Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92140 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Kautsar
"Obat Anti Inflamasi Non steroid (OAINS) telah diketahui dapat menurunkan ketahanan mukosa lambung terhadap terbentuknya ulkus. Penggunaan OAINS kronis dapat meningkatkan kemungkinan terbentuknya ulkus. Untuk mengatasi hal ini, maka akan diteliti apakah capsaicin dapat memberi perlindungan pada mukosa lambung yang telah diberi paparan OAINS. Penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa capsaicin memiliki pengaruh gastroproteksi baik pada hewan coba maupun pada manusia. Tikus Sprague Dawley dengan berat 150-200 gram dan jumlah 12 ekor dibagi dalam 4 kelompok. Semua tikus dibius dan dilakukan laparotomi. Lambung diolesi asam asetat pada tunika serosa untuk pembentukan ulkus. Pada kelompok kontrol tidak dilakukan apapun. Pada kelompok perlakuan 1 tikus diberi capasaicin pada hari ke-3 setelah induksi ulkus dengan dosis 10 mg/kg BB selama 5 hari. Pada tikus kelompok perlakuan 3 dan 4 masing-masing diberikan piroksikam dan piroksikam serta capsaicin yang juga dimulai pada hari ke-3 selama 5 hari. Pada hari ke- 10 setelah pembuatan ulkus, luas ulkus yang terbentuk diukur dengan program Adobe Photoshop CS II dan dianalisis. Kelompok yang di beri capsaicin menghasilkan rata-rata luas ulkus yang lebih kecil (2 mm2) dibanding kontrol (5,33 mm2). Kelompok yang diberi capsacin dan piroksikam juga menunjukkan rata-rata luas ulkus yang lebih kecil (9,67 mm2) jika dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberikan piroksikam saja (12,33 mm2). Namun, hasil ini secara statistik tidak bermakna.

Non-Steroid Anti Inflammatory Drugs (NSAID) have been proven to reduce the gastric mucosal defence system. Chronic use of NSAID can increase the likelihood of gastric ulcer. To overcome this problem, we studied the effect of capsaicin to protect gastric mucosa against NSAID. Previous studies have proved that capsacion has gatroprotective effect to both experimental animals and humans. Sprague Dawley rat weighed 150-200 gram (12) were divided into 4 groups. All of the rats were anesthesized and performed laparotomy procedure. The gastric was given acetic acid solution on its serosal surface to create an ulcer. Nothing was done in the control group. In Group 1, the rats were given capsaicin on day 3 after ulcer induction. The dosage of which was 10 mg/BW for 5 days. In group 3 and 4, the rats were given piroxicam and piroxicam combine with capsaicin respectively on the day 3 after ulcer induction for 5 days. On day 10 after ulcer induction, ulcer area was measured by Adobe Photoshop CS II and was analysed. The Average ulcer area in capsaicin group (2 mm2) is smaller than control grop (5,33 mm2). The Average ulcer area in capsaicin and piroxicam group (9,67 mm2) is also smaller than piroxicam group (12,33 mm2). However, these results are statistically insignificant."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univeristas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sopiyatul Marwa
"Meloksikam adalah salah satu obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang memiliki kelarutan rendah dan menyebabkan terjadinya iritasi lambung. Oleh karena itu, untuk menghindari efek tersebut meloksikam dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan transdermal. penelitian ini bertujuan untuk membuat sediaan mikroemulsi yang stabil serta mengetahui pengaruh konsentrasi mentol terhadap jumlah kumulatif meloksikam yang terpenetrasi. konsentrasi mentol yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2,5-5%. Kemampuan penetrasi sediaan mikroemulsi melalui kulit diuji secara in-vitro dengan alat sel difusi Franz menggunakan membran abdomen tikus galur Sparague-Dawley. Dari hasil uji jumlah kumulatif meloksikam yang terpenetrasi selama 8 jam dari sediaan mikroemulsi formula 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah 67,7600 µg/cm2 ± 15,0743%, 126,6567 µg/cm2 ± 25,8984% dan 130,5000 µg/cm2 ± 25,0126%. Sedangkan jumlah fluks meloksikam dalam sediaan mikroemulsi formula 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah 23,2043 µg/cm2.jam ± 43,6386, 40,1221 µg/cm2.jam ± 31,7465% dan 41,2888 µg/cm2.jam ± 32,0791%. Dari hasil uji penetrasi dapat disimpulkan bahwa penambahan mentol 2,5% dan 5% dapat berpengaruh pada jumlah kumulatif dan jumlah fluks meloksikam dalam sediaan.

Meloxicam is a non-steroidal anti-inflammatory drug (NSAID) which has low solubility and causes gastric irritation. Therefore, to avoid this effect, meloxicam can be formulated in a transdermal dosage form. This study aims to make a stable microemulsion preparation and to determine the effect of menthol concentration on the cumulative amount of meloxicam penetrated. The concentration of menthol used in this study was 2.5-5%. Penetration ability through skin was examined by in-vitro Franz diffusion cell test using Sprague-Dawley rat abdomen skin. From the test results, the cumulative amount of meloxicam that penetrated for 8 hours from the microemulsion formulations formulas 1, 2 and 3 were 67.7600 g/cm2 ± 15.0743%, 126.6567 g/cm2 ± 25.8984% and 130.5000 g/cm2 ± 25.0126%. Meanwhile, the amount of meloxicam flux in the microemulsion formula 1, 2 and 3 was 23.2043 g/cm2.hour ± 43.6386, 40.1221 g/cm2.hour ± 31.7465% and 41.2888 g/cm2.hours ± 32.0791%. From the results of the penetration test, it can be concluded that the addition of menthol 2.5% and 5% can affect the cumulative amount and the amount of meloxicam flux in the preparation."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nusaibah Muthiah
"Orang dewasa yang lebih tua rentan terhadap masalah terkait narkoba karena polifarmasi dan penurunan fungsi organ. Salah satu obat paling umum yang diresepkan orang dewasa yang lebih tua adalah obat antiinflamasi non steroid (NSAID). NSAID efektif untuk keluhan umum untuk orang dewasa yang lebih tua. Resep NSAID pada lansia perlu dipantau dengan hati-hati untuk menghindari efek samping. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan karakteristik resep NSAID dan menganalisis potensi masalah yang berkaitan dengan NSAID di Puskesmas Kecamatan Kebayoran Baru untuk periode Juli hingga Desember 2018. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain studi cross-sectional. Pengambilan data secara rectrospektif dari data resep dengan teknik random sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah resep pasien NSAID dengan usia 60 tahun ke atas pada periode Juli hingga Desember 2018. Penelitian ini dilakukan pada 384 resep pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Pengguna NSAID pada pasien usia lanjut terdiri dari 56,25% wanita dan 43,75% pria. Distribusi usia terdiri dari 82,55% usia 60-69, 19,01% berusia 70-79, 1,30% berusia 80-89, dan 0,26% berusia 90-99. Resep polifarmasi ditemukan 15,37%. NSAID yang paling diresepkan adalah natrium diklofenak (69,01%), asam mefenamat (14,32%) dan piroksikam (11,20%). Peristiwa pengobatan yang tidak kompatibel tidak ditemukan. Insiden ketidakcocokan dosis dalam resep NSAIDs untuk pasien usia lanjut di Puskesmas Kecamatan Kebayoran Baru periode Juli hingga Desember 2018 adalah dosis yang melebihi rekomendasi, itu piroksikam (0,78%). Potensi interaksi antar obat adalah 22,34%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada potensi masalah terkait obat NSAID di Puskesmas Kecamatan Kebayoran Baru periode Juli hingga Desember 2018 sehingga diperlukan perbaikan resep dan pemantauan obat untuk meminimalkan masalah terkait obat dan menyediakan terapi obat yang rasional.

Older adults are vulnerable to drug-related problems due to polypharmacy and decreased organ function. One of the most common medications prescribed by older adults is non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs). NSAIDs are effective for general complaints for older adults. NSAID prescriptions in the elderly need to be monitored carefully to avoid side effects. This study aims to describe the characteristics of prescription NSAIDs and analyze potential problems related to NSAIDs in the Kebayoran Baru District Health Center for the period July to December 2018. This research is a descriptive study with cross-sectional study design. Retrieving data in a rectrospective way from recipe data with random sampling techniques. The sample in this study was the prescription of NSAID patients aged 60 years and over in the period July to December 2018. This study was conducted on 384 prescription patients who met the inclusion criteria. NSAID users in elderly patients consisted of 56.25% women and 43.75% men. The age distribution consisted of 82.55% aged 60-69, 19.01% aged 70-79, 1.30% aged 80-89, and 0.26% aged 90-99. The polypharmacy prescription was found to be 15.37%. The most prescribed NSAIDs were diclofenac sodium (69.01%), mefenamic acid (14.32%) and piroxicam (11.20%). Incompatible treatment events not found. The incidence of dosage mismatch in NSAIDs prescriptions for elderly patients in the Kebayoran Baru District Health Center for the period July to December 2018 was a dose that exceeded the recommendation, it was piroxicam (0.78%). Potential interactions between drugs are 22.34%. The conclusion of this study is that there are potential problems related to NSAID drugs in the Kebayoran Baru District Health Center in the period July to December 2018 so that it is necessary to improve prescription and drug monitoring to minimize drug-related problems and provide rational drug therapy.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiska Satriani Damput
"Kayu manis (Cinnamomum zeylanicum Breyn) merupakan tanaman yang ada di Indonesia dengan kandungan flavonoid yang diketahui memiliki efek antiinflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antiinflamasi ekstrak kulit batang kayu manis terhadap tikus Sprague Dawley yang dibuat udem pada telapak kaki kirinya. Tikus dibagi menjadi lima kelompok yang masing-masing terdiri dari 6 ekor. Pada kelompok kontrol negatif diberikan CMC 0.5%, kelompok kontrol positif diberikan natrium diklofenak 27mg/200g bb, kelompok perlakuan diberi ekstrak etanol 70% kulit batang kayu manis dengan dosis 280mg, 560mg dan 1120mg/200g bb peroral. Setelah 30 menit pemberian peroral, telapak kaki kiri tikus diinduksi dengan 0.4 ml karaginan 1% untuk menimbulkan udem. Pengukuran volume udem dilakukan menggunakan pletismometer dalam interval waktu 1 jam selama 6 jam. Data yang diperoleh dihitung presentase penghambatan udemnya dan dianalisis menggunakan SPPSS 19. Hasil penelitian ini menunjukan adanya perbedaan bermakna (p<0,05) pada pemberian ekstrak kayu manis dengan control positif dan kontrol negatif dan dosis 1120mg/200g bb yang paling baik memberikan efek sebagai antiinflamasi. Disimpulkan bahwa ekstrak kayu manis memiliki efek antiinflamasi.

Cinnamomum zeylanicum Breyn is one of Indonesian plant that contains flavonoid and known as anti-inflammatory agent. The purpose of this study is to find out the effect of C. zeylanicum Breyn bark extract as anti-inflammatory in rat Sprague Dawley that is induced edema on its left paw. The rats are divided into five groups and each group consists of six rats. Group I function as negative control is given, group II as positive control is given natrium diklofenac 27mg/200g bb, group III, IV and V are given the extract with dose 280mg/200g bb, 560mg/200g bb and 1120mg/200g bb. After 30 minute, left paw of the rats are injected with 0.4 ml carrageenan 1% to induce edema. The volume of edema was measured every hour during 6 hours using pletismometer. The percentage of edema inhibition is counted and analyzed using SPSS 19. The result shows that the extract treated was significantly different (p<0,05) with positive and negative control and at dose 1120mg/200g bb gives the best effect as an anti-inflammatory. In conclude, the extract has anti-inflammatory effect."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S45402
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Rizky Benedict
"Natrium diklofenak termasuk anti-inflamasi non-steroid (OAINS) dengan efek samping iritatif terhadap lambung sehingga perlu dibuat sistem pelepasan zat aktif ditunda. Tablet lepas tunda memerlukan polimer bersifat pH dependent, seperti hidroksipropil metil selulosa ftalat (HPMCP). Masalah yang dapat terjadi pada tablet salut, yaitu retakan di lapisan penyalut akibat ketidakelastisan polimer akan pemuaian akibat pemanasan. Diperlukan penambahan plasticizer yang kompatibel terhadap polimer untuk menambah keelastisannya, seperti triasetin dan trietil sitrat. Penelitian ini berfokus dalam mengevaluasi pengaruh penambahan trietil sitrat ataupun triasetin terhadap adanya cracking serta efeknya terhadap pelepasan obat pada variasi weight gain tertentu. Dilakukan metode penyalutan, yaitu formula HPMCP atau HP (F1) ; HPMCP-Triasetin atau HP-TRI (F2) ; HPMCP-Trietil Sitrat atau HP-TEC (F3) ; dan HPMCP-Triasetin-Trietil Sitrat atau HP-TRI-TEC (F4) yang akan dibuat dalam variasi weight gain 8%, 10%, dan 12%. Morfologi cracking dievaluasi dengan scanning electron microscopy (SEM). Hasil evaluasi SEM tidak ditemukan cracking dan kekasaran lapisan penyalut tablet, yaitu F1 > F3 > F4 > F2. Semua formula dan variasi weight gain-nya memenuhi syarat pelepasan obat di medium asam maupun basa. Jadi, penggunaan polimer HPMCP saja sudah mampu menahan pelepasan obat di kondisi asam dan penambahan plasticizer triasetin dan trietil sitrat mampu memperhalus morfologi lapisan penyalut tablet salut enterik.

Sodium diclofenac is a non-steroidal anti-inflammatory drug (NSAID) with gastric irritative, necessitating the development of a delayed-release drug delivery system. This system require a pH-dependent polymer, such as hydroxypropyl methylcellulose phthalate (HPMCP). A problem that can occur is cracking in the coating layer due to the polymer's lack of elasticity during expansion caused by heating. To enhance its elasticity, the addition of a compatible plasticizer is needed, such as triacetin and triethyl citrate. This study focuses on evaluating the influence of adding triethyl citrate or triacetin on the occurrence of cracking and its effects on drug release at specific weight gain variations. The coating methods used include HPMCP or HP (F1), HPMCP-Triacetin or HP-TRI (F2), HPMCP-Triethyl Citrate or HP-TEC (F3), and HPMCP-Triacetin-Triethyl Citrate or HP-TRI-TEC (F4). These formulations will be made with variations of weight gain at 8%, 10%, and 12%. Cracking morphology will be evaluated using scanning electron microscopy (SEM). The SEM evaluation results showed no cracking and the surface roughness are F1 > F3 > F4 > F2. All formulations and their weight gain met the requirements for drug release in both acidic and basic media. Therefore, the use of HPMCP polymer alone is already capable of controlling drug release in acidic conditions, and the addition of triacetin and triethyl citrate plasticizers can further smoothen the morphology."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adnina Fithra Azzahra
"ABSTRAK
Asam kojat merupakan asam organik yang memiliki banyak kegunaan diantaranya sebagai antibakteri, antifungal, antimelanosis, dan agen pengkelat, yang dihasilkan melalui fermentasi kapang genus Aspergillus dan Penicillium. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi yang optimal pada fermentasi menggunakan Aspergillus oryzae dengan melakukan optimasi medium dan kondisi fermentasi secara bertahap. Kadar asam kojat ditentukan dengan metode KLT densitometri dengan detektor UV pada panjang gelombang 318 nm. Kombinasi sukrosa dan yeast extract dipilih sebagai sumber karbon dan nitrogen terbaik dari sembilan variasi medium dengan jumlah asam kojat yang dihasilkan sebesar 1,5425 g/L. Keasaman medium yang paling optimum adalah pada pH 4,5 dibandingkan dengan pH 3,5 dan 5,5 dengan hasil asam kojat sebesar 1,7127 g/L. Fermentasi pada suhu 35 C menunjukkan kadar asam kojat yang lebih tinggi dibandingkan pada suhu ruang. Optimasi kondisi aerasi dilakukan dengan empat variasi volume medium dimana medium dengan volume 100 ml menghasilkan asam kojat dengan jumlah tertinggi yaitu 1,6472 g/L.. Hasil optimasi yang paling baik memiliki nilai yield sebesar 0,0370 gg-1.

ABSTRACT
Kojic acid is an organic acid that has many uses such as antibacterial, antifungal, antimelanosis, and chelating agent, which is produced by fermentation of genus Aspergillus and Penicillium. This study aimed to obtain optimal conditions on fermentation using Aspergillus oryzae by optimizing the medium and fermentation conditions gradually. Levels of kojic acid were determined by the method of TLC densitometry with UV detector at 318 nm wavelength. The combination of sucrose and yeast extract was chosen as the best source of carbon and nitrogen from nine medium variations with the amount of kojic acid produced at 1.5425 g L. The optimum acidity of the medium is at pH 4.5 in which 1.7127 g L of kojic acid produced, compared to medium with pH value of 3.5 and 5.5. Fermentation at 35 C indicates higher kojic acid production compared to room temperature. Optimization of aeration conditions was performed with four variations of medium volume where medium with 100 ml volume produced the highest amount of kojic acid at 1.6472 g L. The most optimum result has a yield value of 0.0370 gg 1."
2017
S69803
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Puspito Sari
"Ulkus peptikum adalah hilangnya sel epitel yang mencapai atau menembus muskularis mukosa dengan diameter kedalaman < 5 mm. Ulkus dapat terjadi akibat produksi mukus yang terlalu sedikit atau produksi asam yang berlebihan. Lambung memiliki sistem pertahanan yang dimediasi oleh pelepasan CGRP dari serat saraf aferen dan pembentukan NO. Pada penelitian terdahulu, telah dibuktikan bahwa terdapat zat dalam capsaicin yang dapat membantu mempercepat proses penyembuhan ulkus peptikum. Capsaicin adalah suatu alkaloid yang larut dalam alkohol dan terdapat pada cabai. Capsaicin bekerja dengan merangsang pelepasan CGRP yang selanjutnya memicu pelepasan NO yang berfungsi untuk meningkatkan aliran darah ke lambung. Sedangkan dalam praktek dokter sehari-hari, terdapat beberapa obat yang dapat menimbulkan efek samping ulkus peptikum, salah satunya adalah indometasin. Indometasin mempengaruhi respon peradangan dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga berkurangnya sintesis prostaglandin dan leukotrien yang berfungsi sebagai suatu antiinflamasi. Namun, indometasin dalam dosis besar mempunyai efek samping merangsang produksi asam dan pepsin yang berlebihan di dalam lambung dan memudahkan timbulnya ulkus peptikum. Metode penelitian ini adalah eksperimental. Pada penelitian ini, dilakukan pemberian capsaicin bersamaan dengan suatu zat yang dapat menimbulkan ulkus seperti indometasin. Percobaan dilakukan dengan menginduksi ulkus pada lambung tikus kemudian tikus diberi capsaicin dan indometasin per oral pada hari yang sama. Hasil menunjukkan perbedaan luas ulkus pada tiap kelompok percobaan, rata-rata luas ulkus kelompok kontrol yaitu 5,3 mm2, kelompok capsaicin sebesar 2 mm2, kelompok indometasin sebesar 40,33 mm2, dan kelompok capsaicin dan indometasin sebesar 0 mm2. Hasil uji statistik: perbedaan bermakna (p = 0,034) terdapat antara kelompok yang diberi capsaicin dan kelompok yang diberi indometasin. Kesimpulan Capsaicin terbukti mampu mempercepat penyembuhan ulkus lambung pada tikus yang diberi paparan indometasin.

Peptic ulcer is loss of epithelial cell through muscularis mucosa with diameter of depth less than 5 mm.Peptic ulcer is caused by lack of mucous or excess of acid production. Gaster has own self-defence mechanism which mediated by CGRP release from afferent nerve and produce nitric oxide (NO). On the previous research, it has been proven that there is a substance in capsaicin which can accelerate ulcer healing process. Capsaicin is a alcohol solved material which is contained in chilli. Capsaicin stimulates the release of CGRP moreover stimulates release of nitric oxide (NO) that function to increase blood supply to the gaster. In daily clinical practice, there are some drugs which it will lead to peptic ulcer, one of them is indometachin. Indomethacin influence an inflammatory reaction by inhibit cyclooxigenase enzyme, so that decrease the synthesis of prostaglandin and leukotrien which functioned as an anti-inflammatory. However, large amount of indomethacin has side effect to increase acid and pepsin production then induce peptic ulcer. The method of this research is experimental. In this research, given capsaicin with substance that can induce peptic ulcer such as indometachin. The test was started with induction of ulcer on rat?s stomach moreover it?s given with capsaicin and indometachin per oral in the same day. The results shows the difference wide of ulcer between control which are 5,3 mm2, capsaicin 2 mm2, indomethacin 40,33 mm2, and indometchacin combine by capsaicin 0 mm2. Statistic result shows the difference is significant (p = 0,034) between capsaicin and indomethacin. This research shows capsaicin plays role in healing process of gastric ulcer in rats exposured by indomethacin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Sakinah Qur`ani
"Ketoprofen merupakan obat antiinflamasi yang memiliki kelarutan di dalam air yang rendah. Pada umumnya ketoprofen diberikan secara oral. Namun, memiliki kelemahan yaitu dapat terjadi metabolisme lintas pertama dan pendarahan gastrointestinal. Maka dari itu untuk mengatasi hal tersebut, dapat diberikan secara transdermal yaitu dengan dissolving microneedle. Selain itu, untuk meningkatkan kelarutan dari ketoprofen diperlukan metode yang dapat meningkatkan kelarutan seperti co-grinding. Tujuan penelitian ini adalah untuk memformulasikan dan mengkarakterisasi dissolving microneedle yang mengandung co-grinded ketoprofen. Co-grinded ketoprofen diformulasikan dengan PVA atau PVP dan dilanjutkan karakterisasi yang meliputi spektrofotometri FTIR, analisis difraksi sinar-X, analisis termal, dan uji disolusi. Co-grinded ketoprofen dikombinasikan dengan polimer PVA dan/atau PVA lalu dimasukkan ke dalam dissolving microneedle dan dilakukan evaluasi yang meliputi kekuatan mekanis, kehilangaan massa air selama pengeringan, uji kemampuan insersi, dan uji pelarutan jarum. Berdasarkan hasil uji disolusi co-grinded ketoprofen yang terpilih adalah ketoprofen : PVA = 1 : 2 dengan profil disolusi tertinggi yaitu 99,62 ± 1.56% pada menit ke-60. Dapat disimpulkan bahwa formula dissolving microneedle F8 (5% PVA + 15% PVP) dan F11 (7,5% PVA + 15% PVP) dapat diformulasikan dalam dissolving microneedle yang memberikan kekuatan mekanik yang baik yaitu dengan persentase pengurangan tinggi jarum 0,58 ± 0,21% untuk F8 dan 1,26 ± 0,56 untuk F11, mampu membentuk lubang >25% pada lapisan ketiga parafilm, serta waktu pelarutan jarum pada menit ke-10 untuk F8 dan pada menit ke 22,5 untuk F11.

Ketoprofen is an anti-inflammatory drug that has low water solubility. In general, ketoprofen is given orally. However, it has disadvantages such as first pass metabolism and gastrointestinal bleeding. Therefore, to overcome this, it can be given transdermally, namely by dissolving microneedle. In addition, to increase the solubility of ketoprofen, co-grinding is a method that can be used. The purpose of this study was to formulate and characterize dissolving microneedles containing co-grinded ketoprofen. Co-grinded ketoprofen is formulated in combination with PVA or PVP and characterization is continued using FTIR spectrophotometry, X-ray diffraction analysis, thermal analysis, and dissolution test. Co-grinded ketoprofen was combined with PVA and/or PVA polymer and then put into a dissolving microneedle. The evaluation that is carried out includes mechanical strength, loss of drying, insertion test, and in skin dissolution. Based on the results of the co-grinded ketoprofen dissolution test, the selected ketoprofen : PVA = 1: 2 with the highest dissolution profile was 99.62 ± 1.56% at 60 minutes. It can be said that the dissolving microneedle formula F8 (5% PVA + 15% PVP) and F11 (7.5% PVA + 15% PVP) can be formulated in dissolving microneedle which provides good mechanical strength by reducing the number of needles by 0.58 ± 0 .21% for F8 and 1.26 ± 0.56 for F11, capable of forming holes >25% in the third layer of parafilm, as well as needle coating time at 10 minutes for F8 and at 22.5 minutes for F11."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Asysyifa
"COVID-19 menunjukkan berbagai manifestasi klinis dengan tingkat keparahan berkaitan dengan peningkatan mediator inflamasi yang tidak terkendali. Sebagai terapi potensial COVID-19, penelitian tentang efek imunomodulator SPM telah berlangsung. Penggunaan sekretom SPM memiliki kelebihan daripada penggunaan SPM itu sendiri. Namun demikian, mekanisme dimana sekretom memberikan efek imunomodulatornya sebagai agen terapeutik untuk COVID-19 masih belum jelas. Penelitian ini bertujuan untuk menilai apakah komponen sekretom SPM-TP mampu mengubah karakteristik inflamatorik dari sel-sel imun dengan melakukan studi in vitro dari inkubasi darah lengkap dengan sekretom yang kemudian dipaparkan dengan LPS yang merupakan agen inflamasi kuat. Sebanyak 12 sampel darah subjek COVID-19 dan sehat dikultur ke dalam  tiga kelompok (kelompok kontrol RPMI, kelompok sekretom 3μl, dan 9μl) yang diinkubasi selama 24 jam, kemudian dipaparkan LPS dan diinkubasi selama 48 jam. Supernatan kultur sebelum dan setelah paparan LPS dipanen dan diukur kadar sIL-6R, sgp130, IL-1RA, IL-6, TNF-α, IFN-γ dan IL-10. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paparan LPS meningkatkan produksi IL-6, TNF-α, dan IL-10 dan menurunkan produksi  sIL-6R, dan sgp130, sedangkan IFN-γ tidak mengalami perubahan pada kultur darah yang telah diinkubasi dengan sekretom SPM-TP. Analisis rasio post-LPS/pre-LPS dilakukan untuk menyelidiki potensi antiinflamasi sekretom dan ditemukan sekretom SPM-TP ini memberikan efek antiinflamasinya melalui peran IL-1RA.

COVID-19. However, the precise mechanism by which the secretome exerts its therapeutic effect on COVID-19 remains unclear. This study aims to investigate whether the components of the UC-MSC-derived secretome can alter the inflammatory characteristics of immune cells. To achieve this, an in vitro study will be conducted involving co-incubation of whole blood with secretomes, followed by LPS stimulation. A total of 12 blood samples from severe COVID-19 and healthy subjects were cultured into three groups (RPMI control group, 3μl and 9μl secretome group) incubated for 24 hours. Then, the cultures were exposed to LPS for 48 hours. The levels of sIL-6R, sgp130, IL-1RA, IL-6, TNF-α, IFN-γ, and IL-10 were measured. Results showed that LPS increased IL-6, TNF-α, and IL-10 production, while reducing sIL-6R, and sgp130, but no changes seen in IFN-γ in secretome-incubated blood cultures. The post-LPS/pre-LPS ratio analysis was conducted to investigate the anti-inflammatory potential of secretome. It was found that the secretome provides its anti-inflammatory effects through the role of IL-1RA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harris
"Ulkus peptikum adalah hilangnya sel epitel yang mencapai atau menembus mukularis mukosa dengan diameter kedalaman < 5 mm. Ulkus dapat terjadi akibat produksi mukus yang terlalu sedikit atau produksi asam yang berlebihan. Salah satu obat yang sering digunakan dalam praktek dokter dan dapat menimbulkan efek samping ulkus peptikum adalah deksametason, suatu glukokortikoid sintetik. Glukokortikoid mempengaruhi respon peradangan dengan mengurangi sintesis prostaglandin dan leukotrien yang diakibatkan oleh aktivasi fosfolipase A2 sehingga berfungsi sebagai suatu antiinflamasi poten. Namun, glukokortikod dalam dosis besar mempunyai efek samping merangsang produksi asam dan pepsin yang berlebihan di dalam lambung dan memudahkan timbulnya ulkus peptikum. Gastroproteksi pada lambung dimediasi oleh pelepasan CGRP dari serat saraf aferen dan pembentukan NO. Capsaicin adalah suatu alkaloid yang larut dalam alkohol dan terdapat pada cabai. Capsaicin bekerja dengan merangsang pelepasan CGRP yang selanjutnya memicu pelepasan NO yang berfungsi untuk meningkatkan aliran darah ke lambung. Pada penelitian terdahulu, telah dibuktikan bahwa capsaicin dapat membantu mempercepat proses penyembuhan ulkus peptikum, namun belum pernah dilakukan pemberian capsaicin bersamaan suatu zat yang dapat menimbulkan ulkus seperti deksametason. Percobaan dilakukan dengan menginduksi ulkus pada lambung tikus kemudian tikus diberi capsaicin dan deksametason per oral pada hari yang sama. Hasil menunjukkan perbedaan luas ulkus pada tiap kelompok percobaan, namun perbedaan tersebut tidaklah bermakna. Hal ini kemungkinan disebabkan jumlah sampel yang terlalu sedikit, sehingga diperlukan penelitian lanjutan dengan teknik yang serupa menggunakan jumlah sampel yang lebih besar.

Peptic ulcer is the loss of epithelial cell through muscularis mucosa with diameter of depth less than 5 mm. Peptic ulcer can be caused by lack of mucous or excess of acid production. In clinical practice, there are a lot of drugs can induce peptic ulcer, e.g dexamethsone. Dexamethasone is one of syntethic glucocorticoid. Glucocorticoid, a potent anti-inflammatory, effect inflammatory reaction by decrease prostaglandin and leukotrien synthesis caused by activation of fosfolipase A2. However, large amount of glucocorticoid has side effect to increase acid and pepsin production then induce peptic ulcer. Stomach has own self-defence mechanism which mediated by CGRP release from afferent nerve and produce nitric oxide (NO). Capsaicin is an alcohol solved material which is contained in chili. Capsaicin stimulates the release of CGRP moreover stimulates release of nitric oxide (NO) that increase blood supply to the stomach. On the previous research, it has been proven that capsaicin can accelerate ulcer healing process. However, the interaction of the capsaicin with other drugs which induce peptic ulcer e.g. dexamethasone has not been tested yet. The test was started with induction of ulcer on rat?s stomach moreover it?s given with capsaicin and dexamethasone per oral in the same day. The results shown difference of ulcer size from every group, however, the difference is not significant. It possibly caused by small number of the tested sample so it needs continous research with similar technique but larger number of sample."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>