Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110742 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Dirjen Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM, 2006
R 364 IND
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Dedyng Wibiyanto Atabay
"Hukum di suatu negara adalah diperuntukkan untuk melindungi warga negaranya dari segala ketidaknyamanan dan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya. Pembangunan nasional yang dilaksanakan bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh tumpah darah Indonesia dan membentuk manusia seutuhnya baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pelaksanaan pembangunan nasional menjadi terganggu dengan semakin merajalelanya korupsi yang terjadi di seluruh lapisan masyarakat dalam segala bidang yang lambat laun telah menggerogoti hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai karena korupsi telah banyak menyebabkan kerugian keuangan dan perkonomian negara.
Untuk memberikan kejeraan terhadap pelaku korupsi telah ditetapkan pidana penjara yang sangat berat meskipun kurang mempunyai dampak yang menggembirakan. Di samping pidana penjara yang berat pelaku korupsi juga dikenakan pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Namun demikian pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam pelaksanaannya masih jauh dari yang diharapkan untuk pengembalian kerugian kerugian keuangan dan perekonomian negara akibat tindak pidana korupsi. Hal tersebut membuat penulis tertarik untuk mengambil peramasalahan pokok dalam penelitian ini yaitu: "Bagaimana pidana tambahan pembayaran uang pengganti dapat mengembalikan kerugian keuangan dan perekonomian negara akibat tindak pidana korupsi."
Konsep pidana tambahan pembayaran uang pengganti adalah untuk membalas terpidana agar tidak menikmati hasil kejahatannya dan negara dapat memperoleh kembali kerugian yang diderita. Dalam perkembanganya kemudian uang pengganti juga muncul sebagai upaya perlindungan bagi korban kejahatan. Dalam pemidanaan agar dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang telah ditetapkan maka dalam pelaksanaannya perlu mengacu pada konsep/ide pidana tersebut (pembayaran uang pengganti).
Pengaturan pidana tambahan pembayaran uang pengganti sering terjadi kontradiktif sehingga perlu dilakukan sinkronisasi agar tidak saling overlapping. Dan untuk menjamin keberadaan asset terpidana sejak ditetapkan sebagai tersangka agar tidak dipindahtangankan kepada pihak lain serta untuk membayaran uang pengganti maka perlu dibuat payung hukum yang menjaminnya.
Sikap seorang penyidik, penuntut umum dan hakim dalam menangani perkara korupsi masih jauh dari harapan di mama masing-masing aparat penegak hukum dalam bekerja hanya terfokus pada tugas dan wewenangnya sendiri tanpa melihat tujuan pemidanaan secara keseluruhan. Akibat hal ini, pada akhirnya menyebabkan tidak dapat dieksekusinya harta benda pelaku tindak pidana korupsi. Untuk mengatasi perlu dilakukan dengan mengoptimalkan upaya penyitaan, meningkatkan profesionalisme aparat penegak hukum, dan melakukan kerja sama yang baik apakah antar aparat penegak hukum, institusi, maupun dengan negara lain.
Dan untuk mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana korupsi dan khususnya untuk mengembalikan kerugian keuangan negara perlu dipikirkan untuk membentuk lembaga khusus untuk memburu dan mengurus aset negara dalam perkara korupsi serta segera mempersiapkan format kerja sama internasional dalam pemberantasan korupsi dan pencarian asset terpidana khususnya."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15546
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1984
S21602
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natalia Kristin Ardianti
"Indonesia adalah negara yang terdiri dari pulau-
pulau besar maupun kecil yang tersebar begitu banyaknya.
Untuk mengawasi keamanan tiap-tiap pulau membutuhkan
tenaga maupun sarana yang sangat besar. Demikian juga
dalam lalu lintas keluar-masuknya barang ke dan dari
pulau-pulau tersebut. Untuk itu dibuatlah peraturan yang
mengaturnya yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, sehingga lalu lintas barang dapat terkontrol
dan untuk menambah pemasukan dalam bentuk pajak tidak
langsung pada pemerintah.
Kepabeanan masuk dalam bidang hukum administrasi,
karena dalam penerapan sanksinya menggunakan sanksi
administrasi berupa denda disamping sanksi pidana.
Pengkategorian ini didasarkan pada jenis pelanggaran yang
dilakukan, pelanggaran ringan dikenakan sanksi
administrasi saja, sedangkan untuk pelanggaran yang berat
dikenakan sanksi pidana berupa penjara dan denda.
Dalam penelitian yang penulis lakukan di Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai Tanjung Priok Jakarta Utara dan
Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, pelanggaran yang paling
sering terjadi adalah pemalsuan dokumen baik impor maupun
ekspor. Sedangkan penyidikan dilakukan oleh Penyidik PPNS
dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Kepolisian.
Selanjutnya dilimpahkan ke Kejaksaan untuk diproses
sesuai dengan hukum yang berlaku yaitu menggunakan
ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. Jenis sanksi yang dikenakan adalah sanksi pidana
berupa pidana penjara dan denda.
Pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah Sanksi
Pidana dalam Hukum Administrasi dengan Mengkaji Undang-
Undang Kepabeanan (UU No. 10 tahun 1995). Disini penulis
membahas penggunaan sanksi pidana dalam penerapan
ketentuan pidana pada UU Kepabeanan bagi pelaku tindak
pidananya."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2006
T16616
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meriska Nofianti
"Skripsi ini membahas hukuman mati sebagai salah satu bentuk sanksi terberat yang diatur dalam peraturan negara. Hukum positif Indonesia masih mengakui adanya mekanisme pelaksanaan hukuman mati, baik didalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), maupun di peraturan perundang-undangan yang lain. Dikaitkan dengan permasalahan hukuman mati ini, dikenallah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap UUD 1945, dimana permohonan uji materil ini diajukan oleh beberapa terpidana mati kasus narkotika. Permohonan mereka adalah agar hukuman mati dalam Undang-Undang Narkotika dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa permohonan tersebut ditolak dan tidak dapat diterima. Skripsi ini juga akan membandingkan kasus hukuman mati yang dijatuhkan pada Rani Andriani Alias Melisa Aprilia (salah satu pemohon Putusan Mahkamah Konstitusi) dengan kasus hukuman mati yang dijatuhkan pada Abdul Azis Alias Imam Samudra. Selain itu, skripsi ini juga membahas mengenai prosedur pelaksanaan eksekusi hukuman mati di Indonesia dan permasalahan yang muncul mengenai penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 dikaitkan dengan praktek pelaksanaan hukuman mati di Indonesia.

This thesis discusses the death penalty as one of the toughest sanctions set forth in state regulations. Positive law in Indonesia is still recognizes the mechanism of this execution, both in the Penal Code and in the other legislation. This death penalty issue, then, will be related with the Constitutional Court Decision Number 2-3/PUU-V/2007 regarding Judicial Review of Law Number 22 of 1997 concerning Narcotics against Constitution of 1945, in which judicial review petition was filed by several death row cases of narcotics. Their application is for capital punishment in the Narcotics Act revoked and declared no longer valid because it considered contrary to the Constitution of 1945. But in the decision of the Constitutional Court stated that the request is rejected and unacceptable. This thesis will also compare the case of death sentences on Rani Andriani Alias Melisa Aprilia (one of the applicant's Constitutional Court Decision) in case of death sentences to Abdul Azis alias Imam Samudra. This thesis also discusses the procedure for execution of capital punishment in Indonesia and the problems that arise concerning the implementation of the Constitutional Court Decision Number 2-3/PUU-V/2007 associated with the practice of executions in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22641
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Lestari Hotmaida
"Pidana denda adalah salah satu pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam Buku II dan Buku III KUHP. Menurunnya nilai rupiah mengakibatkan penegak hukum enggan untuk menerapkan pidana denda. Pada tahun 2012, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (PERMA). Salah satu pengaturannya adalah bahwa maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali. Tipologi penelitian ini adalah deskriptif analitis yang bersifat yuridis normatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa Hakim belum menerapkan pidana denda meskipun nilai rupiah telah disesuaikan. Dalam menerapkan PERMA ini, Hakim mengalami beberapa kendala, salah satunya mengenai hierarki PERMA yang lebih rendah dari KUHP. Penelitian ini juga menjabarkan tentang RUU KUHP versi 2013 berusaha untuk mengatasi kendala yang dialami hakim dalam menerapkan PERMA.

Fine punishment is one of the main punishments, which is regulated in Article 10 of Indonesian Criminal Code, it is used as an alternative punishment or as a sole punishment in Book II and Book III of the Criminal Code. The decreasing value of Rupiah caused law enforcers unwilling to apply the fine punishment. In the year of 2012, the Supreme Court released Supreme Court Regulation (PERMA) Number 2 year 2012 about The Limitation Adjustment for Light Criminal Offense and The Amount of Fine in Criminal Code (KUHP). One of its arrangement is that the maximum amount of fine regulated in Criminal Code is to be multiplied by 1.000 (a thousand) times. The typology of this research is descriptive analysis in normative juridical characteristic. The research shows that have not yet applied the fine punishment even when the Rupiah?s value has been adjusted. In applying this PERMA, Judges experienced some problems, one of which is the hierarchial position of PERMA that is lower than KUHP. This research also explains about the 2013 version of the New Criminal Code Draft (RUU KUHP 2013 version) that tried to settle the problems experienced by Judges in applying PERMA.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55637
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidharta Praditya Revienda Putra
"Tesis ini membahas mengenai pro dan kontra yang muncul seiring dengan perdebatan mengenai pidana mati dilihat dari falsafah pemidanaan serta pelaksanaannya. Louk H.C. Hulsman, seorang sarjana hukum Belanda, menghubungkan pidana dan sistem peradilan pidana dengan menggunakan pendekatan kemanusiaan dan rasionalistik. Pendekatan Hulsman tersebut digunakan penulis untuk melihat apakah tujuan pemidanaan pidana mati sebagaimana the law on the books akan dapat diwujudkan dalam pelaksanaannya sebagai the law in action dan bagaimana pengaturan pidana mati dalam pembaharuan hukum Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif, yang mengumpulkan dan mengolah data dari data kepustakaan serta dianalisa menggunakan pendekatan filsafat hukum (legal philosophy approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach) dengan metode analisa deskriptifkualitatif, sehingga hasil yang diperoleh setalah dilakukan analisa hasil penelitian adalah kesimpulan bahwa falasafah pemidanaan pidana mati adalah retributif dan untuk mencegah masyarakat (potential offender) agar tidak melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati (teori prevensi umum/general deterrence) yang diwujudkan oleh sistem peradilan pidana saat ini tidak akan pernah mencapai tujuannya. Pengaturan pidana mati dalam pembaharuan hukum Indonesia lebih rasional dan manusiawi serta dimungkinkan sistem peradilan pidana dapat mewujudkan tujuan pemidanaan dari pidana mati yaitu demi pengayoman masyarakat yang menitikberatkan pada pencegahan (deterrent) dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum.

The thesis examines pros and cons which often appearing along with the debate on death penalty seen from the philosophy and the punishment. Louk H.C. Hulsman, a Dutch jurist and criminologist, relates crimes and criminal justice system using humanitarian and rationalistic approach. The Hulsman approach was used to see whether the purpose of the death penalty as the aw on the books can be implemented as the law in action. In this case, the study sees criminal justice system as a process and death penalty arrangement in Indonesian law reform. The method used was normative research which collected and processed data taken from legal philosophy approach, statute approach, and conceptual approach with qualitative-descriptive analysis method. This study concluded that the philosophy of death penalty was retributive. In addition, it was to warn the society (potential offender) committing crimes charged with death sentence (general deterrence theory). The existing criminal justice system will never be able to reach the philosophy of death penalty mentioned above. The new Indonesian Criminal Law s more rational and humane and there is a possibility for the criminal justice system to actualize the purpose of death penalty that is the society protection emphasizing on the deterrence of committing crimes by upholding legal norms."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28576
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Suhariyono A.R.
"ABSTRAK
Pidana denda sebenarnya sudah dikenal sejak Iama, namun baru pada abad ini dapat dimulai masa keemasan pidana denda. Sebab itu pula, kemudian pidana denda ini berhasil menggeser kedudukan pidana badan dari peringkat pertama, terutama di negara-negara Eropa dan beberapa negara maju Iainnya yang telah menentukan dan menerapkan kebijakan pidana denda sebagai alternatif pidana hilang kemerdekaan. Pidana denda merupakan perkembangan pemidanaan generasi ketiga seteiah generasi pertama yang dimulai dengan pidana perampasan kemerdekaan sebagai pidana utama untuk mengganti pidana mati dan generasi kedua yang ditandai dengan perkembangan pidana kemerdekaan itu sendiri yang di berbagai negara ada beberapa alternatif dan sistem yang berbeda.
Pidana denda sebagai salah satu pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam Buku ll dan Buku III KUHP daiam perjalanannya dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara Iain menurunnya nilai mata uang yang mengakibatkan keengganan penegak hukum untuk menerapkan pidalia denda. Selain itu, piclana penjara masih dijadikan primadona dalam penetapan ydan penjatuhan pidana dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, terutama pencapaian efek jera bagi pelaku dan pencapaian pencegahan umum. Padahal pencembangan konsepsi baru dalam hukum pidana, yang menonjol adalah perkembangan mengenai sanksi aiternatif (altemative sanction) untuk pidana hilang kemerdekaan dengan pidana denda, terutama terhadap tindak pidana ringan atau tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah satu tahun.
Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada kurang memberikan dorongan dilaksanakannya penjatuhan pidana denda sebagai pengganti atau altematif pidana penjara atau kurungan. Sebaliknya, faktor kemampuan rnasyarakat juga menyebabkan belum berfungsinya pidana denda iika suatu undang-undang memberikan ancaman pidana denda yang relatif tinggi. Demikian pula piidana denda yang ditentukan- sabagai' ancaman kurnulaiif akan mengakibatkan peran dan fungsi pidana denda sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal belum mempunyai tempat yang wajar dan memadai dalam kerangka tujuan pemidanaan, terutarna untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara jangka pendek dan tindak pidana yang bermotifkan atau terkait dengan hafta benda atau kekayaan.
Pidana denda dapat disetarakan dengan pidana penjara karena pidana penjara selama ini diakui sebagai pidana yang efektif untuk penjeraan. Pidana denda juga dapat menciptakan hasil yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan. Pidana denda akan selalu menjadi pertimbangan oleh penegak hukum, terutama hakim dalam memutus perkara pidana, dan piclana denda harus dapat dirasakan sebagai penderitaan bagi pelaku tindak pidana (dalam bentuk kesengsaraan karena secara materi yang bersangkutan merasa kekurangan, jika mungkin menyita harta benda untuk menutupi denda yang be1um atau tidak dibayar dengan cara pelelangan). Pidana denda yang dibarengi dengan sistem keadilan restoratif diharapkan dapat menyelesaikan konfiik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Pidana denda diharapkan pula dapat membebaskan rasa bersalah kepada terpidana dan sekaligus memberikan kepuasan kepada pihak korban.
Selain pidana denda, perlu diintrodusir mengenai sanksi ganti kenugian (restitutif) daniatau denda administratif untuk perkara-perkara tertentu yang memerlukan pemulihan dan perbaikan, dalam hal ini perlu dikembangkan adanya keadilan restoratif yang secara turun temurun telah dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia berdasarkan adat dan budaya bangsa.
Keseluruhan upaya di atas pada dasamya ingin mewujudkan sila ke-2 Pancasila yakni "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Nilai kemanusiaan yang beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral, dan beragama. Penerapan teori tujuan pemidanaan yang integratif yang dapat memenuhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana, pidana denda dapat mendekatkan pada kedua pandangan yakni retributive view dan utilitarian view yang diintegrasikan dengan konsep kemanusia n yang adil dan beradab untuk memenuhi humanitarian concerns combined with a greater awareness of the destructive effects of imprisonment. Lembaga pemasyarakatan (penjara) sedapat mungkin dijadikan tempat bagi terdakwa yang rnelakukan tindak pidana herat (serious crime) dan tindak pidana lainnya yang sangat membahayakan bagi masyarakat."
Depok: 2009
D1023
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1984
S21614
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raymond Ali
"Isu tentang pidana mati sudah cukup lama menjadi bahan perdebatan. Banyak sarjana yang menyatakan bahwa pidana mati melanggar Hak Azasi Manusia (HAM). Akan tetapi banyak pula sarjana lainnya yang menyatakan bahwa dikarenakan masyarakat dalam sebuah negara telah berkonsensus melalui sarana legislasi bahwa terhadap sebuah perilaku (baik berbuat maupun tidak berbuat) adalah harus diancamkan dengan pidana mati, maka tidak terdapat lagi pelanggaran HAM bagi penegakan aturan terhadap perilaku tersebut. Prof. Dr. Ahmad Ali, S.H., M.H., memberikan contoh, yaitu penculikan, merampas kemerdekaan seseorang adalah sebuah tindak pidana, akan tetapi jika perilaku tersebut di "legal"kan oleh Undang-undang sehingga berubah istilahnya menjadi "penangkapan" dan "penahanan", maka tidak terdapat lagi sebuah pelanggaran HAM.
Terkait dengan perdebatan tentang pidana mati diatas, dalam sebuah forum Internasional yang diprakarsai oleh UN General Assembly, dimana membahas tentang eksistensi pidana mati, diterangkan bahwa berlaku atau tidaknya pidana mati dalam hukum positif di suatu negara tergantung dengan kondisi sosiologis dan sejarah suatu bangsa.
Dengan demikian, adalah sulit untuk menghakimi bahwa terhadap sebuah negara yang masih memberlakukan pidana mati dalam hukum nasionalnya, adalah melanggar HAM khususnya hak untuk hidup dari warga negaranya. Sebagai ilustrasi, Amerika Serikat sendiri yang dikatakan sebagai negara pendekar HAM, ternyata sebagian besar negara bagiannya masih memberlakukan pidana mati.
Menyadari hal tersebut, maka PBB memberikan pedoman bagi negara-negara yang masih menganut dan melaksanakan pidana mati dalam wilayah negara tersebut. pedoman tersebut yaitu "The Safeguards Guaranteeing Protection Of The Rights of Those Who Facing The Death Penalty" yang telah diadopsi oleh PBB pada tahun 1984.
Terlepas dari perdebatan tersebut diatas, mengingat Indonesia adalah negara yang masih memberlakukan pidana mati dalam hukum positifnya serta melaksanakannya, maka sebagai negara anggota PBB, Indonesia sudah seharusnya mematuhi pedoman Internasional yang dibuat oleh PBB tersebut diatas.
Untuk itu, tesis ini meneliti dan menganalisis tentang apakah aturan materiil tentang pidana mati di Indonesia sudah sesuai dengan pedoman Internasional tersebut diatas, ataukah belum. Apabila belum, maka aturan materiil apa saja yang perlu dibenahi dan ditambahkan.
Setain itu, aturan yang baik tidak berarti bahwa penegakannya menjadi baik pula. Hal ini disebabkan, terdapatnya kendala-kendala atau hambatan yang terjadi di lapangan terkait dengan penegakan hukum tersebut. Hambatan tersebut bisa dari faktor aparat penegak hukum, sarana dan prasarana, substansi hukum khususnya hukum acara pidana, serta budaya hukum. Oleh karena itu, dalam penelitian ini diteliti dan dianalisis pula tentang apa yang menjadi hambatan dalam penegakan hukum di lapangan, serta bagaimana cara mengatasinya untuk pembenahan dikemudian hari.
Di akhir pembahasan tesis ini., diteliti dan dinalisis pula tentang prospek pidana mati untuk pembaharuan hukum pidana ke depan. Hal ini disebabkan, telah berkembangnya pemikiran tentang maksud penjatuhan pidana yang awalnya berorientasi pada perbuatan pelaku tindak pidana semata (daad-strafrecht), menjadi maksud penjatuhan pidana yang tidak hanya berorientasi pada perbuatan pelaku tindak pidana semata, akan tetapi juga untuk memberikan kesempatan bagi pelaku tindak pidana guna mengubah diri menjadi lebih baik (daad daderstrafrecht)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14589
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>