Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48749 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Wahyuni
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
D 00977
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Wahyudi
"Berbagai literatur mutakhir mengenal resolusi konflik menunjukkan bahwa persoalan konflik tidak hanya mengenai bagaimana mengakhiri konflik bersenjata (perang), namun juga mengenai hal bagaimana membangun perdamaian pasca penyelesaian perang. Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan gambaran bagaimana konflik di Aceh mentransformasikan dirinya, kemudian memberikan kerangka kerja yang memungkinkan pihak-pihak yang saling bermusuhan melakukan rekonsiliasi dan mentransformasikan pertentangan mereka ke dalam kegiatan tanpa kekerasan yang diikuti dengan tindakan pemeliharaan perdamaian yang lebih luas, yang meliputi usaha-usaha untuk mentransformasikan ketidakadilan dan menjembatani posisi yang berseberangan.
Data di lapangan menunjukkan bahwa cakupan resolusi konflik adalah lebih luas ketimbang upaya pengakhiran konflik, dan dengan cara pandang demikian, kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan GAM adalah sebatas sebuah pengakhiran konflik bersenjata antara kedua belah pihak namun belurn tentu pengakhiran konflik antara pihak-pihak yang bertikai di Aceh. Apalagi membangun perdamaian, mentransformasikan keadilan dan menjembatani posisi yang berseberangan. Telah terjadi pergeseran konflik di Aceh, dari konflik yang bersifat vertikal antara 'Aceh' dengan 'Jakarta', ke konflik horizontal antar masyarakat Aceh sendiri (Aceh GAM dengan Aceh RI). Pergeseran ini menunjukkan bahwa MoU Helsinki masih menyisakan permasalahan integrasi sosial yang potensial untuk menjadi bahan bakar konflik berikutnya dan mengancam integrasi nasional. Pergeseran konflik juga bisa dilihat dari cara pandang masing-masing pihak yang bertikai. Dari sisi GAM, perjuangan GAM belumlah dianggap selesai dengan konsensi-konsensi dalam MoU Helsinki. Kesejahteraan rakyat Aceh (GAM menyebutnya 'bangsa Aceh') dan hak-hak politik masih perlu diperjuangkan. Sedangkan dari pihak Jakarta dan masyarakat Aceh RI melihat perjuangan GAM ini sebagai pemberontakan dan pemberontakan ini telah mengalami transformasi, dari pemberontakan bersenjata ke pemberontakan simbolik.
Data menunjukkan bahwa penyelesaian konflik yang komprehensif masih perlu waktu karena hambatan-hambatan sebagai berikut : sentimen etnis dan kedalaman konflik (dikotomi Aceh dan Jawa), perbedaan kepentingan dan harapan warga Aceh terhadap perdamaian dan perubahan struktur aktor konflik serta potensi konflik laten (simasi anomi). Hambatan-hambatan ini menujukkan bahwa penyelesaian konflik membutuhkan peran serta warga Aceh secara luas termasuk unsur-unsur diluar GAM karena aktor-aktor konflik juga telah berubah, bukan antar 'siapa' namun bisa meluas menjadi antar 'situasi'. Langkah-langkah yang disarankan untuk menuju penyelesaian konflik yang komprehensif menuju perdamaian positif adalah fokus ke rekonsiliasi (fluiditas) dan transformasi konflik, dalam hal ini adalah transformasi konteks, transformasi struktural, transformasi aktor, transformasi persoalan, transformasi kelompok dan personal.
Resolusi konflik secara sosiologis adalah bagaimana mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial yakni terpenuhinya secara berkesinambungan penghidupan dan berbagai kebutuhan hidup sebagian besar warga masyarakat serta terbukanya peluang bagi tiap warga masyarakat untuk mengaktualisasikan diri masing-masing. Perubahan kemasyarakatan dan pembangunan sosial-ekonomi serta politik merupakan katalisator dan lingkungan pemampu (enabling environment) untuk rekonsiliasi dan transformasi konflik. Oleh karena itu, peneliti menyarankan perlunya integrasi antara pembangunan perdamaian (kesejahteraan) di Aceh melalui upaya rekonsiliasi dan transformasi konflik (peace and development). Langkah-langkah integrasi itu antara lain transformasi ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan akses politik.

Some text-books in conflict resolution have shown that conflict-related problems are not only concerning with how to stop violence, but also dealing with sustaining peace through development. This research is aimed at a description of conflict transformation in Aceh and to develop a framework for the actors to transform their conflict into a non-violence effort and addressing the root of the conflict that created injustice in the society.
Field data confirmed that the scope of conflict resolution is more than an effort to end war. With this regard, peace agreement between GAM and Govemment of Indonesia could be seen as an agreement to end violence but not to solve the conflict's problem. Based on the analysis, there is a shift of the conflict in ACeh, from a vertical conflict (between Jakarta and GAM) to a horizontal conflict between community groups. This shift has proven that social integration related problems are beyond MoU Helsinlci's imagination. A shift also can be seen from each stand point; GAM believes that their holy mission has not completed yet although MoU Helsinki gives significant benefits to GAM. Welfare of the people of Aceh and their political rights are not fully met. ln the other hand, Jakarta still considers GAM is a separatist, rebellion, and GAM has changed their strategy to a symbolic rebellion.
Based on field data, a comprehensive conflict resolution in Aceh is still far away because of some barriers such as ethnic sentiment, fragmented expectations and interests among community groups, and changes in the structure and actors of the conflicts. A comprehensive conflict resolution requires collective efforts from non- GAM groups as well because the conflict is merely between Jakarta and GAM but also between 'different situation'. Suggested actions for this is focusing on conflict transformation i.e. transformation of context, structural transformation, actors transformation, transformation of issues, and transfomiation of individual and groups.
Societal change and socio-economic development is the catalyst and an enabling environment for conflict transformation. This research recommends that an integration between peace building and development (peace through development) is a central issue in addition to economic transfonnation, education, socio-culture development, and access to political structure.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
D977
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Resolusi perdamaian melalui MoU Helsinski secara signifikan telah mengurangi ekskalasi konflik di Aceh dan cahaya perdamaian sudah memancarkan sinarnya di Bumi Serambi Mekah, biarlah cahaya tetap terang benderang dan jangan sampai redup bahkan hilang. Artinya proses perdamaian positif harus terus diupayakan diupayakan secara maksimal dan jangan sampai konflik itu kembali di bumi Aceh, karena telah menimbulkan banyak korban, seperti nyawa, harta benda dan hancurnya fasilitas umum, serta mengancam terjadinya disintegrasi bangsa …. "
IKI 5 : 28 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kamaruddin
"Penelitian ini berfokus pada kemampuan manusia secara individu maupun kelompok dalam mengkonstruksi realitas proses transformasi konflik Aceh pasca MoU Helsinki. Termasuk penelitian kualitatif dengan disain interpretatif yang menggunakan pendekatan paradigma konstruksionisme. Permasalahan utama adalah bagaimana realitas proses transformasi konflik dari perjuangan bersenjata menuju perjuangan politik kasus Gerakan Aceh Merdeka-GAM Pasca MoU di konstruksikan oleh informan, bagaimana komunikasi dibangun oleh para pihak dalam proses transformasi konflik Aceh serta bagaimana dan mengapa kendala- kendala mesti dapat di selesaikan.
Model operasional penelitian menggunakan perspektif komunikasi budaya terutama tentang konsep-konsep konstruksi realitas, interaksionis simbolik, proses dialektika, identitas, etnisitas dan resolusi-transformasi konflik. lnforman terdiri dari mantan GAM, korban konflik, BRA, intelektual/akademisi, peace builder dan tokoh masyarakat Aceh. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, partisipan observasi dan analisis dokumen sedangkan analisis dilakukan dengan merujuk pada standar dan pendapat para peneliti kualitatif dengan paradigma konstruksionisme- interpretive.
Analisis hasil wawancara, partisipan observasi dan analisis dokumen bahwa: Fase awal transformasi yang ditandai dengan pengalaman sejarah, dari kegagalan HDC, Gempa dan tsunami, hadimya IMC, lahir MoU Helsinki, proses decommissioning dan pembubaran sayap militer GAM dengan membentuk KPA serta penarikan TNI/Polisi non organik berhasil dilakukan. Lahirnya BRA sebagai wadah reintegrasi menimbulkan dan menyisakan berbagai permasalahan. UUPA suksesnya Pilkada dengan calon Independen, lahirnya partai lokal sebagai bagian dari road map to peace proses dan Pemilu legislatif secara demokratis dimenangkan partai lokal mantan GAM relatif mampu memberi ruang baru bagi sirkulasi kekuasaan sosial, budaya dan politik di Aceh.
Kendala proses transformasi; pemahaman sejarah keacehan masih kurang, mutual trust terus merosot di Aceh, implementasi MoU dan BRA-PKK setengah hati, kurangnya penerimaan mantan GAM oleh Militer, milisi dan sebaliknya, peran KPA yang berlebihan dalam masyarakat Aceh, keterbatasan pemerintah Irwandi-Nazar mengatasi budaya korupsi, kolusi dan nepotisme, perbedaan penafsiran self government, terhambatnya pembentukan KKR, isu ALA-ABAS serta peran peace builders relatif kurang, penerapan trust building. Dialektika realitas tersebut menjadi persoalan sosial, politik, budaya dan hukum.

This study is focused on the human ability, as individual or group, in constructing the reality of conflict transformation process in Aceh post MoU in Helsinki. This is qualitative study with interpretative design using an approach of constructionism paradigm. The main problem is how the reality of conflict transformation from armed-struggle to political struggle in case ofthe Aceh Freedom Movements (GAM) post MoU constructed by informant, how the communication is established by the person in charge in the process of conflict transformation in Aceh also how and why the obstacles should be solved.
The operational model of this study was using the perspective of cultural communication, especially regarding the concepts of reality construction, symbolic interactionism, dialectic process, identity, ethnicity, and resolution-transformation of the conflict. informants consist of former GAM members, the victims ofthe conflict, BRA, academician, peace builder, and prominent figures in Aceh’s community. The data collection was done by interview, observation of the participants, and document analysis; while the data analysis was done by referring to the standard and the opinion of the qualitative researchers.
The analysis of interview result, stated that the initial phase marked by the history experiences, the failure of HDC, earthquake and tsunami, the present of IMC, MoU Helsinki, decommissiomng process, the dissolution of GAM military wings by forming KPA, and the success of the pulling of non-organic TNI/Police. The establishment of BRA as an umbrella for the reintegration produces and leaves several problems. UUPA the success of Pilkada with independent candidates, emerging of local parties as a part of road map to peace process, and legislative general election which held democratically and won by local party that consist of former GAM'member is relatively be able to create a new space for the hegemony circulation in social, cultural, and political aspects in Aceh.
Obstacles of transformation process; the lack of understanding regarding to history of Aceh, the decline of mutual trust in Aceh, the implementation of MoU and BRA that is still half-hearted, lack of acceptance of fomtcr GAM members by the Indonesian military, military and vice versa, the over role of KPA in Aceh’s community, the limitedness of Irwandi Nazar’s govemment in overcoming KKN, the different opinion in translating the meaning of seygovemnrent, the impeded of the KKR formation, issue about ALA-ABAS, andthe lack of peace builders roles and the implementation of trust building as well. The dialectic of those realities has become a social, politics, cultural, and law problems.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T33952
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
A. Khemal Pasha
"Skripsi ini membahas strategi politik Partai Aceh (PA) dalam merealisasikan kesepakatan yang tertuang didalam MoU Helsinki. Setelah 13 tahun damai, masih terdapat 10 Pasal dari MoU Helsinki yang hingga saat ini belum direalisasikan. PA sebagai partai politik lokal yang didominasi oleh mantan kombatan GAM merasa memiliki tanggung jawab politik terhadap realisasi MoU Helsinki. Hal ini sebagaimana manifestasi mereka yang telah beralih dari perjuangan bersenjata menjadi perjuangan politik melalui partai politik lokal. Melalui metode kualitatif, penulis melihat pada lima pasal dari 10 pasal yang belum selesai. Pertama,  nama Aceh dan gelar pejabat senior. Kedua, perbatasan. Ketiga, hak menggunakan simbol-simbol wilayah. Keempat,  kejahatan sipil yang dilakukan aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil (Pengadilan Negeri) di Aceh. Kelima, pembentukan Komisi Bersama Penyelesaian Klaim. Hasil penelitian ini memperlihatkan ada empat pola yang dilakukan oleh PA dalam upaya realisasi MoU Helsinki. Pertama, advokasi yang dilakukan oleh kader baik secara kelembagaan maupun non-kelembagaan. Kedua, memaksimalkan pengesahan qanun turunan MoU Helsinki di DPRA. Ketiga, lobi yang dilakukan kepada pemerintah pusat. Keempat, melakukan pewacanaan di kampanye politik. Penulis melihat PA memanfaatkan kemenangan mereka di dua Pemilu pasca damai sebagai kekuatan mereka didalam upaya realisasi MoU Helsinki. Selanjutnya hasil penelitian ini menunjukkan strategi yang dilakukan tersebut belum dapat memberikan hasil yang signifikan, dan upaya realisasi ini cenderung berfokus kepada beberapa pasal terutama yang bersifat simbolik.

This thesis discusses the political strategy of the Aceh Party (PA) in realizing the agreement contained in the MoU Helsinki. After 13 years of peace process, there are still 10 Articles from the MoU Helsinki which have not been realized yet. PA as a local political party that is dominated by former GAM combatants perceive that they have political responsibility for the realization of the MoU Helsinki. This is like the manifestation of those who have switched from armed struggle to political struggle through local political parties. Through qualitative methods, the author looks at five articles out of 10 that have not been realized yet. First, the name of Aceh and the title of senior elected officials. Second, border. Third, the right to use regional symbols. Fourth, civilian crimes committed by military personnel in Aceh will be tried in civil courts (District Court) in Aceh. Fifth, the establishment of a Joint Claims Settlement Commission. The results of this study show that there are four patterns carried out by PA in the realization of the MoU Helsinki. First, advocacy carried out by cadres both institutionally and non-institutionally. Second, maximize the legislation of the derivative qanun from the MoU Helsinki in the DPRA. Third, lobbying that carried out to the central government. Fourth, conduct discourse in political campaigns. The author sees PA using their victory in two post-peaceful elections as their strength in order to realize the MoU Helsinki. Furthermore, the results of this study indicate that the carried out strategy has not been able to produce significant results, and this realization tends to focus on several articles, especially those that are symbolic."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Subur Wahono
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T24968
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Subur Wahono
"Penelitian ini berfokus pada kebijakan Pemerintah dalam rangka implementasi nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dengan kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan disain deskriptif analitis. Metode deskriptif akan menjabarkan kebijakan yang dijalankan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam melaksanakan nota kesepahaman Helsinki. Sedangkan metode analitik digunakan dalam membahas aktifitas peacebuilding dalam rangka menciptakan situasi aman serta pengaruhnya kepada ketahanan nasional Indonesia. Dari analisis terhadap data hasil penelitian, nota kesepahaman Helsinki secara literal telah mampu mengembalikan rasa ke-Indonesiaan (nasionalisme) rakyat Aceh kepada Republik dan menanggalkan keinginan merdeka. Post-conflict peacebuilding selama hampir 3 tahun mampu mendamaikan kedua belah pihak pelaku konflik dan mereduksi potensi konflik serta menghasilkan pemerintahan yang dilegitimasi rakyat melalui proses demokrasi (Pilkada Aceh) damai dengan terpilihnya drh. Irwandi Yusuf, M.Sc., sebagai Gubernur baru provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan 20 Bupati/Walikota untuk periode tahun 2007 sampai 2012. Penyelesaian konflik mampu menyentuh akar masalah identitas Aceh dan ketidakadilan dibidang sosial dan ekonomi. Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dinilai mampu mewujudkan otonomi daerah dengan sharing of power di bidang pemerintahan, perimbangan keuangan dan penegakan hak asasi manusia dengan baik. Kedepan implementasi nota kesepahaman Helsinki harus mampu menegosiasikan kepentingan elite politik dengan rakyat Aceh dengan agenda utama pembangunan dalam mencapai kesejahteraan. Harapan untuk mewujudkan Aceh baru, adalah harapan untuk mewujudkan Indonesia baru.

This research focus at policy of Government in order to implementation of Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki betwen Republic Government of Indonesia with Free Aceh Movement (Gerakan Aceh Merdeka/GAM) in Nangroe Aceh Darussalam Provense. This is qualitatif research with deskriptif analitic desain. Descriptive method will formulate policy run by Republic Government of Indonesia in executing MoU Helsinki. While analytic method used in studying peacebuilding actifity in order to creating peaceful situation and its influence to Indonesian national resilience. From analysis to data result of research, MoU Helsinki by literal have been able to return to feel Indonesiaan (Acheh people nasionalisme) to Republic and take off desire independence. Peacebuilding post-conflict during almost 3 year can pacify both parties perpetrator of conflict and reduce conflict potency and also yield governance which is people legitimate through peaceful democracy process (Pilkada Acheh), chosenly drh. Irwandi Yusuf, M.Sc., as new Governor of Nangroe Acheh Darussalam province and 20 Regent/Mayor for the period of year 2007 until 2012. Solving of conflict can touch root of problem of Acheh identity and justice in economic and social area. Government of Susilo Bambang Yudhoyono assessed can realize autonomy with sharing of power in governance, monetary counter balance and straightening of human right. In the future implementation of MoU Helsinki have to negotiation between political elite and Acheh people with especial agenda of development in reaching prosperity. Expectation to realize new Acheh, is expectation to realize new Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T24968
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Indrasti Notoprayitno
"Berakhirnya Perang Dingin memberikan mekanisme baru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam menerapkan prinsip dan tujuannya. Mekanisme resolusi konflik PBB tidak lagi terpaku pada masalah konflik antar negara dan masalah kekuatan militer saja, namun juga masalah konflik internal dan masalah hak asasi manusia. Untuk menerapkan mekanisme resolusi konfliknya di Bosnia-Herzegovina, PBB tidak saja menerapkan peacemaking berupa penyelesaian secara politik, namun juga peacekeeping melalui intervensi kemanusiaan, serta peacebuilding, membangun pasca konflik. Intervensi Kemanusiaan PBB merupakan intervensi yang jarang sekali dilakukan oleh PBB pada saat Perang Dingin, sebaliknya pada saat Perang Dingin, intervensi kemanusiaan merupakan tindakan di dalam penegakkan hak asasi manusia. Resolusi konflik melalui intervensi kemanusiaan PBB di Bosnia-Herzegovina merupakan intervensi kemanusiaan yang belum lama diterapkan PBB pada pasca Perang Dingin, sehingga banyak permasalahan yang muncul berkenaan dengan itu.
Tesis ini dimaksudkan untuk menjelaskan eksistensi dan mekanisme resolusi konflik PBB di Bosnia-Herzegovina, diantaranya melalui mekanisme intervensi kemanusiaan. Menjelaskan pula justifikasi intervensi kemanusiaan yang hingga kini masih belum memiliki aturan hukum yang tetap. Konsep besar yang digunakan adalah resolusi konflik PBB yang dikutip dari pendapat Galtung, dan kemudian diturunkan ke konsep intervensi kemanusiaan yang dikemukakan baik oleh Adam Roberts maupun Sean Murphy. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan mendeskripsikan intervensi kemanusiaan PBB di Bosnia-Herzegovina berdasarkan pada resolusi konflik PBB di Bosnia-Herzegovina tersebut. Dalam menganalisa intervensi kemanusiaan PBB di Bosnia-Herzegovina, tidak terlepas dari analisa terhadap resolusi konflik PBB lainnya, seperti peacemaking maupun peacebuilding. Berdasarkan analisa data, disimpulkan bahwa terdapat berbagai permasalahan yang kemudian menghambat berjalannya resolusi konflik PBB dengan baik, sehingga hasil yang diperoleh adalah walaupun stabilitas keamanan dan perdamaian tercapai di Bosnia-Herzegovina, namun hasil yang dicapai kurang memuaskan masing-masing pihak yang bertikai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T5019
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Yudha Apriliasari
"Memorandum of Understanding Helsinki merupakan hasil kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka GAM sebagai bentuk penyelesaian konflik berkepanjangan di Aceh secara damai, menyeluruh, dan berkelanjutan. Implementasi atas butir-butir MoU menjadi instrumen bagi pemeliharaan perdamaian positif jangka panjang di Aceh. Pemerintah dan Eks kombatan GAM menjadi aktor penting dalam implementasinya, karena beberapa butir MoU menargetkan langsung pada kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan Eks Kombatan GAM. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, skripsi ini akan menjelaskan bagaimana implementasi MoU Helsinki memperbaiki kesejahteraan eks kombatan GAM pascakonflik. Skripsi ini menggunakan pendekatan welfare criminology dan didukung dengan pemikiran peacemaking criminology dari Richard Quinney dalam menganalisis seberapa jauh implementasi MoU Helsinki berperan sebagai pemelihara perdamaian di Aceh, dan sebagai tolok ukur untuk mengukur keseriusan pemerintah dalam pemenuhan kesejahteraan sosial bagi eks kombatan GAM, serta menjelaskan permasalahan dalam pengimplementasiannya hingga saat ini.

Helsinki MoU is an agreement between the Government of The Republic of Indonesia and The Free Aceh Movement GAM as the solution of long term conflict in Aceh in peaceful, whole, and sustainable. Implementation of the points of MoU becomes instrument for keeping the long term positive peace in Aceh. The government and the Ex GAM Combatant become important actors in the implementation, because some the MoU points directly target the welfare of Ex GAM Combatants. Using qualitative approach, this undergraduate thesis will explain how implementation of Helsinki MoU repairs the welfare of Ex GAM Combatants post conflict. This undergraduate thesis uses a welfare criminology approach that is supported by Richard Quinney's peacemaking criminology to analyze how far the implementation of Helsinki MoU takes role as the keeper of peace in Aceh, and as an indicator to measure the Government's seriousness in fulfilling social welfare for Ex GAM combatants, and to explain the problems in implementating the MoU until now."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>