Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104000 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tokyo: Research Institute for Language and cultures of Asia and Africa (ILCAA) , 2010
499.22 GEL
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2022
153 INT
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"MARC singkatan dari Machine Readable Catalogue sudah ada sejak awal 1960an, dimulai tatkala Library of Congress menjajagi kemungkinan menggunakan teknik otomasi pada katalognya. Setelah berusaha beberapa tahun termasuk kerjasama dengan The British, muncullah MARC yanh menjadi standar internasional untuk cantuman katalog...."
020 VIS 10:2 (2008)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsuddin Haris
"Setelah mengalami masa otoritarianisme politik selama hampir 40 tahun (1959-1998), Indonesia akhirnya memasuki era transisi menuju demokrasi. Namun ironisnya, era transisi tidak segera diikuti dengan tahap konsolidasi demokrasi. Presiden Abdurrahman Wahid dan DPR justru terperangkap ke dalam konflik politik berkepanjangan. Konflik itu begitu serius sehingga Abdurrahman Wahid akhirnya diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden oleh para politisi partai besar melalui Sidang Istimewa MPR 2001.
Dalam kajian itu, tesis ini berusaha menjawab, mengapa terjadi konflik antara Presiden Wahid dan DPR sera faktor-faktor apa yang melatarbelakangi konflik tersebut?
Konflik Presiden Wahid dan DPR bersumber pada dua faktor yang bersifat mendasar. Pertama, tidak adanya platform politik dan visi bersama di antara para elite politik sipil dalam rangka mengakhiri rejim otoriter, dan membangun kerangka demokratis untuk mengakomodasi format politik baru produk Pemilu 1999. Kedua, terbentuknya format politik baru dengan sistem multipartai tanpa kekuatan mayoritas di DPR tidak diikuti dengan reformasi kelembagaan, terutama yang berkaitan dengan relasi kekuasaan Presiden, DPR, dan MPR. Akibatnva, praktik politik DPR cenderung mengarah pada sistem parlementer sementara UUD 1945 bernuansa presidensial.
Selain faktor-faktor di atas, konflik selama periode kajian ini dipicu pula oleh beberapa faktor lain, baik yang bersifat obyektif maupun subvektif. Faktor obyektif pertama adalah polarisasi politik produk Pemilu 1999 di mana PDIP sebagai partai pemenang hanya memperoleh 153 kursi dari 500 kursi DPR Kursi selebihnya diperoleh 20 partai lainnya, Ironisnya tidak ada inisiatif PDIP yang mencalonkan Megawati sebagai presiden untuk mengajak kerjasama dan koalisi dengan partai-partai lain. Konsekuensi logis sikap diam Megawati tersebut, muncul koalisi partai-partai berbasis Islam "Poros Tengah" yang mencalonkan Abdurrahman Wahid sebagai alternatif di luar Megawati dan Habibie. Solusi yang bersifat jangka pendek ini berlanjut ketika Presiden Wahid menyusun kabinet atas dasar kompromi dengan pimpinan kekuatan politik besar di DPR, trmasuk pimpinan TNI. Koalisi dan kompromi politik yang bersifat semu ini adalah faktor obyektif kedua yang melatari konflik politik yang menjadi fokus kajian ini.
Faktor-faktor subyektif yang menjadi sumber konflik adalah; pertama, berkembangnya personalisasi kekuasaan yang dilakukan Presiden Wahid seperti bongkar pasang kabinet, indikasi keterlibatan dalam kasus Bulog dan dana sumbangan Sultan Brunei, berbagai ancaman jika dia tidak lagi menjadi presiden, dan pengeluaran dekrit presiden yang memicu pemberhentiannya oleh SI MPR. Kedua, adalah kecenderungan partai-partai besar non-PKB di DPR memanfaatkan personalisasi kekuasaan yang dilakukan presiden untuk menjatuhkan Abdurrahman Wahid dalam rangka kepentingan kelompok masing-masing. Termasuk di dalam kategori kelompok ini adalah pembangkangan politik TNI/Polri yang kecewa karena kecenderungan Presiden Wahid melakukan intervensi terlampau jauh dalam kehidupan internal tentara dan polisi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T2333
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratnia Solihah
"Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran relevan tentang orientasi politik birokrat pemerintah Kota Bandung pasca Orde Baru. Pertanyaan tesis adalah: "Bagaimana orientasi politik birokrat Pemerintah Kota Bandung yang meliputi orientasi kognitif, afektif dan evaluatif pasca Orde Baru? Bagaimana pengaruh latar belakang atau karakteristik internal birokrat terhadap orientasi politik birokrat pemerintah Kota Bandung pasca Orde Baru? Serta bagaimana pengaruh konteks politik terhadap orientasi politik birokrat pemerintahan Kota Bandung pasca Orde Baru?
Teori yang digunakan untuk menganalisis orientasi politik birokrat pemerintah di Kota Bandung pasca Orde Baru ini adalah teori tentang Budaya Politik yang intinya adalah orientasi politik yang meliputi orientasi kognitif, afektif dan evaluatif sebagaimana dikemukakan oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba. Untuk Iebih mempertajam analisis teori tersebut digunakan latar belakang atau karakteristik internal birokrat yang meliputi suku bangsa, usia, pendidikan, masa kerja, jabatan dan pengalaman organisasi birokrat; serta konteks politik yang meliputi kondisi kepolitikan birokrasi Indonesia, budaya politik birokrasi pemerintahan di Indonesia, serta budaya politik sunda yang sedikit banyak mempengaruhi orientasi politik birokrat pemerintah Kota Bandung pasca Orde Baru.
Penelitian tesis ini bersifat deskriptif analisis dan dalam menganalisis data digunakan pendekatan kuantitatif sederhana dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif sederhana digunakan untuk menganalisis latar belakang atau karakteristik internal birokrat dan orientasi politik birokrat pemerintah Kota Bandung yang meliputi orientasi kognitif, afektif dan evaluatif pasca Orde Baru yang diperoleh melalui kuisioner berupa perhitungan modus atau frekuensi jawaban info man dalam bentuk prosentase; kemudian hasil kuantitatif tersebut dianalisis secara kualitatif berdasarkan hasil wawaneara Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk menganalisis konteks politik; yang diperoleh dari data primer berdasarkan basil wawancara dan Bari data sekunder melalui berbagai literature. Informan dalam penelitian ini adalah birokrat pemerintah Kota Bandung yang memiliki eselon IV ke atas; pimpinan dan anggota DPRD Kota Bandung pimpinan, pengurus dan anggota LSM; serta akademisi dari UNPAD yang concern dengan penelitian ini.
Kesimpulan yang diperoleh: Orientasi politik birokrat pemerintah Kota Bandung pasta Orde Baru yang meliputi orientasi kognitif, afektif dan evaluatif berada dalam kategori sedang dengan klasifikasi budaya politik subyek Hal tersebut dipengaruhi oleh latar belakang atau karakteristik internal birokrat pemerintah Kota Bandung pasta Orde Baru serta konteks politik yang melingkupinya yang meliputi kondisi kepolitikan birokrasi saat ini, budaya politik birokrasi pemerintah di Indonesia dan budaya politik Sunda.

This research aim to get relevant descriptions about political orientation at the government bureaucrate in Bandung City post Orde Baru. There are three questions of tesis, are: "How political orientation at the goverment bureaucrate in Bandung City post Orde Baru which comprises cognitive, affective and evaluative orientation?; How influence of background or internal characteristic bureaucrate toward political orientation at the government bureaucrate in Bandung City post Orde Baru; and how influence of politics context toward political orientation at the government bureaucrate in Bandung City post Orde Baru? ".
Theory of political Culture is taken from Gabriel Almond and Sidney Verba are used to analyze political orientation at the goverment bureaucrate in Bandung City post Orde Baru, that essence is political orientation comprises cognitive, affective and evaluative orientation. In order to clear this theory analysis are used the background or internal characteristic bureaucrate such as tribe, sex, education, long of work,, salary ranks and experience of organization at the bureaucrate; and politics context which describe conditions bureaucratic polity, political culture of government bureaucracy in Indonesia, and Sundanese political culture.
This research use analitis descriptive, by using simple quantitative and qualitative approaches. The simple quantitative approach is used to analyze political orientations and background or internal characteristic bureaucrate in Bandung City, which are got from questionare with modus or frequency count on procentage. Then, the result of quantitative data are analyzed with qualitative data by using interview. Meanwhile qualitative approah to analyze politics context which are got from literatures. Infonnan in this research are government bureaucrate in Bandung City who have echelon IV and up; leader and members of DPRD Bandung City; Leader, official and member of NGO in Bandung City and academicians from UNPAD who concern with this reserach.
The conclusion: Political orientation at the government bureaucrate in Bandung City post Orde Baru, comprises cognitive, affective and evaluative orientation belong in middle category with political culture is subject clasifcation. This condition was influenced by background or internal characteristic bureaucrate of government in Bandung City; and so by politics contect post Orde Baru which comprises condition of bureaucracy polity, political culture of government bureaucracy in Indonesia and Sundanese political culture.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14355
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: InsistPress, 2015
302.23 ORD
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Batara Gunawan
"Artikel ini berpendapat bahwa upaya pemerintah sipil untuk mendorong perubahan kebijakan pertahanan di Indonesia pasca Orde Baru dilaksanakan melalui mekanisme layering. Secara teoretis, mekanisme layering beroperasi dalam kondisi-kondisi institusional yang menjadi ciri khas dalam konteks transisi demokrasi yaitu besarnya jumlah veto players dalam proses pengambilan keputusan di arena politik dan kecilnya ruang diskresi kebijakan dalam institusi yang dijadikan sebagai target perubahan. Oleh karena itu, perubahan didorong lewat penempatan elemen-elemen baru yang berdampingan dengan status quo yang berlaku di sebuah institusi. Melalui analisis deskriptif terhadap kebijakan MEF (Minimum Essential Force) tahap I tahun 2010-2014 ditemukan bahwa penggunaan mekanisme layering lewat kebijakan MEF telah berhasil diimplementasikan tanpa adanya penolakan dari para pendukung status quo di sektor pertahanan Indonesia. Kondisi ini dimungkinan karena program modernisasi alutsista (alat utama sistem persenjataan) yang menjadi inti dari kebijakan MEF memberikan insentif tambahan terhadap status quo yang sesuai dengan preferensi TNI (Tentara Nasional Indonesia) mengenai keberlanjutan organisasi mereka. Akan tetapi tulisan ini juga melihat adanya efek negatif dari penggunaan mekanisme layering tersebut yakni rendahnya derajat kepatuhan terhadap elemen baru perubahan. Sebagai akibat dari tetap utuhnya status quo, militer mempertahankan dominasinya dalam proses formulasi dan implementasi tanpa pengawasan efektif dari kalangan sipil. Dalam kasus MEF, kondisi ini menimbulkan inkonsistensi kebijakan yang kemudian dapat menghambat profesionalisme TNI ke depan serta memberikan celah bagi kembalinya TNI ke ranah politik praktis."
Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2017
320 JURPOL 2:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Saiful Mujani
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007
305.6 SAI m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Saeful Muhtadi
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008
297.6 ASE k (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kacung Marijan
Jakarta: Kencana Prenada Media , 2011
320.959 8 KAC s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>