Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155355 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurhayati
"Disertasi ini merupakan penelitian di bidang stilistik naratif yang memperlihatkan bahwa kajian naratologi dapat dilakukan melalui ancangan linguistik. Dengan menggunakan teori tentang konsep temporal dalam bahasa dan teori naratologi, penelitian ini menjawab masalah: "Makna apa yang dihasilkan oleh penggunaan pemarkah temporal di dalam dua novel detektif klasik berbahasa Inggris, yaitu The Hound of the Baskervilles dan Nemesis dan fungsi apa yang diungkapkan oleh pemarkah temporal dalam dua novel tersebut". Berdasarkan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi makna dan fungsi pemarkah temporal dalam novel detektif klasik. Hasil analisis data menunjukkan bahwa penggunaan kala dalam teks naratif memiliki dua pola, yaitu kala sebagai pengungkap modus komunikasi faktual dan modus komunikasi fiktif. Pola pertama menggunakan waktu tokoh bertutur sebagai pusat waktu (tnol), sedangkan pola kedua menggunakan waktu narator bertutur sebagai pusat waktu (tnol). Untuk mengungkapkan makna kekinian, pola pertama menggunakan kala simple present, sedangkan pola kedua menggunakan kala simple past. Penggunaan kala dalam pola kedua tersebut mengakibatkan pola interaksional antara kala, aspek, tipe klausa, dan keterangan temporal lebih beragam, seperti hadirnya kala simple past dan keterangan temporal now dalam satu klausa. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa penggunaan pemarkah temporal dalam dua novel yang diteliti mengasilkan makna pragmatik dalam bentuk eksplikatur dasar dan eksplikatur interaksional. Eksplikatur dasar terdiri atas pengungkapan aksionalitas, aspektualitas, dan kewaktuan, sedangkan eksplikatur interaksional terdiri atas penggambaran pergeseran tipe situasi, habitual, keberbatasan, inkoatif, iteratif, dan harmoni kala. Di dalam konteks tertentu, penggunaan pemarkah temporal tersebut juga menghasilkan makna pragmatik yang berupa implikatur, yang antara lain berupa penggambaran (i) perubahan peri keadaan, (ii) urutan peristiwa, (iii) hubungan antara durasi peristiwa dan penceritaannya, (iv) hubungan antara kekerapan peristiwa dan penceritaannya, dan (v) penonjolan peristiwa tertentu. Berdasarkan kemampuannya dalam mengungkapkan eksplikatur dan implikatur tersebut, pemarkah temporal dalam dua novel tersebut dapat berfungsi sebagai pengungkap struktur naratif yang berupa (i) perbedaan antara peristiwa dan nonperistiwa, (ii) hubungan antara waktu cerita dan waktu penceritaan, (iii) penonjolan bagian cerita atau pelataran, (iv) bentuk penceritaan, (v) hubungan antarcerita, dan (vi) posisi narator terhadap cerita. Karena memiliki fungsi-fungsi tersebut, pemarkah temporal dalam novel detektif klasik dapat digunakan untuk mengungkapkan pola penceritaan novel detektif klasik yang terdiri atas penceritaan (i) alur penyelidikan yang ikonis dan lamban, (ii) alur kejahatan yang terpisah-pisah dan anakronis, (iii) pola tindakan yang memadukan sifat rasionalitas dan mistifikasi, serta mengungkapkan (iv) penokohan dan latar yang mengandungi petunjuk yang membingungkan (mystifying)."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
D929
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhayati
"Disertasi ini merupakan penelitian di bidang stilistik naratif yang memperlihatkan bahwa kajian naratologi dapat dilakukan melalui ancangan linguistik. Dengan menggunakan teori tentang konsep temporal dalam bahasa dan teori naratologi, penelitian ini menjawab masalah: ?Makna apa yang dihasilkan oleh penggunaan pemarkah temporal di dalam dua novel detektif klasik berbahasa Inggris, yaitu The Hound of the Baskervilles dan Nemesis dan fungsi apa yang diungkapkan oleh pemarkah temporal dalam dua novel tersebut?.
Berdasarkan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi makna dan fungsi pemarkah temporal dalam novel detektif klasik. Hasil analisis data menunjukkan bahwa penggunaan kala dalam teks naratif memiliki dua pola, yaitu kala sebagai pengungkap modus komunikasi faktual dan modus komunikasi fiktif. Pola pertama menggunakan waktu tokoh bertutur sebagai pusat waktu (tnol), sedangkan pola kedua menggunakan waktu narator bertutur sebagai pusat waktu (tnol). Untuk mengungkapkan makna kekinian, pola pertama menggunakan kala simple present, sedangkan pola kedua menggunakan kala simple past. Penggunaan kala dalam pola kedua tersebut mengakibatkan pola interaksional antara kala, aspek, tipe klausa, dan keterangan temporal lebih beragam, seperti hadirnya kala simple past dan keterangan temporal now dalam satu klausa.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa penggunaan pemarkah temporal dalam dua novel yang diteliti mengasilkan makna pragmatik dalam bentuk eksplikatur dasar dan eksplikatur interaksional. Eksplikatur dasar terdiri atas pengungkapan aksionalitas, aspektualitas, dan kewaktuan, sedangkan eksplikatur interaksional terdiri atas penggambaran pergeseran tipe situasi, habitual, keberbatasan, inkoatif, iteratif, dan harmoni kala. Di dalam konteks tertentu, penggunaan pemarkah temporal tersebut juga menghasilkan makna pragmatik yang berupa implikatur, yang antara lain berupa penggambaran (i) perubahan peri keadaan, (ii) urutan peristiwa, (iii) hubungan antara durasi peristiwa dan penceritaannya, (iv) hubungan antara kekerapan peristiwa dan penceritaannya, dan (v) penonjolan peristiwa tertentu.
Berdasarkan kemampuannya dalam mengungkapkan eksplikatur dan implikatur tersebut, pemarkah temporal dalam dua novel tersebut dapat berfungsi sebagai pengungkap struktur naratif yang berupa (i) perbedaan antara peristiwa dan nonperistiwa, (ii) hubungan antara waktu cerita dan waktu penceritaan, (iii) penonjolan bagian cerita atau pelataran, (iv) bentuk penceritaan, (v) hubungan antarcerita, dan (vi) posisi narator terhadap cerita. Karena memiliki fungsi-fungsi tersebut, pemarkah temporal dalam novel detektif klasik dapat digunakan untuk mengungkapkan pola penceritaan novel detektif klasik yang terdiri atas penceritaan (i) alur penyelidikan yang ikonis dan lamban, (ii) alur kejahatan yang terpisah-pisah dan anakronis, (iii) pola tindakan yang memadukan sifat rasionalitas dan mistifikasi, serta mengungkapkan (iv) penokohan dan latar yang mengandungi petunjuk yang membingungkan (mystifying).

The following dissertation was developed based on a narrative stylistic research aimed to show how narrative can be analyzed using linguistics approach. Apparently, the English temporal markers can convey meanings and functions in the context of narrative texts, especially in classical detective stories. Exploration of meanings and functions of English temporal markers was conducted by data analysis using theories of temporaility in language and narratology.
The analysis concluded that there are two patterns of tense usage in narratives. One is the use of tense in an ordinary mood and the second is in a fictional mood. In the first pattern, tense expresses the relation between time of a situation and time when an actor utters the situation. In that context, the present time is expressed by the simple present tense. In the second pattern, tense shows the relation between time of a situation and time when a narrator enunciates the situation. There is a norm in the context that the present time is expressed by the simple past tense. Based on the norm, the simultaneous occurrence of simple past tense and temporal adjunct such as now in a clause is acceptable.
Another conclusion is that the English temporal markers used in the two novels convey explicatures that are either basic or interactional. The basic explicatures that the temporal markers conveyed are actional, aspectual, and temporal meanings plus contextual information. The interactional explicatures consist of expressing a shift in the type of situations, habitual menaing, boundedness, inchoative, iterative, and backshifted preterite. On the other hand, the use of the temporal markers in certain contexts convey implicatures such as a change of state of affair, temporal sequence of events, comparing duration of events and duration of discourse, and saliency of events.
Based on the conveyed meanings, it can be inferred that the English temporal markers function to express a narrative structure consisting of the difference between events and existences, time relation, grounding, moods of narration, and the position of a narrator in the discourse. More often than not, in classical detective novels, the temporal markers can express patterns of the classical detective story, such as the different plots of investigation and crime, the pattern of action, characterization, and setting."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D929
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Slamet Muhadjir
"ABSTRAK
Tesis ini bertujuan memberikan gambaran tentang pemarkah prominensi--salah satu segi bahasa, yaitu seorang penulis berupaya menarik kesadaran pembaca terhadap beberapa ciri yang saling berlawanan--tematis tindakan baik dalam teks naratif bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Penelitian ini menunjukkan bahwa prorninensi tematis tindakan adalah istilah lain dari pelatardepanan--prominensi relatif dalam wacana yang menyimpang dari norma kebahasaan dan berlawanan dengan pelatarbelakangan, peristiwa yang termasuk dalam garis utama cerita adalah latar depan--dalam hal keduanya memfokuskan verba atau peristiwa utama yang berfungsi sebagai tulang punggung cerita.
Tesis ini juga bertujuan menganalisis realisasi kesepadanan terjemahan antara pemarkahan prorninensi tematis tindakan dalam teks naratif bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, karena kedua bahasa tersebut memiliki struktur dan sistem yang berbeda. Peneliti tesis ini ingin sekali mengetahui jenis kerespondensi formal dan pergeseran dalam terjemahan menurut kriteria gramatikal dan semantis. Dengan kata lain, apakah pergeseran terjadi secara gramatikal, semantis atau kedua-duanya.
Tesis ini, akhirnya, menyimpulkan bahwa kesepadanan terjemahan terjadi baik secara gramatikal maupun semantis; dan ternyata, pergeseran gramatikal lebih dominan daripada pergeseran semantis. Pada korespondensi formal terdapat korespondensi antara kata dengan kata, frasa dengan frasa, sementara itu, dalam pergeseran struktural atau gramatikal terdapat pergeseran unit, struktur, kelas, dan intra sistem. Disimpulkan juga, bahwa pergeseran terjemahan pominensi tematis tindakan disebabkan oleh kenyataan bahwa bahasa Indonesia tidak memiliki sistem kala; tetapi sebaliknya, bahasa Indonesia memiliki baik sistem dan pemarkah keergartifan maupun ketransitifan.

This thesis aims at giving the description about the marker of the thematic prominence-aspects of language by which the writer chooses to draw the consciousness of the reader to some features in contrast to others-of events both in English and Indonesian narrative texts. This study will show that the thematic prominence of events is another terms of foregrounding-relative prominence in a discourse which deviates from a linguistics norm apposite of backgrounding, events belonging to the story line are foregrounded-, in that both focus on the verbs or main events which function as the backbone of the story.
This study also aims at analyzing the realization of the translation equivalent of the thematic prominence of events marking in English and Indonesian narrative text, since both languages have different structure and system. It is desirable to know the kinds of formal correspondences and tsranslation shifts in terms of grammatical and semantic criteria. In another word, whether the shift occurs grammatically or semantically or both of them.
This thesis, finally, concludes that translation equivalent occurs grammatically as well as semantically; however, the grammatical shifts are more dominant than the semantic ones. In the formal correspondence, there are equivalences between words and words as well as phrases and phrases, while in the structural or grammatical shifts there are shifts in unit, structure, class, and intra-system. To sum up, translation shifts are caused by the fact that Indonesian does not have the tense system; however, it has the ergative and the transitive markers.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didi Sukyadi
"Klausa ing atau selanjutnya disebut klausa partisipium lepas (KPL) memiliki ciri gramatikal yang menarik untuk diteliti. Pertama, KPL dianggap tidak memiliki kala dan hubungan temporal dengan klausa induknya. Haiman (1985b: 217) mengatakan bahwa kala KPL bersifat terbuka, sedangkan Givon (1993:302) melihat KPL sebagai sebuah klausa yang memiliki ciri kefinitan rendah karena kala, aspek dan modalitasnya bersifat reduktif. Sejalan dengan Givon, Jansen dan Lentz (2001:287) juga mempercayai bahwa KPL kurang memiliki struktur internal yang lengkap baik karena ketidaklengkapan struktur sintaktis (tidak memiliki subjek) maupun morfologis (tidak memiliki kala). Kedua, Thompson (1983:45) menyebutkan bahwa KPL tidak secara eksplisit mengungkapkan hubungan logis atau temporal dengan klausa induknya. Ketiga, dari sudut pandang ikonisitas, Haiman (1985b: 217) menduga bahwa KPL dapat termotivasi baik secara ekonomis maupun ikonis sehingga statusnya tidak pasti. Dalam penelitian ini saya mengklaim bahwa karakteristik KPL sebagaimana disebutkan di atas merupakan refleksi ikonisitas KPL yang setidaknya memenuhi prinsip ikonisitas jarak (proximity iconicity) dan ikonisitas jumlah (quantity iconicity), namun kurang memenuhi prinsip ikonisitas urutan linier (Givon, 1995:47).
Ikonisitas kedekatan akan terjadi bila ada korespondensi antara kedekatan konseptual dengan kedekatan formal. Jarak antara KPL dengan klausa induknya secara formal lebih dekat daripada jarak ketika KPL diubah ke dalam struktur lengkap. Secara konseptual, KPL dengan klausa induknya dikatakan berdekatan bila antara keduanya terjadi proses subordinasi temporal (Declerck, 1991). Prinsip urutan Tinier akan terpenuhi jika posisi urutan KPL menggambarkan urutan peristiwa yang direpresentasikannya (Jakobson, 1971, Haiman, 1985b, Givon, 1985, Jansen & Lentz, 2001). Prinsip ikonisitas jumlah akan terpenuhi bila terjadi korespondensi antara jumlah satuan bahasa dan nilai informasi yang disampaikan. Jika KPL berisi informasi kurang penting (latar), sedangkan klausa induknya berisi informasi yang lebih penting (fokus), prinsip ikonisitas jumlah dapat diberlakukan. Proses pelataran dapat diungkap berdasarkan transitivitas verba klausa yang dipertanyakan. Makin transitif sebuah verba makin besar peluangnya untuk berfungsi sebagai fokus (Hopper dan Thompson, 1980 dan Thompson (1983) dan juga sebaliknya.
Korpus yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari teks naratif dan teks nonnaratif. Teks naratif berasal dari novel Moby Dick (Melville, 1851/1990), Wuthering Heights (Bronte, 1847/1998), Tom Sawyer (Twain, 1876/1993) dan Lord of the Rings (Tolkien, 1967), sedangkan teks nonnaratif berasal dari Brown Corpus dan teks resep masak. Dan kedua jenis teks itu terkumpul sekitar 1200 KPL yang kemudian diseleksi ulang menjadi sekitar 800 klausa.
Temuan penelitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama, hubungan temporal yang terjadi antara KPL dengan klausa induknya adalah hubungan subordinasi temporal bukan pergeseran temporal. Hubungan itu, apakah anterioritas, simultanitas, atau posterioritas, ditandai oleh sistem kala tertentu yang merujuk kepada kala klausa induknya. Karena kala dan temporalitas KPL ditentukan oleh kala dan temporalitas klausa induknya, secara konseptual kedua klausa itu berdekatan. Kedekatan konseptual antara kedua klausa itu juga tercermin dalam kedekatan temporal antara keduanya. Dengan demikian, hubungan antara KPL dengan klausa induknya merupakan hubungan ikonis. Kedekatan konseptual itu baik pada teks naratif maupun nonnaratif tidak berbeda. Kedua, berbeda dengan kasus yang ditemukan dalam bahasa Belanda, dalam bahasa Inggris posisi urutan KPL dalam kalimat tidak selalu menggambarkan urutan peristiwa yang diwakilinya. Dari 753 KPL yang dianalisis, hanya 24.5% yang isokronis. Di antara yang isokronis ini dapat dilihat bahwa teks naratif lebih isokronis daripada teks nonnaratif. Ketiga, secara umum dapat dilihat bahwa KPL kurang transitif daripada klausa induknya sehingga antara kedua klausa itu terjadi proses pelataran. Dalam proses itu, KPL yang reduktif berfungsi sebagai latar dan klausa induk yang berstruktur lengkap berfungsi sebagai fokus sehingga secara pragmatic hubungan antara kedua klausa itu ikonis. Bila dibandingkan, teks naratif kurang transitif (lebih ikonis) daripada teks nonnaratif.
Penelitian ini mengandungi implikasi bahwa KPL memiliki kala dan hubungan temporal dengan klausa induknya. Kala dan temporalitas KPL itu ditentukan oleh kala dan temporalitas klausa induknya. Setiap kala dan temporalitas klausa induk yang berfungsi sebagai pusat rujukan KPL mempunyai sistem tertentu untuk menyatakan hubungan temporal klausa itu dengan KPL-nya. Selain itu, penelitian ini juga menyanggah pendapat Haiman (1985b: 217) yang menyatakan bahwa kala KPL bersifat terbuka. Penjelasan yang paling rasional untuk dikemukakan adalah bahwa kala KPL sama dengan kala klausa induknya. Tanpa pemarkah leksikal seperti when, while, after, atau now, KPL lebih logis ditafsirkan dalam kerangka subordinasi temporal daripada pergeseran temporal. Dari ketiga hubungan temporal yang mungkin terjadi antara KPL dengan klausa induknya, prototipe hubungan temporal yang mungkin terjadi adalah simultanitas. Ini berarti bahwa situasi KPL terjada dalam rangkaian waktu yang sama dengan situasi klausa induknya.

The grammatical features of ing-clauses or detached participle clauses (DPCs) are interesting to study. First, they are believed to have no tenses and temporal relations with their matrix clauses. Haiman (1985b: 217) claims that the tense of DPCs is open, whereas Givon (1993:302) sees that DPCs display clear features of low finiteness in which their tense-aspect-and modalities are reduced. Jansen and Lentz (2001:287) also believe that DPCs are lack of internal structure, either less syntax (no subject) or morphology (no tense forms). Second, Thompson (1983:45) puts forward that DPCs do not explicitly express any logical or temporal relationship with the materials for which they are the background. Third, when seen from iconicity point of view, Haiman (1985b: 217) believes that detached participle clauses are motivated by economic and iconic motivation so that their status are indeterminate. While disagreeing on Haiman's distinction of economic and iconic motivation, I argue that the characteristics of DPCs as mentioned above reflect their iconic nature that fits into both proximity iconicity and quantity iconicity, but not completely meets linear order iconicity as has been proposed by Givon (1995:47).
Proximity iconicity will happen if there is a correspondence between conceptual closeness and linguistic closeness. The reductive structure of detached participle clauses indicates their linguistic closeness to the matrix clauses, while conceptual closeness can be seen from the process of tense and temporal relation between the two clauses (Declerck, 1991). Linear order iconicity will happen if there is a correspondence between linguistic order and order of event (Jakobson, 1971, Haiman, 1985b, Givon, 1985, Jansen & Lentz, 2001). Quantity iconicity will take place if there is a one to one relation between linguistic quantity and the value of information containing in it. The case when valuable information is conveyed with more linguistic code, whereas less valuable information is conveyed with less linguistic code can be seen in the process of grounding (Hopper & Thompson, 1980) and Thompson (1983).
The corpus used in this study is of two kinds, narrative texts and non-narrative texts. Narrative texts are derived from four novels, namely Moby Dick (Melville, 1851/1990), Wuthering Heights (Bronte, 1847/1998), Tom Scnvyer (Twain, 1876/1993) and Lord of the Rings (Tolkien, 1967). Non-narrative texts are derived from Brown Corpus and cookery texts. From these two types of texts, about 753 detached participle clauses with balanced proportion are analyzed.
The results of this study are as follows. Firstly, the tense and temporal relation between the detached participle clause and its matrix clause is a temporal subordination type, not a shift of temporal domain. This finding reveals the existence of conceptual closeness between the two clauses and that detached participle clauses are iconic seen from this perspective. It is also revealed that there is no difference in conceptual closeness of detached participle clauses between narrative and non-narrative texts. Secondly, different from the case in Dutch, we cannot absolutely claim the existence of linear order iconicity (isochrony) in English detached participle clauses because only some of the detached participles are isochronic. Most of them are non-isochronic. When the isochronic ones are closely examined, we can see that narrative texts are more isochronie that non-narrative texts. Thirdly, in general, we can see that detached participle clauses are less transitive than their matrix clauses so that we can claim the existence of the grounding process. The reductive structure of the detached participle clauses serves its function in the sentence as ground, while the complete one of its main clauses serves its function as focus. When the two types of texts are compared, we can see that narrative texts are more transitive than non-narrative texts.
This study also reveals that detached participle clauses indeed have tenses and temporal relations with their matrix clauses. The tenses and temporal relations of the matrix clauses determine both of the tenses and temporal relations of the detached participle clauses. If the tense of the matrix clause is in past, the detached participle tense will be in past too. Although the three possible temporal relations (anteriority, simultaneity and posteriority) which may exist between the detached participle clause and their matrix clauses are expressed in tenses, the main prototype of the temporal relation is simultaneity, meaning that the situation of the detached participle clause takes place at the same time sequence with that of its matrix clause. To this end, we can see that detached participle clauses depend on their matrix clauses not only in terms of meaning, but also in terms of tenses and their temporal relations to the matrix clauses."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
D536
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumadi
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998
499.221 5 SUM k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Bernadet Rosinta Nirmala
"Penelitian ini berangkat dari keinginan untuk memperkaya kritik sastra feminis Indonesia dengan deskripsi orientasi dan pilihan menjadi lesbian dalam teks naratif fiksi, serta keinginan untuk membongkar pengkotakan, mitos, stereotipe, peran, dan posisi perempuan. Yang dianalisis adalah bias sistem gender dalam menggambarkan identitas, relasi, pemikiran perilaku, dan komunitas tokoh lesbian. Sumber data adalah Lines, Kumpulan Cerita Perempuan di Garis Pinggir karya Ratri M. (2000) dan novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini (2000).
Penelitian ini menemukan bahwa pertimbangan dan keputusan untuk menjadi lesbian merupakan pilihan hidup, pilihan politis, proses pembelajaran, dan merupakan bakat alamiah atau genetis. Lesbian dicitrakan sebagai perempuan yang otonom dan sadar akan eksistensinya, tidak ragu untuk melakukan perlawanan dan pendobrakan terhadap nilai-nilai budaya.
Debat di seputar peran jender atau peran feminin dan maskulin dalam semua cerita tidak mendapat porsi yang signifikan karena tidak merupakan pembagian yang kaku dan mutlak kebenarannya. Semua teks menunjukkan komitmen untuk melawan patriarki dan seksisme dengan melakukan dekonstruksi budaya heteropatriarkal, terutama heteroseksual. Dengan menampilkan ide dan mitos yang berbeda, teks juga membuka wacana bagi budaya androgini, mengakomodasi model peran yang beragam, mempromosikan persaudaraan, dan menumbuhkan kesadaran.

Content Analysis from Feminist Perspective and Deconstruction of Lesbianism Thinking on Fiction Narrative Texts in Lesbian's Subject MatterThis research is intended to enrich feminist literary critique in Indonesia by describing the orientation and choice to be lesbian, who was found in fiction narrative texts, and by deconstructing myths, stereotypes, roles, and positions of women.
I analyse gender system bias in describing lesbians' identities, relations, opinions, attitudes, and communities. Sources of data are Lines, Kumpulan Cerita Perempuan di Garis Pinggir by Ratri M. (2000) and Tartan Bumi by Oka Rusmini (2000).
This research finds that consideration and decision to be lesbian are choice of life, politics' choice, learning process, and nature or genetic. Lesbians' images are autonomous, aware of their existence, strongly to resist, and deconstruct cultural values.
Debates regarding gender roles or feminine and masculine roles in the texts are not important, because those roles are discussable and flexible. All of texts show the commitment to fight patriarchy and sexism by deconstructing heteropatriarchal culture, especially heterosexual. Texts are open for androgyny's culture, various role models, promoting sisterhood and consciousness raising by presenting different ideas and myths."
2001
T9015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eriyanto
Jakarta: Kencana, 2017
302.2 ERI a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998
499.222 5 DIA (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>