Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 65965 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zakaria Ramadhan
"Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa kepulihan kedua subyek dari gangguan skizofrenia ditandai dengan hilangnya atau berkurangnya intensitas kemunculan gejala-gejala utama gangguan skizofrenia yang dialami sebelumnya, munculnya pemahaman terhadap gangguan skizofrenia yang dialami, munculnya penghargaan terhadap aktivitas kerja sehari-hari, dan munculnya kepuasan dari relasi yang dijalin dengan lingkungan. Pada subyek kedua (Tyas) juga ditandai dengan munculnya kesadaran akan perawatan diri. Penghayatan kedua subyek terhadap pengalaman kepulihan tersebut membuat keduanya merasakan hidup yang lebih berarti dan memiliki tujuan, merasakan adanya keberdayaan diri, serta merasa lebih memahami dirinya sendiri. Sehingga keduanya pun menunjukkan kepatuhan terhadap pengobatan yang dijalani. Kedua subyek juga merasa telah pulih. Namun, subyek pertama merasa tidak terlalu puas dengan keadaan dirinya sedangkan subyek kedua merasa cukup puas.
Selain itu, ditemukan juga bahwa faktor-faktor lingkungan memiliki peranan yang cukup besar dalam mendukung kepulihan kedua. Bentuk dukungan yang diberikan oleh lingkungan keluarga subyek pertama adalah penerimaan dan pemahaman akan kondisi subyek. Sedangkan subyek kedua mendapatkan dukungan motivasional, penerimaan, dan pemahaman dari keluarga dan lingkungan tempat kerjanya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepulihan dari gangguan skizofrenia bagi kedua subyek meliputi seluruh aspek diri dalam bentuk perubahan sikap, cara pandang, pikiran, perasaan, dan perubahan cara bertindak. Walaupun penelitian ini belum dapat memberikan gambaran yang relatif utuh mengenai penghayatan terhadap kepulihan dari gangguan skizofrenia, data-data yang didapatkan telah cukup memberikan informasi yang mendalam mengenai penghayatan kedua subyek penelitian.

The results of this case study show that the two subject?s subjectiveexperience of recovery from schizophrenia is characterized by the disappearance or the low-level intensity of appearance of the subject?s primary symptoms of schizophrenia, gain some awareness of schizophrenia, feel appreciate about the day-to-day work activities and gain satisfaction from relationship with the environment. The second subject has also aware of the importance of self-care activities. The two subjects experience the worth and purposive life and also have more understand about them self than before. Those all subjective-experience make them realize about the need of medication. So they choose to comply to have medication now. Both of them believe that they have recovered. But the first subject, contrary to the second subject, is not very satisfied with her own self.
The result of this study also shows that supports from the social environment have an important role to the two subject?s achievement of recovery. The family has giving acceptance and understanding to the first subject. On the one hand, the second subject has motivational support, acceptance, and understanding from her family and her work environment.
The findings of the research show that the two subject?s recovery from schizophrenia involve the entire aspects of self in form of change of attitude, the way of thinking, thoughts, feelings, and change of the way of action. Although can not give a holistic picture about subjective-experience of recovery from schizophrenia, the research has shows quite deep information about the subjective-experience of the two subjects."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Amin
"Skizofrenia merupakan salah satu contoh gangguan jiwa berat dan merupakan bentuk psikosis fungsional paling berat dan menimbulkan disorganisasi personalitas terbesar yang tidak mempunyai kontak dengan realita.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran daerah tempat tinggal terhadap kejadian penyakit skizofrenia pada penderita gangguan jiwa yang dirawat inap di RS.Dr.Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan tahun 2007.
Hasil penelitian menemukan bahwa responden yang tinggal di perkotaan yang menderita penyakit skizofrenia sebanyak 155 orang (82.4%). Berdasarkan hasil analisis multivariat menunjukan bahwa penderita yang tinggal di perkotaan mempunyai resiko 3,22 kali untuk mengalami penyakit skizofrenia dibandingkan dengan yang tinggal di pedesaan, setelah dikontrol dengan tingkat pendidikan, yaitu dengan OR= 3,22 (CI; 1,99 - 5,46 ).

Schizophrenia is one of example of serious mental disorder and the most serious functional psychosis form and cause severest disorganization of personality which does not have any contact to reality.
This study aim to find out the role of residence area for schizophrenia disease to inpatient of mental disorder treated in Dr.Ernaldi Bahar Hospital South Sumatera Province year 2007.
Study result founds that respondent who live in the city area suffering schizophrenia as much as 155 people (82.4%). Based on multivariate analysis, it showed that sufferers who lived in city area have 3,22 times of risks to suffer schizophrenia disease compared with their counterparts in the village, after controlled by education level, with OR = 3,22 (CI; 1,99 - 5,46).
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
T28809
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anggi Aviandri Putra
"Latar Belakang: Dalam sejarahnya, skizofrenia merupakan suatu gangguan mental yang berat dan kompleks, dengan perjalanan penyakit yang kronis dan heterogen. Dengan perjalanan penyakit yang bersifat kronis, orang dengan skizofrenia akan dibayangi oleh kecacatan yang signifikan dan dikhawatirkan tidak dapat mencapai tujuan hidup di sebagian besar domain. Beberapa peneliti dan dokter menyatakan bahwa pemahaman yang ada tentang pemulihan didasarkan pada lingkungan budaya dan sosial-ekonomi 'Barat' dari mana gerakan pemulihan dalam kesehatan mental muncul. Dengan demikian, mungkin tidak dapat ditransfer ke dunia lain yang memiliki latar belakang sosial, budaya dan ekonomi yang sangat berbeda. Di Indonesia terdapat alat ukur penilaian pemulihan bagi orang dengan spektrum skizofrenia yang telah dikembangkan periode tahun 2019-2021 pada tahap uji kesahihan isi. Agar alat ukur dapat digunakan sesuai dengan praktik berbasis bukti, maka perlu dilakukan pengujian lainnya seperti, kesahihan konstruk dan keandalannya. Dengan mengetahui secara lebih mendalam khususnya mengenai kesahihan konstruk dan keandalannya, diharapkan alat ukur Skala Pemulihan Pasien Skizofrenia ini dapat dikembangkan dengan semakin baik dan dapat digunakan dalam pelayanan.
Metode: Penelitian ini merupakan uji kesahihan dan keandalan alat ukur skala pemulihan pasien skizofrenia. Uji kesahihan yang dilakukan uji kesahihan konstruksi melalui analisis faktor eksploratori (EFA) dan analisis faktor konfirmatori (CFA). Untuk uji keandalan dinilai menggunakan konsistensi internal alpha-cronbach.
Hasil: Uji kesahihan konstruksi EFA didapatkan adanya 28 butir pernyataan yang terdiri dari enam dimensi konstruk. Alat ukur terebut dilakukan uji CFA dan didapatkan memiliki goodness of fit yang baik (Chi-Square p-value 0,05329; RMSEA = 0,036; CFI= 0,9577; TLI/NNFI= 0,9523; SRMR= 0,045) dengan nilai loading factor berkisar 0,60-0,91. Nilai reliabilitas sedang dengan alpha-cronbach 0,959.
Simpulan: Alat ukur skala pemulihan pasien skizofrenia sahih dan handal untuk digunakan untuk menilai kondisi pemulihan pada pasien spektrum skizofrenia.

Historically, schizophrenia was a severe and complex mental disorder, with a chronic and heterogeneous disease course. With the chronic course of the disease, people with schizophrenia will be shadowed by significant disabilities and are worried about not being able to achieve life goals in most domains such as interpersonal relationships, performance at work and so far, clinicians have focused more on improving clinical symptoms. Some researchers and clinicians state that the existing understanding of recovery is based on the 'Western' cultural and socio-economic environment from which the recovery movement in mental health emerged. Thus, it may not be transferable to other worlds that have very different social, cultural and economic backgrounds so it may not be suitable for use in other countries due to differences in cultural, social and economic backgrounds. In Indonesia, there is a recovery assessment measuring tool for people with the schizophrenia spectrum which was developed for the 2019-2021 period at the content validity testing stage. This measuring tool is considered different because there are cultural values in Indonesia such as spirituality and religion that can help someone in the recovery process. To ensure the tool's applicability in evidence-based practice, further testing such as construct validity and reliability is necessary. This research focuses on the validation and reliability testing of the schizophrenia patient recovery scale. Construct validity testing, conducted through exploratory factor analysis (EFA) and confirmatory factor analysis (CFA), identified 28 statements comprising six construct dimensions. The measurement tool underwent CFA, showing good goodness of fit (Chi-Square p-value 0.05329; RMSEA = 0.036; CFI= 0.9577; TLI/NNFI= 0.9523; SRMR= 0.045) with loading factor values ranging from 0.60 to 0.91. The reliability value is moderate, with an alpha-Cronbach of 0.959. In conclusion, the Schizophrenia Patient Recovery Scale is both valid and reliable for assessing the recovery status of individuals within the schizophrenia spectrum."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasrah Halim
"Dukungan keluarga dan stigmatisasi menjadi dua isu penting dalam usaha pemulihan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Dukungan keluarga menjadi penentu utama keberhasilan proses pemulihan, sedangkan stigmatisasi menjadi penghambat. Psikoedukasi dapat meningkatkan dukungan keluarga. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh terapi psikoedukasi keluarga terhadap dukungan dan stigmatisasi dalam upaya pemulihan ODGJ. Metode riset kuantitatif dengan desain quasi experimental pre-post test with control group digunakan dalam penelitian ini. Kelompok kontrol dan kelompok intervensi masing-masing terdiri dari 31 pelaku rawat (caregiver) yang mewakili keluarga dengan total 72 pelaku rawat dipilih secara purposive karena memenuhi kriteria sebagai ODGJ yang tercatat di RSJD Abepura, klien termasuk dalam rentang usia 12-60 tahun, klien tinggal di rumah dan memiliki pelaku rawat. Sedangkan kriteria pelaku rawat sebagai responden adalah anggota keluarga inti dan tinggal satu rumah dengan anggota keluarga ODGJ. Analisis data menggunakan independent t-test untuk mengetahui kesetaraan karakteristik keluarga pada kelompok kontrol dan intervensi. Hasil menunjukkan terdapat pengaruh psikoedukasi terhadap peningkatan dukungan dan penurunan stigmatisasi keluarga terhadap ODGJ (value 0.000) dalam upaya pemulihan mereka. Rekomendasi bagi perawat, psikoedukasi keluarga terdapat sesi pelaksanaan manajemen stress, manajemen pelaksanaan dapat dilakukan oleh perawat umum yang mendapat sertifikat; pelaku rawat harus berpartisipasi mencari informasi dan konsultasi kepada petugas kesehatan untuk mengikuti terapi psikoedukasi.

Family support and stigmatization are two opposites in relation to the recovery of ODGJ. Family support become the main determinant of the success of the recovery process, while stigmatization is a barrier. Knowledge and skills about healing ODGJ can be obtained one of them through family psychoeducation. This study aims to determine the effect of family psychoeducation therapy on support and stigmatization in ODGJ recovery efforts. The method used was a quasi experimental pre-post test with control group, 31 people for the intervention group and 31 people for the control group. The client criterion is ODGJ recorded in Abepura General Hospital, clients are in the age range of 12-60 years, the client lives at home and has a caregiver, while the respondent criteria are nuclear family members, living in one house with ODGJ family members. Data analysis used independent t-test to determine the equality of family characteristics in the control and intervention groups. The results showed that there was an effect of psychoeducation on increased support and decreased family stigmatization of ODGJ (p value 0.000) in their recovery efforts. Recommendations for nurses, family psychoeducation there are stress management implementation sessions, implementation management can be carried out by general nurses who are certified; caregivers must participate in seeking information and consulting health workers to participate in psycho-educational therapy."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Saputra
"Latar Belakang: Pemulihan kesehatan mental orang dengan gangguan spektrum skizofrenia merupakan faktor penting dalam tatalaksana. Pemulihan kesehatan mental menekankan nilai-nilai humanistik dan pengalaman subjektif, sehingga bersifat sangat individual dan dipengaruhi oleh latar belakang budaya. Salah satu instrumen yang mengukur pemulihan kesehatan mental adalah Recovery Assessment Scale – Domains and Stages (RAS-DS) yang telah divalidasi ke dalam bahasa Indonesia. Namun, pengembangan RAS-DS dilakukan di Australia sesuai dengan persepsi pemulihan kesehatan mental di Australia. Hingga saat ini, belum ada instrumen yang mengukur pemulihan kesehatan mental pada orang dengan gangguan spektrum skizofrenia yang dikembangkan sesuai dengan persepsi pemulihan kesehatan mental di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kualitatif untuk mendapatkan makna pemulihan kesehatan mental menurut persepsi orang dengan gangguan spektrum skizofrenia di Indonesia, mengembangkan butir-butir SPPS, dan menentukan kesahihan isi SPPS. Pengambilan data kualitatif menggunakan metode focus group discussion (FGD) bersama orang dengan gangguan spektrum skizofrenia (n = 11). Data kualitatif dianalisis menggunakan pendekatan conventional content analysis dengan tipologi thematic survey. Pembentukan butir-butir SPPS dilakukan dengan metode induktif berdasarkan hasil analisis data kualitatif. Uji kesahihan isi dihitung dengan menggunakan content validity index for items (I-CVI) dan content validity index for scales (S-CVI). Uji coba dilakukan kepada subjek (n = 10) untuk menilai durasi pengisian SPPS, tingkat kesulitan SPPS secara keseluruhan, dan butir-butir sulit dalam SPPS.
Hasil: Persepsi orang dengan gangguan spektrum skizofrenia di Indonesia mengenai pemulihan kesehatan mental meliputi dimensi sosial, eksistensial, klinis, fungsional, dan fisik. Beberapa persepsi yang unik sesuai dengan situasi sosiokultural di Indonesia adalah aspek keluarga, religi dan spiritualitas, serta stigma. Butir-butir SPPS terdiri dari 40 butir pernyataan yang mencerminkan berbagai dimensi tersebut. SPPS memiliki kesahihan isi yang baik dengan rerata I-CVI sebesar 0,99 dan S-CVI sebesar 0,93. SPPS memiliki tingkat kesulitan mudah dengan rerata durasi waktu pengisian adalah 5,4 menit (rentang 3 – 10 menit).
Simpulan: Pemberian layanan pada orang dengan gangguan spektrum skizofrenia perlu mempertimbangkan berbagai dimensi pemulihan kesehatan mental. SPPS dapat digunakan secara rutin sebagai alat bantu untuk mengukur dan memantau pemulihan kesehatan mental secara holistik pada orang dengan gangguan spektrum skizofrenia.

Background: Mental health recovery of people with schizophrenia spectrum disorders is an essential factor in therapy. Mental health recovery emphasizes humanistic values and subjective experiences, so it is highly individualized and influenced by cultural background. One instrument that measures mental health recovery is the Recovery Assessment Scale – Domains and Stages (RAS-DS), validated in Indonesian. However, the development of RAS-DS in Australia is consistent with the perception of mental health recovery in Australia. To date, no instrument measures mental health recovery in people with schizophrenia spectrum disorders, which has been developed based on the perception of mental health recovery in Indonesia. Therefore, Indonesian Recovery Scale for Patients with Schizophrenia/Skala Pemulihan Pasien Skizofrenia (SPPS) is needed.
Methods: This study is a qualitative study to assess the meaning of mental health recovery according to the perceptions of people with schizophrenia spectrum disorders in Indonesia, develop SPPS items, and determine the content validity of SPPS. Qualitative data was collected through focus group discussion (FGD) with people with schizophrenia spectrum disorders (n = 11). Qualitative data were analyzed using a conventional content analysis approach with thematic survey typology. The formation of SPPS items was carried out using an inductive method based on the results of qualitative data analysis. The content validity test is calculated using the content validity index for items (I-CVI) and the content validity index for scales (S-CVI). Trials were conducted on subjects (n = 10) to assess the duration of filling out the SPPS, the overall difficulty level of the SPPS, and the difficult items in the SPPS.
Results: Perceptions of mental health recovery of people with schizophrenia spectrum disorders in Indonesia include social, existential, clinical, functional, and physical dimensions. Some perceptions of family, religion, spirituality, and stigma are unique to Indonesia's socio-cultural situation. The SPPS items consist of 40 statements that reflect these various dimensions. SPPS has good content validity with an average I-CVI of 0.99 and an S-CVI of 0.93. SPPS was rated easy to use, with the average duration required to complete the instrument was 5.4 minutes, with a range of 3 – 10 minutes.
Conclusion: The provision of services to people with schizophrenia spectrum disorders needs to consider the various dimensions of mental health recovery. SPPS can be used routinely as a tool to measure and monitor holistically mental health recovery in people with schizophrenia spectrum disorders.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Gangguan bipolar merupakan suatu gangguan yang ditandai dengan perubahan mood antara rasa girang yang ekstrem dan depresi yang parah (Nevid, Rathus & Greene, 2003). Para penderita gangguan bipolar tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosi sehingga menyebabkan kualitas hidup mereka rusak (Goodwin & Jamison, 1990). Mereka sulit mempertahankan suatu hubungan, memiliki kinerja kerja yang buruk, dan sulit menjalankan fungsi sosial dengan baik.
Walaupun tidak bisa kembali normal, seorang penderita bipolar mampu mengusahakan agar dapat pulih. Coleman (1999, dalam Straughan & Buckenham, 2006) mengatakan pulih berarti kemampuan seseorang untuk mempertahankan kondisi stabil agar tidak terlalu 'tinggi' ketika manik atau terlalu 'rendah' ketika memasuki episode depresi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor pendukung pemulihan pada penderita bipolar dengan menggunakan metode wawancara mendalam. Sampel penelitian ini adalah tiga orang penderita bipolar yang telah mendapat diagnosis dari psikolog atau psikiater.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pemulihan yang dialami setiap subjek telah melalui beberapa kali peristiwa kambuh dan usaha bunuh diri. Dari peristiwa-peristiwa tersebut para subjek belajar untuk mengenali gejala-gejala gangguan bipolar sehingga mampu melakukan usaha pencegahan atau meminimalisir tingkat keparahan saat kambuh. Terdapat beberapa faktor pendukung proses pemulihan pada mereka yaitu nilai agama, dukungan keluarga, kehadiran teman dan obat-obatan.

Bipolar disorder is a symptom that is indicated by changing in mood extremely between manic and acute depression (Nevid, Rathus & Greene, 2003). The bipolar disorder sufferer do not have ability to control their emotion and it affects their life (Goodwin & Jamison, 1990). They will find difficulties in making relationship, having bad working habbits, and hard to carry out their social function.
Although the sufferer cannot back to the previous condition, but they can make an effort to be recovered. Coleman (1999, in Straughan & Buckenham, 2006) said that recovered here means condition that make someone can maintain the stability of their emotional condition.
The aim of this research is knowing supporting factors of recovery in bipolar disorder sufferer using intensive interview method. Objects of this research are three bipolar disorder sufferers who have been diagnosed by the psychiatrist.
The result indicate that during recovery process, the sufferers recurrenced from their illness for several times and even tried to commit suicide. From that experience, the sufferer learned how to analyst the bipolar disorder symptom so they can do preventive action against it. There are severals suppporting factors that can help recovery process, they are religion moral, family support, friends, and medicines."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2008
616.89 FAU f
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Ayu Indriyani
"Makna hidup merupakan motivasi utama manusia dalam hidup. Kegagalan menemukan makna hidup mengarah pada tindakan merusak diri sendiri seperti mencandu narkoba. Karena itu, pemulihan diarahkan pada menemukan kembali makna dalam hidup pecandu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gorski (2001) bahwa keterampilan yang dibutuhkan untuk long-term sobriety diarahkan pada menemukan makna dan tujuan hidup.
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan wawancara sebagai teknik pengumpulan data utama. Sedangkan, observasi dilakukan untuk melengkapi data yang dikumpulkan.
Hasil penelitian menunjukkan adanya komponen-komponen yang sangat berperan dalam pemulihan dan membantu responden menemukan makna hidup. Selain itu, pemulihan dan menemukan makna hidup melalui suatu proses yang umumnya sama untuk tiap responden meskipun urutannya berbeda.
Penelitian ini juga mengungkapkan ketidakbermaknaan yang dialami para responden ketika mencandu. Penelitian ini membenarkan adanya kaitan antara tingkat keparahan kecanduan dengan tingkat ketidakbermaknaan. Melalui penelitian ini juga diketahui sumber-sumber makna hidup responden yang pernah mencandu narkoba.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk melengkapi data yang dikumpulkan dengan hasil Purpose In Life Test untuk mengukur kehendak akan makna dan kehampaan eksistensial atau Meaning In Suffering Test untuk memastikan apakah seseorang telah menemukan makna dalam penderitaannya. Selain itu, sebaiknya juga menggunakan responden yang belum berhasil menemukan makna hidup untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menghambat penemuan makna hidup."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3149
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maidina Rahmawati
"ABSTRAK
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir Indonesia dikejutkan oleh maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak, beberapa kasus menimbulkan puluhan korban dari satu pelaku. Menyikapi hal ini, pihak perumus kebijakan memfokuskan perhatiannya kepada upaya pemberatan hukuman semata, pemerintah menganggap bahwa sanksi yang ringan merupakan penyebab kasus terus bertambah. Padahal jika kita mencermati secara lebih luas, terdapat beberapa tipe pelaku kejahatan seksual, salah satunya pengidap pedofilia. Pedofilia dalam ilmu psikologi dikenal sebagai suatu gangguan seksual yang membutuhkan treatment bukan penghukuman. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu apakah kebijakan pidana tertentu perlu diterapkan bagi pelaku kejahatan seksual yang mengidap pedofilia. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, perbandingan dan pendekatan kasus. Penelitian ini bersifat eksploratoris dengan menelusuri landasan teori pidana dan pemidanaan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemidanaan pada sistem peradilan pidana modern tidak hanya memandang perbuatan namun juga pelaku. Perkembangan pemidanaan ini melahirkan ide rehabilitasi dan individualisasi pidana. Konsep rehabiltasi dan individualisasi pidana ini pun sejalan dengan Pasal 10(4) Konvensi Hak Sipil dan Politik dan UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menjelaskan bahwa pemidanaa bertujuan merehabilitasi dan mengembalikan pelaku kepada masyarakat, sehingga kebijakan khusus bagi pelaku yang mengidap pedofilia diperlukan untuk merehabilitasi dan mengembalikan pelaku kepada masyarakat.

ABSTRACT
Over the past five years, people around Indonesia watched in fear and heartbreak as the number of sexual offences against children has risen. The several cases cause more than one victims from each perpetrator. Legislators and executives zealously react this problem by tightening laws to regulate the heavier sentence. They contend that the insufficient punishment has significant role in the increasing number of sexual offense. In fact, if we see in a wider perspective, sexual offence against children is not merely about criminal act. Sex offenders are classificated into four types, one of them is pedophilic offender. In psychology, Pedophile is known as an abnormal attraction which requires treatment, not punishment. This research aims to investigate whether the distinctive criminal law policy should be regulated for pedophilic offender. This research is a normative juridical, with an approach in legislation, comparison and approaches in cases (case approach), also explores several number of theories of sentencing. Based on this research, it can be concluded that under the modern criminal justice system, both offense conduct and offender characteristic have significant role in sentencing decisionmaking. This concept formulated individualized tailoring of sentences and rehabilitative model which confirming to the concept of correctional board under Law No 12/1995 and rehabilitative model Article 10(4) ICCPR. Therefore, the distinctive criminal law policy for pedophilic offender should be regulated in order to rehabilitate and to resocialize the offenders.;"
Lengkap +
2016
S64678
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tsaairoh
"Pekerjaan merupakan aspek fundamental bagi setiap orang untuk meningkatkan kesejahteraan. Hal ini juga berlaku bagi penderita skizofrenia, bekerja bukan hanya sebagai cara untuk mencari uang tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan sosial, penerimaan, penghargaan dan sebagainya yang dapat meningkatkan harga diri. Pekerjaan terbukti berdampak positif bagi mereka. Semua aspek tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk terapi bagi penderita skizofrenia. Namun, ada kendala yang dialami penderita skizofrenia dalam mencari dan mempertahankan pekerjaan. Salah satu permasalahan utamanya adalah stigma yang masih melekat di masyarakat. Stigma sendiri dikonseptualisasikan menjadi tiga masalah, yaitu; pengetahuan (ketidaktahuan dan informasi yang salah), sikap (praduga) dan perilaku (diskriminasi). Dengan kondisi tersebut, penderita skizofrenia biasanya tidak terbuka tentang penyakitnya dan tidak mendapatkan akomodasi yang memadai

Work is a fundamental aspect for everyone to improve welfare. This also applies to schizophrenics, working is not only a way to make money but also a part of social life, acceptance, appreciation and so on that can increase self-esteem. Work has proven to be positive for them. All these aspects can be said as a form of therapy for people with schizophrenia. However, there are obstacles that schizophrenics experience in finding and keeping a job. One of the main problems is the stigma that is still attached to society. Stigma itself is conceptualized into three problems, namely; knowledge (ignorance and misinformation), attitudes (presumptions) and behavior (discrimination). With these conditions, schizophrenics are usually not open about their illness and do not get adequate accommodation"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: DOZZ (Kelompok Penerbit Qalam), 2005
616.898 CAN s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>