Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24604 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gilang Andika
"Informasi keadaan cuaca di laut lepas merupakan hal penting yang menentukan keselamatan para nelayan dalam eksploitasi sumber daya kelautan. Dan dalam hal ini, awan merupakan parameter utama untuk menentukan kadar kestabilan di atmosfer. Langit yang bebas awan menandakan kondisi atmosfer Bumi yang cenderung stabil sedangkan keadaan langit mendung dengan bentangan awan yang cukup luas menandakan ketidakstabilan atmosfer. Melalui citra sensor satelite penginderaan jauh NOAA/AVHRR berupa sinyal APT, keadaan cuaca melalui pendeteksian dan pengklasifikasian tutupan awan dapat dilakukan.
Dalam skripsi ini, pengklasifikasian tutupan awan terbatas pada awan jenis cirrus, stratocumulus, dan cumulonimbus. Adanya awan cumulonimbus dengan bentangan awan yang cukup luas pada suatu daerah dapat diasumsikan sebagai keadaan cuaca yang buruk. Sehingga sebagai peringatan bahwa daerah tersebut mempunyai kecenderungan hujan lebat. Awan stratocumulus menandakan daerah tersebut cenderung hujan gerimis. Namun, sering kali awan ini merupakan tanda bahwa cuaca yang lebih buruk akan datang. Awan cirrus tidak membawa hujan, namun jika banyak terdapat awan cirrus di atmosfer merupakan tanda bahwa 24 jam ke depan akan terjadi perubahan cuaca.
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data level 2 APT yang diterima oleh sistem penerima radio VHF dan diolah menggunakan perangkat lunak WxtoImg. Awan dideteksi menggunakan persamaan pendekatan regresi temperatur terhadap nilai kecerahan pixel. Persamaan diperoleh dengan mengambil titik-titik sampel pada data citra APT kanal 4. Setelah dipisahkan dari daratan dan lautan, awan diklasifikasikan berdasarkan tingkat kecerahan albedo yang dihitung dari data APT kanal 2.

Weather reports are one of the key factors to ensure the fishermen's safety during their activities in the sea. Cloud is a potential weather element and cloud coverage is the main parameter in determining the degree of stability of the atmosphere. A cloudless sky, for example, may suggest that the Earth's atmosphere is in a stable condition, while the massive grey clouds in the sky signifies the unstability of the atmosphere. Using the remote sensing satellite NOAA/AVHRR data extracted from the APT signal, the weather reports could be produced, while cloud cover classification could also be performed.
In this research, cloud cover is classified as one of the following types: cirrus, stratocumulus and cumulonimbus. The cumulonimbus clouds with a massive horizontal stretch in a particular area can be seen as a sign of bad weather. This observation may lead to a further conclusion that heavy rains will fall. On the other hand, the appearance of stratocumulus clouds indicates the sign of drizzle. The cirrus clouds, however, do not bring any rain droplets. Nevertheless, it is highly predicted that there will be a significant weather change in the next 24 hours.
The cloud data is extracted from the NOAA/AVHRR APT signal which is processed into level 2 data using WxtoImg. The raw data in the form of analog signal was received using a VHF receiver system. The cloud covers are then achieved using a regressive approximation equation which converted the pixel intensity into temperature. Equations are derived by taking sample points in the channel 4 image. Clouds are distinguished into those from lands and sea, and are classified based on the albedo in the channel 2.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S40485
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Rizkinia
"Kegiatan penangkapan ikan di laut memerlukan aplikasi teknologi yang memberikan informasi pendukung yang menyeluruh, mencakup wilayah yang luas dan dalam waktu yang cepat untuk efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan. Hasil scan satelit NOAA/AVHRR-APT dapat dimanfaatkan untuk keperluan ini dengan melakukan pengolahan datanya terlebih dahulu. Penelitian ini menggunakan data mentah dari transmisi analog tipe Automatic Picture Transmission (APT) satelit NOAA/AVHRR yang di-decode menjadi digital dengan software WxtoImg. Pengolahan citra dilakukan menggunakan software perangkat lunak komputasi matematis dengan masukan berupa data level 2.
Pengolahan data level 0 menjadi data level 2 ini dilakukan pada WxtoImg. Untuk membuat peta isotherm permukaan laut dan menetukan letak geografis daerah potensi ikan dibutuhkan persamaan yang menghubungkan antara suhu dengan piksel citra. Karena itu, dengan WxtoImg data di- enhancement menjadi citra yang dapat diolah dengan perangkat lunak komputasi matematis dengan persamaan yang menghubungkan antara suhu dan piksel citra. Enhancement bisa dilakukan secara otomatis dengan fasilitas enhancement sea surface temperature (SST) pada WxtoImg dengan acuan hubungan piksel dan suhu dari enhancement curve WxtoImg. Hasil enhancement berupa suhu permukaan laut akan dianalisis keunggulan dan kelemahannya jika dibandingkan dengan menggunakan citra hasil pada utilitas contrast enhance channel B only, yang dalam hal ini menggunakan kanal 4 saja. Dari penggunaan dua jenis data yang berbeda ini, juga bisa diperoleh letak geografis daerah perbedaan suhu permukaan laut dengan algoritma yang dikembangkan.

In order to increase the productivity of fish cultivation, a comprehensive information on fishery area is very vital. Using NOAA/AVHRR-APT, remote sensing satellite data could be converted into the Sea Surface Temperature (SST) could be one of the most effective solution to help the fishermen. In this research, the Automatic Picture Transmission (APT) data broadcasted from the satellite was decoded to level-2 digital imagery using WxtoImg software. To convert this image into the SST profile, image processing technique was implemented.
The result is the SST isotherm map and the geographical location of fishery potential area which is derived from the differences of temperature area. A mathematical correlation function between the pixel values and the SST was derived from the enhancement curve used in the software. The SST as the enhancement output will be analyzed and compared to the result of contrast enhancement of channel 4 only. Using these two variations of data, geographical location of different SST area could be obtained.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S40476
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Giatika Chrisnawati
"Kebakaran hutan atau lahan dapat dideteksi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, yaitu dengan melakukan pemantauan jumlah dan sebaran titik panas di suatu wilayah. Jumlah dan sebaran titik panas diperoleh dengan mengolah citra sensor satelit menggunakan algoritma konversi nilai digital data satelit menjadi suhu.
Satelit yang dapat digunakan untuk pemantauan titik panas adalah satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) melalui sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) dan sensor satelit MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectro-Radiometer) yang dibawa oleh satelit Terra dan Aqua. Penentuan titik panas dihitung menggunakan metode yang dikembangkan oleh LAPAN untuk data MODIS dan Forest Fire Prevention and Control Project, Departemen Kehutanan RI, untuk data NOAA/AVHRR. Sementara suhu permukaan daratan, dihitung menggunakan metode yang dikembangkan oleh MAIA, Meteo Prancis.
Sebaran titik panas dan suhu permukaan daratan disajikan dalam bentuk peta 2-dimensi yang diberi data geografis. Perbandingan antara peta sebaran titik panas dan suhu permukaan daratan juga dibahas dalam penelitian ini.

Forest fire or land surface temperature could be analyzed from satellite data using remote sensing technology. The number of hotspot and land surface temperature distribution could be retrieved from the data by converting the digital number into temperature.
In this research, the hotspots are derived from NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)/AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) and EOS (Earth Observing System) TERRA-AQUA/MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectro-Radiometer) sensors. For MODIS data, the hotspot is calculated using an algorithm which is developed by LAPAN, and The Forest Fire Prevention and Control Project, Departemen Kehutanan RI, for NOAA/AVHRR data. The Land Surface Temperature (LST) is calculated using the MAIA algorithm which is developed by Meteo France.
The hotspot and LST distribution is mapped into 2-D representation along with geographical information. The comparison of hotspot distribution and land surface temperature map is also investigated.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S40436
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raditya Pratama Nugraha
"Posisi geografis Indonesia yang terletak di antara 2 benua dan samudra sesungguhnya selain strategis, juga menyimpan risiko besar mengalami berbagai bencana. Perubahan iklim dan kerawanan lokasinya yang dikelilingi lempeng dan patahan-patahan geologis di kerak Bumi mengakibatkan Indonesia menjadi wilayah rawan gempa Bumi dan deformasi tanah/longsor. Selain itu kebakaran hutan, banjir, pembalakan liar, degradasi lahan pertanian, polusi air dan udara, pencurian ikan oleh kapal-kapal asing, gunung meletus, hingga bergesernya garis pantai dan batas negara, menjadi masalah krusial untuk dipecahkan. Untuk mencari solusi yang paling menyeluruh, diperlukan data spasial yang dapat memantau Bumi Indonesia melalui satelit Penginderaan Jauh (PJ). Salah satu hal yang dapat dideteksi dengan penginderaan jauh adalah terjadinya kebakaran hutan. Dengan penginderaan jauh, lokasi terjadinya kebakaran akan terdeteksi sebagai hotspot. Dalam penelitian ini data hotspot didapatkan dengan menerapkan algoritma yang digunakan oleh Z. Li (CCRS). Algoritma ini mendeteksi hotspot dari data satelit NOAA/AVHRR dengan menggunakan nilai suhu kecerahan pada kanal 3, 4 dan 5 dan nilai reflektansi pada kanal 2 untuk mengenali piksel potensial hotspot. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dari sistem penerimaan data HRPT satelit NOAA dan data yang diambil dari internet. Setelah data hotspot didapatkan, data tersebut akan ditampilkan dalam web-GIS beserta data yang lain seperti garis pantai, garis lintang dan bujur dan data citra satelit NOAA. Dari hasil data hotspot yang didapatkan, pada musim kemarau terdapat banyak hotspot dan pada musim penghujan hanya terdapat sedikit hotspot.

Indonesia`s geographic position which is located between two continent and two ocean, although strategic, it also contain big risk of disaster happening. Climate changes and its insecure position which is surrounded by earth`s plates and geological fracture on earth`s crust results in Indonesia becoming an area which is prone to earthquake and land deformation. Furthermore, forest fire, flood, illegal logging, farm land degradation, water and air polution, fish theft by foreign ship, volcanoes, and the shift of coastline and country border, becomes a crucial problem to be solved. To find a comprehensive solution, spatial data is needed to monitor Indonesia by using remote sensing satellite. One of the things that can be detected by remote sensing is forest fire. With remote sensing, the place where forest fire occurs will be detected as hotspot. In this research, hotspot data is obtained by using the algorithm used by Z. Li (CCRS). This algorithm detects hotspot from NOAA/AVHRR satellite data by using brightness temperature value of channel 3, 4 and 5, and reflectance value of channel 2 to recognize hotspot potential pixel. Data used in this research is obtained from NOAA satellite HRPT data capture system and data obtained from internet. After hotspot data is obtained, the data will be displayed in web-GIS along with other data like coastline, graticules, and NOAA satellite image. From the obtained hotspot data, it is found that on dry season there ara many hotspots and on rainy season there are only a few hotspots."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S58276
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nufus Rahmatullah
"ABSTRAK
Kebakaran hutan pada beberapa tahun terakhir ini telah menyebabkan berbagai macam masalah bagi keberlangsungan hidup manusia, binatang, maupun tumbuhan. Pada tahun 2015, tingkat kebakaran yang terjadi melebihi tingkat kebakaran hutan pada tahun-tahun sebelumnya. Untuk mengetahui tingkat kerusakan yang disebabkan oleh kebakaran hutan dapat dilakukan dengan menganalisa indeks vegetasi menggunakan data satelit dari pengindraan jarak jauh. Salah satu sensor satelit yang populer dalam pengindraan jarak jauh adalah sensor satelit National Oceanic and Athmospheric Administration (NOAA)/Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR). Dalam penelitian ini, untuk menghitung indeks vegetasi digunakan algoritma Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dan Spectral Angle Mapper (SAM) pada data NOAA/AVHRR. Hasil analisis menampilkan level NDVI dan SAM sangat dipengaruhi oleh tingkat kebakaran hutan di Provinsi Jambi pada tahun 2015. Berdasarkan hasil analisis, diketahui pada bulan Januari rata-rata NDVI sebesar 0,024 dan presetase vegetasi SAM sebesar 11,91% dengan jumlah hotspot sebanyak 63 titik. Pada bulan Mei terjadi penurunan rata-rata NDVI menjadi 0,022 dan persentase vegetasi SAM sebesar 13,84% dengan jumlah hotspot sebanyak 50 titik. Perubahan pada bulan Mei tidak sesignifikan perubahan pada bulan agustus yaitu nilai rata-rata NDVI menjadi 0,018 dan persentase vegetasi SAM sebesar 8,76% dengan jumlah titik hotspot yang meningkat tajam sebanyak 320 titik.

ABSTRACT
Forest fire in recent years have led to various problems that damage the survival of living beings, i.e. human, animals and also plants. In 2015, the rate of forest fires in Indonesia exceeded the previous years level. To measure the damage level of forest fire, vegetation index could be analyzed using remote sensing satellite data. One of remote sensing satellite sensor that is popularly used is National Oceanic and Athmospheric Administration (NOAA)/Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) sensor. In this research the vegetation index is measured using Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) and the Spectral Angle Mapper (SAM) algorithm based on NOAA/AVHRR data. Analysis result showed the level of NDVI and SAM has strong relationship to the forest fire occurrence in the Province of Jambi in 2015. Based on analysis result, on January it is shown that NDVI average was 0,024 and SAM vegetation percentage was 11,91% with 63 hotspots. On May, NDVI average decreased to 0,022 and SAM vegetation percentage was 13,84% with 50 hotspots. The result change on May was insignificant compared to the result on August with NDVI average of 0,018 and SAM vegetation percentage of 8,76% with the number of hotspot heavily increased to 320."
2016
S63262
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elfa Diasmara
"Teknologi satelit telah banyak berperan dalam perkembangan aplikasi ilmu penginderaan jarak jauh, terutama dalam menganalisa keadaan vegetasi di bumi. Indeks vegetasi adalah salah satu parameter yang digunakan untuk menganalisa keadaan vegetasi dari suatu wilayah. Indeks tersebut mempunyai berbagai macam variasi algoritma. Algoritma yang akan dibahas pada penelitian ini adalah algoritma NDVI dan EVI. Algoritma EVI merupakan hasil turunan dan perkembangan dari algoritma NDVI. Sehingga, algoritma EVI memiliki banyak keunggulan yang tidak dimiliki algoritma NDVI. Satelit NOAA dan satelit TERRA/AQUA digunakan untuk membawa sistem sensor AVHRR dan MODIS. Kedua sistem sensor tersebut bisa diaplikasikan untuk keperluan vegetasi, terutama dalam aplikasi algoritma NDVI. Namun, data NDVI dari yang diperoleh kedua sensor tersebut ternyata memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan hasil olah dari data yang diperoleh dari dua jenis sensor satelit inilah yang juga akan dibahas lebih lanjut pada penelitian ini.

Satellite technologies have influenced so much in the development of remote sensing discipline, especially when dealing with the vegetation condition on earth. Vegetation index is one the parameters which are used to analyze the vegetation condition on a certain area. That index has many variants of algorithm. This paper dealt with the NDVI and EVI algorithm. The EVI algorithm was derived and developed from NDVI algorithm. Therefore, the EVI has many features that NDVI algorithm doesn?t have. NOAA and TERRA/AQUA satellites are used to carry AVHRR and MODIS sensor systems. Both of the systems could be applied to derive the vegetation index, which is calculated using the EVI and NDVI algorithm. However, the degree of greenness of the vegetation in the form of NDVI values from those sensors would yield significantly different results. The different results from both sensors were also investigated in this paper."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2007
S40370
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Karimah Najiyah
"Penggunaan lahan di Jawa Barat khususnya di kabupaten Bandung mengalami perubahan yang signifikan yang disebabkan oleh meningkatnya jumlah pembangunan dan pemukiman. Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan bencana, bencana alam ini mengakibatkan wilayahnya menjadi cepat berubah. Memantau penggunaan lahan dan tutupan lahan penting untuk memitigasi jika terjadi bencana alam. Untuk mendapatkan informasi klasifikasi tutupan dan penggunaan lahan dapat memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Penelitian ini menggunakan data satelit ALOS-2/ PALSAR-2 untuk membandingkan klasifikasi penggunaan dan tutupan lahan dengan dua metode yaitu Minimum Distance dan Maximum Likelihood. Metode Minimum Distance menggunakan teknik jarak minimal menggunakan vektor rata-rata endmember sedangkan Metode Maximum Likelihood selain rata-rata, juga memperhitungkan informasi variansi pada variable yang diukur. Hasil analisis menunjukan klasifikasi penggunaan dan tutupan lahan yang baik adalah metode Maximum Likelihood dengan hasil akurasi sebesar 68,6233% pada tahun 2014 dan 64,7608% pada tahun 2016. Sedangkan Metode Minimum Distance memiliki akurasi hanya sebesar 48,2307% pada tahun 2014 dan 43,4902% pada tahun 2016.

Land use in West Java, especially in Bandung regency, changes significantly caused by rapid development and sattlement. Since Indonesia is one of the country that is prone to disaster, natural disasters often occur and impact the land changes rapidly. The monitoring land use and land cover classification is important to mitigate any disasters if occured. To obtain land use and land cover classification profile, remote sensing technology can be used. In this research we use ALOS-2/PALSAR-2 satellite data to derive land use and land cover classification maps using two methods, i.e. Minimum Distance and Maximum Likehood. Minimum Distance uses minimum distance technique to measure endmember average vector while Maximum Likehood calculates variance information of measuring variable as well as the average. The analysis results showed that Maximum Likehood method is better for land use and land cover classification in Bandung regency with accuracy of 68,6233% in 2014 and 64,7608% in 2016 respectively while Minimum Distance method resulted in 48,2307% in 2014 and 43,4902% in 2016 respectively.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S63645
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistiyaningsih
"Kabupaten Bandung sebagai salah satu kabupaten dengan penduduk terbanyak di Indonesia memiliki sumber daya alam yang beragam dengan segala pemanfaatannya sehingga jenis tutupan lahan yang ada pun berbeda-beda. Pemantauan terhadap penggunaan lahan perlu dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan lahan dan penanggulangan akan bencana alam. Metode untuk pemantauan dapat dilakukan dengan klasifikasi jenis tutupan lahan menggunakan teknik penginderaan jarak jauh seperti penggabungan data satelit aktif dan pasif. Pada penelitian ini menggunakan citra satelit aktif (ALOS-2/PALSAR-2) dan satelit pasif (Landsat 8) untuk mendapatkan citra yang mudah untuk diinterpretasi dan terbebas dari gangguan atmosfer. Salah satu metode klasifikasi yang dapat dilakukan adalah maximum likelihood, yaitu metode yang menggunakan data acuan (training sample) serta kemungkinan suatu piksel terkelompok dalam suatu kelas. Penggunaan citra gabungan dengan metode maximum likelihood menghasilkan keakurasian citra lebih dari 60% dan lebih tinggi dari citra ALOS-2/PALSAR-2 yang diklasifikasikan tanpa Landsat 8 (40%).

Bandung regency is one of the biggest regency in Indonesia with large number of population which has nature resources with different utilization that cause land cover diversity. Land cover monitoring is necessary to prevent any land misuses and nature disasters. A way to monitor land cover is to classify the land cover uses remote sensing technique such as joint data of active and passive. This research is analyzing active satellite image (ALOS-2/PALSAR-2) and pasive satellite image (Landsat 8) that are being used to produce an image which is easy to interpret with less atmospheric disruption. One of the methods that can be used is maximum likelihood. Maximum likelihood is a supervised classification method which uses reference data (training sample) and probability of a pixel is clustered in a spesific class. The use of joint processing data with maximun likelihood method results in accuracy greater than 60% and is better than accuracy of ALOS-2/PALSAR-2?s image itself (40%).
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S63172
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Wicaksono
"ABSTRAK
Delta bersifat dinamis dan selalu berubah bentuk akibat interaksi dari sungai dan
laut. Delta Ci Punagara sejak tahun 1972 selalu bertambah luas, sehingga
berpotensi berubah bentuk secara spasial. Tujuan penelitian untuk menganalisis
perubahan spasial delta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berdasarkan
overlay peta tahun 1972, 1994, dan 2015 terjadi abrasi dan akresi di delta,
sehingga mengubah bentuk delta dari Irreguler menjadi Bird-Foot. Arus dan
gelombang yang sejajar garis pantai menyebabkan abrasi dan menghasilkan
wilayah akresi. Pasang surut yang kecil cenderung membangun pantai.
Peningkatan debit Ci Punagara diikuti peningkatan sedimentasi akibat perubahan
penggunaan tanah terutama menipisnya hutan menyebabkan daratan delta
bertambah luas.

ABSTRACT
and the sea. Delta Ci Punagara since 1972 become broader, potentially deform
spatially. The aim of research to analyze the spatial changes in the delta and the
factors that influence it. Based overlay maps in 1972, 1994 and 2015 occurred in
the delta erosion and accretion, thereby transforming the delta of the irregular
into Bird-Foot. Currents and waves are parallel to the shoreline causing abrasion
and produce accretion region. Small tidal tends to build up the beach. Increased
discharge of Ci Punagara followed by increased sedimentation due to changes in
land use, especially depletion of forests leads expanding inland delta."
2016
S64649
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>