Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97691 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Runtukahu, Maradona
"Dalam upaya mencapai perdamaian di Kamboja, maka diperlukan upaya penyelesaian melalui mediasi pihak ketiga. Dalam proses panjang menuju perdamaian tersebut, peranan Indonesia sangat jelas terasa dan terlihat melalui keterlibatan para diplomatnya seperti Menlu Mochtar Kusumaatmadja dan Ali Alatas yang memegang peranan vital dalam setiap langkah mediasi yang ditempuh demi tercapainya perdamaian. Tesis ini mencoba untuk meneliti bagaimanakah peran Indonesia dalam proses penyelesaian konflik Kamboja selama periode tahun 1984 hingga tercapainya Kesepakatan Paris 1991 yang menandai berakhirnya konflik Kamboja. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dan akan menggunakan teori mediasi untuk menganalisa peranan Indonesia.

In an attempt to seek peace in Cambodia, it requires the mediation of a third party. Throughout the long process, the role of Indonesia is clearly shown through the involvement of its Diplomats namely Foreign Ministers Mochtar Kusumaatmadja and Ali Alatas who played a crucial part within every step of mediation. This thesis will aim in the research of how Indonesia played its prominent role in the peace settlement of Cambodian conflict during the periods of 1984 until the attainment of the Agreements on a Comprehensive Political Settlement of the Cambodian Conflict in 1991 that marks the end of the conflict in Cambodia. This thesis is a descriptive research and will use the theory of mediation to analyse the Indonesian?s role."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T26231
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Muslim E.
Jakarta: Network For South-east Asian Studies, 1990
320.9596 HAR k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tubagus Arie Rukmantara
"Setelah kemerdekaan dicapai oleh Indonesia, selain konsolidasi politik dalam negeri, reorientasi kebijakan luar negeri juga menjadi salah satu fokus utama. Hubungan awal Indonesia-Kamboja sudah terjadi sejak masa pra-Angkor saat Raja Jayawannan II tercatat pemah datang ke Jawa meskipun statusnya ketika datang ke Jawa masih menjadi debat diantara pars arkeolog dan sejarawan. Hubungan diplomatik dengan Kamboja jugs diresmikan pads saat pemerintahan Sukarno. Kebijakan Sukarno, baik yang berupa penjalinan hubungan dengan Kamboja maupun menjadi negara yang dominan di Asia Tenggara dilanjutkan oleh penerusnya, Presiden Suharto. Bukti dari berlanjutnya kebijakan Sukarno di era pemerintahan Presiden Suharto untuk tetap mendekatkan diri dengan Kamboja, ditunjukkan oleh Presiden Suharto dengan menjadikan Kamboja sebagai negara Asia Tenggara yang pertama dikunjunginya setelah dia menjabat sebagai Presiden. Maka dan itu, Indonesia menjadi sangat berkepentingan ketika terjadi pergantian kekuasaan dari Pangeran Sihanouk ke Jenderal Lon Nol lewat sebuah kudeta yang didominasi oleh militer di tahun 1970. Beberapa sarjana mempercayai bawwa kudeta ini diinspirasikan oleh peristiwa G 30 S di Indonesia yang dianggap kemenangan militer terhadap komunis. Indonesia tetap menjalin hubungan diplomatiknya dengan langsung mengakui pemerintahan Lon Nol dan tidak mengakui pemerintahan pengasingan Pangeran Sihanouk dengan alasan bahwa Indonesia hanya akan mengakui pemerintahan yang didirikan di ibukota negara yang bersangkutan dan tidak akan pernah mengakui pemerintahan pengasingan. Namun pengakuan terhadap pemerintahan Lon Nol dianggap tidak cukup untuk menjamin stabilitas dan perdamaian di Kamboja. Berdasarkan pemikiran tersebut, pemerintah Indonesia lewat Menlu Adam Malik mengadakan konferensi intemasional yang membahas penyelesaian masalah Kamboja di tahun 1970 yang dikenal dengan Konferensi Jakarta Saat terjadi lagi pergantian pemerintahan dari Lon Nol ke rezim Khmer Merah yang dipimpin oleh Polpot, Indonesia tetap melanjutkan hubungan diplomatiknya dengan pemerintahan di Pnom Penh. Menurut beberapa saijana kudeta yang dilakukan Khmer Merah juga diinspirasikan dari peristiwa G 30 S yang ditafsirkan oleh Pol Pot sebagai duduknya dominasi militer sebagai penguasa di Indonesia. Sejak awal, keinginan pemerintah Indonesia ialah terbentuknya Kamboja yang non-blok, netral, dan independen tanpa intervensi kekuatan luar manapun. Pandangan tersebutlah yang dijalankan oleh pengganti Adam Malik, Prof Dr. Mochtar Kusumaatmadja. Menlu Mochtar memberikan respon yang cepat lewat jalur ASEAN saat terjadinya perebutan kekuasaan dan Khmer Merah ke kelompok PRK (People's Republic of Kampuchea). Perebutan kekuasaan yang dibantu oleh Vietnam tersebut dipandang oleh ASEAN sebagai invasi Vietnam terhadap Kamboja. Negara-negara anggota ASEAN juga terpecah dalam pandangan berbeda tentang siapa pihak yang dianggap paling berbahaya dalam kemelut di Kamboja tersebut. Namun perbedaan pandangan tersebut tidak sampai memecah ASEAN secara organisasi. ASEAN bahkan tetap berjuang bersama di sidang-sidang PBB untuk membahas penyelesaian masalah Kamboja secepatnya dan meminta perhatian internasional terhadap masalah tersebut. Berkat perjuangan diplomatik terus-menerus dan pencarian dukungan kepada negara-negara anggota PBB lainnya, ASEAN berhasil mendorong dilahirkannya resolusi tentang pelaksanaan International Conference on Kampuchea yang dilaksanakan di New York pada tahun 1981. Usaha-usaha lewat ICK ternyata kurang membawa dampak pada sikap Vietnam, oleh karena itu ASEAN menempuh strategi diplomatik yang lain dengan mendukung pembentukan koalisi antara kelompok-kelompok anti PRK-Vietnam yang terdiri dari Funcinpec, KPNLF, dan Khmer Merah. Pembentukan Coalition Government of Democratic Kampuchea tersebut bahkan mengambil tempat di negara-negara ASEAN. Dukungan ASEAN berkembang menjadi dukungan internasional saat ASEAN berhasil memperjuangkan sebuah resolusi yang mengakui CGDK sebagai perwakilan dari Kamboja di PBB. Berdasarkan kekhawatiran bahwa Kamboja tetap akan dikuasai Vietnam, diplomat-diplomat ASEAN merumuskan kembali berbagai strategi diplomatik dalam bentuk beberapa proposal perdamaian. Malaysia menggjukan proposal Proximity Talks yang akan mempertemukan negara-negara Indocina dengan negara-negara ASEAN. Namun proposal ini ditolak karena ketidaksetujuan anggota ASEAN yang dekat dengan Cina, Thailand dan Singapura. Pada saat yang berdamaan, Indonesia menjalankan kebijakan dual track diplomacy yang berarti mendekatkan diri ke Vietnam dan sekaligus memperjuangkan proposal-proposal yang disetujui ASEAN. Di pertengahan dekade 1980-an, Menlu Mochtar melontarkan ide diselenggarakannya sebuah cocktail party untuk memudahkan semua pihak yang bertikai untuk membicarakan masa depan Kamboja secara informal tanpa label politik apapun. Sebagai kelanjutan dari perwujudan ide tersebut, Menlu Mochtar ditunjuk oleh ASEAN sebagai interlocutor dalam mengadakan negosiasi dengan Vietnam . Berbagai pertemuan dan pembicaraan dilakukan Menlu Mochtar dalam menjalankan fungsinya tersebut. Dalam kunjungannya ke Vietnam, Menlu Mochtar dan Menlu Nguyen CO Thach akhimya melahirkan kesepakatan yang disebut Ho Chi Minh City Understanding yang menjadi landasan dasar dari pelaksanaan cocktail party yang kemudian disebut JIM (Jakarta Informal Meeting). Bagi kepentingan nasional, keberhasilan peran Indonesia ini merupakan implementasi dari kebijakan bebas-aktif yang juga menegaskan bahwa sikap non-interference (tidak campur tangan) bukan berarti non-involvement (tidak turut serta). Keberhasilan Indonesia ini membawa Indonesia sebagai kekuatan yang dominan di Asia Tenggara sesuai dengan keinginan baik Sukarno maupun Suharto. Dominasi Indonesia di Asia Tenggara kemudian didukung dengan terciptanya stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara yang memperlancar proses pembangunan di tiap-tiap negara Asia Tenggara dan jauh dari campur tangan kekuatan asing di luar kawasan. Bagi ASEAN hal tersebut merupakan keberhasilan penerapan konsep ZOPFAN sekaligus memperlihatkan bahwa organisasi ini lebih mengutamakan kerukunan diatas perbedaan pendapat yang kemungkinan dapat memecah para anggotanya. Indonesia sebagai salah satu pendiri dan penggagas ASEAN merasakan dampak yang sangat positif dari keberhasilan diplomasi tersebut. Indonesia kembali berhasil menempatkan dirinya sebagai salah satu negara terpandang di dunia intemasional bukan dengan politik mercusuarnya dan keberpihakan terhadap blok tertentu, namun dengan upaya menyelesaikan masalah di kawasan oleh negara-negara di kawasan itu sendiri. Keberhasilan terbesar Indonesia ialah mengangkat masalah Kamboja menjadi agenda internasional yang harus dipecahkan oleh seluruh masyarakat dunia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S12596
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mastenbroek, W.F.G.
Jakarta: UI-Press, 1986
303.6 MAS p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Sangatlah perlu untuk dicatat bahwa sekalipun tampak adanya keterlibatan 'kekuatan terselubung politik Islam' dalam serangkaian kekerasan yang berkaitan dengan faktor agama di Indonesia, tidaklah cukup kiranya untuk mengabaikan betaoa pentingnya variabel internasional. Dalam hubungannya dengan negara-negara dunia ketiga kita telah menyaksikan bagaimana sekuensi politik sebuah negara seringkali terpengaruh oleh tindakan-tindakan negara-negara besar di dunia. Sebagai akibatnya, input sistematik semacam ini seringkali meningkatkan kondisi instabilitas internal sebuah negara dunia ketiga. Jelas bahwa kedua proses tersebut baik yang domestik maupun interaksi internasional saling berpengaruh untuk turut menciptakan sebuah lingkaran setan ketidak amanan."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Artikel ini memberikan peta tantangan yang dihadapi Amerika Serikat untuk mencari cara yang efektif dalam menyelenggarakan dialog global tentang peradaban dunia dan sekaligus pula menggambarkan kesempatan yang terbuka bag Indonesia dalam memainkan peranan meng 'engage' Amerika Serikat agar lebih menerima perbedaan-perbedaan yang ada di tingkat global seraya mempertahankan komitmen mereka terhadap upaya penanggulangan kemiskinan, wabah penyakit, dan secara aktif mendukung prinsip-prinsip yang berkenaan dengan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Madiation as one of conflict resolution tool needs neutrality as its prerequisite. Neutrality is needed to guarantee that the third party does not have any vested or national interest. Vested or national interest of the third party will affect the mediation and the negotiation will not reach the best result for each parties. In this case neutrality cannot be fulfilled by United Nation in Morocco-Western Sahara negosiation and this is become stalemate in resolving conflict between Moroco and Western Sahara. This paper will examine why UN cannot play as neutral mediator in this negotiation."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Langit Kresna Hariadi, 1959-
Solo: Tiga Serangkai, 2006
899.222 3 LAN g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>