Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200239 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Herman
"Perkembangan perdebatan sistem kepartaian di Indonesia, adalah antara yang ingin mempertahankan sistem multipartai banyak partai saat ini dengan pihak yang ingin memiliki jumlah partai politik (parpol) yang lebih sederhana. Ini adalah perdebatan lama, sejak pendirian Republik Indonesia antara Presiden Soekarno yang menginginkan sistem partai tunggal dengan Wapres Bung Hatta yang ingin sistem banyak partai dengan mengeluarkan Maklumat No.X Tahun 1945. Akan tetapi pertanyaan yang paling mendasar adalah bagaimana bentuk sistem kepartaian di Indonesia saat ini, apakah sistem kepartaian saat ini sudah benar dan efektif, bagaimana derajat keterbelahannya (fragmentasi). Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut dengan menganalisis pengukuran sistem kepartaian yang efektif. Perspektif teori yang digunakan adalah model Laakso-Taagepera (1979) dan Indeks Rae (1970) beserta klasifikasi model Coppedge (1999), Duverger (1954) dan Sartori (1976).
Tujuan penelitian ini adalah berusaha mengetahui sistem kepartaian yang lebih menjamin efektivitas kepartaian, sehingga tidak terperangkap pada jumlah parpol yang hanya bersifat formal legal atau aspek jumlah (numerologi) riil parpol yang ada. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan meneliti hasil pemilu pada tahun 1999 dan pada tahun 2004. Penelitian ini menemukan : (1) berdasarakan hasil pemilu 1999 bercorak multipartai moderat (nilai ENPP 4.72) dan derajat fragmentasi 0.79, sedangkan berdasarkan hasil pemilu 2004 berubah menjadi multipartai ekstrim (ENPP 7.07) dengan fragmentasi makin buruk menjadi 0,86. (2) terjadi paradoks, walaupun jumlah parpol menurun dari 48 parpol di 1999 menjadi 24 parpol di 2004 namun jumlah partai yang efektif naik dari sistem lima parpol di 1999 menjadi sistem tujuh parpol di 2004. (3) bahwa sedikit atau banyaknya jumlah partai, belum merupakan indikator baik buruknya suatu sistem kepartaian, yang terlebih penting berapa jumlah partai yang efektif dan seberapa luas derajat fragmentasinya. (4) semakin efektifnya suatu sistem kepartaian akan menunjang penerapan sistem presidensial dan semakin memperkokoh ketahanan nasional dan semakin rendah fragmentasinya maka semakin rendah potensi ancaman terhadap ketahanan nasional, model pengukuran tersebut dapat berperan sebagai sistem peringatan dini dalam mengatasi AGHT dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif, stabil dan demokratis

The debate on Party Systems has become classic as has long been argued since the formation of The Republic of Indonesia in 1945. The former President Soekarno favoured Single Party System, whereby Vice Prsident Moh Hatta more inclined towards Multyparty Systems. The current debate is still between those favour multyparty systems and those favour simple party systems. But the fundamental questions that should be asked, regardless of the number of party, what is the current party systems in Indonesia, what is the real systems that is appropriate and needed by the Indonesian democracy and what is the degree of fragmentation of the current systems. Effective party systems that work well can serve multi functions in democracies.
This research attempts to examine aspect of the party systems and to provide the appropriate answers. For that purpose the theoretical approach was implementing the Laakso-Taagepera Model and Rae Index. This model has become the most well known used among researchers to measure party systems or to specify the ?effective? number of political parties in a party systems where parties vary substantially in their vote and/or seat shares This research applying quantitative methods and purposively research the results of the 1999 general election and the 2004 general election in Indonesia. This research revealed that the party systems after the 1999 election was the moderate multiparty systems with the ENPP value at 4.72 with the degree of fragmentation of 0.79. It was categorized as the five effective-party systems. And the party systems after the 2004 election was the extreme multiparty systems with the ENPP value at 7.07 with the degree of fragmentation of 0.86. It was categorized as the seven effective-party systems. The real number of political parties doesnot related directly with the effectiveness of party systems. The more effective the party systems would contribute to the effective implementation of the presidential systems and to reinforce the national resilience. The model of Laakso-Taagepera and Rae Index could serve or function as an early warning systems to the implementation of the national resilience and toward the development of effective, stable and democratic government."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Herman
"Sistem Kepartaian Di Indonesia Dilihat Dari Model Laakso-Taagepera dan Indeks-Rae dan Kaitannya Dengan Ketahanan Nasional Perkembangan perdebatan sistem kepartaian di Indonesia, adalah antaxa yang ingin mempertahankan sistem multipartai banyak partai saat ini dengan pihak yang ingin memiliki jumlah partai politik (parpol) yang lebih sederhana. Ini adalah perdebatan lama, sejak pendirian Republik Indonesia antara Presiden Soekamo yang menginginkan sistem partai tunggal dengan Wapres Bung Hatta yang ingin sistem banyak partai dcngan mcngcluarkan Maklumat No.X Tahun 1945. Akan tetapi pertanyaan yang paling mendasar adalah bagaimana bentuk sistem kepartaian di Indonesia saat ini, apakah sistcm kepartaian saat ini sudah benar dan efektif, bagaimana derajat keterbelahannya (iiagmentasi). Penelitian ini benxsaha menjawab pertanyaan tersebut dengan menganalisis pengukuran sistem kepartaian yang efektiti Perspektif teozi yang digunakan adalah model Laakso-Taagepera (1979) dan Indeks Rae (1970) beserta klasinkasi model Coppedge (1999), Duverger (1954) dan Sartori (1976). Tujuan penelitian ini adalah berusaha mengetahui sistem kepartaian yang lebih menjarnin efelctivitas kepartaian, sehingga tidak terperangkap pada jumlah parpol yang hanya bersifat formal legal atau aspekjum1ah(numerologi) riil pm-pol yang ada. Mctode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan meneliti hasil pemilu pada tahun 1999 dan pada tahun 2004. Penelitian ini menemukan : (1) berdasarakan hasil pemilu 1999 bercorak multipartai moderat (nilai ENPP 4.72) dan derajat fragmentasi 0.79, sedangkan berdasarkan hasil pemilu 2004 berubah menjadi multipartai eksuim (ENPP 7.07) dengan Ragmentasi makin burulc menjadi 0,86. (2) teljadi paradoks, walaupun jumlah parpol menurun dari 48 parpol di 1999 menjadi 24 parpol di 2004 namun jumlah partai yang efektif naik dari sistem lima parpol di 1999 menjadi sistem tujuh parpol di 2004. (3) bahwa sedikit atau banyaknya jumlah partai, belum rnerupakan indikator baik buruknya suatu sistem kepartaian, yang terlebih penting berapa jumlah partai yang efektif dan seberapa luas derajat Ragrnentasinya. (4) semaldn efektifnya suatu sistem kepanaian akan menunjang penerapan sistem presidensial dan semakin memperkokoh ketahanan nasional dan semakin rendah fragmentasinya maka semakin rendah potensi ancaman terhadap ketahanan nasional, model pengukuran tersebut dapat berperan sebagai sistem peringatan dini dalam mengatasi AGHT dalam mewujudkan pemcrintahan yang efelc1if§ stabil dan demokratis.

The debate on Party Systems has become classic as has long been argued since the formation of The Republic of Indonesia in 1945. The former President Soekamo favoured Single Party System, whereby Vice Prsident Moh Hatta more inclined towards Multyparty Systems. The current debate is still between those favour multyparty systems and those favour simple party systems. But the fundamental questions that should be asked, regardless of the number of party, what is the current party systems in Indonesia, what is the real systems that is appropriate and needed by the Indonesian democracy and what is the degree of fragmentation of the current systems. Effective party systems that work well can serve multi functions in democracies. This research attempts to examine aspect of the party systems and to provide the appropriate answers. For that purpose the theoretical approach was implementing the Laakso-Taagepera Model and Rae Index. This model has become the most well known used among researchers to measure party systems or to specify the ‘effective’ number of political parties in a party systems where parties vary substantially in their vote and/or seat shares. This research applying quantitative methods and purposively research the results of the 1999 general election and the 2004 general election in Indonesia This research revealed that the party systems alter the 1999 election was the moderate multiparty systems with the ENPP value at 4.72 with the degree of fragmentation of 0.79. It was categorized as the five effective-party systems. And the party systems after the 2004 election was the extreme multiparty systems with the ENPP value at 7.07 with the degree of fiagmentation of 0.86. It was categorized as the seven effective-party systems. The real number of political parties doesnot related directly with the effectiveness of party systems. The more effective the party systems would contribute to the effective implementation of the presidential systems and to reinforce the national resilience. The model of Laakso-Taagepera and Rae Index could serve or function as an early warning systems to the implementation of the national resilience and toward the development of effective, stable and democratic government."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T33896
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rusdi
"ABSTRAK
Latar belakang berdirinya Partai Sosialis Indonesia (PSI) karena perbedaan kebijakan politik di dalam Partai Sosialis (PS) antara kelompok Amir Sjarifuddin yang lebih cenderung memihak blok komunis dengan kelompok Sutan Sjahrir yang menentang politik memihak tersebut. Sosialisme PSI disebut juga dengan sosialisme kerakyatan. Masyarakat yang dicita-citakan oleh PSI adalah masyarakat Sosialis, yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Sejak mulai berdirinya bentuk organisasi PSI adalah partai kader, akan tetapi karena kebutuhan untuk pemilihan umum sifat partai kader PSI makin lama makin bergeser ke arah partai massa. Namun demikian PSI tetap mengalami kekalahan dalam pemilihan umum 1955. Penyebab utama kekalahan partai PSI dalam pemilihan umum karena kelemahan partainya sebagai partai kader, penyebab lain karena terjadinya kecurangan-kecurangan dalam proses pemilihan umum oleh partai-partai yang berkuasa.
Peranan kepolitikan PSI selama masa revolusi sampai pemilihan mumun pertama (1948-1955) dapat dilihat di pemerintahan dan di Lembaga Perwakilan Rakyat. Di pemerintahan PSI mewakili dalam empat Kabinet dari enam Kabinet yang pernah terbentuk pada masa itu. Di Lembaga Perwakilan Rakyat, mulai dari KNIP sampai DPRS PSI menjadi partai terkemuka, jumlah kursinya dalam lembaga tersebut menduduki posisi ketiga di bawwh POI dan Masyumi. Peranan kepolitikan PSI yang lebih konkret terlibat dari sikap PSI terhadap perundingan-perundingan yang dilangsungkan antara Indonesia-Belanda, seperti terhadap Persetujuan Renville, Pernyataan Roem-Royen, dan Konperensi Meja Bundar. Mengenai tuduhan PKI terhadap PSI yang menyatakan bahwa PSI terlibat dalam Peristiwa 17 Oktober 1952, tidak diketemukan bukti-bukti yang kuat tentang tuduhan tersebut. Oleh karena itu tuduhan tersebut tidak lain hanyalah strategi PKI untuk memojokkan PSI dalam percaturan kepolitikan nasional. Peranan politik PSI pada periode {1948-1955) selain di tingkat nasional juga di daerah-daerah. Peranan tewreebut dapat dilihat dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh cabang-cabang PSI di daerah-daerah di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah-daerah lainnya.
Peranan kepolitikan PSI pasta pemilihan umum (1955-1960) dapat dilihat dari perjuangannya di DPR dan di Konstituante. Selain itu peran politik PSI yang tidak kalah pentingnya adalah peranan politik luar negeri yang dimainkannya, karena kebijakan politik luar negeri PSI pada dasarnya juga mencerminkan kebijakan politik luar negeri Pemerintah dan bangsa Indonesia. Peristiwa PRRIPermesta di awal tahun 1958 telah mempercepat berakhirnya peran kepolitikan PSI. Pembubaran PSI oleh Pemerintah tahun 1960 dihubungkan dengan keterlibatan beberapa pemimpin PSI dalam peristiwa PRRI-Permesta tersebut. Akan tetapi penyebab utama dibubarkannya PSI karena partai PSI selalu mengkririk dengan keras konsepsi Presiden dengan sistem Demokrasi Terpimpinnya. Setelah PSI dibubarkan, PSI masih memperlihatkan peranan kepolitikannya dengan membentuk Liga Demokrasi bersamasama dengan partai-partai politik lainnya. Para tokoh-tokoh PSI bersama-sama dengan politisi partai lainnya dalam Liga Demokrasi memperjuangkan dan menyuarakan tuntutan demokrasi terhadap Pemerintah. Liga demokrasi pun dibubarkan oleh Pemerintah karena dianggap bertentangan dengan sistem Demokrasi Terpimpin. Dengan berakhirnya Liga Demokrasi maka berakhir pulalah peranan kepolitikan PSI di pentas kepolitikan nasional karena tidak mempunyai wadah lagi.
PSI ternyata tidak hanya dibubarkan,, tetapi para pemimpinnyapun ditahan dan dlasingkan oleh penguasa pada awal athun 1962. Penahanan dan pengasingan para pemimpin PSI dihubungan dengan tuduhan mengadakan rapat rahasia di Bali yang bertujuan untuk menggulingkan Pemerintah, dan tuduhan terlibat dalam usaha percobaan pembunuhan Presiden Soekarno di Ujung Pandang. Akan tetapi semua tuduhan tersebut harsyalah skenario yang dibuat oleh PKI untuk melenyaikan pengaruh PSI dalam kehidupan politik Indonesia, karena setelah diadakan pemeriksaan tuduhan tersebut tidak terbukti kebenarannya.
Selama memainkan peranan kepolitikannya, hubungan PSI dengan partai-partai lainnya seperti dengan PNI, Masjumi, NU, dan partai-partai lainnya cukup baik. Kendatipun pada masa-masa tertentu dan pada masalah-masalah tertentu terjadi perbedaan pandangan antara PSI dengan partai-partai tersebut, namun masih dalam taraf yang wajar dan tidak sampai menimbulkan konflik seperti yang terjadi antara PSI dengan PHI. Suatu kesimpulan yang dapat ditarik dari tesis ini adalah bahwa PSI telah memainkan peranan kepolitikannya yang cukup penting dan berarti di pentas percaturan kepolitikan nasional selama periode 1048-1960. Dalam memainkan peran kepolitikannya itu terjadi konfllk antara PSI dengan PKI, dan PKI berhasil mendekati dan mempengaruhi Presiden Soekarno. Nampaknya Presiden Soekarno terlalu percaya pada fitnahan yang dilakukan oleh PKI terhadap PSI, dan selanjutnya PKI dan Presiden Soekarno berhasil menyingkirkan PSI dari percaturan kepolitikan nasional.
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risyah Aprimayanti
"Party Switching atau perpindahan partai politik yang dilakukan oleh politisi dipicu oleh keinginan politisi untuk mengejar ambisi politiknya di dalam konteks sistem kepartaian yang ada. Dampak dari fenomena ini akan memengaruhi institusi partai politik dengan terjadinya perpecahan, pengabungan, hingga pembentukan partai politik baru. Partai NasDem menorehkan hasil yang baik dalam Pemilu 2019, di antaranya karena adanya kandidat petahana yang berpindah dari partai politik lain ke NasDem. Tesis ini meneliti dan menganalisis fenomena party switching di Partai NasDem pada Pemilu 2019. Teori Sistem Insentif (Incentive System Theory) dari Alan Ware, dan teori four-stage model dari Heller dan Mershon digunakan untuk memahami bagaimana party switching terjadi. Penelitian ini menggunakan pendekatan metode kualitatif dengan teknik wawancara mendalam. Melalui teori sistem insentif, peneliti berusaha melihat alasan seorang politisi (caleg petahana) melakukan pindah partai politik menjelang pemilu, dan menjadikan Partai NasDem sebagai tujuan perpindahah tersebut. Peneliti melihat bahwa terdapat tiga insentif utama, yakni: material; solidaritas; dan tujuan, yang menjadi penggerak utama bagi politisi melakukan party switching. Perhitungan insentif ini bekerja dalam mekanisme outswitch (faktor internal) dan inswitch (faktor penarik), baik dari segi kondisi internal partai yang ditinggalkan maupun kondisi internal partai tujuan.

Party Switching or the movement of political parties carried out by politicians is triggered by the desire of politicians to pursue their political ambitions within the context of the existing party system. The impact of this phenomenon will affect the institutions of political parties with the occurrence of divisions, mergers, and the formation of new political parties. The NasDem Party made good results in the 2019 Election, partly because of the incumbent candidate who switched from another political party to NasDem. This thesis examines and analyzes the phenomenon of party switching in the NasDem Party in the 2019 Election. Incentive System Theory from Alan Ware and the four-stage model theory from Heller and Mershon are used to understand how party switching occurs. This study uses a qualitative method approach with in-depth interview techniques. Through the theory of the incentive system, the researcher tries to see the reasons for a politician (incumbent candidate) to switch political parties before the election, and make the NasDem Party as the destination of the move. The researcher see that there are three main incentives, namely: material; solidarity; and goals, which are the main drivers for politicians to do party switching. This incentive calculation works in an outswitch (internal factor) and inswitch (pull factor) mechanism, both in terms of the internal conditions of the left party and the internal conditions of the destination party."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Masykur Musa
"SISTEM Kepartaian dan Sistem Pemilihan Umum suatu negara harus berkaitan dengan Sistem Pemerintahannya. Indonesia, sebagaimana yang di design pada UUD NRI Tahun 1945 mempraktikkan Sistem Presidensial dalam hubungan antar-lembaga negara dan menjalankan program pembangunan. Perkuatan Sistem Presidensial hanya akan kokoh jika sistem kepartaiannya tercermin dengan The Simple Multy Party System, dan sistem pemilunya menggunakan Sistem Proporsional. Hubungan dinamis ketiga sistem tersebut akan menentukan keberlangsungan arah pembangunan demokrasi Indonesia sesuai dengan konstitusinya. Sistem Kepartian tersebut harus terlihat pada pengetatan partai peserta pemilu, membangun etika dan moral, serta kaderisasi yang berbasis ideologi partai. Sistem pemilu yang baik harus menjawab pada the degree of competitiveness ,the degree of reprentativeness, dan the degree of qualitativeness. Ketiga derajat kualitatif tersebut harus terjawab pada proses, personalia dan komitmen membangun bangsa dan negara sebagaimana yang di atur dalam UUD NRI Tahun 1945."
Jakarta: Lembaga Pangkajian MPR RI, 2017
342 JKTN 005 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"The republic of Indonesia Constitution Year of 1945 has guaranteed democratically the relation between state and civil society. State is conducted by the politicians as a result of election and sovereignty...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Shirley Doornik
"Dengan bergantinya sistem politik, maka jumlah partai di Indonesia pun semakin menjamur. Tidak disangkal secara nasional Indonesia mengalami krisis kepemimpinan yang cukup akut, yang pada gilirannya mempengaruhi kepemimpinan di dalam partai itu sendiri.
Untuk itu penelitian ini mencoba untuk menjawab seberapa besar keterkaitan kepemimpinan terhadap proses pengambilan keputusan dan seberapa besar keterkaitan kemajemukan di dalam partai itu terhadap proses pengambilan keputusan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengerti lebih jauh keterkaitan kesemuanya itu dengan proses pengambilan keputusan.
Masalah kepemimpinan dikupas oleh White dan Lippitt yang membagi tipe-tipe kepemimpinan sebagai berikut: autocratic leadership, yang kepemimpinan yang cenderung menyelesaikan seluruh masalah secara sendiri; democratic leadership, yang mengambil keputusan melalui proses diskusi kelompok dan laissez-faire, dimana pemimpinnya cenderung untuk menghindar dari tanggung jawabnya.
Penelitian ini memakai metode deskriptif, dimana yang menjadi objek penelitiannya adalah DPP PDI Perjuangan. Dari hasil penelitian didapat keterangan bahwa ada keterkaitan antara tipe kepemimpinan yang otokratik dengan kecenderungan pengambilan keputusan secara otokratik juga. Di samping itu ada keterkaitan antara kemajemukan anggota DPP dengan proses pengambilan keputusan. Dimana keterkaitan itu melahirkan kecenderungan keputusan yang mengabaikan aspirasi lembaga lain, tetapi ada kesempatan dimana proses aktualisasi diri terjadi.
Dari penelitian ini diharapkan PDT Perjuangan khususnya DPP mampu untuk merubah tipe kepemimpinan agar kontroversi seputar keputusan DPP dapat diredam. Hal ini juga nantinya akan berdampak pada image partai sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T1302
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Ary Savitri
"Konflik internal dalam partai politik sesungguhnya tidak banyak terjadi pada masa Orde Baru, akan tetapi ketika Orde Baru runtuh kemudian muncul yang dinamakan sistem multi partai maka konflik internal dalam tubuh partai-partai politik di Indonesia mulai banyak terjadi. Konflik internal dalam partai politik paling banyak dialami oleh partai-partai politik Islam, salah satunya adalah PPP. PPP adalah partai politik yang telah ada sejak jaman Orde Baru, dan hingga kini masih tetap eksis. Selanjutnya adalah bagaimana konflik internal PPP digambarkan dalam suatu surat kabar. Ketika suatu surat kabar menonjolkan mengenai seorang tokoh atau suatu isu, maka dapat dikatakan bahwa tokoh atau isu tersebut adalah sesuatu yang dianggap penting oleh surat kabar tersebut, yang pada gilirannya para pembaca surat kabar tersebut juga dapat memiliki anggapan yang lama mengenai hal tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis isi. Analisis isi adalah suatu penelitian yang sifatnya membahas secara mendalam isi suatu infonnasi yang tertulis atau tercetak dalam media massa, khususnya surat kabar. Karena sifat dan analisis isi adalah pembahasan secara mendalam maka, akan kurang makna interpretasinya apabila tidak dikaitkan dengan situasi lingkungan pada saat terjadinya suatu peristiwa atau dengan kata lain sumber analisisnya tidak hanya berdasarkan apa yang tertulis atau tercetak dalam surat kabar tetapi juga dikaitkan dengan kondisi pada saat peristiwa terjadi yang pada akhirnya dapat mempengaruhi pemberitaan dan apa yang tersirat di dalamnya.
Penelitian ini dilakukan terhadap 3 surat kabar, yaitu surat kabar Kompas, Media Indonesia, dan Republika. Dengan waktu penelitian selama 4 bulan, yaitu selama bulan Oktober 2001 sampai dengan bulan Januari 2002 (tepatnya 16 Oktober 2001 sampai dengan 21 Januari 2002).
Dari penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut; surat kabar Kompas selama periode penelitian menampilkan berita yang relevan dengan konflik internal PPP sebanyak 17 berita (yang terdiri dari liputan berita, artikel dan tajuk), surat kabar Media Indonesia menampilkan 22 berita (yang terdiri dan liputan berita dan artikel), sedangkan surat kabar Republika menampilkan 22 berita yang relevan dengan konflik internal PPP (yang terdiri dari liputan berita dan tajuk).
Dari ketiga surat kabar yang ada, surat kabar Republika adalah surat kabar yang paling banyak menampilkan berita yang relevan dengan konflik internal PPP. Hal ini disebabkan karena surat kabar Republika adalah surat kabar yang memiliki latar belakang berbasis Islam dan surat kabar yang banyak menyuarakan aspirasi Islam.
Umumnya ketiga surat kabar yang ada sangat berhati-hati dan mencoba netral ketika membahas mengenai seorang tokoh atau mengenai suatu isu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12457
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanto Supriyatno
"Pemilihan umum merupakan suatu keikutsertaan rakyat di dalam memilih anggota Badan Perwakilan Rakyat yang akan menjadi wakil mereka untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Oleh karena itu keikutsertaan rakyat dalam Pemilu selain berfungsi sebagai salah satu bentuk partisipasi rakyat juga berfungsi sebagai implementasi kekuasaan yang sah dari rakyat.
Pemilihan pada satu Organisasi Peserta Pemilu terbentuk oleh suatu proses sosialisasi yang memakan waktu cukup panjang sehingga keyakinan untuk memilih salah satu partai bisa sepanjang masa atau berubah tergantung sejauhmana proses sosialisasi itu dilakukan. Memudar dan menguatnya keyakinan pemilih padfa suatu partai berpengaruh terhadap dukungan suaru yang diperoleh OPP pada pelaksanaan Pemilu.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai beberapa faktor penyebab kemenangan PDI-P pada Pemilu 1999 di Kota Bekasi. Pertanyaan tesis adalah ; Bagaimana terjadinya penegakan kepercayaan masyarakat terhadap PDI-P sehingga mempengaruhi kemenangan pada Pemilu 1999 di Kota Bekasi?. Variabel dalam penelitian ini adalah variabel penyebab yaitu faktor identifkasi partai, faktor mitos, faktor tradisi, faktor program partai, faktor calon dan faktor kepemimpinan politik. Sedangkan variabel terpengaruh adalah kemenangan PDI-P pada Pemilu 1999 di Kota Bekasi.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori mengenai Sosiologi Politlk, Sosialisasi Politik dan Partisipasi Politik. Guna menjawab pertanyaan penelitian tersebut dilakukan melaiui wawancara mendalam dengan berbagai pihak yang dipandang mengetahui persoalan tersebut. Penetapan responden ditentukan melalui teknik purposive sampling dan Jens peneltian ini bersifat kualitatif.
Kesimpulan yang diperoleh: Beberapa Faktor penyebab kemenangan PDI-P dalam Pemilu 1999 adalah faktor identifikasi partai yang didasarkan pada catatan tradisi/adat merupakan salah satu yang menjadi penyebab kemengan PD1-P pada Pemilu 1999. Faktor lainnya adalah faktor calon yang ditawarkan terutama yang didasarkan pada kharisma dan popularitas calon juga menjadi penyebab kemenangan PDI-P dan yang juga faktor program penegakan hukum, faktor mitos, faktor tradisi dan kepemimpinan politik."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12316
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>