Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161425 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Latiful Akbar
"Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 149 huruf e menyebutkan bahwa diberikan jangka waktu 1 tahun sejak diundangkan, Badan Narkotika Propinsi dan Badan Narkotika Kotamadya/Kabupaten yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus disesuaikan menjadi Badan Narkotika Nasional Propinsi dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/ Kotamadya. Pemerintah Kabupaten Bekasi dipilih sebagai studi kasus karena Badan Narkotika Kabupaten/ Kotamadya belum vertikal dengan Badan Narkotika Nasional. Teori yang digunakan : 1 Teori Otonomi Daerah 2 Teori Birokrasi 3 Teori Perubahan dan Pengembangan Organisasi 4 Teori Evaluasi Kebijakan 5 Teori Organized Crime 6 Teori Transnational Organized Crime 7 Teori Metropolitan 8 Teori Kelompok Kepentingan dan Kelompok Penekan 9 Teori Civil Society. Metode penelitian deskriptif kualitatif. Kesimpulan : 1 Faktor penyebab Pemerintah Kabupaten Bekasi belum membentuk Badan Narkotika Nasional Kabupaten Bekasi adalah kurangnya peraturan yang mengikat, tidak ada dukungan dari Bupati Bekasi, tumbuhnya kelompok-kelompok yang mengarah kepada kelompok kepentingan dan kelompok penekan. 2 Penanganan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi melalui Badan Narkotika Kabupaten Bekasi belum maksimal 3 Badan Narkotika Kabupaten Bekasi hanya dapat memberikan dukungan teknis dan administrasi kepada instansi pemerintah terkait satgas dibidang ketersediaan program pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba P4GN . Saran 1 segera membentuk Badan Narkotika Nasional Kabupaten Bekasi 2 perubahan kebijakan dari self renewal kepada kebijakan top-down.

Law Number 35 of 2009 on narcotics article 149 letter e states that within a period of one year since was enacted, Narcotics Board Province and Narcotics Board Regency City that established under the Presidential Regulation Number 83 of 2007, should be adjusted to become National Narcotics Board Province and National Narcotics Board Regency City. The government of Bekasi Regency was chosen as a case study because it rsquo s National Narcotics Board Regency City has not been establish under National Narcotics Board. Theories used 1 Theory of Regional Autonomy 2 Theory of Bureaucracy 3 Theory of Organizational Change and Development 4 Theory of Policy Evaluation 5 The Organized Crime Theory 6 Transnational Organized Crime 7 Metropolitan Theory 8 Theory of Interest and Pressure Groups 9 Civil Society Theory. Qualitative descriptive research method has been used. Conclusion 1 The cause of Bekasi Regency has not been establish is lacks of regulation binding, the growth of interest and pressure groups 2 Handling of abuse and illicit trafficking in drugs by the Government of Bekasi through Narcotics Board Bekasi Regency not maximized 3 Narcotics Board Bekasi Regency can only provide technical and administrative support to the relevant government agencies task force in the field of the availability of a program to eradicate the abuse and illicit drug trafficking. Suggestion 1 to immediately establish National Narcotics Board Regency of Bekasi 2 change of policy from self renewal to top down policy."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Teddy Andri
"Aktifitas penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor telah begitu luas di masyarakat kita. Masalah ini akan menjadi ancaman yang serius bukan saja terhadap kelangsungan hidup dan masa depan pelakunya, tetapi juga sangat membahayakan bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Untuk itu pemerintah telah melakukan langkah-langkah dengan mengundangkan peraturan perundangundangan terkait penyalahgunaan Narkoba serta membentuk lembaga non struktural yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menjadi badan koordinasi dengan instansi pemerintah terkait dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pada perkembangannya setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, tugas dan fungsi BNN diberikan kewenangan yang besar. Salah satu kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prekusor narkotika. BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika diluar penyidik POLRI yang sudah ada.
Dalam sistem peradilan pidana, Penyidik BNN menjadi salah satu gatekeeper selain penyidik POLRI dan PPNS dalam penanganan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika. Porsi kewenangan BNN yang sangat besar dan tidak adanya aturan diferensiasi dalam tataran pelaksanaan tugas penyelidikan dan penyidikan dengan penyidik POLRI, contoh dalam bentuk kekhasan cara penangkapan, obyek tangkapan, spesialisasi narkoba yang disita dan sebagainya antara penyidik BNN dengan penyidik kepolisiaan dapat menimbulkan permasalahan secara kelembagaan.
Bertitik tolak dari hal tersebut maka dapat timbul kendala dimana sistem peradilan terpidana yang terpadu menghendaki keseluruhan proses yang bekerja dalam satu sistem, sehingga antara masing-masing lembaga itu sebagai sub sistem yang akan saling berhubungan dan mengaruhi satu sama dengan yang lainnya dapat bekerja sama dalam mewujudkan tujuan penegakan hukum.

The activity of abusing Narcotics and Precursor has been widely spread in our society. This problem will become a serious threat towards not only the survival but also the future of the victims, and is very harmful for the life of the society, the nation, and the state. Therefore, the government has taken some steps by enacting the relevant laws and regulations to the drugs abuse and by establishing a non-structural institution, BNN (National Narcotics Board) which becomes a coordinating board with the relevant government agencies for availability, prevention, and combat of the misuse and illegal selling of Narcotics and Narcotic Precursor.
In its development after the promulgation of the law No. 35 of the year 2009 on Narcotics, BNN has been granted big responsibilities for its duty and functions. One of BNN?s responsibilities is to prevent and combat the misuse and the spread of narcotics and narcotic precursor. BNN is granted a responsibility to do investigation and inquiry towards the misuse and the spread of the narcotics and narcotic precursor outside the existing POLRI (the Police Department of the Republic of Indonesia) investigators.
In the criminal justice system, BNN investigators become one of the gatekeepers besides POLRI and PPNS?s investigators in handling the Narcotics and Narcotic Precursor criminal acts. The portion of BNN responsibilities is very big and there is no differentiation rule in the level of execution of investigation and inquiry duty with POLRI investigators. Therefore, the differences in the way BNN and POLRI make an arrest, the subjects of the arrest, the drugs specialization confiscated, and other differences may cause problems institutionally.
Based on that, there will be problems incurred where the integrated criminal justice system expects the entire process works under one system so that each institution will be the sub-system mutually related and influencing one another, and can coorperate to accomplish the goal of the law enforcement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28937
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Ari Sondari
"Pemakaian kembali NAPZA bergantung pada tingkat pemakaian, jenis NAPZA dan faktor-faktor lain yang mendukung. Salah satu faktor pencegah adalah pelaksanaan spiritual. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional.
Tujuan penelitian adalah mengetahui hubungan pelaksanaan spiritual dengan pemakaian kembali NAPZA. Penelitian melibatkan 20 responden di salah satu pondok pesantren terapi NAPZA berdasarkan tekhnik populasi sampling.
Hasil penelitian menunjukkan 45% responden yang memakai kembali NAPZA pelaksanaan spiritualnya baik dan 50% lagi pelaksanaan spiritualnya buruk, sedangkan 5% responden yang tidak memakai kembali mempunyai pelaksanaan spiritual baik. Tidak terdapat hubungan antara pelaksanaan spiritual dengan pemakaian kembali NAPZA dengan nilai p=1,0 dan α=0,05.

Revert to usage of drug abuse and other addiction substances is depend on levels of the usage, kinds of addiction substances, and other support factors. One of the prevention factors is spiritual implementation. Descriptive correlative design was used in this study.
The objective of this study was to know correlation between spiritual implementation with revert to usage of drug abuse and other addiction substances. This study involved 20 respondent in one of the drug abuse therapy.
The result shows that 45% respondent revert to usage has a good spiritual implementation and 50% others has a bad spiritual implementation, whereas 5% respondent whose didn’t usage has a good spiritual implementation. There is no correlation between spiritual implementation with revert to usage drug abuse and other addiction substances with p value=1,0 and α=0,05.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
TA5827
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: B.P. Sandaan, 0
615.7822 Bah
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbantobing, S.M.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
362.293 LUM s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sulastiana
Jakarta: Rayyana Komunikasindo, 2021
362.293 SUL m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Roma Tao Toba Muara Ria
"Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Remaja mengalami perubahan fisik yang menimbulkan dampak bagi perkembangan psikologis yang mengakibatkan remaja berisiko mengalami masalah kesehatan. Masalah yang sering dijumpai pada remaja antara lain penyalahgunaan NAPZA. Akibat penyalahgunaan NAPZA bukan hanya gangguan fisik tapi berdampak bagi ekonomi, sosial, agama dan lain- lain, oleh karena itu perlu mendapat perhatian khusus. Perawat Spesialis Komunitas mempunyai peran dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA, bentuk intervensi keperawatan komunitas yang digunakan adalah TEBARS (Teman Sebaya Remaja Sehat) yang merupakan modifikasi dari peer educator.
Hasil aplikasi ini menggambarkan model TEBARS cukup efektif untuk mencegah penyalahgunaan NAPZA pada siswa SMP, terjadi perubahan perilaku siswa yaitu kurang pengetahuan dari rerata 28.83 menjadi 27.59, SD 1.558, p=0.000, perilaku berisiko rerata 49.23 menjadi 43.32, SD 4.365, p=0.000. Rerata penampilan peer educator sebelum intervensi 5,3 point meningkat menjadi 7,8 point. Hasil karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat dilaksanakan di sekolah-sekolah dan dikembangkan serta dibina lebih lanjut khususnya dalam upaya mencegah penyalahgunaan NAPZA.

Adolescence is a time of transition from children to adults. Adolescents experienced physical changes that impact the psychological development of adolescents at risk of resulting health problems. A common problem in adolescent drug abuse, among others. As a result of drug abuse is not just a physical disorder but have implications for the economic, social, religious and others, therefore it needs special attention. Community Specialist nurses have a role in preventing drug abuse, a form of community nursing interventions used are TEBARS (Friend of Youth Peer Health) which is a modification of the peer educator. Final Thesis aims to enhance the empowerment of students through TEBARS to prevent drug abuse in students SMPN 8 Depok.
The results of this activity was found that changes in student behavior that is less knowledgeable than the average 28.83 to 27.59, SD 1558, p = 0.000, average-risk behaviors to be 43.32 49.23, SD 4365, p = 0.000, meaning that there are significant differences after the intervention. The mean appearance before the intervention peer educators 5.3 point to 7.8 point. Final Thesis is concluded TEBARS/peer educators is an effective form of intervention in the prevention of drug abuse in schools. Peer educators need to be implemented in schools and further developed and nurtured, especially in the prevention of drug abuse.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferina Rahmalia Fauziah
"Pedagang Besar Farmasi (PBF) merupakan perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar, termasuk di dalamnya obat narkotika dan psikotropika, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melakukan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran obat termasuk narkotika dan psikotropika, PBF merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). Setiap PBF dalam melakukan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran obat terutama narkotika dan psikotropika harus memenuhi persyaratan CDOB dan kemudian melakukan pelaporan kepada Badan Pengawaas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan/atau kehilangan narkotika dan psikotropika dari jalur distribusi resmi, serta berbagai bentuk penyalahgunaan lainnya. Oleh karena itu, dilakukan kajian mengenai evaluasi penyimpanan dan pelaporan narkotika dan psikotropika di PBF Kimia Farma Trading & Distribution (KFTD) Cabang Jakarta 3. Tujuan dari tugas khusus ini adalah untuk melihat kesesuaian dalam penyimpanan dan pelaporan narkotika dan psikotropika di KFTD Cabang Jakarta 3 dengan CDOB. Melalui tugas khusus ini diketahui penyimpanan dan pelaporan narkotika dan psikotropika di PBF KFTD Cabang Jakarta 3 sudah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam CDOB dan Permenkes No. 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi, serta telah menyampaikan laporan bulanan yang diunggah melalui website Sistem Pengawasan Obat BPOM.

Pharmaceutical Distributor (PBF) are companies in the form of legal entities that have permits for the procurement, storage, distribution of drugs and/or drug substances in large quantities, including narcotics and psychotropic drugs, in accordance with law statutes. In procuring, storing and distributing drugs including narcotics and psychotropics, pharmaceutical distributor refers to the regulation contained in the Good Distribution Practice (GDP). Each pharmaceutical distributor in procuring, storing, and distributing drugs, especially narcotics and psychotropics, must meet GDP requirements and then report to the National Agency of Drug and Food Control (BPOM) to prevent deviations and/or loss of narcotics and psychotropics from official distribution channels, as well as various other forms of abuse. Therefore, a study was conducted regarding the evaluation of storage and reporting of narcotics and psychotropics at PBF Kimia Farma Trading & Distribution (KFTD) Jakarta 3rd Branch. The purpose of this research was to see the suitability of storage and reporting of narcotics and psychotropics at KFTD Jakarta 3rd Branch with GDP. Through this research it is known that the storage and reporting of narcotics and psychotropics at PBF KFTD Jakarta 3rd Branch has met the requirements set out in the GDP and Permenkes No. 3 of 2015 about Distribution, Storage, Destruction, and Reporting of Narcotics, Psychotropics, and Pharmacy Precursors, and has submitted monthly reports which are uploaded via the Drug Monitoring System website of the BPOM."
Depok: 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>