendinginan berupa electric heater dapat mencegah terjadinya cold cracking pada daerah HAZ lasan HSLA. Retak dapat terjadi karena adanya konsentrasi tegangan, variasi lokal kekerasan dan struktur mikro serta adanya patahan getas pada permukaan retak.

ABSTRACT
Cold cracking phenomenon is a very significant problem on steel weld. This phenomenon usually occurs after welding process finished. Crack often occurr on heat affected zone area. Generally, cold cracking is caused due to hydrogen diffuse during welding process and stress on micro structure which is susceptible to the crack at low temperature (under 150oC). Welding process on thick plate high strength low alloy steel has high risk to cold craacking phenomenon.
The cooling rate of thick plate during welding will increase the absorbtion of heat compare to thin plate. On the other hand, high strength low alloy steel is susceptible to the crack due to high carbon equivalent (CE). Controlling cooling rate is the main factor on thick plate HSLA welding process in order to prevent cold cracking phenomenon. This research will be done by controllong cooling rate on welding process of HSLA steel which have thickness of 40mm and using cooling media such as air, blancket and electric heater. Welding process is carried out by using Gas Metal Arc Welding (GMAW) with welding parameter as stated on the WPS.
The result showed that prevention of cold cracking can be done by controlling cooling time at low temperature (T300 - T100) in order to keep cooling time larger than critical cooling time. The use of cooling media with electric heater can prevent the cold cracking at the HAZ of HSLA weldment. Crack can be found on the weldment due to the present of stress concentration, local variation of hardness and micro structure and present of brittle fracture on the crack surface.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009
T26011
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dino Adipradana Darwanto Haroen
"

High-strength low alloy steel atau biasa disebut baja HSLA merupakan material yang digunakan untuk komponen excavator bucket tooth pada industri alat berat. Komponen ini diproduksi di Indonesia tanpa adanya kegagalan pada produk, namun ketika diekspor ke luar negeri, produk mengalami retak yang diindikasikan sebagai delayed crack. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa delayed crack ini terjadi akibat hadirnya austenit sisa yang merupakan fasa metastabil dan dapat bertransformasi secara isotermal menjadi fasa lain serta menghasilkan tegangan sisa sehingga berujung pada inisiasi retak. Penelitian ini memfokuskan pada metode untuk mengurangi jumlah austenit sisa dengan memvariasikan waktu tempering pada perlakuan double tempering (QTT). Namun, nilai kekerasan akhir juga dipertimbangkan pada penelitian ini agar sesuai pada standar komponen industri alat berat. Temperatur tempering yang digunakan adalah 205°C dan waktu tempering yang digunakan adalah 68 menit x 2 (t1), 81 menit x 2 (t2), 94 menit x 2 (t3), dan 107 menit x 2 (t4). Perlakuan tempering dapat secara efektif menurunkan jumlah austenit sisa karena ketika tempering austenit sisa akan terdekomposisi menjadi fasa lain. Selama perlakuan tempering juga, martensit akan terdekomposisi menjadi tempered martensite sehingga kehilangan sebagian atom karbonnya (loss of tetragonality) dan menjadi lebih lunak. Karakterisasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah OM, SEM, Image-J (image analyzer), microvickers (kekerasan mikro), dan Rockwell C (kekerasan makro). Setelah dianalisis, penelitian ini mendapatkan hasil mikrostruktur berupa martensit (fresh martensite & tempered martensite), bainit (lower bainite), dan austenit sisa. Ditemukan pula karbida transisi pada bilah-bilah martensit. Ukuran fasa martensit (panjang bilah/jarum) tidak mengalami perubahan yang signifikan (cenderung seragam) seiring peningkatan waktu tempering. Peningkatan waktu tempering memengaruhi jumlah austenit sisa yang mengalami penurunan dan jumlah tempered martensite meningkat. Jumlah austenit sisa seiring peningkatan variabel waktu tempering mengalami penurunan dari 2.88%, 1.93%, 1.15%, dan 0.65%. Sementara itu, nilai kekerasan yang dihasilkan seiring meningkatnya waktu tempering adalah 49.43 HRC, 48.21 HRC, 47.78 HRC, dan 46.93 HRC dimana nilai kekerasan mengalami penurunan yang tidak signifikan. Maka, peningkatan waktu tempering dari 68 menit x 2 (t1), 81 menit x 2 (t2), 94 menit x 2 (t3), hingga 107 menit x 2 (t4) akan menurunkan potensi terjadinya delayed crack karena jumlah austenit sisa dapat berkurang, namun tetap memiliki nilai kekerasan yang baik.


The high-strength low alloy steel or commonly called HSLA steel is a material used for bucket tooth excavator components in the heavy equipment industry. This component was produced in Indonesia without product failure, but when exported abroad, the product experienced cracks which was indicated as delayed crack. Previous studies have suggested that this delayed crack occurred due to the presence of retained austenite which is a metastable phase and can be transformed isothermally into another phase and produces residual stress resulting in crack initiation. This study focuses on methods to reduce the amount of retained austenite by varying the tempering time in the double tempering (as-QTT) treatment. However, the final hardness value was also considered in this study to fit the heavy equipment industry component standard. The tempering temperature was 205°C and the tempering time was 68 minutes x 2 (t1), 81 minutes x 2 (t2), 94 minutes x 2 (t3), and 107 minutes x 2 (t4). The tempering treatment can effectively reduce the amount of residual austenite because when tempering the retained austenite will decompose into another phase. During tempering too, martensite will decompose into tempered martensite so that it loses some of its carbon atoms (loss of tetragonality) and becomes softer. The characterizations carried out in this study are OM, SEM, Image-J (image analyzer), microvickers (micro hardness), and Rockwell C (macro hardness). After being analyzed, this study obtained the results of microstructure in the form of martensite (fresh martensite & tempered martensite), bainite (lower bainite), and retained austenite. Also found transition carbides on martensite laths. The size of the martensitic phase (length of the lath/needle) does not change significantly (tends to be uniform) with increasing tempering time. An increase in tempering time affects the amount of retained austenite that has decreased and the amount of tempered martensite increases. The amount of retained austenite with increasing tempering time variables decreased from 2.88%, 1.93%, 1.15%, to 0.65%. Meanwhile, the value of hardness produced with increasing tempering time was 49.43 HRC, 48.21 HRC, 47.78 HRC, and 46.93 HRC where the value of hardness experienced an insignificant decrease. Thus, increasing the tempering time from 68 minutes x 2 (t1), 81 minutes x 2 (t2), 94 minutes x 2 (t3), until 107 minutes x 2 (t4) will reduce the potential for delayed cracks to occur because the amount of retained austenite can be reduced, but still has a good hardness value.

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irmawati
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2001
S41523
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nira Parihanti
"Dewasa ini, baja HSLA semakin banyak dibutuhkan untuk berbagai aplikasi karena memiliki Sifat mekanis yang lebih baik, yakni kekuatan yang tinggi. Kekuatan yang tinggi tersebut dihasilkan dengan menambahkan unsur-unsur paduan mikro yang meningkatkan kemampuan melalui mekanisme pengenalan presipitat dan juga penghalusan butir ferit. Pada penelitian ini diamati besar butir austenit prior yang dipengaruhi oleh peningkatan temperatur, karena hal itu sangat penting untuk menghasilkan butir ferit yang halus setelah canai panas.
Baja HSL/4 dengan kandungan 0, 029% Nb as-casr, digunakan sebagai benda uji dalam penelitian ini. Proses pemanasan dilakukan secara isorthermal pada temperatur 900 sampai 1300°C dengan waktu tahan 1 jam.
Pertumbuhan butir austenir prior terjadi lebih cepat pada temperatur diatas 1200°C. Hal ini disebabkan oleh karena pada temperatur tersebut, presipitat Nb(C]\0 dalam baja itu telah larut seluruhnya, sehingga tidak lagi menahan pertumbuhan butir. Peningkatan pertumbuhan bulir tersebur diawali dengan pengkasaran butir yang terjadi pada temperatur sekitar ll-42°C. Energi aktivasi pertumbuhan butir dari baja HSLA 0, 029% Nb dengan pemanasan isothermal adalah -134,58 k.l/m0/ dengan nilai n = -1,07 dan A = J, 19.1'03?. Pertumbuhan butir pada baja HSLA as-chast lebih besar daripada baja HSLA as-1-oHea1 dengan waktu tahan pemanasan yang berbeda Pertumbuhan butir pada baja HSLA-Nb lebih besar daripada pertumbuhan butir baja HSLA-Ti."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2001
S41477
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Rahman
"Material High-Strength Low Alloy Steel (HSLA) yang digunakan dalam pembuatan produk tooth excavator mengalami retak dalam jumlah besar akibat proses heat treatment yang kurang optimal setelah didiamkan selama 2 bulan. Penelitian sebelumnya menemukan keberadaan fasa yang tidak homogen dan keberadaan austenit sisa pada baja. Kemohogenan fasa dibutuhkan untuk mendapatkan struktur mikro yang stabil. Penelitian ini akan berfokus pada prosess heat treatment material pada perlakuan pre-tempering yang dilakukan setelah proses normalisasi. Pre-tempering yang dilakukan pada temperatur 677 ℃ dengan variable waktu tempering masing-masing selama 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam dan 5 jam. Berdasarkan hasil percobaan, pre-tempering yang dilakukan mempengaruhi perubahan fasa yang terbentuk dibandingkan hasil normalisasi. Perubahan yang terjadi yaitu perubahan fasa yang sebelumnya upper-bainite, bainitik-ferit, dan austenit sisa pada hasil normalisasi menjadi fasa granular bainite, bainitik-ferit, austenit sisa, dan persebaran karbida pada sekitar batas butir setelah dilakukan pre-tempering. Kemohogenan fasa juga terlihihat setelah dilakukan pre-tempering selama 3 jam tanpa mengalami coarsening. Selain itu, pre-tempering juga menyebabkan penurunan nilai kekerasan pada baja HSLA akibat terjadinya proses recovery. Diharapkan setelah proses pre-tempering yang optimal terjadi perubahan fasa yang terbentuk secara homogen sehingga dapat ditekan dan dihindarinya fenomena delayed crack saat proses perlakuan panas selanjutnya.

High-Strength Low Alloy Steel (HSLA) materials used in the manufacture of tooth excavator products have cracked in large numbers due to sub-optimal heat treatment process after being allowed to stand for 2 months. Previous studies have found the presence of non-homogeneous phases and the presence of residual austenite in steels. Homogeneous pahses is needed to obtain a stable microstructure. This research will focus on the process of heat treatment materials in pre-tempering treatment conducted after the normalization process. Pre-tempering is carried out at a temperature of 677 ℃ with variable tempering time each for 1 hour, 2 hours, 3 hours, 4 hours and 5 hours. Based on the results of the experiment, the pre-tempering carried out affected the change in phase formed compared to the results of normalization. Changes that occur are changes in the previously upper-bainite, bainitic-ferrite, and residual austenite phases in the normalization results to the granular phase of bainite, bainitic-ferrite, residual austenite, and the distribution of carbides around the grain boundaries after pre-tempering. Homogeneous phases was also seen after pre-tempering for 3 hours without experiencing coarsening. In addition, pre-tempering also causes a decrease in the value of hardness in HSLA steel due to the recovery process. It is expected that after an optimal pre-tempering process, the phase changes will occur which are formed homogeneously so that it can be suppressed and avoided the phenomenon of delayed cracking during the subsequent heat treatment process"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanggala Dewanto
"Pada penelitian ini pengaruh defonnasi regangan terhadap anil rekristalisasi diteliti melalui percobaan eksperimental laboratorium, Pada percobaan, bahan SPCC dideformasi 17 % sampai 35 % kemudian dilakukan proses anil dengan temperatur SOO °C, 550 °C, 600 "C, dan 650 °C. Waktu tahan pemanasan dibuat konstan selama 1 jam. Pengujian kekerasan dan metalografi dilakukan untuk mengetahui rentang temperatur yang sesuai terjadinya rekristalisasi. Untuk deformasi regangan yang besar (dalam penelitian ini 51% sampai 85 %) memeiliki rentang temperatur rekristalisasi 550 “C sampai 600 °C, sedangkan untuk deformasi regangan yang kecil (dalam penelitian ini 17 % sampai 34 %) memiliki temperatur rekristalisasi lebih tinggi dari 600 °C. Dimana kekerasan pada deformasi regangan 85 % penurunannya sangat drastis yakni dari 129,29 Hv menjadi 79,52 Hv dan pada deformasi regangan 17 % perbedaanya tidak besar yakni dari 95,13 Hv menjadi 90,50 Hv. Hasil menunjukkan pengaruh temperatur anil tekristalisasi terhadap baja SPCC akan menurunkan kekerasan untuk semua deformasi. Sedangkan temperatur untuk terjadinya rekristalisasi berbeda, dimana untuk defomasi yang kecil temperatur rekristalisasi semakin besar tetapi untuk deformasi yang besar temperatur rekristaiisasi semakin kecil. Hal ini dibuktikan dengan ukuran butir yang semakin besar atau bilangan besar butir (G) semakin kecil disamping kekerasannya menurun. Oleh karena itu dapat disimpulkan dengan meningkatnya parameter deformasi akan menurunkan temperatur rekristalisasi."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1997
S47814
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aris Diniarto Hamid
"ABSTRAK
Baja HSLA atau baja paduan rendah kekuatan tinggi memiliki keunggulan karena kekuatan dan keuletannya yang tinggi serta mampu las yang baik. Mekanisme penguatan pada baja ini diperoleh melalui penghalusan butir selama transformasi austenit menjadi ferit.
Untuk mengetahui perilaku pertumbuhan butir ferit selama transformasi , maka dilakukan pemanasan ulang (austenisasi) pada temperatur 1200°C selama 2 jam, lalu didinginkan di udara hingga menca.pai temperatur 750, 800 dan 850°C dan ditahan selam 20, 40 dan 60 menit pada temperatur tersebut setelah itu d icelup dalam air.
Ukuran butir jerit yang dihasilkan selama transformasi isotennal pada temperature 750°C lebih kecil dibandingkan hasil transformasi pada temperature 800 d an 850°C. Laju pertumbuhan butir ferit sangat besar pada temperature 850°C laju pertumbuhan pada temperature 750 d an 800°C.
"
2000
S41610
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puspitaningtyas Widarti
"ABSTRAK
Dalam proses deformasi panas, baja HSLA 0.017% Ti as_cast memiliki sifat hot ducfility yang berbeda pada temperatur yang berbeda. Untuk mencapai hasil defom1asi yang optimal maka perlu ditetapkan temperatur deformasi yang menghasilkan sifat hot ductility yang terbaik dan perlu dihindari temperatur kritis yang menghasilkan sifat hot ducti/ity yang rendah.
Penelitian ini diarahkan untuk menemukan rentang temperatur terbaik dalam proses penarikan panas dan menemukan jenis perpatahan yang terjadi dalam proses penarikan tersebut.
Penelitian ini menggunakan material baja HSLA dengan kandungan 0.017% Ti as_cast yang ditarik pada temperatur 700°C, 750°C, 800°C, 850°C, 900°C dan 950°C dengan kecepatan 0,004/s".
Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada temperatur 700 clan 750°C benda uji G memiliki sifat hot ductifity yang baik yang ditunjukkan dengan nilai reduksi luas penampang sebesar 74% pada temperatur 700°C dan 82% pada (emperatur 750°C dan didukung pula dengan nilai mekanis yang balk yang ditunjukkan dengan nilai kekuatan luluh sebesar 132 Nlmmz pada temperatur 700°C dan 99 Nlmmz pada temperatur 750°C serta nilai kekualan tarik maksimum yaitu sebesar 192 Nlmm? pada temperatur 700°C dan 141 NImm2 pada temperatur 750°C.
Jenis perpatahan ulet intergranular terjadi pada temperatur penarikan 700°C, 750°C dan 850°C dengan penampakan dimpfe serta microvofd sedangkan jenis perpatahan getas inlergranular terjadi pada temperatur B00°C, 900°C dan 950°C dengan penampilan permukaan patahan yang halus dan dengan jumlah dimple yang sedikit.

"
2001
S41539
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aktika Chandra
"Pemilihan temperatur preheating yang dipakai dalam pengelasan adapter bucket excavator sangat penting untuk menentukan mampu las pada baja yang akan dilas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan preheating terhadap ketangguhan, kekerasan dan struktur mikro las dengan metode pengelasan GMAW menggunakan elektroda ER70S-6 diameter 1,4 mm. Penelitian ini menggunakan bahan baja paduan rendah cor yang mengandung komposisi kimia C = 0,19 %, Si = 0,541 %, Mn = 1,03 %, Mo=0,248%, P=0,011 %, Ni = 0,884 %, Cr=1,05%, V=0,004%. Bahan diberi perlakuan preheating dengan variasi temperatur yaitu temperatur ruang atau tanpa preheating, temperatur 150°C dan temperatur 3500C. Spesimen dilakukan pengamatan cacat las, pengujian impak, kekerasan dan foto mikro pada daerah logam dasar baja adapter, HAZ baja adapter, logam las, HAZ baja base edge dan logam dasar baja base edge. Sesuai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dengan variasi perlakuan preheating pada pengelasan adapter bucket excavator terjadi perubahan struktur mikro akibat laju pendinginan yang berbeda sehingga berpengaruh terhadap ketangguhannya. Ketangguhan paling optimal pada pengelasan adapter bucket excavator adalah pada penggunaan preheating 150°C.

The selection of preheating temperature that use in a weld adapter bucket excavator it is important to determine weldability of steel that will be weld. This research aim to knowing effect of preheating temperature on thoughness and microstructure in welded adapter bucket excavator by GMAW process using welding electrode ER70S-6 with wire diameter 1.4mm. The research use low alloy steel casting with chemical composition C = 0,19 %, Si = 0,541 %, Mn = 1,03 %, Mo=0,248%, P=0,011 %, Ni = 0,884 %, Cr=1,05%, V=0,004%. The material is treated with preheating and the temperature is differentiate to room temperature or no preheating, preheating 150°C and preheating 350°C. Specimen analyze by visual inspection, impact test, hardness test and microscopic photo on adapter steel base metal, HAZ adapter steel, weld metal, HAZ base edge steel and base edge steel base metal. According to result of observation can be summarized that with variation of preheating temperature on weld adapter bucket excavator change the microstructure affected by different cooling rate, thus influence to the toughness of adapter. Optimal toughness in welded adapter bucket excavator is occur at preheating 150°C. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S702
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>