Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181365 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mia Banulita
"Pasca pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui UU No. 30 Tahun 2002 memberikan dampak terjadinya perbedaan penerapan hukum acara pidana dalam penanganan perkara korupsi. Terobosan hukum acara pidana pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 memberikan ”kekuatan” kepada komisi ini sehingga berhasil menjadikannya sebagai komisi yang disegani. Namun, kewenangan istimewa ini tidak dinikmati oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Keadaan yang berbeda ini dikhawatirkan berpengaruh terhadap harmonisasi dalam sub sistem peradilan pidana yang bekerja dalam hal pemberantasan korupsi sehingga akan menghambat pada pencapaian tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perbedaan tersebut membawa pengaruh terhadap harmonisasi dalam sistem peradilan pidana. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam penerapan hukum acara pidana dalam penangangan perkara korupsi namun perbedaan tersebut belum mengakibatkan terjadinya disharmonisasi dalam sistem peradilan pidana, hal ini disebabkan walaupun mempunyai tujuan yang sama dalam hal pemberantasan korupsi, kewenangan yang dijalankan oleh masing-masing instansi tersebut terpisah dan berdiri sendiri. Namun keadaan yang berbeda ini harus segera diakhiri dengan cara memberikan kewenangan yang sama kepada Kepolisian dan Kejaksaan sebagaimana yang diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

The formation of the Corruption Eradication Commission by virtue of Law No.30 of 2002 has brought about impact in the form of differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases. The breakthrough of criminal procedure law in Law No.30 of 2002 has given “strength” to the commission in such a way so as to result in its becoming a respected commission. This special authority is not, however, shared by the Police and the Public Prosecutor’s Office. There is concern that these different conditions will influence the harmonization of the criminal judicature sub system which focuses on the eradication of corruption in such a way so as to hamper the achievement of objectives which are aimed to be reached. The objective of this research is to ascertain whether such differences will influence the harmonization of the criminal judicature system. This research is made by using the juridical normative method. Based on the research results, it may be concluded that although there are indeed differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases, such differences have not resulted in the non-harmonization of the criminal judicature system due to the fact that although they are all aimed at eradicating corruption, the authorities exercised by each of the institutions are separate and interdependent. Still, this State of differences must immediately end by extending authorities to the Police and the Public Prosecutor’s Office which are the same as those extended to the Corruption Eradication Commission."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26073
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Annissa Kusuma Hasari
"Tesis ini membahas mengenai kewenangan penyidikan tindak pidana pencucian uang. Indonesia memiliki PPATK sebagai Financial Intelligence Unit yang hanya bersifat memberikan informasi kepada Polri dan Kejaksaan RI. Hasil laporan analisa yang disampaikan oleh PPATK belum cukup memadai untuk dilakukan penyelidikan maupun penyidikan tindak pidana pencucian uang. Maka dapat dikatakan bahwa rezim pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia belum berjalan dengan maksimal. Selain itu apabila penyidik (selain Polri) menemukan adanya indikasi perbuatan pencucian uang, namun penyidik tindak pidana asal remyata tidak memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang. Untuk itu perlu diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang kepada penyidik tindak pidana asal (multi investigators system).

The focus of this studi is about authority in money laundering investigation in Indonesia. Indonesia has PPATK as a Financial Intelligence Unit that only feeds informations to Police and General Attomey. The infonnations that given by PPATK is not enough to start an money laundering investigation. That is why we can say Indonesian anti money laundering rezim is not running effectively. The problem occurs, when an investigator (except Police) finds some money laundering offences from predicate crime that they are investigating, but that investigator does not have investigation authority. That is why some investigators of predicate crime need giving investigation authority of money laundering (multi investigators system)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26107
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Dian Sari
"ABSTRAK Pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi banyak kendala, salah satu diantaranya adalah perlawanan dari berbagai pihak dalam bentuk obstruction of justice yang dilakukan oleh advokat. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya mempunyai hak imunitas, yakni hak untuk tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Namun dalam praktiknya hak imunitas tersebut seperti tidak ada gunanya selama perbuatan advokat memenuhi unsur-unsur pasal dalam suatu ketentuan pidana seperti obstruction of justice, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi advokat dalam menjalankan tugas profesinya. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami bentuk-bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, pengaturan dan penerapan hak imunitas advokat sebagai pelaku obstruction of justice, serta praktik penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku tindak pidana obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi. Dalam penelitian ini, jenis Penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan sejarah, undang-undang dan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah segala perbuatan yang dimaksudkan dengan mencegah, mengganggu, menghalangi, atau menggagalkan proses peradilan. Hak imunitas advokat diatur dalam Pasal 14 hingga Pasal 16 Undang-Undang Advokat, akan tetapi dalam praktiknya advokat sebagai pelaku obstruction of justice tetap dapat dimintai pertanggungjawabannya terlepas dari hak imunitas yang dimilikinya. Serta penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi telah dilakukan di Indonesia, dapat dilihat dari kasus Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof dan Fredrich Yunadi. 

ABSTRACT
Eradication of corruption in Indonesia still faces many obstacles, one of them is resistance from various parties in the form of obstruction of justice carried out by advocates. Advocates in carrying out their professional duties have the right to immunity, namely the right not to be prosecuted both in civil or criminal terms. However, in practice the right of immunity is useless as long as an advocate's actions fulfill the elements of the article in a criminal provision such as obstruction of justice, so that it creates legal uncertainty for advocates in carrying out their professional duties. This research is aimed at knowing and understanding forms of obstruction of justice in Indonesian laws and regulations, especially in eradicating criminal acts of corruption, regulation and the application of the rights of immunity of advocates as subject of obstruction of justice, as well as law enforcement practices against lawyers as subject of criminal acts of obstruction of justice in cases of corruption. In this study, the type of research used was normative juridical using a historical, legal and conceptual approach. The results of the study concluded that the form of obstruction of justice in the laws and regulations in Indonesia is all actions intended to prevent, interfere, obstruct, or frustrate the judicial process. The rights of the advocate's immunity are regulated in Article 14 to Article 16 of the Law on Advocates, but in practice advocates as subject of obstruction of justice can still be held accountable regardless of the right of immunity they have. And law enforcement for lawyers as obstruction of justice subject in cases of corruption has been committed in Indonesia, can be seen from the case of Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof and Fredrich Yunadi.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52136
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suoth, Nophy Tennophero
"Dewasa ini peranan dan aktivitas korporasi sangat strategis. Tidak jarang dalam praktiknya korporasi dapat menjadi sarana untuk melakukan kejahatan dan memperoleh keuntungan dari hasil kejahatan. Tesis ini membahas mengenai latar belakang penetapan korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, proses penuntutan pidana terhadap korporasi, kendala-kendala dalam penegakan hukum pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dan upaya mengatasi kendala-kendala tersebut serta evaluasi terhadap jenis pidana denda terhadap korporasi dalam UU tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang didukung penelitian empiris. Sedangkan analisis hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder sebagai data utama dan data primer sebagai data pendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tuntutan dan penjatuhan pidana hanya terhadap pengurus korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dianggap tidak adil sementara terhadap korporasinya tidak dilakukan penuntutan pidana. Secara umum, proses penuntutan pidana bagi subyek tindak pidana korporasi berlaku sama seperti halnya pada proses penanganan perkara terhadap subyek tindak pidana perorangan. Namun terdapat hal-hal yang berbeda khususnya dalam hal mengenai perwakilan korporasi, pencantuman identitas tersangka/terdakwa, penyusunan konstruksi surat dakwaan dan mengenai pelaksanaan putusan pidana denda terhadap korporasi. Dalam praktiknya, terdapat kendala-kendala dalam upaya penegakan hukum pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi yaitu meliputi faktor hukum dan faktor penegak hukum. Penelitian ini menyarankan perlu adanya perubahan pola pikir dan pola tindak dari aparat penegak hukum untuk melakukan penuntutan pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dan pentingnya upaya pembaharuan undang-undang tindak pidana korupsi yang meliputi materi termasuk jenis pidana terhadap korporasi maupun hukum formilnya.

Today, the role and the activity of the Corporation are very strategic, not rare in practice the Corporation could become means of carrying out the crime and obtaining the profit from results of the crime. This thesis throughly overview it backgrounds of appointment of Corporation as a subject of criminal law in UU No. 31/1999 and revised with UU No. 20/2001, criminal prosecution of Corporation, obstacles and obvious hindrances in prosecuting Corporation in infringement of corruption crimes with any effort to overcome such prosecute obstacles as well as evaluation of corporate criminal fine applied within the acts. This research represents normative juridical research using secondary data as primary data and primary data as supporting data. Research conclusion has indicated that prosecutions and criminal penalties to corporate managements considered as unfair without placing related Corporation as a mutual subject of prosecution. In general, prosecute process for corporate crime subject is identical with prosecute process of personal crime. However, there are some dissimilarity, particularly with regards to Corporation representation, identity exposure of defendant, configuration of allegation letter and concerning implementation of fine against Corporation. In practical matters, there are apparent obstacles within the law enforcement process in corruption criminal cases by Corporation namely the legal factor and the law enforcer factor. This research recommended need the existence of the change in the pattern thought and the pattern of the act from the upholder’s apparatus of the law to carry out the criminal demanding against the Corporation in the case of the criminal act of corruption and the importance of criminal efforts of corruption that cover material including the criminal kind against the Corporation and his formal law of reform of act regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26095
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Debora Vetra Mesia
"Skripsi ini membahas mengenai penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku baik di Indonesia, Belanda, maupun Singapura. Penyelesaian perkara pidana di luar persidangan atau dikenal dengan istilah Afdoening Buiten Proces merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan perkara di luar persidangan dengan cara membayar denda maksimum secara sukarela sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama. Ketentuan ini juga terdapat dalam KUHP Baru, tepatnya dalam Pasal 132 ayat (1) huruf d-e. Sementara itu, di Belanda ketentuan ini diatur dalam Pasal 74 Wetboek van Strafrecht, sedangkan di Singapura dikenal mekanisme Deferred Prosecution Agreement yang memiliki konsep berbeda dengan yang diatur oleh Indonesia dan Belanda. Terdapat dua pembahasan utama dalam skripsi ini. Pertama, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan dalam ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura. Kedua, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lama dalam mengakomodir kebutuhan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif-yuridis yang menganalisis lebih lanjut tentang ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara. Adapun hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Selanjutnya, diketahui bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama selama ini tidak mengakomodir kebutuhan yang diperlukan oleh sistem peradilan pidana. Terakhir, ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan pada dasarnya memiliki tujuan yang baik dan dapat membantu meringankan beban sistem peradilan pidana, tetapi masih terdapat beberapa hambatan.

This thesis discusses the settlement of criminal cases outside the court which is valid in Indonesia, Netherlands, and Singapore. Settlement of criminal cases outside the court or known as Afdoening Buiten Process is one way to settle cases outside the court by paying the maximum fine voluntarily as stipulated in Article 82 of the Old Criminal Code. This provision is also contained in the New Criminal Code, specifically in Article 132 paragraph (1) letter d-e. Meanwhile, in the Netherlands this provision is regulated in Article 74 Wetboek van Strafrecht, while in Singapore the Deferred Prosecution Agreement mechanism is known, which has a different concept from that regulated by Indonesia and Netherlands. There are two main discussions in this thesis. First, this thesis will discuss how the provisions for settling criminal cases outside the court in the legal provisions in force in Indonesia, the Netherlands and Singapore. Second, this thesis will discuss how the Old Criminal Code accommodates the need for settlement of criminal cases outside of court. This research was conducted using a normative-juridical research method that further analyzes the legal provisions in force in a country. The results of this study state that the provisions for settling criminal cases outside the court in force in Indonesia, Netherlands and Singapore have similarities and differences, respectively. Furthermore, it is known that the provisions for settling criminal cases outside the court as regulated in Article 82 of the Old Criminal Code have so far not accommodated the needs required by the criminal justice system. Finally, provisions for the settlement of criminal cases outside the court basically have a good purpose and can help ease the burden on the criminal justice system, but there are still some obstacles."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Marasoma Sumarsono
"Korupsi merupakan faktor penghalang pembangunan ekonomi, sosial, politik dan budaya bangsa. Oleh sebab itu korupsi diklasifikasikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Korupsi juga melibatkan pihak swasta dan korporasi, bahkan pihak swasta termasuk yang paling banyak berurusan dengan KPK sejak 2004 s.d. 2021. Seiring dengan perkembangan teknologi dan transaksi keuangan yang canggih dan lintas batas, pelaku kejahatan yanag sebenarnya mengontrol, memiliki dana menerima manfaat dari kejahatan (beneficial ownership) melakukan serangkaian skema untuk menyamarkan keberadaannya. Tesis ini membahas bagaimana penerapan prinsip mengenal pemilik manfaat dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi dan bagaimana aturan dan basis data beneficial owner dapat mendukung pemberantasan korupsi. Metode yang dipergunakan dalam tesis ini adalah yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini adalah aparat penegak hukum di Indonesia telah mengungkap beberapa kasus korupsi yang melibatkan beneficial owner, diantaranya adalah kasus Muhammad Nazarudin (kasus korupsi wisma atlet), Muhammad Yahya Fuad (kasus korupsi Kabupaten Kebumen), dan Eddy Sindhoro (kasus suap panitera). Dari perkara tersebut kita bisa melihat bahwa prinsip mengenal pemilik manfaat telah dikenal dalam rezim undang-undang tindak pidana korupsi, pemidanaan korporasi, dan tindak pidana pencucian uang. Perpres 13 tahun 2018 juga telah mengatur secara spesifik mengenai definisi, kriteria, dan pelaporan pemilik manfaat sebenarnya. Namun, dalam pelaksanaan aturan tersebut masih memiliki beberapa kendala, salah satunya adalah, pencatatan informasi badan hukum (legal person) yang menyebar di berbagai peraturan, belum ada mekanisme check and balances yang memadai, kurangnya sinergi antar lembaga, dan penggunaan basis data beneficial owner yang belum optimal.

Corruption hinders the nation's economic, social, political, and cultural development. Therefore, corruption is classified as an extraordinary crime. Corruption also involves the private sector and corporations. The private sector has had the most dealings with the Corruption Eradication Commision (KPK) Indonesia since 2004 until 2021. Along with the development of technology and sophisticated and cross-border financial transactions, criminals who control and have funds receiving benefits from crime (beneficial owner) carry out a series of schemes to disguise their existence. This thesis discusses how the implementation of beneficial ownership principle by law enforcement officials in handling cases of corruption and how the beneficial ownership rules and database can support the eradication of corruption. The method used in this thesis is normative juridical. The results of this study are that law enforcement officials in Indonesia have uncovered several corruption cases involving beneficial owner, among them is  Muhammad Nazarudin (wisma atlet corruption case), Muhammad Yahya Fuad (Kabupaten Kebumen corruption case), and Eddy Sindhoro (Secretary supreme court bribery case). From this case, we can see that the beneficial owner principle has been recognized in corruption laws, corporate punishment, and money laundering crimes. Presidential Decree 13 of 2018 has also specifically regulated the definition, criteria, and reporting of beneficial owner. However, the implementation of these regulations still has several obstacles; one of them is the recording of personal legal information that is spread across various regulations, the absence of an adequate check and balances mechanism, the lack of synergy between institutions, and the use of Beneficial owner databases that have not yet been implemented optimally."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aufa Auladi
"ABSTRAK
Sebagai negara yang berdasarkan hukum demokrasi, partisipasi masyarakat di Indonesia merupakan bagian penting dalam menjalankan fungsi kenegaraan. Untuk Selain itu, Indonesia telah menjamin hak untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran secara lisan dan tertulis dalam konstitusi. Sayangnya, orang yang masih berbicara menentang atau mengkritik tentang masalah publik sering diintimidasi dan dibungkam melalui jalur hukum, terutama di masalah lingkungan. Hal ini dilakukan dengan mengajukan gugatan atau pelaporan kriminal terhadap orang-orang yang berpartisipasi dalam partisipasi publik.
Membungkam melalui jalur hukum disebut sebagai Strategis Gugatan Terhadap Peran Serta Masyarakat (SLAPP). SLAPP bisa menghalangi orang dalam menjalankan kebebasan berbicara dan hak mereka untuk
partisipasi publik. Untuk melindungi partisipasi publik ini, Indonesia telah menegakkan ketentuan Gugatan Anti Strategis Terhadap Partisipasi Masyarakat (anti-SLAPP) di bawah hukum lingkungan. Namun, tidak jelas apakah istilah anti-SLAPP dapat menolak gugatan atau penuntutan dan memberikan perlindungan hukum dari bahaya SLAPP. Tujuan dari tesis ini adalah untuk meninjau undang-undang yang berkaitan dengan anti-SLAPP dan penerapan ketentuan anti-SLAPP
SLAPP di Indonesia. Tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan komparatif terhadap peraturan anti-SLAPP di beberapa negara.
ABSTRACT
As a country based on democratic law, public participation in Indonesia is an important part in carrying out state functions. In addition, Indonesia has guaranteed the right to associate and assemble, express thoughts orally and in writing in the constitution. Unfortunately, people who still speak out against or criticize about public issues are often intimidated and silenced through legal channels, especially on environmental issues. This is done by filing criminal lawsuits or reporting against people who participate in public participation.
Silencing through legal channels is known as the Strategic Lawsuit Against Community Participation (SLAPP). SLAPP can prevent people from exercising their freedom of speech and their right to
public participation. To protect this public participation, Indonesia has enforced the Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (anti-SLAPP) provisions under environmental law. However, it is not clear whether the term anti-SLAPP can deny a lawsuit or prosecution and provide legal protection from the harm of SLAPP. The purpose of this thesis is to review the laws relating to anti-SLAPP and the application of anti-SLAPP provisions SLAPP in Indonesia. This thesis uses normative juridical research with a comparative approach to anti-SLAPP regulations in several countries.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfahmi Islami Kaffah
"Skripsi ini membahas mengenai dua pokok permasalahan: Pertama, bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap praktik suap-menyuap dalam tindak pidana korupsi. Kedua bagaimana penerapan hukuman takzir pada kepada pelaku tindak pidana suap menyuap dalam perpektif hukum pidana Islam. Korupsi dan praktik suap (ar-risywah)adalah perbuatan yang melanggar syariat. Syariat Islam pada hakikatnya diterapkan untuk mewujudkan kemaslahatan yang memelihara lima unsur dalam kehidupan manusia yang disebut al-maqosid as-syar'iyyah. Hukum Pidana Islam memasukkan Praktik suap-menyuap dalam kategori jarimah ta'zir. Ta'zir merupakan sanksi yang bersifat diskresi, memperbaiki, dan bertujuan untuk mencegah perbuatan kejahatan. Ta'zir di dasarkan pada konsesus dengan syarat sesuai dengan kepentingan-kepentingan masyarakat dan diserahkan kepada kompetensi hakim untuk memberikan pertimbangan dan putusan. Beberapa bentuk hukuman ta'zir antara lain: hukuman cambuk, pengasingan, penjara/kurunga n, pengumuman kepada public, pemboikotan, pembayaran kompensasi, bahkan hukuman mati.

This thesis is discussing about the two main issues: First, how the Islamic Criminal Law reviews the practice of Bribery in corruption. Seconds, how the implementation ta'zir punishment on the perpetrators of the crime of bribery in the perspective of Islamic criminal law. Corruption and bribery (ar-risywah) is an act that violates the law. Islamic Shariah essentially should be implemented to realize the benefit of maintaining the five elements in human life which is called almaqosid as-syar'iyyah. Islamic Criminal Law Practice classify bribery in the category jarimah ta'zir. Ta'zir is a sanction that is discretionary, repair, and aims to prevent the perpetration of crimes. Ta'zir is based on consensus with the requirements in accordance with the interests of society and the implementation of competence submitted to the judge for consideration and decision. Some forms of punishment Ta'zir among others: flogging, exile, imprisonment / confinement, an announcement to the public, boycott, payment of compensation, even the death penalty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S63360
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>