Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88902 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Antonius Budi Satria
"Tesis ini membahas penetapan korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, model dan teori pertanggungjawaban yang dapat digunakan untuk menjerat korporasi, proses konstruksi dakwaan dan konstruksi penuntutan pidana terhadap korporasi, dan kendala-kendala dalam penegakan hukum pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup dan upaya mengatasi kendala-kendala tersebut. Disertakan juga tinjauan terhadap posisi korporasi dalam RKUHP Tahun 2008 dan analisa terhadap dimuat ulangnya kriminalisasi terhadap tindak pidana lingkungan dalam RKUHP Tahun 2008. Penelitian ini merupakan penelitian nonnatif-empiris dengan menggunakan data sekunder sebagai data utama dan data primer sebagai data pendukung. Permasalahan tesis ini adalah penuntutan terhadap korporasi selama ini belum seragam menggunakan dan mendasarkan diri pada model-model dan doktrin- doktrin pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang ada dan masih ada kesulitan Penuntut Umum merumuskan surat dakwaan maupun surat tuntutannya. Termasuk kendala belum ada aturan yang memuat secara tegas khususnya dalam hal mengenai perwakilan korporasi, untuk menentukan siapa sebenarnya yang mewakili korporasi di depan persidangan. Hasil tesis ini menyarankan perlu adanya peningkatan pemahaman dan persamaan persepsi aparat penegak hukum khususnya penuntut umum tentang trend merebaknya corporate erime di bidang lingkungan hidup dalam wadah triangle environmental criminal justice system serta perlunya segera memberikan kurikulum mengenai kejahatan korporasi dalam penegakan hukum lingkungan pada pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa sejak awal.

This thesis discusses the determination of the Corporation as the subject of criminal action in the Law. 23, 1997 on Environmental Management, questioned the theory and models that can be used to trap the Corporation, the process of construction claims and construction of criminal prosecution against the Corporation, and the obstacles in the criminal law enforcement against corporate crime in the environment and efforts to overcome obstacles - these constraints. Also included a review of the corporation's position in RKUHP Year 2008 and analysis of re-criminalization of the criminal environment in RKUHP Year 2008. This research is a normative-empirical research using secondary data as the primary data and primary data as supporting data. The problem of this thesis is that the prosecution against the Corporation for this use has not been uniform and base themselves on the models and the doctrines of criminal responsibility to the Corporation and who have still have difficulty formulating public prosecutor and the indictment of scale down one's demands. There are no obstacles, including rules that explicitly especially in the case of the representatives of the Corporation, to determine who is actually representing the Corporation in front of the trial. Results suggest that this thesis will need to increase the understanding and perception of law enforcement, especially on the prosecutor general about expansion of the symptoms corporate crime in the area of the environment in the forum of triangle environmental criminal justice system and the need to immediately provide the curriculum on corporate crime in the law enforcement environment in the education and training establishment prosecutors since the beginning."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26097
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ginting, Arija Br
"ABSTRAK
Karakteristik delik korporasi yang berbeda dari street crime membuat sejumlah
ahli memandang bahwa ultimum remedium tidak lagi relevan dalam konteks
pertanggungjawaban pidana korporasi. Pertanyaannya adalah (1) bagaimanakah
konsep dan makna ultimum remedium dalam hukum pidana dan kaitannya dengan
Hak Asasi Manusia? (2) bagaimana perumusan ultimum remedium di dalam
konteks pertanggungjawaban pidana korporasi? dan (3) bagaimanakah
implementasi ultimum remedium dalam pertanggungjawaban pidana korporasi di
Indonesia?. Penelitian ini bersifat yuridis-normatif dengan multi-pendekatan.
Wawancara dilakukan untuk mengklarifikasi data sekunder yang ada. Hasilnya
menunjukkan bahwa sejak tahun 1955-2016 terdapat 115 UU yang menempatkan
korporasi sebagai subjek delik, diantaranya korupsi, perpajakan, lingkungan
hidup, dan pencucian uang. Keempat UU yang dianalisis menunjukkan bahwa
administrative penal law cenderung bersifat ultimum remedium dibandingkan UU
Pidana. PERMA No.13 Tahun 2016 cenderung bersifat primum remedium karena
substansinya lebih banyak memuat aturan prosedural daripada substantif.
Sedangkan RKUHP 2015 memiliki pola ultimum remedium yang kuat, yakni
adanya pedoman pemidanaan, double track system, dan pidana tambahan berupa
pembubaran korporasi merupakan sarana terakhir. Putusan hakim cenderung
bersifat primum remedium (analisis dilakukan terhadap putusan PT Giri Jaladhi
Wana, Asian Agri Group, dan PT Kallista Alam). Pengecualian ultimum
remedium seperti itu boleh saja dilakukan mengingat karakteristik delik korporasi,
yakni serius, lintas batas, mengancam sendi perekonomian, dan korban yang
samar dan luas. Namun demikian, terdapat pula kemungkinan penerapan ultimum
remedium melalui partisipasi korporasi dalam kebijakan hukum pidana.

ABSTRACT
The characteristics of corporate offense that are different from street crime make
some experts consider that ultimum remedium is no longer relevant in the context of
corporate criminal liability. The questions are (1)how is the concept and meaning of
ultimum remedium in criminal law and its relation to human rights? (2)how is
ultimum remedium formulated within the context of corporate criminal liability? and
(3)how is the implementation of ultimum remedium in corporate criminal liability in
Indonesia?. This research is juridical-normative with multi-approach. Interviews are
conducted to clarify the existing secondary data. The results are: Since 1955-2016
there are 115 laws that place corporations as the subject of offenses, including
corruption, taxation, environment, and money laundering. The four laws analyzed
indicate that administrative penal law tends to be ultimum remedium compared to the
Criminal Acts. Supreme Court Regulation No.13 of 2016 tends to be primum
remedium because the substance contains more prosedural law than substantive.
While Model Penal Code 2015 has a strong ultimum remedium pattern, namely the
sentencing guidelines, double track system, and corporate dissolution is a last resort
of additional criminal sanction. The judge's verdict tended to be primum remedium
(analysis was made on PT Giri Jaladhi Wana, Asian Agri Group and PT Kallista
Alam). Such exclusion of ultimum remedium are justifiable because of corporate
offences that are serious, transboundary, threatening the economic pillar, and the
vague and widespread of victim. However, there is also the possibility of applying
ultimum remedium through corporate participation in criminal law policy."
2017
T48755
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alamsyah Bahari
"Penegakan hukum Keimigrasian di Indonesia mengalami banyak permasalan akibat tidak pastinya peraturan dalam Undang-Undang Keimigrasian, karena adanya kewenangan diskresi yang diberikan kepada Pejabat Imigrasi untuk memilih apakah akan memberikan tidakan sanksi Administrasi atau sanksi Pidana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan asas ultimum remedium dalam Undang-Undang Keimigrasian, faktor-faktor yang menyebabkan Pejabat Imigrasi menggunakan sanksi Administrasi atau sanksi Pidana dan bagaimana praktik penegakan hukum Keimigrasian di Indonesia. Dalam penelitian ini, jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan sejarah, undang-undang dan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa cukup dengan penerapan tindakan sanksi administrasi berupa Deportasi, denda dan Penangkalan dapat menyelesaikakan proses penegakan hukum keimigrasian secara cepat, sederhana dan biaya ringan sehingga asas ultimum remedium dapat diterapkan dalam penegakan hukum Keimigrasian. Penjatuhan sanksi administrasi dapat diterapkan kepada semua pelanggaran dan kejahatan dalam Undang-Undang Keimigrasian, kecuali terhadap korban perdagangan orang dan penyelundupan manusia. Sebelum menjatuhkan sanksi pidana harus dipertimbangkan dampak dari pelanggaran dan kejahatan yang terjadi apakah pelanggaran dan kejahatan dapat di toleransi oleh masyarakat atau meresahkan masyarakat. Praktek penerapan sanksi pidana keimigrasian di Indonesia masih mengalami kendala diantarahnya overcrowded Lembaga Permasyarakatan, Rudenim, peningkatan biaya operasional setiap kasus, pengungsi yang tinggal tanpa batasan waktu, dan kurangnya koordinasi antara pejabat Imigrasi dengan Kepolisian RI.

Immigration law enforcement in Indonesia has many problems due to uncertain regulations in the Immigration Act, because of the discretionary authority granted to Immigration Officials to choose whether to provide administrative sanctions or criminal sanctions. This study aims to find out how the application of the ultimum remedium principle in the Immigration Act, factors that cause Immigration Officials to use Administrative sanctions or Criminal sanctions and how Immigration law enforcement practices in Indonesia. In this study, the type of research used is normative research using historical, legal and conceptual approaches. The results of the study concluded that sufficient implementation of administrative sanctions in the form of Deportation, fines and deterrence could solve the immigration law enforcement process quickly, simply and at a low cost so that the principle of ultimum remedium can be applied in the enforcement of Immigration law. Administrative sanctions can be applied to all violations and crimes under the Immigration Act, except for victims of trafficking and people smuggling. Before imposing a criminal sanction, it must be considered the impact of the violation and the crime that occurred whether the violation and crime can be tolerated by the community or disturbing the community. The practice of implementing immigration criminal sanctions in Indonesia is still experiencing problems in overcrowded Correctional Institutions, Rudenim, increased operational costs for each case, refugees who live without time limits, and lack of coordination between Immigration officials and the Indonesian Police.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53118
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widia Cynthia Bahari
"Sejak terjadinya Revolusi Industri di Inggris, yang ditandai dengan peralihan sisem tenaga kerja manual yakni menggunakan tenaga manusia dan hewan menjadi tenaga mesin, beberapa sektor usaha perdagangan seperti tekstil, pertambangan, transportasi kereta api mulai beralih ke teknologi mesin.Oleh karena besarnya manfaat yang dirasakan dengan ditunjangnya hasil produksi dan kemajuan di sektor pembangunan fisik, fenomena Revolusi Industri ini pun berkembang dengan pesat hingga ke negara-negara seperti Eropa Barat, Amerika Utara, dan Jepang, serta ke seluruh dunia. Meski demikian, pengaruh modernisasi besar-besaran rupanya memunculkan berbagai masalah, salah satunya adalah peningkatan polusi udara sebagai akibat dari produk buangan industri yang menimbulkan lingkungan yang tidak sehat. Di samping itu, produksi limbah cair yang tidak terolah dengan baik juga menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius, yakni tercemarnya air yang menjadi media pembuangan sehingga merugikan makhluk hidup yang menggantungkan hidup dari air buangan seperti ikan dan manusia. Dalam hal ini, terdapat beberapa kasus yang diambil sebagai akibat dari pencemaran limbah tersebut, misalnya terdapat kasus tercemarnya air tanah di wilayah Hinkley akibat terkontaminasinya air tanah dengan limbah yang dihasilkan oleh perusahaan minyak Pacific Gas and Electric Company (PG&E) . Sementara itu di Indonesia terdapat kasus PT. Inti Teksturindo Megah yang telah mengalirkan air limbah ke Kali Citarik tanpa diproses terlebih dahulu melalui Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Akibatnya, sejumlah biota air seperti ikan, kura-kura dan hewan lainnya mati, dan warga masyarakat mengalami luka bakar, gatal-gatal dan melepuh, sebagaimana bukti Visum et Repertum. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan bagaimana bentuk keterlibatan korporasi dan/atau pengurus korporasi.Dalam penelitian ini bentuk penelitian yang digunakan oleh penulis adalah yuridis normatif, yang didasarkan kepada bahan kepustakaan dan juga peraturan perundang-undangan terkait. Hasil menunjukkan bahwa dalamputusan 155/PID.SUS/2013/PN.CMS, Majelis Hakim mengakui peran korporasi dalam tindakan tersebut dan menjatuhkan hukuman kepada individu serta korporasi sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatan tersebut. Walaupun jika melihat bentuk hukuman yang dijatuhkan, terdapat kegamangan dari karena adanya pengganti pidana kurungan.

Since the Industrial Revolution in England, which was marked by the shift from a manual labor system, namely using human and animal power to machine power, several trade business sectors such as textiles, mining and rail transportation have begun to switch to machine technology. Because of the large benefits felt by the support of production results and progress in the physical development sector, the Industrial Revolution phenomenon is growing rapidly to other countries, such as Western Europe, North America and Japan, as well as throughout the world. However, the influence of massive modernization has apparently given rise to various problems, one of which is an increase in air pollution as a result of industrial waste products which create an unhealthy environment. Apart from that, the production of liquid waste that is not properly treated also causes quite serious environmental problems, namely the contamination of water which is used as a disposal medium, thereby harming living creatures that depend on waste water for their living, such as fish and humans. In this case, there are several cases taken as a result of waste pollution, for example there is a case of groundwater contamination in the Hinkley area due to groundwater contamination with waste produced by the Pacific Gas and Electric Company (PG&E) oil company. Meanwhile in Indonesia there is a case of PT. Inti Teksturindo Megah has channeled waste water into the Citarik River without prior processing through the Waste Water Treatment Plant (IPAL). As a result, a number of aquatic biota such as fish, turtles and other animals died, and community members experienced burns, itching and blisters, as evidenced by the Visum et Repertum. This research aims to find out what forms of corporate involvement and/or corporate management take. In this research, the form of research used by the author is normative juridical, which is based on library material and also related laws and regulations. The results show that in decision 155/PID.SUS/2013/PN.CMS, the Panel of Judges acknowledged the role of corporations in these actions and imposed penalties on individuals and corporations as a form of responsibility for these actions. Even if you look at the form of punishment imposed, there is uncertainty on the part of the Panel of Judges to impose a crime on an individual or corporation, because there is a substitute for imprisonment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tumpal Eben Ezer
"Penjatuhan sanksi rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika adalah suatu tindakan yang penting karena disatu sisi penyalahguna narkotika merupakan korban dari tindak pidana narkotika. Dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, kerangka yuridis yang telah ada di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2011 tentang pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika seharusnya digunakan dalam penerapannya pada masing-masing sub sistem peradilan pidana agar upaya pengobatan dan juga perawatan bagi penyalahguna, guna menyelaraskan penerapan rehabilitasi tersebut Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.04 Tahun 2010, begitu juga dengan Badan Narkotika Nasional mengeluarkan Peraturan Kepala BNN Nomor 2 Tahun 2011, Kejaksaan Agung pada tanggal 12 Januari 2012 telah menerbitkan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor : B-136/E/EJP/01/2012 perihal tuntutan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, sedangkan Polri masih menyiapkan Rancangan Peraturan Kapolri tentang Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika di lingkungan Polri untuk di jadikan pedoman Penyidik dalam melakukan rehabilitasi terhadap penyalahguna Narkotika yang menjadi Pecandu atau korban Penyalahgunaan Narkotika. Berkaitan dengan hal tersebut penulis nantinya akan membahas mengenai harmonisasi antara ukuran-ukuran yang digunakan oleh Kepolisian, Badan Narkotika Nasional (BNN), Kejaksaan dan Pengadilan dalam merehabilitasi dilanjutkan dengan peranan Jaksa sebagai penyaring perkara dalam penanganan kasus-kasus Narkotika dan kewenangan penuntut umum dalam penanganan perkara Narkotika.

Rehabilitation sanctions against drug abusers is an important measure because on one hand, drug abusers are victims of crime narcotics. In Article 54 of Law No. 35 Year 2009 on Narcotics explain that addicts Narcotics and Narcotic abuse victims to undergo compulsory medical rehabilitation and social rehabilitation, the existing legal framework in the Act No. 35 Year 2009 on Narcotics and Government Regulation No. 25 of 2011 on the implementation of compulsory reporting of drug addicts should be used in the application on each - each sub-system of criminal justice in order to attempt treatment and also care for abusers, in order to harmonize the implementation of the rehabilitation of the Supreme Court has issued a Circular Letter of the Supreme Court (SEMA) No.04 of 2010, as well as with the National Narcotics Agency chief BNN issued Regulation No. 2 of 2011, the Attorney General on January 12, 2012 has issued Circular Attorney General for General Crimes Number: B-136/E/EJP/01/2012 demands concerning medical rehabilitation and social rehabilitation, while the police are still preparing the Draft Police Regulation on Narcotics Abuse Reduction in the police to make the guidelines at Investigators in rehabilitating narcotics abusers who become addicts or victims of Narcotics Abuse. In this regard the authors will discuss the harmonization between size - the size used by the Police, the National Narcotics Agency (BNN), and courts in rehabilitating followed by a role as a filter Attorney handling the case in the case - Narcotics and authority of the public prosecutor in handling Narcotics cases.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35989
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Fauzan Haryadi
"Tesis ini membahas tentang upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dan penuntut umum. Praktik peradilan terkait upaya hukum peninjauan kembali telah dilakukan oleh korban baik dalam kualitasnya sebagai saksi korban, pihak ketiga yang berkepentingan maupun Penuntut Umum yang mewakili korban dan negara. Perbedaan dalam penafsiran ekstensif dari pemberian hak peninjauan kembali oleh MA khususnya terhadap upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban yang dinyatakan tidak dapat diterima mendorong penulis untuk melakukan penelitian terkait permasalahan kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, alasan apa yang mendasari Mahkamah Agung menyatakan permohonan upaya hukum peninjauan kembali oleh saksi korban tidak dapat diterima serta bagaimana peluangnya di masa mendatang.
Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa secara teoritis dan praktik kedudukan korban masih sangat terasing dan diasingkan dalam sistem peradilan yang kita anut sekarang. Terhadap upaya hukum oleh korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban Mahkamah Agung belum menerima secara formal atas dasar korban tidak mempunyai legal standing dalam perkara pidana. Berdasarkan atas pertimbangan rasa keadilan dan asas keseimbangan dengan menggunakan landasan perspektif posisi sentral korban dan pergeseran sistem peradilan pidana seharusnya selain Penuntut Umum dalam kapasitasnya mewakili korban, masyarakat umum, bangsa dan negara, serta korban dalam kualitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, maka korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban juga beralasan untuk diberikan hak mengajukan peninjauan kembali. Guna memberi landasan yang kuat bagi korban agar dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali dikemudian hari, ketentuan Pasal 263 KUHAP sebagai dasar pengajuan permintaan peninjauan kembali perkara pidana perlu direvisi dan dilenturkan sedemikian rupa sehingga juga bisa memberikan hak kepada korban kejahatan maupun keluarganya untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.

This thesis discusses review appeals by victims and prosecutors. The practice of judicial review appeals have been made by the victim both in quality as witnesses, interested third parties and the public prosecutor representing the victims and the state. Differences in interpretation of the extensive granting review appeals by the Supreme Court in particular to effective judicial review appeals of the victim in the victim's quality as a witness cannot be accepted encourage writers to do some research problems related to the position of the victim in the criminal justice system in Indonesia, what is the underlying reason for the Supreme Court request review appeals of legal action by the victims cannot be accepted and how the chances in the future.
The results concluded that the theoretical and practical position of the victim is very isolated and ostracized in the justice system that we embrace today. Against legal action by the victim in the victim's quality as a witness Supreme Court has not received a formal on the basis of the victim haven't a legal standing. According to the sense of justice and the principle of balance by using runway perspective of the central position of victims and the criminal justice system should shift other than prosecution General in his capacity representing the victims, the general public, state and nation, as well as victims in quality as an interested third parties, the victim in the victim's quality as a witness was also given the right reasons to submit a review. In order to provide a strong foundation for victims to apply for review appeals in the future, the provision of Article 263 of the Criminal Procedure Code as the basis for reconsideration filing criminal cases need to be revised and bent in such a way that it can also give rights to victims of crime or their families to apply for review appeals.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33051
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisya Majory
"ABSTRAK
Tulisan ini menganalisis bagaimana peraturan perundang-undangan terkait lingkungan hidup di Indonesia dan di negara lain mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus korporasi. Di Indonesia, ketentuan dalam peraturan perundang-undangan serta putusan pengadilan masih kerap gagal dalam membedakan pertanggungjawaban pidana untuk korporasi dan pengurus korporasi. Dalam praktiknya, pengurus korporasi dapat dipidana atas tindakan korporasi tanpa dibuktikan adanya kesalahan dan bahkan tanpa dijadikan terdakwa terlebih dahulu. Padahal, terdapat teori yang berbeda untuk membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi dengan pengurus korporasi. Mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan putusan Australia dan Inggris serta teori-teori pertanggungjawaban pidana, tulisan ini mengkritik peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan Indonesia terutama dalam lingkup pencemaran dan perusakan lingkungan. Seharusnya pengurus korporasi hanya dapat dipidana apabila terlibat dalam pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh korporasi, dan bukan semata-mata karena jabatannya sebagai direktur dalam korporasi. Tulisan ini menyarankan diperjelasnya ketentuan pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus korporasi terutama terkait dengan lingkungan hidup.

ABSTRACT
This thesis analyses how environmental regulations in Indonesia and other States respectively regulate corporate criminal liability and director 39 s criminal liability. Indonesian regulations and courts often fail to distinguish between corporate criminal liability and director 39 s criminal liability. In practice, director 39 s may be held guilty without being at fault or even without being made a defendant for a corporate crime. Based on Australian and English regulations and courts decisions as well as theories on criminal liability, this writing criticizes Indonesian regulation and court decisions especially with regards to environmental pollution. A director should only be convicted if the director is involved in the environmental pollution done by the corporation, and not merely because of his or her position as the director of the corporation. This writing provides a recommendation in light of the uncertainty surrounding corporate criminal liability and director 39 s criminal liability especially in the context of environmental law in the hope to provide clarity on the matter. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Tsurayya
"Penuntut Umum memiliki peran penting dalam penegakan hukum, khususnya peradilan pidana. Salah satu peran penting tersebut adalah kewenangan untuk menuntut atau tidak menuntut suatu perkara ke pengadilan, yang dikenal dengan dominus litis atau pengendali perkara. dominus litis, peran aktif penuntut umum dimulai semenjak awal penyidikan, mengawasi penyidikan, mengawasi eksekusi putusan pengadilan, serta fungsi lainnya yang menyangkut kepentingan publik. Namun demikian, sistem peradilan pidana Indonesia cenderung mereduksi konsep dominus litis jaksa karena menganut sistem diferensiasi fungsional. Hal ini terlihat dari definisi penuntutan yang hanya dimaknai sebagai tindakan pelimpahan perkara ke pengadilan. Penelitian ini akan membahas tentang pengajuan tuntutan bebas oleh jaksa penuntut umum sebagai cerminan dari dominus litis. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif yang akan dikaitkan dengan peraturan hukum di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa jaksa penuntut umum di Indonesia dapat mengajukan tuntutan bebas sesuai dengan Pedoman Jaksa Agung Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Tuntutan bebas dilakukan dalam hal kesalahan terdakwa tidak terbukti, unsur tindak pidana tidak terpenuhi, dan/atau pembuktian yang dihadirkan di persidangan tidak memiliki kekuatan pembuktian atau perolehan dua alat bukti dilakukan secara tidak sah. Salah satu faktor jaksa penuntut umum dalam mengajukan tuntutan bebas adalah karena adanya perubahan fakta persidangan dan fakta penyidikan. Selain itu, tuntutan bebas dilakukan dalam rangka supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia.

Prosecutor has an important role in law enforcement, especially criminal justice. One of these important roles is the authority to prosecute or not prosecute a case to court, which is known as dominus litis or case controller. As a dominus litis, the prosecutor's active role starts from the beginning of an investigation, overseeing investigations, supervising the execution of court decisions, as well as other functions related to the public interest. However, the Indonesian criminal justice system tends to reduce the concept of prosecutor dominus litis because it adheres to a system of functional differentiation. This can be seen from the definition of prosecution which is only interpreted as an act of delegating cases to court. This research will discuss the subsmission of acquittal charges by the prosecutor as a reflection of dominus litis. This research is in the form of normative juridical which will be linked to legal regulations in Indonesia. Based on the research results, it was found that prosecutors in Indonesia can submit acquittal charges in accordance with the Pedoman Jaksa Agung Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. An acquittal charge is made if the defendant's guilt is not proven, the elements of the crime are not fulfilled, and/or the evidence presented at trial does not have the strength of evidence or the acquisition of two pieces of evidence was carried out illegally. One of the factors of the prosecutor in submitting acquittal charges was due to changes in the facts of the trial and the facts of the investigation. In addition, acquittal charge are carried out in the framework of the rule of law and the protection of human rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Satrio Pamungkas
"ABSTRAK
Pemilihan Umum sebagai sarana pelaksana kedaulatan rakyat telah diatur sedemikian rupa oleh pembuat undang-undang. Disamping mengatur tentang bagaimana Pemilihan Umum itu diselenggarakan, pembuat undang-undang juga membuat peraturan khusus yang melarang sejumlah perbuatan curang dengan ancaman pidana beserta proses penyelesaianya yang disebut sebagai tindak Pidana Pemilu. Penelitian ini dibuat untuk mengkaji salah satu proses penyelesaian tindak pidana Pemilihan Umum yaitu terkait upaya hukum banding sebagai upaya hukum terakhir dalam tindak pidana Pemilihan Umum yang dihubungkan dengan permintaan banding oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pengumpulan data melalui studi lapangan, yakni melalui wawancara langsung dengan Hakim Tinggi dan Jaksa Penuntut Umum khusus perkara tindak pidana Pemilihan Umum, serta studi kepustakaan dengan membaca dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa walaupun tidak diatur jelas oleh Undang-Undang Pemilihan Umum, terkait putusan bebas yang dikecualikan untuk dapat dimintakan banding tetap berlaku sebagai salah satu syarat suatu permintaan banding dapat diterima, dengan pertimbangan bahwa pengecualian tersebut merupakan bentuk perlindungan hak terdakwa yang dijamin oleh undang-undang.

ABSTRAK
General Election as the implementation of citizen rsquo s sovereignty has been regulated by the legislators. Besides regulating the mechanism of General Election, the legislator also established a peculiar regulation which prohibit corrupt act with penal punishment as Electoral Offences along with its settlement procedures. This research was made to examine one of the Electoral Offences settlement procedures about appeal against the District Court Decision as the last legal action, by analyzing its association with the appeal mechanism by Public Prosecutor on acquittal. This research conducted by collecting data through field data studies by interviewing the Public Prosecutor and High Court Judges for Electoral Offences, and also by observing and reading literary to find the concept, theories, or opinions about the subject matter. The result of this research indicated that acquittal on Electoral Offences still excluded from the decision that could be appeal, by considering Criminal Code Procedures regulation about the right of the defendant."
2017
S68066
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>